Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18540 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karl Anderbeck
"Southeast Asia is home to many distinct groups of sea nomads, some of which
are known collectively as Orang (Suku) Laut. Those located between Sumatra and
the Malay Peninsula are all Malayic-speaking. Information about their speech is
paltry and scattered; while starting points are provided in publications such as
Skeat and Blagden (1906), Kähler (1946a, b, 1960), Sopher (1977: 178?180), Kadir
et al. (1986), Stokhof (1987), and Collins (1988, 1995), a comprehensive account
and description of Malayic Sea Tribe lects has not been provided to date. This
study brings together disparate sources, including a bit of original research, to
sketch a unified linguistic picture and point the way for further investigation.
While much is still unknown, this paper demonstrates relationships within and
between individual Sea Tribe varieties and neighbouring canonical Malay lects.
It is proposed that Sea Tribe lects can be assigned to four groupings: Kedah, Riau
Islands, Duano, and Sekak."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Honolulu: East-West Culture Learning Institute, 1980
306.4 RES
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"bawean merupakan pulau kecil di wilayah Jawa Timur yang penduduknya berasal dari berbagai etnik , seperti Madura, Palembang, Jawa dan Bugis. Budaya Bawean adalah campuran dari budaya penduduk yang ada di Pulau Bawean...."
PATRA 10(1-2) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Kustiaty
"ABSTRAK
Benedict mengatakan bahwa kebudayaan Barat menekankan "dose", sedangkan kebudayaan Jepang adalah kebudayaan yang menekankan "malu". "Halu" (dalam bahasa Jepang disebut "haji"), adalah reaksi atas kritik atau pandangan orang lain, dalam masyarakat Jepang menjadi suatu pertimbangan penting dalam menata pola kelakuan { Benedict, 1948:104-106).
Sakuta yang mengkritik pandangan Benedict tentang "haji no bunka" atau kebudayaan "malu" Jepang mengatakan bahwa sebenarnya malu bagi orang Jepang atau "haji" tidak hanya disebabkan oleh adanya kritik orang lain saja, melainkan berasal dari adanya perhatian yang khusus dari orang lain, tidak peduli apakah berupa kritikan ataupun pujian. Apabila orang Jepang dalam posisi diperhatikan maka akan "hajiru" atau merasa malu. (Sakuta Koichi, 1972, 200-207). Dikatakannya bahwa Benedict hanya melihat malu orang Jepang dari satu sisi saja, yaitu malu karena adanya tekanan atau kritik dari "kokai" atau umum yang disebut "kochi" atau malu umum. Adapun terhadap argumentasi Benedict yang menyimpulkan bahwa Kebudayaan Jepang adalah kebudayaan malu, Sakuta kurang puas, karena nenurutnya Benedict masih perlu menyusun suatu konsep malu yang lebih tepat untuk dapat mencakup bentuk gejala malu sebagai reaksi atas pujian. Hal ini disebabkan karena orang Jepang akan merasa malu bukan hanya ketika mandapat kritikan dari orang lain melainkan "wareware wo hajisaseru no wa isshuu tokubetsu no tsushi de aru" , yang berarti bahwa, "yang menimbulkan rasa malu itu adalah adanya perhatian khusus". Demikian menurut Sakuta, sehingga apa yang dikemukakan Benedict dianggap belum tentu dapat menjawab atau menerangkan berbagai bentuk gejala malu yang ditampilkan orang Jepang. Selanjutnya Sakuta mengatakan bahwa ada 2 kriteria "haji" yaitu "kochi" atau "main publik" yang timbul karena kehadiran orang lain dan "shuchi" atau "malu pribadi" muncul dari diri sendiri, yang disebabkan karena keadaan lingkungannya, atau .dalam kedudukannya bila dibandingkan dengan orang lain, walaupun sebenarnya belum tentu hal tersebut dianggap "haji" oleh orang lain (shikono kui chigai). (Sakuta Koichi, 1972; 296). "
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pelawi, Kencana S.
