Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208050 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Binsar Nicolaidos
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi telah merubah pola perdagangan dari konvensional menjadi elektronik. Penetapan ABC Ltd. yang merupakan perusahan ekonomi digital menggunakan konsep dasar dan ketentuan perpajakan domestik serta P3B Indonesia ndash; Singapura yang masih mensyaratkan adanya kehadiran fisik dan penolakan ABC Ltd. memberikan ketidakpastian hukum bagi konsumen ABC Ltd. dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kegiatan bisnis ABC Ltd tidak menimbulkan adanya BUT di Indonesia dan terdapat kelemahan dalam ketentuan pajak domestik dan P3B Indonesia-Singapura mengenai definisi dan syarat adanya BUT untuk transaksi ekonomi digital. Solusi mengatasi kelemahan tersebut dapat dengan menciptakan pajak baru di luar pajak penghasilan seperti negara Inggris dan memasukan konsep BUT Virtual dalam ketentuan perpajakan domestik dan P3B Indonesia-Singapura.

ABSTRACT
The development of information technology has changed the pattern of trading from conventional to electronic. The designation of ABC Ltd. which is a digital economy enterprise using the basic concepts and provisions of domestic taxation as well as income tax treaty Indonesia Singapore which still requires the presence of physical and rejection from ABC Ltd.for providing a legal uncertainty for ABC Ltd. customers in implementing of tax obligations fulfillment. This study used a qualitative approaching through in depth interviews and documentation. The result of this study shows that the business activity of ABC Ltd. does not result in a permanent establishment in Indonesia and there are weaknesses in the provisions of the domestic tax and income tax treaty of Indonesia Singapore on the definition and the terms of permanent establishment for digital economic transactions. The solution for this weakness can be resolved by creating a new taxes regulation outside of income tax such as the UK and incorporating a virtual permanent establishment concept in domestic taxation and income tax treaty Indonesia Singapore."
2017
T47882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gloritho Latuny
"Umumnya perencanaan pajak merujuk pada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Upaya tersebut disebut sebagai penghindaran pajak tax avoidance. Pemerintah telah berupaya dalam mengatasi masalah penghindaran pajak yaitu dengan adanya pasal-pasal yang bertujuan sebagai pencegahan penghindaran pajak yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan UU PPh, namun peraturan ini hanya dapat diterapkan pada transaksi tertentu yang bersifat khusus atau spesifik saja Specific Anti Avoidance Rule/SAAR, sehingga belum mampu sepenuhnya menyelesaikan masalah penghindaran pajak karena ketiadaan peraturan mengenai Peraturan Umum Anti Penghindaran Pajak General Anti Avoidance Rule/GAAR yang hingga saat ini belum dapat dikeluarkan oleh pemerintah. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang menghasilkan kajian preskriptif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa Indonesia perlu membuat Peraturan Umum Pencegahan Penghindaran Pajak atau General Anti Avoidance Rule GAAR yang terintegrasi dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, yang memberikan definisi mengenai tax avoidance, acceptable tax avoidance, unacceptable tax avoidance, dan tax evasion demi mencapai kepastian hukum bagi fiskus dan Wajib Pajak, karena tax avoidance sering disalahgunakan untuk hal-hal yang merugikan penerimaan negara.

Generally, the tax planning refers to the process of business implementation planned and Tax Payer transaction, that the tax debt is in minimal amounts, but still in the tax regulations frame. That efforts is frequently called ldquo tax avoidance rdquo . The government has sought to tackle the problem of tax avoidance in Indonesia, with provisions aimed at the anti tax avoidance in the Law No. 36 Year 2008 on Fourth Amendment on Law Number 7 of 1983 on Tax income Income Tax Act, but this provision can be applied to certain transactions that are special or specific course Specific Anti Avoidance Rule SAAR , so it has not been able to completely solve the problem of tax avoidance in the absence of regulations on the General Anti Avoidance Tax Rules General Anti Avoidance Rule GAAR, which until now have not been able to be issued by the government. This research is a normative study which results a prescriptive study.
