Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99230 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tambunan, Carolina Tonggo Marisi
"ABSTRAK
NPS belakangan mulai banyak muncul di pasar gelap narkoba di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. NPS umumnya disintesis dengan memanipulasi struktur kimia dari suatu senyawa psikoaktif sehingga menghasilkan produk dengan struktur yang serupa namun tidak identik dengan senyawa psikoaktif ilegal. Pada tahun 2016, para-metoksimetamfetamina PMMA , metamfetamina dengan substituen metoksi merupakan NPS yang paling banyak ditemui pada sampel yang dikirim ke Balai Laboratorium Narkoba BNN oleh penyidik. Keterbatasan bahan pembanding PMMA menjadi hambatan dalam mengidentifikasi sampel narkotika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mensintesis PMMA dari metamfetamina sabu melalui 4 tahap reaksi : nitrasi, reduksi, hidrolisis garam diazonium, dan metilasi. Identifikasi dan karakterisasi senyawa menggunakan KLT, UV, dan GC-MS. Purifikasi senyawa PMMA menggunakan KLT preparatif Silica Gel RP18 F254S dengan komposisi eluen etil asetat: metanol: ammonia 85: 10: 5 yang ditunjukkan dengan bercak pada Rf 0.3. PMMA hasil sintesis dengan kemurnian 99,3790 telah digunakan sebagai bahan pembanding untuk analisis sampel. Tablet mengandung PMMA dan sampel spike dianalisis menggunakan metode GC-MS dengan kolom kapiler HP-5MS 30 m x 0.25 mm i.d dan waktu analisis kurang dari 30 menit. Kromatogram menunjukkan puncak pada 8,504 menit dengan pola fragmentasi 58, 91, 121, 149 and 179 m/z.

ABSTRACT
Recently, New Psychoactive Substances NPS have rapidly emerged on the illicit drug market in many countries around the world including Indonesia. NPS commonly are created by manipulating chemical structures of other psychoactive drugs so that the resulting products are structurally similar but not identical to illegal psychoactive. In 2016, Para methoxymethamphetamine PMMA , a methoxy substituted methamphetamine was the most common NPS sample submitted to Drug Testing Laboratory National Narcotics Board of Indonesia by investigators. Lack of reference standard of PMMA became an obstacle to identify this compound in narcotic samples. The aim of this study was to synthesize PMMA from methamphetamine sabu through 4 stages of reactions nitration, reduction, hydrolysis of diazonium salts, and methylation. Identification and characterization of the compounds were performed by employing TLC, UV, and GC MS. Purification of PMMA was carried out using preparative TLC Silica Gel RP18 F254S with eluent composition ethyl acetate methanol ammonia 85 10 5 showed PMMA spots at Rf 0.3. The synthesized PMMA with purity 99,3790 was used as reference standard for analyzing samples. Tablet samples containing PMMA and spiked samples were investigated by using GC MS method with capillary column HP 5MS 30 m x 0.25 mm i.d and run time less than 30 minutes. The chromatogram showed at 8.504 minutes with fragmentation pattern 58, 91, 121, 149 and 179 m z. "
2017
T47847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janitra Jaya Negara, Author
"Penggunaan hukum pidana untuk mengatasi kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkotika, mendapat perhatian dan kontroversi. Dalam penelitian ini, alternatif di luar sistem peradilan pidana juga penting. Penggunaan hukum pidana sebaiknya dihindari jika ada sarana lain yang lebih efektif. Kejahatan adalah masalah kemanusiaan, dan hukum pidana sendiri bisa menyebabkan penderitaan. Oleh karena itu, penggunaan hukum pidana harus digabungkan dengan instrumen di luar sistem peradilan. Dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pengalihan proses dari yustisial ke non-yustisial adalah upaya untuk menghindari penerapan hukum pidana pada anak-anak. Diversi juga memiliki tujuan agar anak-anak terhindar dari dampak negatif pidana dan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik dan mental. Hal ini relevan dengan konsep tujuan pemidanaan, yang melibatkan perlindungan masyarakat dan individu. Restorative Justice di Indonesia, terdapat mekanisme penyelesaian hukum berdasarkan kearifan lokal. Sila Keempat Pancasila memungkinkan penerapan keadilan restoratif karena mengedepankan musyawarah dan kebaikan bersama. Implementasi keadilan restoratif terutama untuk kasus anak tidak sulit jika mengacu pada filosofi bangsa dan menghormati hukum adat sebagai hukum dasar nasional. Selain itu terdapat pengalihan perkara anak dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara pelaku dan korban yang difasilitasi oleh keluarga, masyarakat, dan penegak hukum. Proses diversi harus dilakukan dalam 30 hari untuk mencapai kesepakatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa penanganan anak melalui sistem peradilan anak lebih berpotensi negatif dari pada positif dalam perkembangan anak. Masalah yang muncul dalam penanganan anak penyalahguna narkotika adalah stigma yang melekat pada mereka setelah proses peradilan selesai. Tingginya kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak mendorong upaya penanggulangan pidana anak dalam bidang hukum, baik secara formal maupun materiil. Penanggulangan kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkotika, adalah usaha rasional masyarakat dalam menangani kejahatan dan harus dilakukan dengan diagnosis yang tepat.

