Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201164 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Didan Tarmansyah
"Nyeri pasca pembedahan masih menjadi masalah utama diseluruh dunia, nyeri ini menimbulkan ketidaknyamanan pasien, memperlambat penyembuhan, memperpanjang waktu perawatan dan menimbulkan komplikasi lainnya. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang nyeri dan penatalaksanaanya terhadap sikap perawat dalam menurunkan nyeri pada pasien pasca pembedahan di ruang perawatan RSUP Perasahabatan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik Korelatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil 102 orang dengan Simple Random Sampling.
Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis Spearman. Hasil penelitian ini Terdapat Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Nyeri dan Penatalaksanaaanya terhadap Sikap Perawat dalam Menurunkan Nyeri pada Pasien Pasca Pembedahan di RSUP Persahabatan Jakarta dengan nilai P=0,003 ?=0,05. Disarankan perawat untuk tetap meningkatkan pengetahuan dan sikapnya dalam penatalaksanaan nyeri pada pasien pasca pembedahan sehingga dapat menjaga kualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit.

Pain post operative is still recognized as a main problem in the world. The pain generally leads to a state of discomfort feeling, delay healing, prolonge length of stay. This study examined the correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan. The design of this study using correlational descriptive with cross sectional approach. This participants of this study consisted of 102 nurses with simple random sampling method.
The result of Spearman analysis indicates that there is a correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan Jakarta, with p value 0,003 0,05. Recomendation for nurses is to keep improving knowledge and atttude regarding pain and its management towards patients post operative in order to improve the quality of health care service in hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68861
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Anasy
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri yang efektif pascabedah merupakan bagian
yang penting pada perawatan pasien yang menjalani pembedahan. Penanganan
nyeri pascabedah laparoskopi nefrektomi donor ginjal sangat penting untuk
pemulihan dini. Epidural kontinyu merupakan teknik anestesi regional yang
digunakan pada operasi donor ginjal di RSCM, namun hasilnya belum
memuaskan karena masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus
Lumborum (QL) bilateral dengan bantuan USG dan blok epidural kontinyu
terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 52 pasien sehat yang
mendonorkan ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan proses randomisasi pada subjek penelitian,
didapatkan pada kelompok blok QL bilateral sebanyak 26 pasien dan epidural
kontinyu sebanyak 26 pasien. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, subjek dalam
kelompok blok QL mendapatkan bupivacaine 0,25% sebanyak 20 mL secara
bilateral dan subjek pada kelompok epidural mendapatkan infus bupivakain
0,125% 6 mL/jam secara kontinyu. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Mann Whitney.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
terhadap derajat nyeri NRS saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12 dan jam
ke-24 (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). Kebutuhan PCA morfin pada
24 jam pascabedah pada setiap waktu pengukuran tidak ditemukan perbedaan
bermakna (p = 0,823; 0,985; 0,693; dan 0,854). Skor Bromage, serta waktu
pertama kali pasien memencet PCA morfin ditemukan sama pada kedua
kelompok. Pada kelompok blok QL Sebanyak 6 orang (23,10%) yang merasakan
mual dan 4 orang (15,4%) yang mengalami muntah. Pada kelompok blok epidural
kontinyu sebanyak 1 orang (3,8%) yang merasakan mual dan 1 orang (3,8%) yang
mengalami muntah. Efek samping parestesia tidak ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding blok epidural kontinyu.

ABSTRACT
Background: Post operative pain management is substantial. Regional anesthesia for renal transplant donor is advantageous for early recovery. Continous epidural regiment often used in renal donor patients. However, the benefits are not fully met due to high incidence of severe post operative pain. This study compares the effectivity of USG guided bilateral Quadratus Lumborum (QL) block with continous epidural block for post operative pain management. We evaluate the degree of pain and morphine consumption.
Methods: This is a random clinical trial in Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects were random clinical trial. Fifty two subjects were renal donors who underwent surgery in RSCM. Subjects were randomized and divided into two groups, continous epidural (26 subjects) and QL block (26 subjects). Prior extubation, the QL block groups received bilateral QL block with 20 ml of Bupivacain 0.25% and the epidural group were given 6 ml/hr of Bupivacain 0.125% continously via epidural. The subjects pain were rated with NRS pain score. Morphine consumption and adverse events (nausea, vomiting, and paresthesias) were noted. Data were analyzed with Mann-Whitney test.
Results:This study showed no difference between both group regarding NRS pain score in RR, the first 2, 6, 12 and 24 hour (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). There are no difference in morphine consumption in both group (first 2 hour p=0,823; first 6 hour p=0,985; first 12 hour p=0,693; and first 24 hour p=0,854). Bromage score and the first time subjects pressed the PCA device are similar. There are 6 subjects (23.1%) who experienced nausea and 4 subjects (15.4%) who experienced vomitus from the QL block group. One subject (3.8%) experienced nausea and 1 (3.8%) subject vomitted from the epidural group.
Conclusion: The efficacy of QL block for 24 hour post-operative pain management is comparable with continous epidural analgesia following laparoscopic nephrectomy."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Muniroh
"Nyeri pada kasus fraktur merupakan gejala primer yang harus segera ditangani, sehingga diperlukan manajemen nyeri yang efektif. Nyeri fraktur yang tidak segera diatasi dapat mengganggu pelaksanaan pengkajian pasien, proses penyembuhan tulang, dan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, pada pelaksanaannya nyeri fraktur seringkali dibiarkan tidak teratasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap sikap perawat dalam pelaksanaan manajemen nyeri pada pasien fraktur. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross-sectional.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawat belum memiliki tingkat pengetahuan yang baik rata-rata skor: 53,77 dan sikap yang cenderung negatif dengan rata-rata skor 72,03. Hasil dari uji Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan di antara keduanya. = 0,150;. = 0,218. Meskipun begitu, tingkat pengetahuan yang baik tetap penting dimiliki oleh perawat agar dapat memberikan manajemen nyeri yang efektif. Partisipasi dari pihak rumah sakit maupun perawat itu sendiri sangat dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan memperbaiki sikap dalam pelaksanaan manajemen nyeri fraktur.

