Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Krishna Vesa
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan prinsip iktikad baik dalam sengketa merek khususnya pembatalan merek di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan meninjau aturan iktikad baik dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 dan Undang-Undang No 20 Tahun 2016, Putusan-Putusan Hakim di Indonesia dikomparasikan dan diulas dengan pendapat para ahli hukum dan Putusan US Supreme Court dan European Union Supreme Court. Hasil penelitian menyimpulkan dibutuhkan aturan atau panduan yang lebih detail mengenai penentuan ada atau tidaknya iktikad baik dalam sengketa merek di Indoneisa.
This thesis discusses the regulation and implementation of the principle of good faith in trademark disputes that focus on cancellation of the trademark in Indonesia. This study uses the juridical normative by reviewing good faith principles in the Law No. 15 of 2001 and Law No. 20 of 2016, Judge Decisions in Indonesia that compared and reviewed with the opinion of legal experts and Decision of US Supreme Court and the European Union Supreme Court. The research concludes rules or guidelines necessary details regarding the determination of whether there is any good faith in trademark disputes in Indonesia."
2017
S66765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Ramadhan
"Perlindungan terhadap merek terkenal pada dasarnya merupakan suatu hal yang sudah diamanatkan oleh undang-undang, namun pada kenyataannya pelaksanaan pelindungan terhadap merek terkenal sendiri di Indonesia dirasa masih belum diberikan dan dilaksanakan secara maksimal hingga saat ini. Hal ini dapat terjadi, karena memang pengaturan perlindungan terhadap merek terkenal yang masih belum memadai serta penerapan kriteria merek terkenal yang belum didasari oleh suatu dasar yang kuat oleh hakim di dalam sengketa merek. Walaupun terkait dengan kriteria merek terkenal telah diatur secara lebih lanjut di dalam PERMENHUKAM 67/16, namun ketidakhadiran pedoman standar dari kriteria tersebut menyebabkan ketidakseragaman baik oleh praktisi maupun hakim dalam menerapkan kriteria tersebut. Oleh karena itu, skripsi ini akan mengkritisi dan menganalisis pengaturan terkait dengan merek terkenal serta penerapannya oleh hakim dalam sengketa merek di Indonesia serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Singapura dan Amerika Serikat. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil laporan penelitian ini akan berupa sebuah laporan yang mengidentifikasi dan mengklarifikasi permasalahan yang ada sehingga dapat melewati proses analisis dan pengambilan kesimpulan. Temuan yang akan disampaikan dalam penelitian ini adalah masukan-masukan untuk perbaikan terhadap pengaturan merek terkenal dan penerapan kriteria merek terkenal dalam sengketa merek kedepannya.

The protection of well-known marks is basically a matter that has been mandated by law, but in reality, the implementation of protection for well-known marks in Indonesia is considered to have not been maximally given and implemented to date. It can happen because the regulation of the protection of well-known brands is still inadequate as well as the application of criteria for well-known marks that have not been based on a strong basis by the judges in trademark disputes. Although the criteria for well-known marks have been further regulated in PERMENHUKAM 67/16, the absence of standard guidelines from these criteria has led to a lack of uniformity both by practitioners and judges in applying these criteria. Therefore, this thesis will criticize and analyze the regulations related to well-known marks and their application by judges in trademark disputes in Indonesia and compare them with their regulations and applications in Singapore and the United States. The research method in writing this thesis is juridical-normative research, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this research report will be in the form of a report that identifies and clarifies existing problems so that it can go through the process of analysis and conclusion. The findings which would be conveyed in this study are inputs for improvements to the regulations of well-known marks and the application of criteria for well-known marks in future trademark disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Keynes
"Merek merupakan salah satu hak kekayaan atas intelektual yang mendapatkan perlindungan hukum. Sistem perlindungan hukum di Indonesia menggunakan sistem first to file yang dalam ketentuannya hanya memberikan perlindungan terhadap merek terdaftar sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Merek terkenal memiliki hak eksklusif dalam ketentuan internasional TRIPs yang memberikan perlindungan terhadap merek terkenal meskipun tidak terdaftar. Berdasarkan ketentuan itu maka merek yang tidak terkenal dan tidak terdaftar menjadi tidak mendapatkan perlindungan.. Merek yang tidak mendapatkan perlindungan akan diambil hak eksklusifnya oleh pihak lain dengan melakukan tindakan-tindakan pelanggaran merek seperti meniru, menjiplak, dan tindakan lainnya yang dilanggar oleh peraturan perundang-undangan. Tulisan ini mengkaji asas-asas hukum dengan menggunakan metode yuridis normative mengenai perlindungan merek tidak terkenal dan tidak terdaftar di Indonesia. Penggunaan metode ini akan digunakan dalam menganalisis perkara-perkara perlindungan merek tidak terkenal dan tidak terdaftar yang sudah dituangkan dalam putusan pengadilan. Hasil temuan dari penelitian dalam tulisan ini melalui putusan pengadilann yaitu merek tidak terkenal dan tidak terdaftar dapat diberikan perlindungan oleh sistem hukum Indonesia terhadap pihak yang mendaftarkan merek dengan prinsip iktikad tidak baik sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Prinsip iktikad tidak baik dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu melakukan tindakan meniru, menjiplak, atau mengikuti merek milik pihak lain yang dapat menyesatkaan masyarakat. Majelis hakim mengabulkan gugatan pembatalan merek yang diajukan oleh pemilik merek tidak terkenal dan tidak terdaftar dan memerintahkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk membatalkan pendaftaran merek yang berdasarkan prinsip iktikad tidak baik.