The use of criminal law to deal with crime, including narcotics abuse, has received attention and controversy. In this research, alternatives outside the criminal justice system are also important. The use of criminal law should be avoided if there are other more effective means. Crime is a humanitarian problem, and criminal law itself can cause suffering. Therefore, the use of criminal law must be combined with instruments outside the justice system. In dealing with narcotics abuse by children, transferring the process from judicial to non-judicial is an effort to avoid the application of criminal law to children. Diversion also has the aim of ensuring that children avoid the negative impacts of crime and can grow and develop well physically and mentally. This is relevant to the concept of the purpose of punishment, which involves the protection of society and individuals. Restorative Justice in Indonesia, there is a legal settlement mechanism based on local wisdom. The Fourth Principle of Pancasila allows the implementation of restorative justice because it prioritizes deliberation and the common good. Implementing restorative justice, especially in cases of children, is not difficult if it refers to the nation's philosophy and respects customary law as the basic national law. Apart from that, there is a transfer of children's cases from the formal criminal process to a peaceful resolution between the perpetrator and the victim which is facilitated by the family, community and law enforcement. The diversion process must be carried out within 30 days to reach an agreement. This is motivated by the assumption that handling children through the juvenile justice system has the potential to be more negative than positive in children's development. The problem that arises in handling children who abuse drugs is the stigma attached to them after the judicial process is completed. The high number of cases of narcotics abuse by children has encouraged efforts to overcome child crime in the legal field, both formally and materially. Crime prevention, including narcotics abuse, is society's rational effort to deal with crime and must be carried out with the right diagnosis."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Rahmani
"New Psychoactive Substances (NPS) adalah senyawa baru serupa narkotika dan psikotropika yang belum diatur dalam perundang-undangan sehingga rentan untuk disalahgunakan. NPS dapat berinteraksi dengan berbagai reseptor yang ada di otak, salah satunya reseptor Cannabinoid-2. Penelitian ini dilakukan untuk melihat afinitas dan model interaksi antara NPS dengan reseptor Cannabinoid-2 secara in silico. Metode yang digunakan adalah penambatan molekuler menggunakan program Autodock dengan bantuan PyRx. Parameter optimal yang digunakan untuk penambatan molekuler NPS dengan reseptor Cannabinoid-2 adalah gridbox dengan ukuran 58x58x58 pts dengan spasi 0,375 Å dan lama komputasi short. Energi ikatan yang dihasilkan dari penambatan molekuler NPS terhadap reseptor Cannabinoid-2 berkisar antara -2,58 hingga -11,78 kkal/mol. Golongan yang memiliki frekuensi terbanyak senyawa dengan energi ikatan -5,00 hingga -7,49 kkal/mol adalah aminoindanes, fenetilamin, fensiklidin, katinon sintetik, piperazin, dan triptamin, sedangkan golongan yang memiliki frekuensi terbanyak senyawa dengan energi ikatan -7,50 hingga -10,00 adalah kanabinoid sintetik, fentanil, other substances, dan opioid. Berdasarkan hasil yang didapatkan, semua golongan NPS memiliki afinitas jika berinterakasi dengan reseptor Cannabinoid-2. Interaksi yang dihasilkan dari semua golongan NPS berpotensi menghasilkan aktivitas agonis kecuali pada golongan fenetilamin, fensiklidin, dan piperazin.

