Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120484 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochamad Syafruddin Rezki Sanaky
"ABSTRAK
Reklamasi pantai yang dilakukan oleh pemerintah Singapura telah merubah daratan dan bentuk garis pantai Singapura. Singapura telah melakukan kegiatan reklamasi sejak tahun 1966. Reklamasi yang dilakukan oleh Singapura berkaitan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun UNCLOS 1982, sebagai referensi untuk negara-negara yang mengalami masalah atau konflik mengenai wilayah laut. Pada September 2003, Malaysia mengajukan permohonan penegasan Provisional Measures atau perintah interim sesuai dengan Pasal 290 dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982, International Tribunal for the Law of the Sea ITLOS berhak menentukan perintah provisional jika dianggap perlu untuk mempertahankan hak dari suatu pihak/negara, atau untuk mencegah ancaman yang serius bagi lingkungan maritim yakni perintah untuk menentukan batas-batas wilayah, berkaitan dengan kegiatan reklamasi pantai oleh Singapura yang mengancam hak-hak Malaysia di wilayah perbatasan yang memisahkan Malaysia dan Singapura.

ABSTRACT
Coastal reclamation by the Singapore government has changed the shores and shapes of Singapore 39 s coastline. Singapore has undertaken reclamation activities since 1966. Reclamation undertaken by Singapore relates to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS , as a reference for countries experiencing problems or conflicts over marine areas. In September 2003, Malaysia filed a request for affirmation of the Provisional Measures or interim order in accordance with Article 290 of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 1982, the International Tribunal for the Law of the Sea ITLOS has the right to set provisional orders if deemed necessary to defend the right of an Or to prevent serious threats to the maritime environment to set boundaries, in connection with Singapore 39 s coastal reclamation activities that threaten Malaysia 39 s rights in the border region that separates Malaysia and Singapore."
2017
T48723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revaldi Nathanael Wirabuana
"Indonesia dan Malaysia telah terlibat dalam sebuah sengketa mengenai batas maritim di Laut Sulawesi. Sengketa tersebut berasal dari klaim atas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang tumpang tindih sehingga berakibat kepada konsesi minyak, persitegangan militer, hingga penangkapan ikan illegal. Negosiasi untuk menentukan batas maritim telah dilakukan sejak lama; dimulai dengan negosiasi pra-1969 yang berujung pada sengketa kedaulatan atas pulau Sipadan & Ligitan, hingga negosiasi yang dimulai pada tahun 2005 hingga kini. Skripsi ini akan menganalisa prinsip-prinsip penentuan batas maritime, serta proyeksi dari negosiasi atau mekanisme lainnya untuk menyelesaikan sengketa di Laut Sulawesi.

Indonesia aod Malaysia are witness to ao ongoing dispute over maritime boundary in Sulawesi Sea. The dispute revolves around overlapping claims over exclusive economic zone aod continental shelf, resulting into conflicts on oil concessions, military skirmishes, aod illegal fishing. Negotiations to delimit maritime boundary has been done for a long time: from the pre-1969 negotiations that ended up in the sovereignty claims over Sipadao & Ligitan, to the current negotiations initiated in 2005. This thesis will analyze the principle of maritime boundary delimitation, aod the future projection of negotiations aod other possible mechaoisms to resolve the dispute in Sulawesi Sea."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Tenri Sa`na Said
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peraturan hukum perdata terkait proses penyelesaian gugatan pencemaran nama baik antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganut sistem hukum civil law yang dipengaruhi oleh hukum Belanda. Jenis penelitian yang digunakan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian hukum yang sifatnya doctrinal. Penelitian ini melihat pada peraturan yang terdapat dalam hukum Indonesia dan peraturan hukum yang ada di negara Malaysia khususnya pada kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan hasil penelitian, Perbandingan penyelesaian gugatan pencemaran nama baik dalam hukum perdata antara negara Indonesia dan Malaysia terdapat perbedaan substansi dan kuantifikasi gugatan. Substansi penyelesaian gugatan pencemaran nama baik di Indonesia dan Malaysia mencerminkan perbedaan mendasar dalam sistem hukum kedua negara. Indonesia, yang menganut civil law, mengatur pencemaran nama baik melalui Pasal 1365 