Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zakky Ikhsan Samad
"ABSTRAK
Tesis ini membahas adanya permasalahan pengetatan dan pembatasan pemberian remisi sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 99 Tahun 2012. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana sejarah dan perkembangan pemberian remisi dalam sistem pemidanaan di Indonesia, apakah pengetatan dan pembatasan pemberian remisi bagi terpidana korupsi dan narkotika telah sesuai dalam perspektif sistem pemasyarakatan dan perlindungan HAM, dan bagaimanakah bentuk yang solutif kedepannya dalam menyusun kebijakan pemberian remisi, khususnya terkait dengan adanya pembahasan untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan historis. Data-data yang diperoleh diolah secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, konsep pemberian remisi sangat terkait erat dengan perkembangan tujuan pemidanaan, dan sistem pemasyarakatan yang berlaku. Remisi tidak lagi sebagai suatu reward/hadiah akan tetapi sudah menjadi suatu hak bagi seluruh narapidana. Namun, sejak berlakunya PP Nomor 99 Tahun 2012 kebijakan pemberian remisi ini seolah menempatkan konsep pemberian remisi kembali mundur kebelakang dengan seolah menempatkan konsep remisi sebagai suatu hadiah dari penegak hukum yang tidak sesuai dengan konsep remisi. Kebijakan pemberian remisi dalam PP tersebut secara filosofi telah menyimpangi dan mengingkari konsep pemasyarakatan yang ada. Selain itu, ketentuan PP ini juga telah bertentangan aspek yuridis, sosiologis, dan manajemen pemasyarakatan. PP tersebut juga telah menimbulkan suatu bentuk diskriminasi pemidanaan baik terhadap individu, maupun jenis tindak pidananya yang merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM.

ABSTRACT
This thesis discusses the issue of remissions rsquo restriction and constriction as stipulated in Government Regulation PP Number 99 of 2012. The scope of the study is the history and development of remissions in Indonesian sentencing system, the correspondence between remissions rsquo restriction and constriction for corruption convicts and narcotics to the perspective of correctional system and human rights protection,and thoughtful policy making, particularly on plans to revice Government Regulation No.99 Year 2012.In this study, the method used is normative juridical literature, by using statute approach, analytical approach, and the historical approach. The data that has been acquired and processed qualitatively are then presented systematically. The result of the study concluded that the concept of remission are closely related to the development of sentencing objective and the correctional system implemented.Remission is no longer as a ldquo reward rdquo but has become a right for all prisoners. However, since the regulation No.99 Year 2012 applied, policy of remissions seemed to put the concept into decline as the concept of remission applied by law enforcement is not in accordance with the ideals of remissions itself. Philosophycally, the policy of remissions in that regulation has deviated and denied the concept of correction. In addition, the provisions of this Regulation also has opposed the judicial aspect, sociological, and correctional management. The regulation also has led to various forms of discrimination against both the individual criminalization and the types of criminal acts, which are the form of human rights violation. "
2017
T47112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Usman
"ABSTRAK
Penanggulangan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara komprehensif, yang
meliputi legal substance, legal structure, dan legal culture . Pemidanaan narapidana
di lembaga pemasyarakatan tidak semata-mata sebagai tujuan untuk menghukum orang
atau sebagai pembalasan bagi pelaku perbuatan pidana (tindak pidana), tetapi diterapkan
sebagai tempat pembinaan bagi narapidana agar nanti setelah keluar dari lembaga
pemasyarakatan dapat kembali menjadi manusia/orang yang berkelakuan baik, tidak
lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau keresahan
orang lain atau perbuatan yang dapat mengganggu ketenteraman hidup masyarakat.
Remisi adalah merupakan salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak
bisa dipisahkan dari fasilitas pembinaan yang lainnya, dimana hakekat pembinaan
adalah selain memberikan sanksi yang bersifat sanksi /nestapa (punitive), juga
memberikan hadiah (reward) sebagai salah satu dari upaya pembinaan.

ABSTRACT
The prevention of corruption have to be comprehensive, covering "legal
substance, legal structure, and legal culture". Corruption offenses classified as
"extraordinary crime", so as to eradicate it takes "extraordinary measure".