New Psychoactive Substances (NPS) is a new compound resemblant to narcotics and psychotropics which not yet regulated by the law, so NPS has vulnerability to be abused. NPS can interact with various receptors in the brain, such as cannabinoid-2 receptors. This in silico study was conducted to determine binding affinity and model of interaction of NPS on cannabinoid-2 receptor. The method used is molecular docking using AutoDock assisted by PyRx. The optimal parameter used for molecular docking of NPS with cannabinoid-2 receptor is a gridbox with a size of 58x58x58 pts spacing 0,375 Å and maximum number of evaluation short. The binding energy resulting from molecular docking of NPS with cannabinoid-2 receptor ranged from -2,58 to -11,78 kcal/mol. The groups with the highest frequency of compounds with bond energies of -5.00 to -7.49 kcal/mol were aminoindanes, phenethylamine, phenyclidine, synthetic cathinones, piperazine, and tryptamine, while the group with the highest frequency of compounds with bond energies of -7.50 to -10.00 are synthetic cannabinoids, fentanyl, other substances, and opioids. Based on the results obtained, all NPS groups have affinity when interacting with cannabinoid-2 receptors. The interaction resulting from all NPS groups has a potential to mediate agonist activity except for phenethylamine, phencyclidine, and piperazine."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Purnama Oktora
"Penelitian ini bertujuan untuk; a. mendeskripsikan dan menganalisis regulasi yang mengatur penanganan dan operasi kejahatan tindak pidana narkotika di Polres Metro Jakarta Barat. b. menjelaskan bagaimana strategi pelaksanaan operasi penanganan kejahatan tindak pidana narkotika berupa 120 Kg Narkotika Jenis Sabu oleh Polres Metro Jakarta Barat. c. mendeskripsikan apa saja faktor yang menjadi pendukung dan penghambat pengungkapan kasus 120 Kg Narkotika jenis sabu tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, pemilihan narasumber dengan teknik purposive sampling. Lokasi penelitian di Polres Jakarta Barat. Hasil penelitian ini menjelaskan Pertama, Regulasi yang mengatur mekanisme penanganan dan operasi kejahatan tindak pidana narkotika diatur pada UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, serta PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksana KUHAP. Kedua, strategi pelaksanaan operasi penanganan kejahatan tindak pidana 120 kg narkotika jenis sabu mencakup : 1. Environment Scanning, dalam tahap ini merupakan pemetaan terhadap situasi serta dampak lain yang ditimbulkannya, 2. Strategy formulation merupakan tahapan yang merumuskan segala kebijakan yang akan diimplementasikan. 3. Strategy Implementation dimana pada tahap ini merupakan pelaksanaan kebijakan yang telah disusun. 4. Strategy Evaluation dimana pada tahap ini merupakan tahap analisa dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Ketiga, faktor yang menjadi penghambat pengungkapan kasus 120 Kg Sabu antara lain; adanya perbedaan persepsi antar aparat penegak hukum dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka atau saksi, masih banyak aparat penegak hukum yang menyalahgunakan narkotika, adanya wilayah hukum yang terlalu luas, masyarakat yang tidak melaporkan kegiatan pemasok maupun pengedar narkoba, sumber daya manusia polisi yang masih minim kompetensi dan faktor budaya masyarakat yang apatis. Sedangkan faktor pendukungnnya antara lain; faktor hukum adanya UU No.35 Tahun 2009 mendukung pemberantasan korupsi, aspek sarana dan prasarana yang mumpuni, dan kerjasama yang baik dari masyarakat. Sedangkan saran dari penelitian ini; pertama, perlunya revisi atas Undang-Undang Tentang Narkotika. kedua, diperlukan sosialisasi secara masif mengenai bahaya dan macam-macam narkoba, Ketiga, perlu dibentuk satgas anti narkoba dalam yang memiliki fungsi membentuk budaya peduli terhadap tindak pidana ini.