KUHPerdata dengan fokus pada pembuktian perbuatan melawan hukum (PMH), adanya kerugian, serta hubungan kausal antara tindakan tergugat dan kerugian yang dialami penggugat. Sedangkan Malaysia, dengan sistem common law, menggunakan Defamation Act 1957, yang menuntut pembuktian bahwa pernyataan tergugat bersifat fitnah, telah dipublikasikan kepada pihak ketiga, dan berdampak signifikan pada reputasi penggugat. Malaysia juga memisahkan kasus fitnah menjadi libel (tertulis) dan slander (lisan), dengan opsi pembelaan seperti justifikasi, komentar wajar, dan hak istimewa terbatas. Kuantifikasi gugatan, Indonesia dan Malaysia memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kompensasi kerugian. Di Indonesia, kerugian yang dapat digugat meliputi kerugian materiil, seperti hilangnya pendapatan, dan kerugian immateriil, seperti kerusakan reputasi atau penderitaan emosional, dengan jumlah kompensasi yang ditentukan berdasarkan diskresi hakim. Sebaliknya, Malaysia menggunakan pendekatan yang lebih terstruktur, mencakup general damages (kerugian umum yang tidak memerlukan bukti spesifik), special damages (kerugian finansial konkret yang membutuhkan bukti), dan punitive damages (hukuman untuk memberi efek jera pada tergugat). Pendekatan kuantifikasi di Malaysia mencerminkan prinsip retributif dan deterensi, sementara di Indonesia lebih berfokus pada keadilan restoratif untuk memulihkan kerugian penggugat tanpa menekankan aspek penghukuman.

This study aims to analyze civil law regulations related to the resolution process of defamation lawsuits between Indonesia and Malaysia. Indonesia adheres to a civil law system influenced by Dutch law. The type of research used in this study is doctrinal legal research. This research examines the regulations in Indonesian law and the legal regulations in Malaysia, specifically concerning defamation cases. Based on the research findings, the comparison of defamation lawsuit resolutions in civil law between Indonesia and Malaysia shows differences in substance and quantification of claims.The substance of defamation lawsuit resolutions in Indonesia and Malaysia reflects fundamental differences in the legal systems of the two countries. Indonesia, which adheres to civil law, regulates defamation through Article 1365 of the Civil Code (KUHPerdata), focusing on proving unlawful acts, damages, and the causal relationship between the defendant’s actions and the plaintiff's losses. Meanwhile, Malaysia, with its common law system, applies the Defamation Act 1957, which requires proof that the defendant's statement was defamatory, published to a third party, and significantly affected the plaintiff's reputation. Malaysia also distinguishes defamation cases into libel (written) and slander (oral), with defense options such as justification, fair comment, and qualified privilege.In terms of quantification of claims, Indonesia and Malaysia take different approaches to compensating damages. In Indonesia, damages that can be claimed include material losses, such as loss of income, and immaterial losses, such as reputational harm or emotional distress, with the compensation amount determined at the judge's discretion. Conversely, Malaysia uses a more structured approach, encompassing general damages (general losses that do not require specific evidence), special damages (specific financial losses requiring evidence), and punitive damages (punishment to deter the defendant).Malaysia’s quantification approach reflects the principles of retribution and deterrence, while Indonesia focuses more on restorative justice to recover the plaintiff's losses without emphasizing punitive aspects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Tenri Sa`na Said
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peraturan hukum perdata terkait proses penyelesaian gugatan pencemaran nama baik antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganut sistem hukum civil law yang dipengaruhi oleh hukum Belanda. Jenis penelitian yang digunakan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian hukum yang sifatnya doctrinal. Penelitian ini melihat pada peraturan yang terdapat dalam hukum Indonesia dan peraturan hukum yang ada di negara Malaysia khususnya pada kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan hasil penelitian, Perbandingan penyelesaian gugatan pencemaran nama baik dalam hukum perdata antara negara Indonesia dan Malaysia terdapat perbedaan substansi dan kuantifikasi gugatan. Substansi penyelesaian gugatan pencemaran nama baik di Indonesia dan Malaysia mencerminkan perbedaan mendasar dalam sistem hukum kedua negara. Indonesia, yang menganut