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S7383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Renariah
"Berdasarkan hasil sensus penduduk dunia tahun 1995, diperoleh data bahwa harapan hidup terpanjang di dunia dicapai oleh bangsa jepang, dengan rata-rata umur lansia untuk laki-Maki mencapai 76 tahun dan perempuan mencapai 82 tahun. Salah sate contohnya adalah Shigechiyo Izumi berhasil mencapai umur 120 tahun. Sementara harapan hidup bangsa lain seperti Swiss rata-rata hanya mencapai 74 tahun untuk laki-laid daze 80 tahun untuk perempuan, sedangkan Amerika hanya mencapai 72 tahun untuk laki-laki dan 79 tahun untuk perempuan (Kosei hakusho = buku putih mengenai kesehatan dan kesejahteraan, 1995 : 127).
Selanjuthya kalau kita amati data hasil sensus penduduk prefektur Miyagi tahun 1998, data tersebut menunjukkan bahwa setiap tahun orang jepang berusia lanjut bertambah dalam jumlah yang cukup besar, yaitu jumlah penduduk pada tahun 1996 berjumlah 352.449 orang, sedangkan pada tahun 1997 jumlahnya naik menjadi 367210 orang, berarti dalam kurun waktu satu tahun penambahannya mencapai 14.761 orang (Laporan tahunan sensus penduduk prefektur Miyagi, 1998). Dari selisih jumlah tersebut menunjukkan bahwa usia lanjut dapat diraih dan dipertahankan melalui pembinaan kesehatan yang baik.
Dunn (1976: 135) mengemukakan bahwa upaya pembinaan kesehatan ataupun penyembuhan diri dari suatu penyakit merupakan bagian dari kebudayaan setiap masyarakat tertentu. Betapapun sederhananya suatu masyarakat, mereka pasti memiliki cara tersendiri yang sesuai dengan tradisi-tradisi budaya yang rnencakup pengetahuan yang mereka miliki sebagai pedoman yang dipakai untuk membina kesehatan.
Iitsutae adalah salah satu bentuk tradisi lisan, yang disampaikan secara turun temurun sejak dahulu kala, yang merupakan salah satu model pengetahuan orang Jepang yang secara selektif dipergunakan oleh orang Jepang khususnya di prefektur Miyagi sebagai pendukungnya. Model pengetahuan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan mereka, yang mereka pergunakan sebagai pedoman untuk bertindak, dalam hal ini adalah pedoman dan sebagai acuan untuk membina kesehatan bahkan mengobati penyakit?"
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyanto Widodo
"Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Kota Madya Surakarta, Jawa Tengah. Penelitian sosiolinguistik yang metode pemerolehan datanya terutama menggunakan metode penelitian kuantitatif dipadukan dengan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif dimanfaatkan manakala metode kuantitatif kurang meyakinkan dengan harapan memperoleh hasil penelitian yang benar-benar sahih. Penelitian bahasa dengan ancangan sosiologi ini menerapkan analisis ranah. Penelitian hanya difokuskan pada ranah keluarga.
Responden yang berhasil dijaring sebanyak 89 orang terdiri dari laki-laki 46 orang dan perempuan 43 orang, berusia antara 10--69 tahun. Semua responden adalah dwibahasawan, yaitu menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Di dalam rumah, baik ketika berbicara dengan orang tua, paman/bibi, saudara: baik kakak maupun adik, pembantu rumah tangga, dan ketika menemui tamunya, sebagian besar resoponden menggunakan bahasa Jawa, Selama pembicaraan berlangsung, mereka pun ditanggapi dengan menggunakan bahasa Jawa. Meskipun semua responden adalah dwibahasawan, selama berbincang-bincang menggunakan bahasa Jawa itu mereka hanya sedikit menyelingi dengan bahasa Indonesia. Selingan bahasa Indonesia banyak dilakukan oleh responden yang berusia muda. Semakin muda usianya semakin banyak selingan bahasa Indonesianya. lni berarti bahwa di dalam masyarakat Kota Madya Surakarta sudah mulai terjadi pergeseran penggunaan bahasa.