Sentencing inmates in correctional institutions are not solely to punish the person
as an end or as a reprisal for the perpetrators of criminal acts (a crime), but
applied as a guidance for inmates so later after coming out of prison can get back
into a human / person of good character, no longer perform acts that cause harm
or anxieties of others or act that may disturb the public life. Remission is a one
part of coaching facilities that can not be separated from the other coaching
facilities, where the essence of coaching is in addition to sanctions that are
sanctioned / sorrow (punitive), also give a gift (reward) as one of the construction
effort."
Universitas Indonesia, 2013
T35230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anis Zakiyah
"Korupsi merupakan jenis tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime). Penanganan kasus korupsi pun memerlukan teknik-teknik khusus yang berbeda dari tindak pidana konvensional lainnya. Sebagai negara yang sudah meratifikasi UNCAC dan UNCATOC maka Indonesia pun mulai mengadopsi konsep justice collaborator dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Untuk memancing minat para pelaku korupsi agar mau menjadi justice collaborator maka Aparat Penegak Hukum yang dilegitimasi oleh regulasi yang ada memberikan sejumlah tawaran hadiah sebagai balas jasa atas informasi relevan yang akan diberikan oleh para justice collaborator. Hadiah tersebut salah satunya adalah memberikan kesempatan bagi para justice collaborator untuk bisa mendapatkan remisi. Menariknya hadiah yang dijanjikan kepada para justice collaborator telah membuat melonjaknya angka pemohon justice collaborator yang mau memberikan informasi terkait kasus tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini telah berpengaruh sangat banyak terhadap penanganan serta pemberantasan kasus tindak pidana korupsi yang ada. Namun pada tanggal 28 Oktober 2021 ketentuan yang mewajibkan narapidana korupsi untuk menjadi justice collaborator baru bisa mendapatkan remisi dicabut. Hal ini membuat minat dan pamor justice collaborator menjadi turun lantaran tidak banyak lagi keuntungan yang bisa mereka dapatkan. Pencabutan pasal ini kemudian telah memberikan dampak kepada sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia.

Corruption is one of the many forms of extraordinary crime. Therefore handling corruption cases requires special techniques that are different from other conventional criminal acts. As a country that has ratified UNCAC and UNCATOC, Indonesia has begun to adopt the concept of justice collaborator in handling corruption cases. To attract the interest of the perpetrators of corruption in order to become justice collaborators, Law Enforcement Officials who are legitimized by existing regulations provide a number of offers of rewards as compensation for relevant information that will be provided for justice collaborators. One of the rewards is to provide opportunities for justice collaborators to be able to get remissions. Because of the rewards promised to justice collaborators have increased the number of justice collaborator applicants who are willing to provide information related to the corruption case. This has greatly influenced the handling and eradication of existing corruption cases. However, on October 28, 2021, the provisions requiring corruption convicts to become justice collaborators has been revoked. This reduces the interest and prestige of justice collaborators because there are not many more benefits they can get. The revocation of this article has then had an impact on the criminal justice system in Indonesia as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Katono
"ABSTRAK
Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru untuk senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk ketentuan mengenai remisi. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Bagi narapidana tindak pidana narkotika¬-psikotropika, korupsi, terorisme, dan kejahatan HAM berat, remisi diberikan setelah mereka menjalani sepertiga masa pidana dan berkelakuan baik. Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang tidak membedakan jenis tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana fungsi remisi dalam pembinaan narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat dan mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dalam pemberian remisi bagi mereka.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan dikategorikan sebagai penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan secara langsung dengan bidang remisi, registrasi dan statistik maupun narapidana tindak pidana narkotika¬p-sikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.
Analisis penelitian menunjukkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat belum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Fungsi remisi maupun langkah-Iangkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah dan Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya sama seperti tindak pidana umum lainya dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Untuk itu perlu direkomendasikan agar Pemerintah segera melakukan pengkajian untuk memberikan kejelasan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga memberikan kepastian hukum bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah maupun Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.

ABSTRACT
This study aimed to determine whether Changes in evaluation system demands new norms in social life to always in track with development within society, including regulations about remission. Government passed Regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights. For inmates granted with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation, remission is granted after they have done one third of conviction time and recorded good behavior. This is different from the previous regulation which did not differentiate the nature of criminal cases.
This study is conducted to find how remission works inmates in drugs, corruption, terrorism and human rights violation cases, and various steps that need to be taken by Director General of Correction, Jakarta Regional Office of Law and Human Rights, and Correctional Institution of Class I Cipinang in granting remission for them.