civil law, mengatur pencemaran nama baik melalui Pasal 1365 KUHPerdata dengan fokus pada pembuktian perbuatan melawan hukum (PMH), adanya kerugian, serta hubungan kausal antara tindakan tergugat dan kerugian yang dialami penggugat. Sedangkan Malaysia, dengan sistem common law, menggunakan Defamation Act 1957, yang menuntut pembuktian bahwa pernyataan tergugat bersifat fitnah, telah dipublikasikan kepada pihak ketiga, dan berdampak signifikan pada reputasi penggugat. Malaysia juga memisahkan kasus fitnah menjadi libel (tertulis) dan slander (lisan), dengan opsi pembelaan seperti justifikasi, komentar wajar, dan hak istimewa terbatas. Kuantifikasi gugatan, Indonesia dan Malaysia memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kompensasi kerugian. Di Indonesia, kerugian yang dapat digugat meliputi kerugian materiil, seperti hilangnya pendapatan, dan kerugian immateriil, seperti kerusakan reputasi atau penderitaan emosional, dengan jumlah kompensasi yang ditentukan berdasarkan diskresi hakim. Sebaliknya, Malaysia menggunakan pendekatan yang lebih terstruktur, mencakup general damages (kerugian umum yang tidak memerlukan bukti spesifik), special damages (kerugian finansial konkret yang membutuhkan bukti), dan punitive damages (hukuman untuk memberi efek jera pada tergugat). Pendekatan kuantifikasi di Malaysia mencerminkan prinsip retributif dan deterensi, sementara di Indonesia lebih berfokus pada keadilan restoratif untuk memulihkan kerugian penggugat tanpa menekankan aspek penghukuman.

This study aims to analyze civil law regulations related to the resolution process of defamation lawsuits between Indonesia and Malaysia. Indonesia adheres to a civil law system influenced by Dutch law. The type of research used in this study is doctrinal legal research. This research examines the regulations in Indonesian law and the legal regulations in Malaysia, specifically concerning defamation cases. Based on the research findings, the comparison of defamation lawsuit resolutions in civil law between Indonesia and Malaysia shows differences in substance and quantification of claims.The substance of defamation lawsuit resolutions in Indonesia and Malaysia reflects fundamental differences in the legal systems of the two countries. Indonesia, which adheres to civil law, regulates defamation through Article 1365 of the Civil Code (KUHPerdata), focusing on proving unlawful acts, damages, and the causal relationship between the defendant’s actions and the plaintiff's losses. Meanwhile, Malaysia, with its common law system, applies the Defamation Act 1957, which requires proof that the defendant's statement was defamatory, published to a third party, and significantly affected the plaintiff's reputation. Malaysia also distinguishes defamation cases into libel (written) and slander (oral), with defense options such as justification, fair comment, and qualified privilege.In terms of quantification of claims, Indonesia and Malaysia take different approaches to compensating damages. In Indonesia, damages that can be claimed include material losses, such as loss of income, and immaterial losses, such as reputational harm or emotional distress, with the compensation amount determined at the judge's discretion. Conversely, Malaysia uses a more structured approach, encompassing general damages (general losses that do not require specific evidence), special damages (specific financial losses requiring evidence), and punitive damages (punishment to deter the defendant).Malaysia’s quantification approach reflects the principles of retribution and deterrence, while Indonesia focuses more on restorative justice to recover the plaintiff's losses without emphasizing punitive aspects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzaky Aziz
"Islamic Banking as one of the systems favored by Muslim countries, especially Indonesia and Malaysia. Through time, there are still a number of problems regarding the resolution of Islamic Banking disputes. In this study, the two countries will have to deal with issues concerning the dispute resolution of Islamic Banking disputes and also the extent of the authority of the Religious Courts in each country to handle the settlement of Islamic Banking disputes. This research was conducted based on the normative juridical method through the analysis of relevant regulations from each country, also referring to some literature. The results of this study will be explained in the form of recommendations that will be addressed to certain parties in Indonesia and Malaysia including the Government to improve the implementation of Sharia Banking Dispute Resolution.

Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem yang disukai oleh negara-negara yang beragama Islam, terutama Indonesia dan Malaysia. Melalui waktu, masih ada beberapa masalah tentang penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Dalam penelitian ini, akan dibahas masalah-masalah yang harus diatasi oleh kedua negara mengenai resolusi perselisihan Perbankan Syariah dan juga sejauh mana kewenangan Pengadilan Agama di masing-masing negara untuk menangani penyelesaian perselisihan Perbankan Syariah. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode yuridis normatif melalui analisis peraturan yang relevan dari masing-masing negara, juga mengacu pada beberapa literatur. Hasil penelitian ini akan dijelaskan dalam bentuk rekomendasi yang akan ditujukan pada pihak-pihak tertentu di Indonesia dan Malaysia termasuk Pemerintah untuk meningkatkan implementasi Resolusi Perselisihan Perbankan Syariah.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Patricia
"Skripsi ini membahas mengenai insolvensi sebagai syarat pengajuan kepailitan. Insolvensi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan debitur yang tidak dapat membayar utang kepada para kreditornya. Di dalam hukum kepailitan, debitur dapat diajukan permohonan pailit apabila debitur tersebut sudah dalam keadaan insolven. Keadaan insolven adalah apabila debitur itu tidak lagi mampu secara finansial untuk membayar sebagaian besar utang-utangnya atau nilai aktiva atas asetnya kurang dari nilai pasiva atau liabilities-nya. Syarat Kepailitan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa permohonan pailit dapat diajukan dengan dalam hal seseorang atau suatu badan mempunyai 2 (dua) kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai syarat yang sangat sederhana apabila dibandingkan dengan syarat kepailitan di negara Jepang, Malaysia, dan Singapura. Dimana masing-masing negara tersebut mensyaratkan bahwa diwajibkan adanya suatu rangkaian tes untuk mengetahui keadaan keuangan suatu debitur pailit, atau yang disebut sebagai insolvency test. Insolvency test ini digunakan untuk mengukur, menghitung, dan menganalisa bagaimana keadaan keuangan suatu debitur apakah sudah layak atau belum layak dipailitkan.
Kata Kunci: Insolvensi; Kepailitan; Insolvency Test

This thesis discusses insolvency as a condition for filing for bankruptcy. Insolvency is a term used to describe the situation of debtors who cannot pay debts to their creditors. In the bankruptcy law, the debtor can be filed for bankruptcy if the debtor is insolvent. An insolvent situation is if the debtor is no longer financially able to pay most of his debts or the asset value is less than its liability value. Indonesia’s Bankruptcy Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (the “Bankruptcy Law”) sets forth the requirements for filing a bankruptcy petition. The essential requirement is that there must be two or more creditors and at least one mature but unpaid debt for a bankruptcy action to be initiated against a debtor. It can be said as a very simple requirement when compared to the bankruptcy conditions in Japan, Malaysia and Singapore. Where each country requires that a financial test is required to determine the financial situation of a debtor, or what is called an insolvency test. This insolvency test is used to measure, calculate, and analyze how a debtor's financial condition is feasible or not bankrupt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Yefta Abednego
"Perjanjian Investasi Internasional terdiri dari Perjanjian Multilateral dan Bilateral. Perjanjian ini ditandatangani sebagai alat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap investor asing dan investasinya. Skripsi ini membahas dampak hukum bagi Indonesia dari keberadaan klausa penyelesaian sengketa penanam modal asing dan negara yang teracantum dalam Perjanjian Investasi Bilateral. Skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis dan descriptive analysis sebagai bentuk penelitian. Skripsi ini menyimpulkan bahwa dampak hukum dari keberadaan pasal tersebut adalah dimana Indonesia telah melepaskan sebagian dari kedaulatannya sehingga penanam modal asing dapat menggugat negara dihadapan Arbitrase Internasional secara langsung. Hal ini berdampak pula pada berkurangnya kekuasaan negara dalam menerapkan peraturan untuk kepentingan publik. Lebih jauh, Skripsi ini menyimpulkan bahwa formulasi dari klausa tersebut tidak memberikan perlindungan terhadap Indonesia.