The results of the study suggest that Indonesia needs to General Anti Avoidance Rule GAAR integrated in the Law of Income Tax, which provide a definition of tax avoidance, acceptable tax avoidance, unacceptable tax avoidance and tax evasion in order to achieve certainty law for the tax authorities and the taxpayer, for tax avoidance often missued things that are detrimental to the state revenue.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salmona Lucia Sutanto
"[Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan memanfaatkan negara tax haven. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis kebijakan dan implementasi kebijakan itu sendiri dalam rangka menanggulangi penghindaran pajak tersebut dan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memperoleh pemahaman mengenai permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan Anti Tax Avoidance di Indonesia belum sepenuhnya dapat menanggulangi penghindaran pajak dengan pemanfaatan negara tax haven. Beberapa alternatif kebijakan yang direkomendasikan antara lain: revisi kebijakan Anti Tax Avoidance, pengertian tax avoidance, pencetusan General Anti Avoidance Rules;The purpose of this research is to the practice of tax avoidance by multinational companies to take advantage of tax haven countries. In addition, this study also aims to analyze the policy and implementation of the policy itself in order to tackle tax avoidance and the efforts which have been made by the Directorate General of Taxation. This study used a qualitative approach to gain an understanding of the issues raised. These results indicate that the policy of the Anti Tax Avoidance in Indonesia have not been fully able to cope with the utilization of tax avoidance with tax haven countries. Several policy alternatives are recommended, among others: Anti Tax Avoidance policy revision, the notion of tax avoidance, and establishment of General Anti Avoidance Rules, The purpose of this research is to the practice of tax avoidance by multinational companies to take advantage of tax haven countries. In addition, this study also aims to analyze the policy and implementation of the policy itself in order to tackle tax avoidance and the efforts which have been made by the Directorate General of Taxation. This study used a qualitative approach to gain an understanding of the issues raised. These results indicate that the policy of the Anti Tax Avoidance in Indonesia have not been fully able to cope with the utilization of tax avoidance with tax haven countries. Several policy alternatives are recommended, among others: Anti Tax Avoidance policy revision, the notion of tax avoidance, and establishment of General Anti Avoidance Rules]"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Justine Ceasarea Hasanudin
"Konsep nexus baru yang dicetuskan pada BEPS Action Plan 1 dikenal dengan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence) yang mengilhami adanya kebijakan baru yang bersifat unilateral demi menjawab tantangan ekonomi digital. India memperkenalkan equalization levy sebagai kebijakan unilateral untuk memajaki transaksi pada ekonomi digital atas jasa periklanan digital yang diberikan oleh non-residen India ke residen pajak India. Selain itu, Inggris juga menerapkan hal serupa dengan memperkenalkan Digital Service Tax untuk memajaki atas transaksi pada layanan dan pembelian produk oleh pelaku industri Digital. Dilanjutkan dengan dicetuskannya rancangan Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solutions) dalam hal ini Pilar 1 (satu) sebagai realisasi aksi 1 di tahun 2021 yang berasal dari kesepakatan negara-negara dalam konsensus global yang dilakukan oleh para negara OECD inclusive framework dan negara G20 sebagai kebijakan multilateral hingga saat ini masih tidak ada kepastian dalam penerapannya. Mengacu pada hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan skema perpajakan yang digunakan oleh India dan Inggris dan menganalisis peluang Indonesia dalam menerapkan kebijakan unilateral atas ekonomi digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta teknik analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil studi kepustakaan dan wawancara mendalam terhadap beberapa informan dijelaskan skema perpajakan atas ekonomi digital yang diterapkan di India dan Inggris. Indonesia juga berpeluang menerapkan kebijakan unilateral tersebut walaupun terdapat faktor penghambat yang berasal dari komitmen atas penerapan Pilar 1 yang tidak memiliki kepastian saat penerapannya, potensi ancaman perang dagang oleh Amerika Serikat dari penerapan kebijakan unilateral dan biaya kepatuhan pajak yang tinggi mempengaruhi ekonomi dari kenaikan harga atas barang dan/atau layanan pada ekonomi digital di negara sumber penghasilan serta tingginya biaya kepatuhan pajak dan pajak berganda yang muncul bagi para pelaku ekonomi digital asing yang berasal dari penerapan kebijakan unilateral yang dilakukan oleh India dan Inggris. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah skema perpajakan unilateral India dan Inggris mengikuti konsep kehadiran ekonomi signifikan dan Indonesia memiliki peluang dalam menerapkan kebijakan unilateral walaupun terdapat beberapa faktor penghambat sebagaimana telah dijelaskan. Pada penelitian ini penulis menyarankan mempertimbangkan informasi dari skema perpajakan yang diterapkan oleh India dan Inggris serta mempertimbangkan pembentukan kebijakan unilateral atas ekonomi digital yang terstruktur dari perundangan-undangan dan peraturan teknisnya dengan jelas dan belajar dari permasalahan yang ditemukan di Inggris dan India.