Trademark is one of the intellectual property rights that get legal protection. The legal protection system in Indonesia uses a first-to-file system, which in its provisions only provides protection for registered marks in accordance with Article 3 of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Well-known brands have exclusive rights in the international provisions of TRIPs which provide protection for well-known brands even though they are not registered. Based on these provisions, brands that are not well-known and unregistered become unprotected. Marks that do not receive protection will have their exclusive rights taken away by other parties by carrying out acts of brand infringement such as imitating, plagiarizing, and other actions that are violated by laws and regulations. invitation. This paper examines the legal principles using normative juridical methods regarding the protection of unknown and unregistered marks in Indonesia. The use of this method will be used in analyzing cases of non-famous and unregistered trademark protection that have been set forth in court decisions. The findings from the research in this paper through a court decision, namely that brands that are not well-known and not registered can be given protection by the Indonesian legal system for those who register brands in bad faith in accordance with Article 21 paragraph (3) of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications. Bad faith in the Elucidation of Article 21 paragraph (3) of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, namely committing acts of imitating, plagiarizing, or following the marks of other parties that can mislead the public. The panel of judges granted the lawsuit for trademark cancellation filed by a nameless and unregistered mark owner and ordered the Directorate General of Intellectual Property to cancel trademark registration based on the principle of bad faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meryn Elita
"Skripsi ini membahas mengenai asas iktikad baik dalam perjanjian perkawinan khususnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 527K/Pdt/2014. Di Indonesia, perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian yang tidak hanya merupakan bagian dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melainkan juga merupakan bagian dari Buku I. Dalam pelaksanaannya, perjanjian perkawinan masih menemui beberapa kendala. Skripsi ini dilatarbelakangi oleh salah satu kendala yang dapat dialami dalam perjanjian perkawinan, yaitu iktikad baik pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan perjanjian perkawinan tersebut. Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menilik lebih dalam mengenai bagaimana seharusnya suatu perjanjian perkawinan dilakukan seraya memenuhi asas iktikad baik. Bentuk dari penelitian ini sendiri adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dengan dilakukannya penelitian ini, Penulis menyimpulkan bahwa dalam putusan yang dibahas terdapat berbagai pelanggaran asas iktikad baik dengan sebab-sebab yang beragam. Hal ini dapat disebabkan karena masih belum adanya kepastian hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia mengenai asas iktikad baik. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya bergegas untuk merumuskan peraturan dari iktikad baik.

This thesis discusses good faith principle in marriage agreement, particularly in Supreme Court Verdict No. 527K Pdt 2014. In Indonesia, marriage agreement is not just a part of 3rd Book of Indonesian Civil Code but also a part of 1st Book. In real life practice, marriage agreement still encounters many obstacles. This thesis is made based on one of the obstacle many people encounter in marriage agreement, which is good faith principle of parties related to the marriage agreement. As for the purpose of this research is to look deeper into how a marriage agreement should be executed while fulfilling the good faith principle. This is a juridical normative research with descriptive typology. By doing this research, writer concluded that in the analyzed verdict, there are violations of good faith principle with various causes. This could happen because up until this thesis is written, there is no rule of law in Indonesian Legislation concerning good faith principle. Therefore, the government should hurry to formulate regulation on good faith principle."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.