International Investment Agreement consists of Multilateral and Bilateral Investment Treaties. These treaties signed as instrument providing greater assurance for foreign investment and his investment. This thesis discusses the legal impacts of the investor-state dispute settlement clause stipulated in the Bilateral Investment Treaties for Indonesia and the legal protection for Indonesia by the existence of such clause. This thesis employs the juridical normative research methodology and uses descriptive analysis as type of research. The thesis concludes the legal impact is that since Indonesia has waived part of its sovereignty in the investor-state dispute settlement clause, foreign investor, hence, can have direct recourse against Indonesia in international arbitration. It curtails the sovereign power of the host state in enacting regulation for the public purpose, especially for matter related investment. Further, this thesis concludes that the formulation of the clause does not provide protection for Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derek Gunawan Joedaatmadja
"Sengketa yang timbul dari hubungan kontraktual tidak dapat dihindari, sehingga sangat penting untuk para pihak memiliki metode penyelesaian sengketa. Salah satu metode yang umum digunakan saat ini adalah arbitrase. Banyak perjanjian arbitrase internasional saat ini yang menggunakan mekanisme berjenjang dimana para pihak sepakat untuk melakukan metode penyelesaian sengketa alternatif terlebih dahulu. Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi penting untuk memahami apakah klausul penyelesaian sengketa berjenjang merupakan perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat. Umumnya, dalam menentukan keabsahan klausul penyelesaian sengketa berjenjang, uji ‘tribunal versus claim’ akan digunakan untuk menyimpulkan apakah masalah dengan klausul tersebut berkaitan dengan yurisdiksi majelis arbitrase atau keabsahan klaim. Jika masalahnya terkait dengan yurisdiksi majelis arbitrase, masalah yang mendasarinya adalah bahwa para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Di sisi lain, jika masalahnya adalah mengenai keabsahan klaim, para pihak dianggap setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, namun klaim tidak dapat diterima karena alasan-alasan seperti ketidaktepatan waktu atau prematur. Pengadilan Singapura dan Hong Kong SAR telah memutuskan klausul penyelesaian sengketa berjenjang melalui proses penangguhan arbitrase. Baik Pengadilan Singapura dan Pengadilan SAR Hong Kong telah memutuskan bahwa klausul penyelesaian sengketa berjenjang dapat diterima. Namun, Pengadilan Singapura memandang bahwa kegagalan untuk memenuhi serangkaian prasyarat membuat majelis arbitrase tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Di sisi lain, Pengadilan SAR Hong Kong memandang bahwa sejauh para pihak setuju untuk melaksanakan arbitrase, majelis arbitrase akan memiliki yurisdiksi dan dapat menggunakan yurisdiksi tersebut untuk memerintahkan para pihak untuk melakukan kegiatan apapun untuk memenuhi prasyarat tersebut. Ketentuan hukum Indonesia tidak secara khusus mengatur mengenai klausul penyelesaian sengketa berjenjang, namun klausul-klausul tersebut telah lazim dalam praktik.