This study is a descriptive analysis and categorized as qualitative research. Sources of information were obtained from interview with officers in Correctional Institution Class I Cipinang, Regional Officer of Law and Human Rights, and Director General of Correction who have direct access to area of remission, registration and statistic, as well as inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
This research also revealed that informants feel that remission for those inmates has not in accordance with government Regulation Number 2812006. Remission and other treatments conducted by Director General of Correction for those special inmates are basically the same as with other inmates, which is based on Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights and Presidential Decree Number 174/1999 about Remission.
Therefore it is recommended that the government should do through examination to clarify Government regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements to give assurance to Director General of Correction, Regional Officer of Law and Human Rights and Correctional Institutional in granting remission for inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
"
2007
T20838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sostenes Godgonang
"Penelitian tentang pengawasan pemberian remisi terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Paledang Bogor terdiri dari 1 (satu) masalah pokok yaitu ketidak jelasan batasan ukuran atau kriteria pelaksanaan pemberian remisi dan pengawasan oleh Lembaga pengawasan dalam Sistem Pemasyarakatan. Dari masalah pokok tersebut dirumuskan 3 (tiga) pertanyaan permasalahan yaitu : (1) bagaimana jaminan hak narapidana tentang remisi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia; (2) bagaimana pelaksanaan pemberian remisi dan pengawasannya dalam sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan; (3) apa yang menjadi faktor penghambat serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.
Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif yakni mencari data-data akan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab serta tujuan dari Lembaga Pengawasan diadakan sesuai dengan Undang-Undang kemudian diteliti implementasinya di lapangan serta dikaitkan pola pemberian remisi yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dari data yang ada kemudian dianalisis secara deskriptif analistis untuk memberikan gambaran mengenai tugas-tugas dan tanggung jawab secara lengkap dan menyeluruh serta dapat memberikan jawaban permasalahan yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana mengalami pergeseran baik dari pengertian, kriteria maupun tujuannya. Menurut ketentuan, remisi aslinya adalah hak narapidana, bergeser menjadi semacam hadiah yang diberikan oleh pemerintah, dan terakhir bergeser menjadi ajang/arena jual beli kepentingan.Akibat pergeseran tersebut, terjadi pengaburan terhadap aturan-aturan hukum pemberian remisi yang secara otomatis berdampak pada pengawasannya. Tiga lembaga pengawasan yang dibentuk oleh Undang-Undang yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat, Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan sama sekali belum dapat berfungsi secara optimal. Ketidak jelasanb aturan pemberian remisi dan lemahnya fungsi pengawasan adalah sebagai akibat tidakb konsistennya pengaturan lembaga pengawasan dalam Undang-Undang yang mengatur secara umum, seperti di KUHAP maupun Undang-Undang khusus Pemasyarakatan, tidak mandirinya kelembagaan pengawasan maupun lembaga pemasyarakatan yang ada, kelebihan penghuni Lapas yang melampaui ambang batas toleransi menyebabkan kepanikan sehingga pemberian remisi dijadikan alat kepentingan pemerintah, dan tidak diteruskannya (dimatikan) program Lembaga Hakim Wasmat secara sistematis melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

The study on the monitoring of giving remission upon the convicts in Class IIA Paledang Bogor Penitentiary Facility consists of one substantial issue namely the unclear of the limitation of parameter or criteria used in the giving of remission and the monitoring by the monitoring body in penitentiary system. There are three issues derived from the one substantial issue which are namely: First is how to guarantee the convict?s rights of remission in criminal justice system in Indonesia. Second is how to implement the giving of remission and its monitoring in penitentiary system in penitentiary facility? Last but not least is what the constraining factors are and how to overcome them.
The method of the study is normative Juridical which seeks data of the tasks and responsibilities as well as the objectives of the monitoring body in accordance with domestic Laws, then study its implementation in practice and relates it with the pattern of the giving of remission implemented in penitentiary facilities. From that data, the study descriptively analyses to give a thoroughly picture of tasks and responsibilities of the body as well as o answer the issues studied. The result of the study shows that the implementation of the giving of remission upon the convicts deviates from time to time. The deviation includes its definition, criteria or objectives as well. In accordance with laws, originally, remission is the convict?s rights now is likely a gift given the government and finally becomes an arena of transaction of people's interests.