The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Johanes Julian
"Pengaturan mengenai merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pengaturan terkait merek dalam undang-undang tersebut juga meliputi pengaturan mengenai merek terkenal. Adanya ketentuan terkait merek terkenal dalam undang-undang tersebut ditandai dengan diaturnya kriteria merek terkenal dan perlindungan merek terkenal. Selain itu, Permenkumham No. 67 Tahun 2016 sebagai peraturan turunan dari UU MIG, memuat ketentuan yang lebih spesifik berkenaan dengan kriteria merek terkenal. Namun demikian, sekalipun UU MIG telah mengatur perlindungan terhadap merek terkenal, pengaturan tersebut dirasa belum cukup karena tidak mencakup perlindungan merek terkenal dari tindakan passing off dan dilusi merek. Tidak adanya pengaturan terkait perlindungan merek terkenal dari tindakan passing off dan dilusi merek dapat merugikan pemilik merek terkenal dan konsumen dari merek terkenal tersebut. Oleh karenanya, dalam skripsi ini Penulis menganalisis dan membandingkan pengaturan mengenai perlindungan merek terkenal, khususnya dari tindakan passing off dan dilusi merek antara Indonesia, Malaysia, dan India. Selain itu, Penulis juga menganalisis penerapan kriteria merek terkenal serta penerapan doktrin passing off dan dilusi merek dalam sengketa merek terkenal di Indonesia, Malaysia, dan India melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan terkait perlindungan merek terkenal dalam UU MIG, belum mencakup keseluruhan unsur doktrin passing off dan dilusi merek, sehingga belum dapat dikatakan bahwa Indonesia menerapkan doktrin passing off dan dilusi merek dalam ketentuan mereknya.

Regulation of trademark in Indonesia is regulated in Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indication. The Law No. 20 of 2016 also includes the regulation of well-known trademarks. The existence of provisions related to well-known trademarks in the Law No. 20 of 2016 is marked by the stipulation of criteria for well-known trademarks and protection of well-known trademarks. In addition, Permenkumham No. 67 of 2016 as a derivative regulation of the Law No. 20 of 2016 contains more specific provisions regarding the criteria for well-known trademarks. However, even though the Law No. 20 of 2016 has regulated the protection of well-known trademarks, the regulation is deemed insufficient because it does not cover the protection of well-known trademarks from passing off and trademark dilution. The absence of regulation related to the protection of well-known trademarks from passing off and trademark dilution can be detrimental to well-known trademark’s owners and consumers. Therefore, in this thesis the Author analyzes and compares the regulation regarding the protection of well-known trademarks, especially from passing off and trademark dilution between Indonesia, Malaysia, and India. In addition, the Author also analyzes the application of the criteria for well-known trademarks, especially the application of the doctrine of passing off and trademark dilution in well-known trademark disputes in Indonesia, Malaysia, and India through court decisions that have permanent legal force. In writing this thesis, The Author uses a juridical-normative research method with data obtained through library research. The result of the research shows that the regulation related to the protection of well-known trademarks in Law No. 20 of 2016 does not cover all elements of the doctrine of passing off and trademark dilution, so it cannot be said that Indonesia applies the doctrine of passing off and trademark dilution in its trademarks provisions. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aussielia Amzulian
"[Itikad tidak baik merupakan salah satu dasar untuk membatalkan pendaftaran suatu merek. Pada sengketa merek yang memiliki persamaan dengan merek terkenal, itikad tidak baik seringkali dianggap ada. Pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah apakah pemilik merek terdaftar yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal dapat selalu dianggap memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan dan menggunakan mereknya. Tulisan ini menganalisis berbagai sengketa merek terkenal dalam putusan pengadilan. Kesimpulan yang diperoleh dari tulisan ini adalah bahwa pemilik merek terdaftar yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal tidak dapat selalu dianggap memiliki itikad tidak baik, karena terdapat beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam membuktikan adanya tidaknya itikad tidak baik dari suatu pihak.