Disputes arising from contractual relations is inevitable, it is imperative for the parties to have a method of dispute resolution. One of the commonly used method today is arbitration. Many present international arbitration agreements utilize a multi-tiered mechanism whereby parties will agree to conduct alternative dispute resolution methods first. In relation to the foregoing, it becomes important to understand whether a multi-tiered dispute resolution clause constitutes a valid and binding arbitration agreement. Generally, in determining the validity of a multi-tiered dispute resolution clause, a 'tribunal versus claim' test will be used to conclude whether the issue with such clause relates to the jurisdiction of the arbitral tribunal or the admissibility of a claim. Should the matter be regarding jurisdiction of an arbitral tribunal, the underlying issue is that parties have not properly agreed to resolve the dispute through arbitration. On the other hand, if the matter is concerning admissibility, the parties are deemed to agree to resolve the dispute through arbitration, however the claim is not admissible due to reasons such as untimeliness or prematurity. Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled on multi-tiered dispute resolution clauses through stay of arbitration proceedings. Both Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled that a multi-tiered dispute resolution clause are acceptable. However, Singaporean Courts viewed that failure to fulfill a set of preconditions renders an arbitral tribunal to not have jurisdiction on the case. On the other hand, Hong Kong SAR Courts viewed that insofar the parties agree to arbitrate, the arbitral tribunal will have jurisdiction and may use such jurisdiction to instruct parties to conduct any activity to fulfill such preconditions. Indonesian statutory provisions do not necessarily shed a light on multi-tiered dispute resolution clauses, however such clauses are already prevalent in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Natanael
"Negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) memiliki hak untuk turut serta membentuk perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Agreements atau RTA). Masing-masing dari mereka seringkali memiliki forum dengan caranya sendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hal tersebut menimbulkan potensi konflik kewenangan, yaitu keadaan saat terdapat dua atau lebih forum yang berwenang atas suatu sengketa yang sama. Akibatnya, penyelesaian sengketa berpotensi menjadi berlarut-larut, dan menimbulkan konflik norma karena putusan yang berbeda atau bertentangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk mengeksplorasi cara-cara negara anggota WTO dan RTA untuk menghindari konflik kewenangan dan litigasi paralel di forum WTO. Penulis menemukan bahwa negara anggota dapat mencegah konflik kewenangan tersebut dengan memasukkan klausul pilihan forum dalam RTA yang mereka bentuk. Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian dapat menjadi tanda atas kehendak para pihak untuk melepaskan haknya atas penyelesaian sengketa menurut suatu forum (misalnya WTO), dengan ditunjang pula dengan doktrin-doktrin hukum sebagai dasar diterapkannya dalam ranah WTO

Member states of the World Trade Organization (WTO) have the right to participate in Regional Trade Agreements (RTAs). Each of them often has a forum with its own way of resolving disputes. This creates a potential conflict of jurisdiction, namely a situation when there are two or more forums that has jurisdiction over the same dispute. As a result, the conflict may take longer to solve, and the norms may conflict due to different or conflicting decisions. This study uses a normative juridical method to explore ways for WTO and RTA member states to avoid conflicts of jurisdiction and parallel litigation in the WTO forum. The Author found that member states can prevent this jurisdictional conflict by including a forum choice clause in their RTAs. These provisions can then be a sign of the parties' will to relinquish their rights to dispute resolution in a forum (i.e., WTO), supported also by legal doctrines as its basis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Secara geografis antara Indonesia dan Malaysia memiliki perbatasan di darat dan di laut. Batas darat terdapat di Kalimantan memiliki panjang K.l. 2000 km-lari, sedangkan perbatasan laut terdapt di selat Malaka terdiri dari batas laut teritorial kurang lebih 174 nm, batas landas kontinen dan batas ZEE( kurang lebih 433nm) di Selat Singapura hanya batas laut teritorial kurang lebih 37,4 nm, , di laut China Selatan terdiri dari batas landas kontinen dan ZEE kurang lebih 594 nm, di perairan Tanjung Datu sepanjang 12 nm (batas laut teritorial, di perairan Selat Sebuko kurang lebih 29,6 nm(batas laut teritorial dan dilaut Sulawesi kurang lebih 165 nm(batas ZEE dan landas kontinen)
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>