The new nexus concept introduced in BEPS Action Plan 1 is known as significant economic presence, which has inspired new unilateral policies to address the challenges of the digital economy. India introduced the equalization levy as a unilateral policy to tax transactions in the digital economy for digital advertising services provided by non-Indian residents to Indian tax residents. Similarly, the United Kingdom implemented a Digital Service Tax to tax transactions involving services and product purchases by digital industry players. This was followed by the introduction of the Two-Pillar Solutions draft, specifically Pillar 1, as the realization of Action 1 in 2021, based on agreements within the global consensus reached by OECD inclusive framework countries and G20 countries. However, there remains uncertainty in its implementation as a multilateral policy. Given this context, this study aims to describe the taxation schemes used by India and the United Kingdom and to analyze the potential for Indonesia to implement unilateral policies on the digital economy. This research employs a qualitative approach and qualitative data analysis techniques. Based on literature studies and in-depth interviews with several informants, the study explains the taxation schemes on the digital economy implemented in India and the United Kingdom. Indonesia also has the potential to implement such unilateral policies, although there are hindering factors stemming from the commitment to implementing Pillar 1, which lacks certainty in its application, potential trade war threats from the United States due to the implementation of unilateral policies, and high tax compliance costs affecting the economy through increased prices of goods and/or services in the digital economy in the source country, as well as high tax compliance costs and double taxation issues for foreign digital economy players due to the unilateral policies applied by India and the United Kingdom. Therefore, the conclusion of this study is that the unilateral taxation schemes of India and the United Kingdom follow the concept of significant economic presence, and Indonesia has the potential to implement unilateral policies despite several hindering factors as previously mentioned. In this study, the author suggests considering the information from the taxation schemes implemented by India and the United Kingdom, and considering the formation of a structured unilateral policy on the digital economy through clear legislation and technical regulations, while learning from the issues found in the United Kingdom and India."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marion Mutiara Matauch
"Menjelang 100 tahun kemerdekaan negara ini, nyatanya banyak penyelesaian permasalahan hukum yang masih berpedoman pada produk legislasi era Pemerintahan Hindia Belanda seperti Herzienne Indonesisch Reglement (HIR)–S. 1941 No. 44 dan Rechtsreglement Buitengeweten (RBg)–S. 1927 No. 277 yang masih dianggap berlaku. Salah satunya adalah Pasal 118 HIR yang tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan penyelesaian perkaranya kepada orang lain. Alhasil, pasal tersebut menjadi sebuah alasan bagi hakim-hakim di pengadilan untuk menolak gugatan yang memintakan agar pihak lawan menanggung ganti kerugian berupa biaya honorarium advokat yang telah dikeluarkan. Padahal dengan dapat dipulihkannya baya honorarium advokat melalui mekanisme ganti kerugian, maka diharapkan kedepannya fenomena gugatan sembrono (vexatious litigation) akan menurun dikemudian hari. Alasannya karena penggugat akan lebih mempertimbangkan langkahnya sebelum mengajukan gugatan, sebab dia kemungkinan akan menanggung