Bad faith is one of the reasons to cancel an application of a trademark. In trademark disputes, when having similarities with a well-known mark, judges often assume that the trademark owner always has bad faith. The legal issue in this article is whether a trademark owner that it?s trademark has similarities with a well-known mark always has bad faith in filing and using it?s trademark. This article will analyze well-known mark cases from court rulings. This article concludes that bad faith doesn?t always exist when a trademark has similarities with a well-known mark, because there are some conditions that could be considered to prove that a party does not have bad faith.
;Bad faith is one of the reasons to cancel an application of a trademark. In trademark disputes, when having similarities with a well-known mark, judges often assume that the trademark owner always has bad faith. The legal issue in this article is whether a trademark owner that it’s trademark has similarities with a well-known mark always has bad faith in filing and using it’s trademark. This article will analyze well-known mark cases from court rulings. This article concludes that bad faith doesn’t always exist when a trademark has similarities with a well-known mark, because there are some conditions that could be considered to prove that a party does not have bad faith.
, Bad faith is one of the reasons to cancel an application of a trademark. In trademark disputes, when having similarities with a well-known mark, judges often assume that the trademark owner always has bad faith. The legal issue in this article is whether a trademark owner that it’s trademark has similarities with a well-known mark always has bad faith in filing and using it’s trademark. This article will analyze well-known mark cases from court rulings. This article concludes that bad faith doesn’t always exist when a trademark has similarities with a well-known mark, because there are some conditions that could be considered to prove that a party does not have bad faith.
]
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S61805
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Octavinanda Zais
"Di Indonesia asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Iktikad baik yang diatur dalam ketentuan tersebut terbatas hanya meliputi tahap pelaksanaan perjanjian saja. Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara penganut sistem civil law telah mengakui iktikad baik pada tahap negosiasi atau pra-kontrak, sehingga janji-janji pra-kontrak diakui dan jika dilanggar menimbulkan akibat hukum. Karena belum ada perjanjian yang mengikat maka gugatan yang diajukan untuk memperoleh ganti rugi dianggap sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dengan konsep yang sama, di dalam sistem common law khususnya di Amerika Serikat, muncul doktrin promissory estoppel yang berakibat bahwa meskipun belum ada consideration namun janji-janji dapat mengikat. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan asas iktikad baik pada tahap pra-kontrak di Indonesia melalui putusan pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), perbandingan (comparative approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada pengaturan yang khusus mengatur penerapan asas iktikad baik pada tahap pra-kontrak. Namun demikian, berdasarkan putusan-putusan di pengadilan negeri yang dianalisis pada penelitian ini diketahui bahwa Hakim telah mengakui adanya keharusan beriktikad baik pada tahap pra-kontrak oleh para pihak.

In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) on the Indonesian Civil Code. The implementation of good faith principle set out from this article is limited only to the contractual phase. In contrast to Indonesia, some civil law countries have recognized the principle of good faith on the phase of negotiations or pre-contractual phase, so the promises of the pre-contract is recognized and lead to legal consequences if its broken. Since there is no binding agreement on the pre-contractual phase, therefore to the injured party in this phase can sue for reliance damages based on tort. Based on the same concept, in the common law system, particularly in US the promissory estoppel doctrine has the effect of making some kinds of promise binding even where they are not supported by consideration. This research aims to determine how the implementation of good faith principle on the pre-contractual phase in Indonesia through court orders. It is a judicial-normative research, with statute, case and comparative approach. In this research, author concluded that til nowadays there is no regulation that specifically regulates the application of good faith principle on the pre-contractual phase. Moreover, based on court orders which analyzed in this research, note that the Judge has recognizes the necessity of good faith at the pre-contractual phase by the parties.
;In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) on the Indonesian Civil Code. The implementation of good faith principle set out from this article is limited only to the contractual phase. In contrast to Indonesia, some civil law countries have recognized the principle of good faith on the phase of negotiations or pre-contractual phase, so the promises of the pre-contract is recognized and lead to legal consequences if its broken. Since there is no binding agreement on the pre-contractual phase, therefore to the injured party in this phase can sue for reliance damages based on tort. Based on the same concept, in the common law system, particularly in US the promissory estoppel doctrine has the effect of making some kinds of promise binding even where they are not supported by consideration. This research aims to determine how the implementation of good faith principle on the pre-contractual phase in Indonesia through court orders. It is a judicial-normative research, with statute, case and comparative approach. In this research, author concluded that til nowadays there is no regulation that specifically regulates the application of good faith principle on the pre-contractual phase. Moreover, based on court orders which analyzed in this research, note that the Judge has recognizes the necessity of good faith at the pre-contractual phase by the parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62384
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Josephine
"Reasuransi adalah jasa pertanggungan ulang bagi perusahaan asuransi sehingga perusahaan asuransi dapat mengalihkan risikonya kepada perusahaan reasuransi. Sama seperti usaha asuransi, tertanggung ulang wajib untuk memenuhi asas iktikad paling baik yang mana ia harus menyampaikan fakta material terkait dengan pengalihan risiko tersebut. Namun, yang menjadi permasalahan adalah terdapat beberapa perbedaan pemahaman terkait fakta seperti apa yang termasuk sebagai fakta material. Perbedaan pemahaman atas fakta material tersebut seringkali menyebabkan muncul dugaan pelanggaran asas iktikad paling baik. Permasalahan ini juga terjadi pada kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.589/ Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel antara PT Asuransi Umum Videi dengan PT Asuransi Bhakti Bayangkara. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas penerapan asas iktikad paling baik pada reasuransi. Selain itu, akan dibahas pemahaman terhadap fakta material untuk menilai bagaimana suatu fakta dapat dikatakan sebagai fakta material. Pada skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif sehingga penulis melakukan penelitian berdasarkan dengan bahan Pustaka. Setelah melakukan penelitian, penulis memperoleh kesimpulan bahwa fakta material adalah fakta yang berkaitan dan fakta yang telah terjadi sebelumnya yang mana fakta tersebut berkaitan dengan risiko atas objek pertanggungan atau bahkan memiliki potensi untuk meningkatkan risiko.