In fracture cases, pain is. primary symptom that needs to be treated immediately. Therefore, effective pain management is needed. Pain in fracture that is left undertreated may interrupt assessment process, bone healing process, and immune system towards infection. In fact, pain in fracture is often left undertreated. The aim of this research was to know the relationship between nurses rsquo knowledge to attitude of nurses towards pain management of fracture. This research used cross sectional design method.
The result showed that nurses had inadequate knowledge mean score 53,77 and rather negative attitude with. mean score of 72,03. Spearman correlation test showed that there was no relationship between nurses rsquo knowledge and attitude. 0,150. 0,218. Nonetheless, knowledge is an important aspect for. nurse in order to provide an effective pain management. The participation of hospital and nurses themselves are important to improve nurses rsquo knowledge and attitude towards pain management of fracture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69136
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiif Ahmidati
"Guided imagery sebagai intervensi komplementer untuk mengurangi nyeri diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan dan mengurangi kinesiofobia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektivitas guided imagery terhadap nyeri, kenyamanan, dan kinesiofobia pada pasien fraktur ekstremitas bawah pasca pembedahan. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan pre-test dan post-test. Sampel dipilih dengan metode consecutive sampling berjumlah 60 responden, terdiri dari 30 untuk kelompok kontrol dan 30 untuk kelompok intervensi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah mengalami fraktur ekstremitas bawah dan telah menjalani pembedahan pada hari pertama, mendapatkan ketorolak, berusia lebih dari 18 tahun, mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tanda vital dalam rentang stabil, sadar penuh, dan bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah ada gangguan pendengaran, multiple fracture, dirawat di ICU, mengalami diabetes mellitus dan neuropati perifer. Kelompok kontrol diberi analgetik, sedangkan kelompok intervensi diberi analgetik dan guided imagery selama 3 hari dengan durasi selama 20 menit. Pengukuran hasil dilakukan sebelum intervensi dan 3 hari setelah intervensi menggunakan Visual Analog Scale (VAS), Shortened General Comfort Questionnaire (SGCQ), dan TAMPA Scale for Kinesiophobia (TSK). Penelitian ini diikuti oleh responden laki-laki (61,7%), berpendidikan SMA (45,0%), memiliki riwayat nyeri pembedahan sebelumnya (68,3 %), dan mengalami fraktur femur (46,7 %). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna selisih rerata skala nyeri, skor kenyamanan, dan skor kinesiofobia sebelum dan setelah intervensi antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p < 0,05; α 0,05). Selisih rerata skala nyeri, skor kenyamanan, dan kinesiofobia sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Disimpulkan, guided imagery dapat menurunkan skala nyeri dan skor kinesiofobia, serta meningkatkan skor kenyamanan, sehingga perawat dapat mengimplementasikan guided imagery pada pasien fraktur ekstremitas bawah pasca pembedahan.