The research aims to (a) describe and analyse regulations governing the handling of narcotics crime operations held by West Jakarta Metropolitan Police Resort, (b) explain the strategies for carrying out operations to handle narcotics crimes in the form of 120 kg of methamphetamine held by West Jakarta Metropolitan Police Resort, and (c) describe the factors supporting and hindering the uncovering the case involving the 120 kg of methamphetamine. The research employs the descriptive qualitative approach. Informants are selected through the purposive sampling technique. The research location is at West Jakarta Metropolitan Police Resort. The results of the study reveal that: first, regulations governing the mechanisms for handling narcotics crimes are Law No. 8 of 1981 concerning Criminal Procedure Code, Law No. 2 of 2002 concerning Indonesian National Police, Law No. 35 of 2009 on Narcotics, and Government Regulation No. 27 of 1983 concerning Guidelines for the Implementation of Criminal Procedure Code. Second, the strategy to implement operations to handle the crime involving 120 kg of methamphetamine includes: (1) environment scanning—mapping the situation and other impacts caused by the situation; (2) strategy formulation—formulating policies that will be implemented; (3) strategy implementation—carrying out policies that have been prepared; and (4) strategy evaluation—analysing and evaluating the implementation of the policies. Third, factors hindering the uncovering the 120-kilogram methamphetamine case include: the different perceptions of law enforcement officers in determining a person's status as a suspect or witness; the existence of law enforcement officers abusing narcotics; the large jurisdiction; the reluctance of people to report the activities of drug suppliers or dealers; the lack of competence of police human resources; and the apathetic culture of society. Meanwhile, the supporting factors include: the existence of Law No. 35 of 2009 that supports the eradication of corruption; the aspects of qualified facilities and infrastructure, and the existence of a good cooperation from the community. Based on the results, the author strongly recommends that the related and relevant agencies to (1) revise the narcotics law, (2) hold massive socializations on the dangers and types of drugs, and (3) establish an anti-drug task force in order to build the awareness and care about the crimes."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnowo
"Penelitian ini berfokus pada bagaimana pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu Narkotika dapat diimplementasikan sebagaimana yang telah diamatkan dalam pasal 46 UU Narkotika. Penauganan pecandu menjadi sulit, karena adanya peran ganda pada diri pecandu, di satu sisi mereka diangggap sebagai orang sakit, namun disisi lain mereka dianggap sebagai pelanggar hukum. Menurut Nitibaskara: komunitas pecandu umumnyanya menyadari, dengan meng-konsumsi Narkoba secara berlanjut merupakan perbuatan melanggar hukum, dengan kesadaran tersebut membuat mereka akan tetap bersembunyi, dan dengan kondisi seperti itu sulit bagi mereka untuk dilakukan pengobatan, kecuali inisiatif sendiri, orang tua atau keluarganya melaporkan kepada pejabat yang berwenang.
Namun ketentuann wajib lapor bagi pecandu sebagaimana diatur dalam UU Narkotika tersebut secara operasional belum dapat dilaksanakan, karena wadah/lembaga wajib Iapor sampai saat ini belum ada
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui instansi mana yang tepat untuk dliadikan wadahflembaga wajib lapor (sebagai upaya pencegahan) dan hagaimana mekanisme Serta prosedur pelaksanaanya. Selanjutnya bagaimana penanganannya agar mereka dapat dilakukan pendataan, rehabilitasi dan pengawasannya, dengan melibatkan instansi terkait lainnya. Desain penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif studi kasus instrumental, dari hasil wawancara, pengamatan langsung, lokakarya dan penyebaran kuesioner dapat disimpulkan bahwa : 1) masih adanya permasalahan hukum bagi pecandu dalam penanganannya, dan belum ada jaminan hukum bagi pecandu yang melaporkan diri secara sukarela ; 2) lembaga wajib lapor yang tepat yaitu BNN di tingkat Pusat, BNP di tingkat Propinsi dan BNKab/Kota di tingkat Kabupaten/Kota ; 3) Iembaga tersebut mempunyai lugas mengkoordinasikan instansi terkait ( pusat/daerah), mernberikan dukungan teknis dan operasional dalam penanganan pecandu; 4) pembentukan lembaga, tata cara pelaporan dan penanganan pecandu akan diatur dengan Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah ; 5) mekanisme pelaporan agar disinergikan dengan program harus reductions dengan mengedepankan puskesmas sebagai ujung tombak tempat pelaporan.
Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi penulis adalah : mendifinisikan kriteria pecandu, yaitu siapa-siapa yang diwajibkan untuk melakukan pelaporan, apakah mereka yang secam phisik, psikhis mengalami sakit yang sangat kronis? Atau setiap orang yang menggunakan Narkoba dan sedang mengalami ketergantungan?

This study focuses on how the implementation of compulsory reporting for drug abusers can be implemented as in article 46 of the Law on Narcotics. Handling the drug abusers is difficult, became ofthe multiple roles in them self; in one hand in their considerans as sick people, but on the other they are considered as violators of the law. Nitibaskara?s says : generally that community of the drug abusers are aware, to the consmnption of drugs is a continuing illegal act, with the awareness they will remain concealed, and with such conditions difficult for them to be applied, except for they initiative, the parents or their families reporting to / institutions which is have authority
However, provisions for the compulsory for reporting drug abusers as stipulated in the Law on Narcotics are not operational can be implemented, because the container /institutions required to report at this time is not yet available
Objectives of this research is to know where the appropriate institutions for obliged to report (as prevention efforts) and how the mechanisms and procedures handling. Next to them how the handling of the data collection can be done, rehabilitation and monitored, involved with other related institutions. Design of this research using qualitative research studies instrumental cases, the results of the interviews, direct observation, workshops and the distribution of the questionnaire can be concluded that: l) there is still legal problems in the handling of drugs abusers, and there is no legal guarantee for the drugs abusers to report themselves voluntarily 2 ) Institutions are obliged to report the exact level at BNN Center, BNP levels in the province and BNKab / City in the district / city; 3) of these institutions have the task of coordinating the relevant agencies (central / local), to provide technical and operational support in the handling of dmgs abusers; 4) the establishment of institutions, ways of reporting and handling of drugs abusers will be regulated by Regulation President or government regulation; 5) reporting mechanism to disinergikan with the program Harm reductions with the health center as the spearhead of the places reporting.
While the constraints faced by the authors is: mendifinisikan dope criteria, namely who is required to do the reporting, whether they are physical, psychological experience, which is chronic pain? Or any person using the drug and are experiencing dependence?
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25476
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Uli Artha Br
"Penyimpanan dan penanganan obat dan/atau bahan obat di fasilitas distribusi harus mematuhi peraturan perundang-undangan. Kondisi penyimpanan untuk obat dan/atau bahan obat harus sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi atau non-farmasi yang memproduksi bahan obat standar mutu farmasi. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) merupakan masalah yang sangat kompleks. Produk Rantai Dingin atau Cold chain product (CCP) merupakan obat-obatan yang peka terhadap suhu adalah produk yang bersifat mudah rusak dan memerlukan pengawasan dan distribusi di lingkungan yang terkendali. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi penyimpanan terhadap napza dan CCP. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi penyimpanan terhadap napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) di KFTD Bogor dan evaluasi penyimpanan terhadap Produk Rantai Dingin/ Cold Chain Product (CCP) di KFTD Bogor. Hasil menunjukan penyimpanan napza dan CCP di KFTD Bogor dianggap telah memenuhi persyaratan yang terdapat di dalam CDOB.