Reinsurance is a service that involves reissuing insurance to insurance companies, allowing them to transfer their risks to reinsurance companies. Similar to insurance, the primary underwriter has a duty of utmost good faith to disclose material facts related to the transfer of risk. The challenge, however, arises from differing interpretations of what constitutes material facts. Differences in the understanding of these material facts often lead to suspicions of a breach of the principle of utmost good faith. This issue was also evident in the case of South Jakarta District Court Decision No. 589/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel between PT Asuransi Umum Videi and PT Asuransi Bhakti Bayangkara. Therefore, this thesis will examine the application of the principle of utmost good faith in reinsurance. In addition, it will address the understanding of material facts to assess how a fact can be considered material. The research method used in this thesis is the juridical-normative research method, which allows the author to conduct research based on literature. After conducting the research, the author concludes that material facts are those related to the insured object and events that have occurred in the past, which are related to the risk of the insured object or even have the potential to increase the risk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iman Faiz Pratama
"Merek merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual yang penggunaannya umum ditemukan di bidang perdagangan dan berbagai industri lainnya. Sebagai salah satu cabang dari cakupan kekayaan intelektual, merek mendapatkan hak perlindungan hukum.  Pasal 20 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis  menjelaskan bahwa merek tidak dapat didaftar jika mengandung nama umum dan/atau lambang umum, namun pada praktiknya terdapat beberapa kasus penggunaan nama umum untuk digunakan sebagai merek. Disisi lain DJKI sebagai otoritas yang berwenang atas pendaftaran merek juga menyetujui  merek yang mengandung unsur nama dan/atau lambang umum yang diajukan oleh pemohon merek. Salah satu kasus yang cukup terkenal dan muncul menjadi pemberitaan adalah sengketa kasus merek Open Mic Indonesia antara Perkumpulan Stand Up Indonesia dengan Ramon Pratomo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan doktrin generic term/istilah umum terhadap peraturan perundang-undangan terkait merek di Indonesia dan istilah umum terhadap merek Open Mic Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang mana penelitian ini memperoleh data dari bahan hukum primer antara lain asas-asas hukum, filsafat hukum, norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan didukung oleh bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel, makalah, penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah penelitian dan juga bahan hukum tersier berupa kamus, dan ensiklopedi.

Brand or trademark is one type of intellectual property rights whose use is commonly found in trade and various other industries. As one of the branches of intellectual property coverage, brands get legal protection rights.  Article 20 letter f of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications explains that a mark cannot be registered if it contains a common name and/or common emblem, but in practice there are several cases of using a common name to be used as a mark. On the other hand, DJKI as the competent authority for trademark registration also approves marks containing elements of common names and/or symbols submitted by trademark applicants. One case that is quite famous and appears in the news is the dispute over the Open Mic Indonesia brand case between the Indonesian Stand Up Association and Ramon Pratomo. This study aims to determine the application of generic term doctrine to laws and regulations related to brands in Indonesia and general terms to the Open Mic Indonesia brand. This research is a normative legal research where this research obtains data from primary legal materials including legal principles, legal philosophy, legal norms, contained in laws and regulations supported by secondary legal materials in the form of books, journals, articles, papers, previous research related to research problems and also tertiary legal materials in the form of dictionaries, and encyclopedias."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>