biaya honorarium advokat pihak lawannya sebagai kerugian apabila gugatan tersebut terbukti sebagai gugatan sembrono (vexatious litigation). Pemulihan biaya honorarium advokat di Inggris sendiri sudah lebih lama berlaku melalui doktrin pengalihan biaya (cost shifting), atau pecundang membayar (loser pays), atau follow the event. Secara umum prinsip tersebut mewajibkan pihak yang gagal memenangkan perkara untuk membayar biaya pihak yang memenangkan perkara. Prinsip tersebut juga telah memperoleh payung hukum berupa Hukum Acara Perdata (Civil Procedure Rules) (CPR) tahun 1998, (Costs Practice Direction atau CPD), Civil Supreme Court Practice (SCP) atau Rule of the Supreme Court (RSC). Melihat dari perbandingan pengaturan pengalihan biaya honorarium advokat dengan Inggris dapat menghantarkan kita pada sebuah pandangan bahwa pemikiran atau pandangan hukum progresif dalam penggunaan konsep kerugian tampaknya belum sepenuhnya melandasi pembentukan hukum di Indonesia

Approaching the 100th anniversary of this country's independence, many legal dispute resolutions are still to this day guided by legislative products from the Dutch East Indies era such as the Herzienne Indonesisch Regulation (HIR)–S. 1941 No. 44 and Rechtsreglement Buitengeweten (RBg)–S. 1927 No. 277. One of such archaic regulations can be found on Article 118 HIR which does not oblige the parties to be represented in the settlement of their cases by an advocate, which is still in power. As a result, the article becomes an excuse for the judges at the court to reject a lawsuit requesting that the opposing party bear compensation in the form of an attorney's fee that has been issued. With the restoration of an advocate's honorarium through a compensation mechanism, it is hoped that in the future the phenomenon of reckless litigation will decrease significantly. This should cause the plaintiff to be more considerate before filing in a lawsuit, because he is likely to bear the cost of the opposing party's advocate’s honorarium as a loss if the lawsuit is proven to be a reckless lawsuit (vexatious litigation). The recovery of advocate’s honorarium in England itself has been in effect for a long time through the doctrine of cost shifting, or loser pays, or follow the event principle. In general, this principle obliges the party who fails to win the case to pay the costs of the party who won the case. This principle has also obtained a legal umbrella in the form of Civil Procedure Rules (CPR) of 1998, (Costs Practice Direction or CPD), Civil Supreme Court Practice (SCP) or Rule of the Supreme Court (RSC). Judging from the comparison of the regulation of the recovery of the cost of an advocate’s honorarium with the UK, it can lead us to a view that progressive legal ideas or views in the use of the concept of loss do not seem to fully underlie the formation of law in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Afianti Fajriyan
"Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap key informant.Penelitian ini menghasilkan tiga hasil penelitian. Pertama, terdapat beberapa kelemahan pada CFC rules Indonesia antara lain terbatasnya definisi kontrol, tidak adanya definisi low tax juridiction, tidak terdapat ketentuan penghitungan besar dividen. Kedua, terdapat beberapa perbedaan ketentuan CFC Indonesia dengan Tiongkok antara lain tentang definisi kontrol, definisi low tax juridiction, pengecualian penerapan CFC rules. Ketiga, terdapat beberapa rekomendasi OECD yang dapat dilakukan pertimbangan adopsi antara lain perluasan definisi kontrol, pembuatan ketentuan tentang low tax juridiction dan penghitungan atribusi CFC berdasarkan persentase dan periode kepemilikan.