Guided imagery as a complementary intervention can reduce post-operative pain, increase comfort, and reduce kinesiophobia. The purpose of this study is to identify the effectiveness of guided imagery on pain, comfort, and kinesiophobia in post-operative lower extremity fracture patients. The research design used was quasi-experiment with pre-test and post-test. Samples were selected by consecutive sampling method totaling 60 respondents, consisting of 30 for control groups and 30 for intervention groups. The inclusion criteria were having a lower extremity fracture and had undergone surgery on the first day, received ketorolac, were more than 18 years old, able to communicate in Indonesian, vital signs in the stable range, fully conscious, and willing to participate in the study. The exclusion criteria for this study were hearing loss, multiple fractures, being treated in the ICU, had diabetes mellitus and peripheral neuropathy. The control group was given analgesics, while the intervention group was given analgesics and guided imagery for 3 days with a duration of 20 minutes. Outcome measurements were taken before the intervention and 3 days after the intervention using Visual Analog Scale (VAS), Shortened General Comfort Questionnaire (SGCQ), and TAMPA Scale for Kinesiophobia (TSK). This study was attended by male respondents (61.7%), high school education (45.0%), had a history of previous post-operative pain (68.3%), and had femur fracture (46.7%). The results of this study showed a significant difference in the mean difference in pain scale, comfort score, and kinesiophobia score before and after the intervention between the control group and the intervention group (p < 0.05; α 0.05). The mean difference in pain scale, comfort score, and kinesiophobia before and after treatment in the intervention group was greater than that in the control group. It was concluded that guided imagery can reduce pain scales and kinesiophobia scores, and increase comfort scores, so nurses can implement guided imagery in post-operative lower extremity fracture patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Budiarti
"Nyeri merupakan keluhan utama yang terjadi pada pasien pascapembedahan. Manajemen nyeri yang tidak efektif akan mempengaruhi kualitas pelayanan rumah sakit. Hal ini merupakan tantangan bagi rumah sakit untuk mempertahankan pencapaian kualitas pelayanan yang paripurna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi manajemen nyeri terhadap pasien pascapembedahan. Metode penelitian ini adalah cross sectional yang dilakukan dengan melibatkan 96 pasien pascapembedahan selama bulan Juni 2017. Kuesioner American Pain Society Patient Outcome Questionnaire Revised APSPOQR yang dimodifikasi Cronbach ?=0,720 digunakan untuk mengkaji pengalaman nyeri pasien. Kejadian nyeri pada pasien pascapembedahan adalah 86,5. Intensitas nyeri pada skala 1-10, terendah rata-rata pada skala 2,27, terberat rata-rata pada skala 4,35 ; dan berkurang dalam 24jam pertama sebesar 67,6. Pengaruh nyeri terhadap aktivitas, istirahat dan mood: ringan le;3,47 dari skala 1-10 ; efek samping obat: ringan le;1,54 dari skala 1-10 ; partisipasi dan kepuasan pasien dalam pengobatan berturut-turut 7,59 dan 7,92 dari skala 1-10 ; besar informasi pengobatan nyeri dapat membantu 7,01 dari skala 1-10 ; penggunaan manajemen nonfarmakologi sebesar 70,8.

Pain is a major problem post operative patients. Ineffective pain management may affect the quality of health care services in hospital. Thus, hospital management should address this challenge to provide better quality service. This study aimed to evaluate pain management given in post operative patients. The method of this study was a cross sectional study involving 96 post operative patients during June 2017. The modified American Pain Society Patient Outcome Questionnaire Revised APSPOQR Cronbach 0,720 was used to assess the patient 39 s pain experience. The incidence of pain in post operative patients was 86.5 In the first 24 hours, the pain was decreased 67.6 On a scale of 1 10, lowest pain 2.27, severe pain 4.35 the impact of pain on activity, sleep and emotion mild le 3,47 side effects of treatment mild le 1,54 ability to participate in pain treatment 7.59 Pain treatment information may be helpful 7.01 Patient satisfaction 7,92 use of nonpharmacological strategies 72,9.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S70056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eni Purwanty
"Pembedahan Open Reduction and Internal Fixation menimbulkan pembengkakan jaringan dan nyeri hebat pada area pembedahan. Salah satu upaya nonfarmakologis mengurangi pembengkakan dan nyeri adalah melakukan elevasi bagian distal yang dilakukan pembedahan. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh elevasi 20 derajat terhadap pembengkakan dan tingkat nyeri pada pasien pascabedah Open Reduction and Internal Fixation ekstremitas bawah. Penelitian dilakukan dengan desain quasi eksperimental rancangan two group pretest-posttest with control group dengan subyek penelitian sebanyak 34 responden yang dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pengukuran circumference pembengkakan menggunakan pita meter dan tingkat nyeri dengan skala Numeric Rating Scale. Penggunaan uji statistik dengan uji T dependen, uji T independent dan korelasi Pearson. Hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan selisih rerata penurunan circumference pembengkakan sebesar 1,93 cm dan tingkat nyeri sebesar 1,29 antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Elevasi 20 derajat ekstremitas bawah dapat menjadi alternatif tindakan keperawatan mandiri dalam menurunkan pembengkakan dan nyeri.