Penggunaan bahasa Jawa yang masih dominan di dalam ranah keluarga ini disebabkan oleh hubungan antarpeserta tutor yang masih dekat. Kedekatan hubungan ini menyebabkan penggunaan bahasa Jawa dianggap lebih akrab. Di samping itu, penggunaan bahasa Jawa dianggap lebih sopan dibandingkan penggunaan bahasa Indonesia bila yang diajak berbicara adalah kerabat dekat atau orang yang perlu dihormati."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuning M. Irsyam
"ABSTRAK
Menjelang akhir abad XIX, Hindia Belanda mengalami proses perubahan sosial yang sangat cepat akibat penetrasi kapitalisme. Perkebunan besar, perubahan aturan tenaga kerja, dan penyewaan tanah dari petani merupakan ciri umum dari proses ini, yang mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ekonomi komoditi menjadi dominan dan secara bertahap menggeser kegiatan ekonomi rakyat. Bagi pemilik modal asing, menanam modal di tanah jajahan bukan hanya memindahkan sebagian kekayaan di tanah jajahan. Dalam hal ini infrastruktur pendukung gerak modal menjadi elemen yang sangat penting.
Mendekati abad XX negara kolonial melakukan pembangunan secara besar-besaran: jalan raya, pelabuhan dan kantor-kantor dagang mulai dibangun, jaringan kereta api diperluas, bank-bank mulai tumbuh dan tentu saja ini akan berpengaruh pada dunia pendidikan dalam kaitan menyiapkan tenaga kerja yang akan menggerakkan semua perlengkapan yang tengah dibangun.
Penetrasi kapitalisme di Hindia Belanda membawa persoalan sosial yang laten, seperti adanya petani yang kehilangan tanah, konsentrasi alat-alat produksi di tangan tertentu, dan munculnya buruh upahan yang makin lama makin besar. Persoalan ini berkembang menjadi ketegangan di dalam masyarakat, dan pada abad XIX letupannya sudah bisa dilihat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan petani di seluruh Jawa. Ini adalah reaksi spontan dari rakyat yang langsung merasakan akibat-akibat dari perubahan ini. Ciri utama dari pemberontakan petani tersebut adalah gagasan yang dikembangkan dalam pemberontakan seperti Ratu Adil, Messianisme, Nativisme dan Milenarisme. Gagasan ini tentunya memiliki sejarah yang panjang dan tetap hidup dalam kerangka berpikir masyarakat pada abad XIX. Dalam hal ini pemerintah kolonial yang dilengkapi dengan tentara modern dan peralatan represif lainnya di satu pihak selalu berhasil menumpas dan mempertahankan kekuasaannya, namun di lain pihak mereka membiarkan persoalan sosial yang laten tersebut terus berkembang.
Perkembangan kapitalisme selanjutnya terus menerus mengubah hubungan-hubungan sosial produksi, dan menghadirkan dunia modern di tanah jajahan. Hindia Belanda "secara resmi" terlibat dalam dunia internasional, di mana bukan hanya modal yang mendesak masuk, tetapi juga gagasan-gagasan tentang dunia dan kehidupan modern. Pengaruhnya langsung terlihat pada bumiputra terpelajar, terutama bagi mereka yang menguasai bahasa Belanda. Gagasan-gagasan modern mulai dapat dibaca di suratkabar, novel, dan barang cetakan lainnya, dan tak lama sesudahnya mapan sebagai bagian dari kehidupan intelektual di tanah jajahan.