In results, there is an uncertainty of the regulations of the giving of remission which automatically influences to its monitoring. There are three monitoring powers assigned by laws which are the monitoring and controlling judges, the Office of the consideration of penitentiary and the Team of monitoring observer. The Three are unable to function optimally. The uncertainty of regulations of the giving of remission and the weak function of the monitoring body is the result of the inconsistency regulation of the monitoring body. There are a numbers of issues relate to the matter such as namely: the inconsistency of the Criminal Law Procedures with the special law on Penitentiary, the non-independent of the Monitoring Body and Penitentiary Authority, the over-populated convicts live in penitentiary facilities, the giving of remission is used as a tool for government and the inactive of the institution of monitoring and controlling judges through the Law Number 12 the Year of 1995.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28680
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kelly Manthovani
"Sistem kepenjaraan telah bertransformasi menjadi sistem pemasyarakatan yang menjadikan narapidana sebagai subjek dalam pemidanaan. Sebagai subjek ia memiliki hak dan kewajiban, salah satu haknya adalah menerima pengurangan masa hukuman atau remisi, namun hak ini bukanlah hak yang otomatis dapat diperoleh karena memiliki syarat-syarat tertentu.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan telah menambah syarat remisi bagi narapidana kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), yaitu korupsi, narkotika-prekursor narkotika, psikotropika, terorisme, kejahatan keamanan negara dan kejahatan HAM berat lainnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Penelitian ini menunjukkan adanya penambahan syarat remisi bagi narapidana tindak pidana luar biasa tersebut dilakukan guna memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal ini mengingat sebelum peraturan pemerintah a quo ini terbit, pemberian remisi cenderung mencerminkan ketidakadilan, terutama apabila melihat keistimewaan pemberian remisi kepada narapidana kejahatan luar biasa, dan hal tersebut menyebabkan pesan penegakan hukum tidak sampai kepada narapidana dan masyarakat.

The punishment system has been transformed into a correctional system that makes inmates as subject in a criminal prosecution. As the subject, they have rights and obligations. One of the rights is to receive a sentence reduction or a remission, but this is not a right which is automatically obtained because it needs certain requirements.
The Government Regulation No. 99 of 2012 concerning the Second Amendment to Government Regulation No. 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Citizens Rights Patronage of Corrections has added some requirements for inmates of extraordinary crime in order to get remission, those are consists of inmate who are accused of corruption, narcotics-precursors of narcotics, psychotropic substances, terrorism, state security crimes and other serious human rights violations. This study uses a qualitative method.
This research shows that the additional of remission requirement for inmates of extraordinary crime were supposed to give a sense of justice to the people. In this regard, before this government regulation is published, the remissions tend to reflect unfairness, especially when granted to the prisoners of extraordinary crime, so that makes the society and inmates did not truly get the message of law enforcement."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhud Prabowo Mukti
"Penelitian ini menganalisis pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana Tindak Pidana Khusus. Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai hak-hak narapidana dan syarat pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut tentang itu dalam PP. Pelaksanaan hak-hak narapidana berupa remisi dan pembebasan bersyarat diatur lebih lanjut dalam PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi. kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisir, yang diklasifikasikan dalam PP ini sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan tujuan sistem Sistem Pemasyarakatan, dan pengaturan tersebut berbeda materi muatan dengan peraturan diatasnya yaitu UU No. 12 Tahun 1995 yang tidak membedakan pemberian remisis dan pembesan bersyarat antara narapidana tindak pidana umum dan tidak pidana khusus. Perbedaan perlakuan dalam PP No. 99 Tahun 2012 terhadap narapidana tindak pidana khusus atas haknya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat atas dasar untuk memenuhi keadilan masyarakat adalah bentuk diskriminasi. Temuan penulis adalah, pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kurang menekankan pada pembinaan yang merupakan program lembaga pemasyarakatan, sehingga pengetatan pemberian remisis dan pembebasan bersyarat lebih kepada pembalasan dendam kepada warga binaan pemasyarakat (WBP) dengan kasus extra ordinary crime. Kedua, adalah adanya upaya penghukuman terhadap narapidana oleh pemerintah, dan ketiga, adalah adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap WBP dengan kasus extra ordinary crime yang keseluruhan nilai yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 tersebut adalah telah melanggar asas-asas Pemasyarakatan, Hak Asasi Manusia dan tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang lebih tinggi diatasnya.