This research uses qualitative approach. Data were collected through in depth interviews of key informants. This study yields three research results. First, there are some weaknesses in CFC rules of Indonesia such as limited definition of control, there is no definition of low tax juridiction, there is no provision of large dividend calculation. Secondly, there are some differences between CFC rules in Indonesia and Tiongkok such as definition of control, definition of low tax juridiction, exemption of CFC rules implementation. Third, there are some OECD recommendations that can be taken into consideration of adoption such as the expansion of the definition of control, the preparation of low tax juridiction and the calculation of CFC attribution based on the percentage and period of ownership.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2017
T48729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Ratu Pietraya Sari
"Semakin majunya perekonomian dunia membuat transaksi lintas negara menjadi semakin mudah dilakukan. Banyak wajib pajak dalam negeri yang akhirnya memilih untuk menempatkan dananya di luar negeri terutama di negara-negara yang bisa memberikan keuntungan dari sisi pajak. Salah satu skema yang dilakukan adalah dengan membentuk CFC di negara tax haven. Selanjutnya wajib pajak menunda membagikan dividen dari CFC tersebut dengan tujuan menunda pembayaran pajak di negara tempat induk perusahaan berada. Hal ini berdampak pada terkikisnya basis perpajakan di negara tempat induk perusahaan berada. CFC rules adalah salah satu bentuk anti-tax avoidance rule untuk menangkal praktik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana CFC rules di Indonesia dapat digunakan untuk menangkal praktik penghindaran pajak dan apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menerapkan CFC rules di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci. Hasil penelitian menunjukkan CFC rules di Indonesia dapat digunakan untuk menangkal praktik penghindaran pajak dengan adanya perbaikan mengenai mekanisme deemed dividend, telah mencakup kepemilikan langsung dan tidak langsung, telah mencakup ketentuan mengenai trust, dan telah mengatur ketentuan mengenai kredit pajak luar negeri. Hambatan-hambatan dalam menerapkan CFC rules di Indonesia adalah cakupan ketentuan ini menjadi terlalu luas sehingga menjadi tidak efektif, kesulitan mendeteksi kepemilikan tidak langsung dan kepemilikan secara bersama-sama, kesulitan dalam memperoleh data dan informasi untuk proses pengawasan oleh DJP, dan kurangnya pemahaman petugas pajak mengenai topik CFC.

The world economy growth makes cross border country transactions become easier. Many domestic taxpayers are eventually choose to put their funds abroad especially in countries that can give them tax benefit. One of the schemes is to establish CFCs in tax haven countries. Furthermore, taxpayer shall postpone dividends distribution from CFC to delay tax payment in the holding company rsquo s country. For that matter causes erosion of the tax base in the country where the parent company is located. CFC rules are one of anti tax avoidance rule to counteract such practices. This study aims to find out how CFC rules in Indonesia can be used to counteract tax avoidance practices and the implementation constraints of CFC rules in Indonesia. This research is conducted with qualitative approach. Data collection techniques used literature studies and field studies through in depth interviews with key informants. The results of this research showed that CFC rules in Indonesia can be used to counteract tax avoidance practices with improvements in the deemed dividend mechanism, including direct and indirect ownership, including provisions on trusts, and regulates provisions on foreign tax credits. The obstacles to implementing CFC rules in Indonesia are the scope of this provision to be too broad to be ineffective, difficulty in detecting indirect ownership and joint ownership, difficulty in obtaining data and information for the DGT supervisory process, and the lack of understanding of tax officials on CFC topics.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alip Subagyo
"Meningkatnya foreign investment merupakan salah satu dampak dari sebuah proses yang kemudian dikenal sebagai globalization. Dengan berbagai motif dan alasan, banyak perusahaan multinasional dan transnasional melakukan penanaman modal secara langsung di luar negeri (Foreign Direct Investment). Hal tersebut yang kemudian membuat banyak negara di dunia saling bersaing untuk menarik Foreign Direct Investment. Salah satu cara yang paling penting yang dilakukan negara-negara tersebut adalah dengan menawarkan insentif di bidang perpajakan (tax haven country), sesuai dengan pendapat Hines, kebijakan pajak sangat mempengaruhi volume FDI.
Kebijakan-kebijakan tertentu di bidang perpajakan pada suatu negara terkadang dimanfaatkan oleh Wajib Pajak dengan maksud untuk melakukan penghindaran pajak. Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh Perusahaan Modal Asing untuk menghindari pajak yaitu dengan skema seperti transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan controlled foreign corporation (CFC). Oleh karena itu diperlukan peraturan anti penghindaran pajak (anti avoidance rules). Penghindaran pajak (anti avoidance rules) dapat diminimalisir dengan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi sehingga ketentuan yang ada relevan dengan kondisi saat ini, dan dapat memberikan kepastian hukum baik bagi DJP maupun Wajib Pajak.