Surgery for Open Reduction and Internal Fixation causes tissue swelling and severe pain in the surgical area. One nonpharmacological effort to reduce swelling and pain is to perform distal elevation in the area of surgical. The purpose of this study was to determine the effect of a 20 degrees elevation on swelling and the level of pain in patients after surgery for Open Reduction and Internal Fixation of the lower extremities. The study with a quasi-experimental design of two group pre-test and post-test with control group with 34 subjects was divided into intervention and control groups. Swelling circumference measurements using tape meters and the level of pain with the scale of the Numeric Rating Scale. This study used dependent T test, independent T test and Pearson correlation. The results of the study showed that there were significant differences in the mean difference in the swelling circumference of 1.93 cm and the pain level of 1.29 between the intervention group and the control group. Elevation of 20 degrees of lower extremity can be an alternative for nursing intervention in reducing swelling and pain.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Santi Susanti R.
"Posterior Sagittal Anorectoplasty (PSARP) merupakan salah satu prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada pasien anak dengan malformasi anorectal. Seringkali nyeri menjadi salah satu manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat insisi pembedahan. Masalah keperawatan nyeri akut pada umumnya terjadi pada anak pasca operasi PSARP. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir nyeri yang dirasakan adalah dengan melakukan manajemen nyeri non farmakologis. Pemberian intervensi manajemen non farmakologis dengan metode skin-to-skin dapat menurunkan nyeri yang dirasakan pada pasien bayi dibawah 1 tahun.
Hasil intervensi yang diberikan pada pasien kelolaan utama paska pembedahan PSARP dengan nyeri akut mampu menurunkan rasa nyeri yang dirasakan FLACC scale 7/10 menjadi 0/10. Pemberian terapi non farmakologis perlu diikuti dengan terapi farmakologis untuk meningkatkan efektifitas intervensi yang dilakukan. Penggunaan terapi non farmakologis dengan metode skin-to-skin disarankan untuk mengurangi nyeri pada anak pasca pembedahan PSARP.

The Posterior Sagittal Anorectoplasty (PSARP) is one of the most frequent surgical procedures in child patients with anorectal malformations. Often pain is one of the clinical manifestations caused by surgical incisions. The problem of acute pain treatment in general occurs in children postoperative PSARP. One way to minimize the pain that is felt is to do non-pharmacological pain management. Administration of non-pharmacological management with skin-to-skin method can reduce the pain felt inbayis under 1 year.
The results of the intervention given to the primary management patients after the PSARP surgery with acute pain are able to lower the pain felt by FLACC scale 7/10 to 0/10. The provision of non-pharmacological therapy should be followed by pharmacological therapy to improve the effectiveness of the intervention. The use of non-pharmacological therapy with skin-to-skin methods is advised to reduce pain in children postoperative PSARP.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Ekawati
"Pengkajian yang tidak akurat dan penanganan nyeri yang tidak adekuat dapat berakibat pada terapi dan kualitas hidup anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan, sikap perawat dengan pelaksanaan asuhan keperawatan masalah nyeri pada anak kanker. Desain yang digunakan adalah analisis korelasi dengan pendekatan cross sectional. Cara pengambilan sampel adalah accidental sampling technic pada 41 perawat. Analisis data dengan chi square dan regresi logistik.
Hasilnya menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pengetahuan perawat (p=0,031), variabel pelatihan manajemen nyeri dengan sikap perawat (p=0,022), dan variabel usia dengan pelaksanaan asuhan keperawatan masalah nyeri (p=0,017) pada kelompok pendidikan vokasional. Selain itu, tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap perawat dengan pelaksanaan asuhan keperawatan masalah nyeri (p>0,005).
Hasil analisis regresi logistik didapatkan perawat yang berusia ≤ 29 tahun dan telah mendapatkan pelatihan manajemen nyeri mampu melaksanakan asuhan keperawatan masalah nyeri lebih baik. Rekomendasi: Rumah sakit mengadakan pelatihan manajemen nyeri dasar dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan asuhan keperawatan masalah nyeri.

Underassessment and inadequate pain management affected treatment process and the children's quality of life. This research aim to identify the association among nurse's knowledge, attitude and the nursing care for pain problem in children with cancer. Research design was analysis correlation with cross sectional approach. The samples consist of 41 nurses determined by accidental sampling technic. Data was analyzed by chi square and logistic regression.
The result found that there was significant association between education level and nurse's knowledge (p=0,031), between pain management training and nurse?s attitude (p=0,022) and between age and nursing care for pain problem in nursing vocational group (p=0,017). Furthermore there was no significant association among nurse's knowledge, attitude and nursing care for pain problem (p>0,005).
Multivariate analysis shown that nurses less than 29 years old and have trained of pain management are nurses who were better in nursing care for pain. This research imply nurses need to be trained in basic and advanced level in order to increase quality of nursing care for pain.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T45566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>