This study analyzes the granting of remission and parole for inmates Special Crimes . Article 14 paragraph ( 1 ) of Act Number 12 of 1995 concerning Corrections governing the rights of prisoners and conditions of exercise of prisoners delegate more about the settings in government regulations . Implementation of the rights of prisoners in the form of remission and parole further stipulated in Regulation No.99 of 2012 on the Second Amendment Governemnt Regulations Number 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Implementation of the Rights of prisoners were set tightening granting remission and parole for inmates terrorism , narcotics , corruption. serious crimes and transnational organized crime , which is classified as a crime in this Government Regulations extraordinary ( extraordinary crime ) . Such arrangements are not in line with the objective system Correctional System , and the different settings substance of the rules above , namely Law No. 12 of 1995 which does not distinguish granting conditional remisis pembesan between inmates and the general crime and criminal not special . Differences in the treatment of Government Regulation 99 of 2012, to convict a criminal act specifically on the right to get remission and parole on the basis to meet the community justice is a form of discrimination . The findings of the authors is , first , the Government Regulation No. 99 of 2012 is less emphasis on the development of a program of correctional institutions , thus tightening granting parole remisis and more to revenge the correctional prisoners in the case of extraordinary crime . Second , is the effort punishment of prisoners by the government , and the third , is the existence of a form of discrimination against prisoners with extraordinary crime cases that the overall value contained in the Government Decree 99 of 2012 is to have violated the principles of Corrections , Human Rights and of course it is not in accordance with the principles of the formation of legislation that higher regulations thereon ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Zulvina
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh pengungkapan anti-korupsi terhadap nilai perusahaan dan menganalisis peran direktur utama (CEO) dan direktur keuangan (CFO) wanita sebagai variabel pemoderasi dalam memperkuat pengaruh tersebut. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 302 perusahaan pada lima sektor yang terindikasi rawan korupsi berdasarkan literature, yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan menerbitkan laporan tahunan periode 2016-2017. Penelitian ini merupakan penelitian empiris kuantitatif menggunakan regresi panel. Hasil penelitian membuktikan bahwa kehadiran wanita sebagai direktur utama berpengaruh positif terhadap pengungkapan anti-korupsi, sementara keberadaan wanita sebagai direktur keuangan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan anti-korupsi perusahaan. Hasil juga menunjukkan bahwa pengungkapan anti-korupsi berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Direktur utama dan direktur keuangan wanita ditemukan tidak dapat memperkuat pengaruh positif pengungkapan anti-korupsi terhadap nilai perusahaan.

This study aims to empirically examine the effect of anti-corruption disclosures on firm value and investigates the role of female as Presiden Directors (CEOs) and Financial Directors (CFOs) as a moderating variable in strengthening that influence. The sample used in this study was 302 companies in the five selected sectors (mining, building construction, transportation, communication and manufacturing) which are listed on the Indonesia Stock Exchange and published annual reports for the period 2016-2017. This research is a quantitative empirical research using the panel regression. The results of the study show that the presence of women as Presiden Directors (CEOs) has a positive effect on anti-corruption disclosures, while the presence of women as Financial Directors (CFOs) does not affect the corporate anti-corruption disclosure. The results also show that anti-corruption disclosure has a negative effect on firm value. Female CEOs and CFOs are found to be unable to strengthen the positive effect of anti-corruption disclosures on firm value."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T52829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahul Jannah
"Tesis ini disusun guna menganalisis dampak dari keberadaan koneksi politik pada perusahaan terhadap aktivitas pengungkapan anti-korupsi melalui penyampaian laporan aktivitas anti-korupsi di Indonesia, dengan pemanfaatan variabel pemoderasi gender wanita di jajaran direksi selama periode tahun 2015-2017 pada perusahaan-perusahaan non-finansial yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penyusunan teori mengenai dampak dari keberadaan koneksi politik yang dimiliki oleh suatu perusahaan dengan pengungkapan anti-korupsi, serta pengaruh dari gender wanita pada komposisi jajaran direksi di Perusahaan terhadap tingkat pengungkapan anti-korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisa terhadap data-data laporan keuangan beserta disclosure-nya dari setiap perusahaan non-finansial yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, pengumpulan data-data profil pemangku kepentingan di Perusahaan yang terdiri dari status jabatan dan profil koneksi politik yang dimiliki oleh para pemangku kepentingan. Pada penelitian ini juga dilakukan identifikasi data-data terkait dengan jajaran direksi perusahaan yang terdiri dari data status jabatan dan status gender dari para anggota direksi perusahaan. Atas data-data laporan perusahaan dan disclosure-nya tersebut dilakukan penyusunan indeks anti-korupsi perusahaan yang terdiri dari 7 kategori indeks dengan total 43 sub-kategori indeks pengungkapan anti-korupsi, untuk digunakan dalam analisis regresi dan estimasi korelasi hubungan dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari keberadaan koneksi politik yang dimiliki perusahaan terhadap pengungkapan anti-korupsi, serta pengaruh dari keberadaan gender wanita di jajaran direksi terhadap hubungan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan koneksi politik yang dimiliki oleh CEO berdampak negatif terhadap pengungkapan anti-korupsi pada perusahaan non-finansial di Indonesia selama periode tahun 2015-2017. Pada hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa meskipun keberadaan gender wanita pada jajaran direksi perusahaan tidak secara langsung berdampak pada pengungkapan anti-korupsi, namun apabila keberadaan gender wanita ditempatkan dalam posisi sebagai pemberi pengaruh bagi keberadaan koneksi politik di perusahaan, maka CFO dengan gender wanita di perusahaan mampu yang memperlemah dampak dari keberadaan koneksi politik terhadap penyampaian laporan aktivitas anti-korupsi di perusahaan.

This thesis analyzed the impact from political connections existence to anti-corruption disclosure activities through the submission of anti-corruption reports from non-financial companies which were listed on the Indonesia Stock Exchange during the 2015-207 period, by considering also female gender in board as moderating variable in the study. The research was expected to give contribution to the theory developments related to the impact from political connections existence to anti-corruption disclosure activities, as well as the influence of female gender on board on the level of anti-corruption disclosure. Study methodology used were data analysis of financial statement (include its discosure statements) from all the non-financial companies listed on the Indonesia Stock Exchange, data collection of shareholders, independent commissioners, and CEO regarding to their positions status and their political connection profiles. Another study methodology used were identification of board of director data which consisted of boards position status and boards gender status. With regards to data analysis of financial statements (include its discosure statements), a company anti-corruption index was developed, which consists of 7 categories and a total of 43 anti-corruption sub-categories index. The index were used in regression analysis and correlation estimation to find the impact from political connections existence to anti-corruption disclosure activities, as well as the influence of female gender on board on the impact from political connections existence to anti-corruption index. The results of this study indicate that the existence of political connections owned by the CEO has a negative impact on the disclosure of anti-corruption in non-financial companies in Indonesia during the period 2015-2017. This study also found that the presence of female gender in the board did not directly affect the disclosure of anti-corruption. However, should the presence of female gender was placed as an influencer for the political connections existence in the company, the study could found that the CFO with female gender were able to diminished the impact from the existence of political connections to anti-corruption disclosure in the company."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumaryati
"Indonesia meraih skorIndeks Persepsi Korupsi40dari maksimal 100 dan berada pada urutan ke-85dari 180 negara yang disurveipada tahun 2019. Salah satu upaya meningkatkanskor indeks tersebutadalah dengan melakukan pencegahan korupsi, antara lain melaluiPendidikan Antikorupsi(PAK). Pendidikan Anti korupsi memiliki peranstrategis dalam pencegahan korupsi, sehingga perlu dilakukan upaya penguatannya. Artikel ini mengkajipenguatan Pendidikan Antikorupsidari perspektif esensialisme, yaitu peninjauan materi secara berkalaoleh semua pemangku kepentingan, penguatan konsep dan metodologi,perumusan hierarkhi nilai-nilai, penguatan sinergi catur pusat pendidikan, perumusan bidang keilmuan, dan reformasi budaya masyarakat. Kesimpulannya adalah KPK bersama stakeholder harus melakukan kajian materi Pendidikan Antikorupsi secara berkala; merekomendasikan keilmuannyakepada Kementrian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi Indonesia sebagai implementasinyadi Perguruan Tinggi; dan setiap lembaga pendidikan memperkuat dengan Gerakan Literasi Antikorupsi dan/atau pembentukan ekstrakurikuler Komunitas Pelajar Antikorupsi"
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2020
364 INTG 6:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>