Pokok Permasalahan dalam tesis ini , pertama adalah kebijakan ini berkaitan dengan investasi Wajib Pajak Dalam Negeri di luar negeri yang selalu meningkat dalam dua tahun terakhir, kedua penerapan CFC Rules di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1994, namun sampai dengan tahun 2008 ini, belum pernah dilakukan perbaikan. Ketentuan CFC Rules yang ada sekarang sangat memungkinkan Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak. Dalam rangka menganalisis pokok masalah tersebut, dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: (i) Apakah perbedaan antara CFC Rules di Inggris yang lama dan baru dibandingkan dengan CFC Rules di Indonesia? (ii) Apakah ketentuan CFC Rules di Indonesia masih relevan dengan kondisi saat ini ? (iii) Apakah ketentuan CFC Rules di Indonesia sudah memenuhi kepastian hukum ?
Menjawab rumusan pertanyaan di atas, penelitian dilakukan dengan cara analisis data kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif dimana diuraikan data yang berupa informasi dan teori yang diperoleh dari studi kepustakaan. Selain itu dilakukan juga pendalaman studi kasus dengan satu lokus yaitu dengan membandingkan kasus Cadbury Schweppes yang terjadi di Inggris. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari literatur, buku, dokumen, dan jurnal penelitian yang memiliki kaitan dengan tema penelitian ini.
Dalam penelitian ini ditarik kesimpulan bahwa CFC Rules yang berlaku di Indonesia berbeda dengan Inggris. CFC Rules di Indonesia sudah tidak relevan dengan kondisi perkembangan praktik perdagangan yang semakin canggih. Diketahui juga bahwa CFC Rules yang ada saat ini belum menjamin kepastian hukum terhadap subjek pajak.

The increase of foreign investment constitutes one of the impacts from a process known as globalization. With any motives and reasons, many multinational dan transnational companies carry out Foreign Direct Investment. This is, because many countries in the world competes each other to attract Foreign Direct Investment. One of the most important this carried out by those countries is to offer incentives in tax (tax haven country), in accordance with Hines opinion, that tax policy significantly influences volume of FDI.
Certain policies in tax in a country are, sometimes, utilized by taxpayers to avoid tax. In international tax context, there are any schemes are usually used by Foreign Investment Companies to avoid tax, those are by transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, and controlled foreign corporation (CFC). Therefore, anti avoidance rules are needed. Anti avoidance rules can minimize by always following development happened, accordingly the existing stipulations is relevant with current conditions, and can give good law certainty for Directorate General of Taxes and Taxpayers.
The main problems in this thesis are; first, this policy is related to domestic taxpayer investment abroad always increase in two last years; second, the implementation of CFC Rules in Indonesia has been started since 1994, but up to 2008, there is no improvement. The current stipulations of CFC rules possibly cause Taxpayers carry out tax avoidance. In order to analyze those problems, the following questions are formulated; (i) What is the difference between old and new CFC Rules in England than CFC Rules in Indonesia? (ii) Are stipulations of CFC Rules in Indonesia still relevant to the current conditions? (iii) Have stipulations of CFC Rules in Indonesia fulfilled law certainty?
In order to respond those above mentioned questions, the research is done by qualitative data analysis with descriptive research type where data is described in the kind of information and theories gotten from library study. In addition, intensive case study is carried out in single site locus, which is to compare Cadbury Schweppes case happen in England. Data source in this research is primary data gotten from interview result and secondary data gotten from literatures, books, documents, and research journals which have correlation with this research theme.
From this research, it can be concluded that valid CFC Rules in Indonesia is different with that of England. CFC Rules in Indonesia have not been relevant with the development of more modern trade practices. It is known that current CFC Rules do not yet ensure law certainty to tax subject."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25650
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nugraha Dwiyanto
"Indonesia mengalami shortfall penerimaan pajak dengan tingkat kepatuhan wajib pajak hanya 60% pada tahun 2015. Untuk mengatasinya, Pemerintah menerapkan pengampunan pajak pada Juli 2016. Skripsi ini membahas bagaimana pengampunan pajak dapat memperluas basis pemajakan dan faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan pengampunan pajak di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan melakukan studi lapangan dan pustaka. Hasil Penelitian ini adalah pengampunan pajak bisa memperluas basis pemajakan di Indonesia dan disarankan agar pemerintah mempertimbangkan empat faktor pendukung, yaitu fasilitas yang menarik, sosialisasi yang masif, penempatan dana hasil pengampunan pajak yang menguntungkan, dan manajemen data yang baik.