Secara umum penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan dan kedudukan bahasa Melayu pada Masa Pergerakan. Bagaimana hubungan bahasa dan politik pada masa Pergerakan merupakan salah satu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan lain yang juga ingin dicarikan jawabannya adalah bagaimana mereka (baca orang-orang pergerakan) mendefinisikan persoalan yang mereka hadapi; bagaimana mereka mendefinisikan posisi mereka sendiri dalam menghadapi persoalan tersebut dan bagaimana sebenarnya mereka mengoperasikan gagasan-gagasan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan politik pada waktu itu. Dengan kata lain bagaimana hubungan bahasa dan politik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, pertama untuk menjernihkan panggung politik pergerakan, yang di dalam penulisan sejarah yang ada masih sangat terbatas, dan menjadi sumber kekeliruan yang sangat besar. Penulisan sejarah pada umumnya hanya menguraikan secara rinci program dan ideologi tertentu dari sebuah organisasi dan mengamati perkembangannya secara mendalam, tapi kerap kali dilupakan bahwa penggolongan tokoh atau organisasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan "ideologi" dan program seringkali sulit untuk dipertahankan karena dalam pengungkapan program dan ideologi, mereka berhadapan dengan bahasa yang bukan hanya sekedar alat penyampai gagasan tetapi juga sesuatu yang membatasi ruang gerak pemakainya. Hedua, untuk memperkaya kepustakaan tentang masa pergerakan nasional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan politik di Indonesia pada awal abad 20. Dengan kata lain bagaimana sebenarnya orang-orang pergerakan mengoperasikan gagasannya melalui bahasa.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, dengan tekanan terhadap analisis perubahan, pergeseran, usaha pemurnian dan pertentangan bahasa yang sangat kompleks. Tekanannya tidak di letakkan pada untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceriterakan tokoh, organisasi atau peristiwa tertentu, tetapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical process). Peristiwa maupun tokoh dengan demikian hanya disinggung sejauh benar-benar memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses 'sejarah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa surat kabar merupakan senjata yang ampuh di kalangan pergerakan. Ungkapan pikiran yang berupa gagasan mereka tuangkan melalui suratkabar dengan menggunakan bahasa Melayu rendah. Bahasa Melayu rendah dengan cepat menyebar dalam dunia cetak mencetak dan menjadi bahasa yang umum dipakai di kalangan pergerakan, sebagai Bahasa Melayu Pergerakan. Melalui suratkabar, orang-orang pergerakan yang kini berpikir dalam kerangka "nasional" dapat berkomunikasi dengan "orang-orang senasib" yang tersebar di seluruh Hindia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa buta huruf bukan merupakan hambatan bagi satu komunitas untuk terlibat dalam pembicaraan politik.

ABSTRACT
Role and Status Malay Language on the Nationalist MovementToward the end of the XIXth century, the Netherlands East Indies experienced a rapid process of social changes because of capitalist penetration. The penetration resulted in latent social problems. For example, peasants' who have lost their land. This problem then raised tensions in the society as peasants' rebellions throughout Java. The principle character of the rebellions generated is the ideas in rebellion such as Messianism, Nativism and Millenarism. The Development of capitalism continued to change the social relations of production and presented a modern world in the colonial territory. This means the capital and also ideas about modern world and life urged to penetrate. It directly influenced the educated natives, especially those who speak Dutch. Modern ideas could be read in newspapers, novels and other publications. In the early XXth century, the educated natives moved their modern ideas through publications in Malay language and also by founding the first native organizations in the colonial territory.
This research links the role and position of Malay language to politics during the movements. Anterior researches were directed more to certain figures or influences of certain ideas such as nationalism, Islam, socialism and Marxism. The problem is how the relation between language and politics, and how was it generated to express nationalist ideas.
The result of this research could clarify the platform of political movement which has been elaborated limitedly in previous historiography. These previous which pays poor attention to language becomes the biggest source of misunderstanding. The result of the research can also enrich the literature about the period of national movement.
In this research, language is not considered only as a certain sound system, which is static and has basic standard, but as something that always moves and determined generally by the development of the society. It is not situated in the exterior of the society such as reflected in the concept of "society of language user" but in inside of the society's joints that gives great influence toward its development. In that position, political life becomes dependent to language progress. The only way for modern ideas to penetrate in a certain society is through language.
The aim of the research is to describe the relation between language and politics in Indonesia during the first half of the XXth century. It can thus explain how the nationalists were using it to express and expand their ideas. Data will be collected through a study of bibliography and interviews. It will then be analyzed by special and contextual analysis, in other terms, external and internal critics. The next step is to make a report based on the data which have been analyzed through a process of historical method. The method used in the writing of the report is the analytical descriptive method with an analytical stress on changes shifts, of a very complex effort of refining and contradicting languages.
The research go to show newspaper as effective idea in the national movement. They expressed the idea in the 'Lower' Malay langguage. The 'Lower' Malay langguage spreader out very fast in the printing world and became the language used among national movement as Bahasa Melayu Pergerakan. Through newspaper, national movement who later have national thinking "can communicate with" the people who have the same fate that spreaded out in all over Netherlands Indies. The research also go to show that illiterate not become a barrier for a community to get involved in political communication."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>