Penyimpanan dan penanganan obat dan/atau bahan obat di fasilitas distribusi harus mematuhi peraturan perundang-undangan. Kondisi penyimpanan untuk obat dan/atau bahan obat harus sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi atau non-farmasi yang memproduksi bahan obat standar mutu farmasi. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) merupakan masalah yang sangat kompleks. Produk Rantai Dingin atau Cold chain product (CCP) merupakan obat-obatan yang peka terhadap suhu adalah produk yang bersifat mudah rusak dan memerlukan pengawasan dan distribusi di lingkungan yang terkendali. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi penyimpanan terhadap napza dan CCP. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi penyimpanan terhadap napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) di KFTD Bogor dan evaluasi penyimpanan terhadap Produk Rantai Dingin/ Cold Chain Product (CCP) di KFTD Bogor. Hasil menunjukan penyimpanan napza dan CCP di KFTD Bogor dianggap telah memenuhi persyaratan yang terdapat di dalam CDOB"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Wellem
"Penelitian ini berfokus pada peran CNT dalam melakukan deteksi dini dan langkah-langkah yang diambil oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengoptimalisasi fungsi CNT akan menyokong fungsi tugas yang diemban untuk melakukan penyelundupan NPP.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa CNT menganalisa seluruh dokumen, dengan bantuan teknologi yaitu sistem analisa target (target analyzing system) yang disebut Drugs Cargo Analyzing Unit (DCAU). DCAU merupakan bagian dari Customs Narcotics Intelligent System (CNIS) berupa sistem aplikasi penyaringan data PIB dan manifes secara transaksional dengan menggunakan parameter tertentu untuk membantu analis dalam menghasilkan target NPP pada kargo laut yang kini menjadi modus baru penyelundupan NPP. Prinsip DCAU dalam pengumpulan informasi (information gathering) adalah sebagai sebagai early warning dan early detection atas potensi penyelundupan NPP guna dilakukan penindakan. Siklus intelijen juga telah dijalankan CNT dalam pelaksanaan operasinya (siklus risk targetting). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun melakukan langkah optimalisasi dengan melakukan pemberian reward berupa premi terhadap tangkapan NPP dan peningkatan soft skill dengan workshop serta pendidikan dan pelatihan untuk anggota CNT.
Dari hasil penelitian disarankan agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai lebih mengembangkan sistem teknologi DCAU karena DCAU merupakan titik awal pendeteksian dini terhadap indikasi adanya pelanggaran atau kemungkinan penyelundupan NPP. Selain itu perlu dilakukan peningkatan jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam CNT guna meningkatkan kinerja CNT dalam mengemban spesialisasi tugasnya dan penerbitan kebijakan lain diperlukan untuk mengoptimalkan kinerja CNT karena kebijakan yang ada saat ini baru bersifat sebagai payung hukum berdirinya CNT.

This research focuses on the role of the CNT in conducting early detection and the steps taken by the Directorate General of customs and Excise to optimize function will support the task function CNT arranged for smuggling NPP.
The results showed that the CNT analyzes the whole document, with the help of technology, namely the system of target analysis (analyzing targets system) called Analyzing Drugs Cargo units (DCAU). DCAU is part of Customs Narcotics Intelligent System (CNIS) in the form of the application system of data filtration in transactional and PIB manifest by using certain parameters to assist analysts in generating target NPP on sea cargo now becomes the new NPP smuggling mode. Principle of the DCAU in collection of information (information gathering) is as as early warning and early detection of potential smuggling of NPP to do enforcement. Intelligence cycle also has carried out operations in the implementation of the CNT (cycle risk targetting). Directorate General of customs and Excise shall perform the optimization by doing reward in the form of granting premiums against NPP catches and improvement of soft skills with workshops as well as education and training for members of the CNT.