Indonesia faced shortfall of its tax revenue and low level of tax payer?s compliance (approximately 60%) in 2015. To solve this problems, Indonesia is implementing tax amnesty in July 2016. The purpose of this thesis is to describe how tax amnesty can broaden Indonesia tax base and explain its supportive factors. This research conducted qualitative approach with data collection through field research and literature studies. The result of this research is tax amnesty can broaden Indonesia tax base and suggested to consider four supportive factors such as attractive facilities, massive socialization, profitable instrument for repatriated assets, and good data management."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65616
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Shabira Kaza Novianto
"Meningkatnya kesadaran masyarakat sebagai konsumen tentang isu lingkungan, mendorong konsumen untuk menerapkan pola hidup yang lebih baik salah satunya dengan memilih produk yang ramah bagi lingkungan. Hal ini mendorong pelaku usaha untuk memenuhi permintaan konsumen dengan mengeluarkan produk ramah lingkungan. Produk ramah lingkungan pada umumnya banyak menggunakan klaim ramah lingkungan untuk menunjukkan aspek lingkungan yang ditekankan pada suatu produk. Klaim ramah lingkungan menyatakan bahwa suatu produk, layanan, proses, merek, atau bisnis adalah baik bagi lingkungan. Salah satu cara yang dilakukan pelaku usaha untuk menarik perhatian konsumen adalah dengan menggunakan klaim ramah lingkungan pada produk mereka, akan tetapi dalam praktiknya terdapat penggunaan klaim ramah lingkungan yang menyesatkan oleh pelaku usaha dan hal ini dapat mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pilihan yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu landasan hukum untuk memberikan pelindungan konsumen yang merasa haknya telah dilanggar. Peraturan mengenai klaim ramah lingkungan di Indonesia dapat merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan beberapa ketentuan lainnya yang dapat menjadi acuan dalam penggunaan klaim ramah lingkungan di Indonesia. Berbeda dengan negara Inggris yang telah memiliki panduan khusus mengenai pembuatan klaim ramah lingkungan di bawah undang-undang pelindungan konsumen Inggris. Melalui metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini akan membahas mengenai hubungan antara klaim ramah lingkungan dalam melindungi kepentingan konsumen dan perbandingan pengaturan terkait klaim ramah lingkungan di Indonesia dengan Inggris. Melihat klaim ramah lingkungan yang dapat menyesatkan konsumen, maka menjadi penting untuk adanya peraturan maupun panduan khusus yang mengatur penggunaan klaim ramah lingkungan di Indonesia.

Increasing public awareness as consumers about environmental issues encourages consumers to adopt a better lifestyle, which is by choosing products that are good for the environment. This encourages business to fulfill consumer demand by making environmentally friendly products. Environmentally friendly products generally use green claims to show the environmental aspects that are emphasized in the product. Green claims state that a product, service, process, brand, or business is good for the environment. To attract consumers attention, business is using green claims on their products, but in practice there are misleading green claims made by business and this can cause harm to consumers because it can affect consumers in making decisions for buying products. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection is one of the legal basis to provide protection for consumers who feel their rights have been violated. Regulations regarding green claims in Indonesia can refer to Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and several other provisions which can be used as references in the use of green claims. In contrast to the United Kingdom, which already has specific guidance regarding green claims under the United Kingdom consumer protection law. Through normative juridical research methods, this research will discuss the relation between green claims in protecting consumer interests along with comparisons of regulations related to green claims in Indonesia and the UK. Being aware of green claims that can mislead consumers, it is important to have specific regulations or guidelines governing the use of green claims in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>