From the research results it is recommended that the Directorate General of Customs and Excise further develop DCAU technological systems because DCAU is the starting point for early detection of indications of infringement or the possibility of smuggling NPP. In addition it is necessary to increase the amount and quality of human resources involved in the CNT in order to improve the performance of its task of carrying out the specialties within the CNT and the issuance of other policies needed to optimize the performance of CNT."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragi, Suhartini
"Rendahnya pemanfaatan layanan rehabiltasi rawat jalan secara sukarela di Klinik IPWL BNN setiap tahun terutama dalam 3 tahun terakhir sangat berdampak pada masih tingginya prevalensi angka penyalah guna narkotika di Indonesia. Sesuai dengan teori Andersen (1974), faktor penyebab perilaku pemanfaatan layanan kesehatan terdiri dari 3 yaitu faktor predisposing, enabling dan reinforcing. Penelitian ini hanya fokus terhadap faktor reinforcing yaitu dukungan keluarga terhadap pemanfaatan layanan rehabilitasi rawat jalan sukarela di Klinik IPWL BNN. Tujuan untuk menggali informasi secara mendalam tentang faktor dukungan keluarga terhadap pemanfaatan layanan rehabilitasi di Klinik IPWL BNN. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara dan diskusi kelompok terarah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa rendahnya pemanfaatan layanan rehabilitasi di klinik IPWL BNN disebabkan faktor kurangnya pengetahuan keluarga tentang bagaimana melakukan deteksi dini dan upaya intervensi terhadap anggota keluarga yang mulai terlibat penyalahgunaan narkotika sebelum keluarga membawa ke layanan rehabilitasi. Masih tingginya stigma dimasyarakat juga menjadi penyebab keluarga malu untuk membawa klien ke layanan, hubungan komunikasi antara keluarga kurang baik. Kurangnya sosialiasi program layanan rehabilitasi dan perlunya model intervensi dan regulasi tentang keterlibatan keluarga dalam rehabilitasi. Progam sosialisasi melalui media massa TV, radio, surat kabar, media sosial, majalah sangat efektif membantu penyebaran informasi deteksi dini penyalahguna narkotika di lingkungan keluarga serta upaya rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Kemudian untuk mengatasi tingginya stigma terhadap pecandu narkotika dimasyarakat perlu adanya bentuk layanan rehabilitasi yang melibatkan masyarakat (rehabilitasi berbasis masyarakat).

The low utilization of voluntary outpatient rehabilitation services at the BNN Voluntary Clinic every year, especially in the last 3 years has a significant impact on the high prevalence of narcotics abusers in Indonesia. In accordance with Andersens theory (1974), the causes of health service utilization behavior consisted of 3 factors: predisposing, enabling and reinforcing. This study only focused on reinforcing factors, namely family support for the utilization of voluntary outpatient rehabilitation services at the BNN Voluntary Clinic. The purpose of this study is to explore information about the factors of family support for the utilization of rehabilitation services at the BNN Voluntary Clinic. This study uses qualitative methods by collecting data through interviews and focus group discussions. Based on the results of the study, it was found that the low utilization of rehabilitation services at the BNN IPWL clinic was due to a lack of family knowledge about how to conduct early detection and intervention efforts through rehabilitation of family members who were involved in narcotics abuse before family access to rehabilitation centre. The stigma in the community is also a cause of shame for families to bring clients to services, communication links between poor families. Lack of socialization of rehabilitation service programs and the need for intervention models and regulations regarding family involvement in rehabilitation. Socialization programs through mass media such as television, radio, newspapers, social media, and magazines are very effective in helping disseminate information on early detection of narcotics abusers in the family environment and rehabilitation efforts for narcotics addicts. Then to overcome the high stigma against narcotics, the community it self needs to be empowered in a form of comprehensive rehabilitation program (community based rehabilitation)."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Aldinan Robby Jevri Hanter
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana kepolisian di lingkungan Direktorat Tindak Pidana Narkoba BARESKRIM POLRI menggunakan kewenangannya dalam melakukan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika untuk direhabilitasi. Kewajiban untuk menerapkan rehabilitasi kepada para penyalahguna narkotika bersumber dari Pasal 54 Undang-Undang Narkotika. Pada tahun 2014, 7 lembaga negara telah mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur tentang penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Peraturan bersama tahun 2014 membawa perubahan yang cukup besar bagi penerapan rehabilitasi, termasuk peran kepolisian sebagai penyidik. Peran kepolisian dalam menerapkan rehabilitasi, bagaimana cara menerapkan rehabilitasi, serta dampak rehabilitasi yang diterapkan menjadi pembahasan utama dalam tesis ini.

This thesis discussess how the police in Directorate of Narcotic Crime of BARESKRIM POLRI on using its authority to punish drug abusers to implement the treatment. Obligation of treatment implementation comes from article 54 of Narcotic Act. In 2014, 7 agents of state have released the joint regulation about the implementation of treatment fo drug abusers. Those regulation bring the big change for treatment implementation, including the role of police as an investigator. The role of police on implement the treatment, the way of those implementation, and the impact of those implementation are the main discussion of these thesis."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Hadiman
Jakarta: [publisher not identified], 1996
362.29 HAD m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>