Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88365 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sirang, Bill Arthur
"Skripsi ini membahas mengenai masalah unsur ldquo;memiliki, menyimpan atau menguasai rdquo; dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Pasal ini sering dikenakan kepada penyalahguna narkotika yang seharusnya dihukum dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pembahasan dimulai dengan perkembangan unsur tersebut dalam aturan-aturan sebelumnya, pembentukan dan penerapan pasal tersebut dalam proses penegakan hukum. Penelitian dilakukan dengan studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan serta wawancara kepada para penegak hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan banyak disalahgunakan untuk menjerat penyalahguna narkotika. Sehingga, diperlukan perubahan terhadap ketentuan tersebut.

This thesis discusses the element of possessing, storing or controlling elements under Article 112 of 2009 Law Number 35. This study is inspired by the fact that this Article is often misused to impose punishment to narcotic abusers although Article 127 of 2009 Law Number 35 on Narcotics is more relevant to be applied for their cases. The study focuses on various aspects of these elements of crime including their creation, development, and implementation. It was conducted using the literature and legislation study approach backed up by interviews to various stakeholders including several law enforcement officers. Finally, it can be concluded that the Article 112 Paragraph 1 of 2009 Law Number 35 is problematic causing legal uncertainty to everyone. Therefore, it needs to be amended."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68262
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latiful Akbar
"Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 149 huruf e menyebutkan bahwa diberikan jangka waktu 1 tahun sejak diundangkan, Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kotamadya/Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus disesuaikan menjadi Badan Narkotika Nasional Propinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kotamadya. Pemerintah Kabupaten Bekasi dipilih sebagai studi kasus karena Badan Narkotika Kabupaten/ Kotamadya belum vertikal dengan Badan Narkotika Nasional. Teori yang digunakan : 1 Teori Otonomi Daerah 2 Teori Birokrasi 3 Teori Perubahan dan Pengembangan Organisasi 4 Teori Evaluasi Kebijakan 5 Teori Organized Crime 6 Teori Transnational Organized Crime 7 Teori Metropolitan 8 Teori Kelompok Kepentingan dan Kelompok Penekan 9 Teori Civil Society. Metode penelitian deskriptif kualitatif. Kesimpulan : 1 Faktor penyebab Pemerintah Kabupaten Bekasi belum membentuk Badan Narkotika Nasional Kabupaten Bekasi adalah kurangnya peraturan yang mengikat, tidak ada dukungan dari Bupati Bekasi, tumbuhnya kelompok-kelompok yang mengarah kepada kelompok kepentingan dan kelompok penekan. 2 Penanganan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Badan Narkotika Kabupaten Bekasi belum maksimal 3 Badan Narkotika Kabupaten Bekasi hanya dapat memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada instansi pemerintah terkait satgas dibidang ketersediaan program pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba P4GN . Saran 1 segera membentuk Badan Narkotika Nasional Kabupaten Bekasi 2 perubahan kebijakan dari self renewal kepada kebijakan top-down.

Law Number 35 of 2009 on narcotics article 149 letter e states that within a period of one year since was enacted, Narcotics Board Province and Narcotics Board Regency City that established under the Presidential Regulation Number 83 of 2007, should be adjusted to become National Narcotics Board Province and National Narcotics Board Regency City. The government of Bekasi Regency was chosen as a case study because it rsquo s National Narcotics Board Regency City has not been establish under National Narcotics Board. Theories used 1 Theory of Regional Autonomy 2 Theory of Bureaucracy 3 Theory of Organizational Change and Development 4 Theory of Policy Evaluation 5 The Organized Crime Theory 6 Transnational Organized Crime 7 Metropolitan Theory 8 Theory of Interest and Pressure Groups 9 Civil Society Theory. Qualitative descriptive research method has been used. Conclusion 1 The cause of Bekasi Regency has not been establish is lacks of regulation binding, the growth of interest and pressure groups 2 Handling of abuse and illicit trafficking in drugs by the Government of Bekasi through Narcotics Board Bekasi Regency not maximized 3 Narcotics Board Bekasi Regency can only provide technical and administrative support to the relevant government agencies task force in the field of the availability of a program to eradicate the abuse and illicit drug trafficking. Suggestion 1 to immediately establish National Narcotics Board Regency of Bekasi 2 change of policy from self renewal to top down policy."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Isnaini Februlki
"Pendelegasian kewenangan merubah Lampiran Penggolongan Narkotika dan Prekursor dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika khususnya pada Pasal 6 Ayat (3) dan Pasal 49 Ayat (3) kepada Peraturan Menteri Kesehatan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum dan ketertiban hukum khususnya dalam perwujudan tata urutan/hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tesis ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder sebagai sumber datanya, serta bersifat preskriptif, yaitu memberikan saran, penyelesaian dan saran terhadap penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa akibat karena ketidaktepatan materi muatan dan pada pendelegasian kewenangan mengubah Lampiran UndangUndang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang oleh Peraturan yang derajatnya lebih rendah, yaitu ketidakpastian hukum dan ketidaktertiban pembentukan regulasi hingga pada kesewenang-wenangan.Oleh karena itu perlu diadakan perubahan atas undang-undang tentang Narkotika, khususnya pada penggolongan narkotika dan prekursor narkotika dan para legislator lebih memperhatikan jenis dan materi muatan yang tepat dalam membentuk peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi ketidaktepatan pendelegasian kewenangan mengubah sebuah norma dari Undang-Undang.

The delegation of authority to amend the Attachment of Narcotics and Precursor Classification of Law Number 35 Year 2009 regarding Narcotics, especially in Article 6 Paragraph (3) and Article 49 Paragraph (3) to the Regulation of the Minister of Health, causes legal uncertainty and law disorder especially in the realization of the order / hierarchy of laws and regulations in Indonesia. This juridical-normative thesis uses secondary data as its data resource. It is prescriptive, by giving suggestion, solution and suggestion to research. The results show that there are some consequences due to inaccuracy of the content material and improper delegation of authority to amend the Attachment, an inseparable part of the Law regarding on Narcotics. Being amended by lower-level Regulation, it causes legal uncertainty, disorder of formation of regulation up to arbitrary. Therefore, it is necessary to amend the narcotics and precursors classification of the Law. And legislators need to pay more attention on the right kind and material content in forming legislation to avoid improper delegation of authority to change a norm of Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Solehudin
"Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika masih terus menjadi ancaman serius bagi setiap negara, hal ini diakibatkan oleh terjadinya peningkatan produksi narkotika secara illegal dan pendistribusian yang begitu cepat dan meluas dengan tidak lagi mengenal batas antara Negara, yang mengakibatkan korban penyalahgunaan narkotika setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Negara secara berkelanjutan senantiasa memperbaharui aturan perundangundangan yang mengatur upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika.
Perubahan paradigma dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai bergeser dengan adanya Amandemen Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menjadi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika salah satunya adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Namun hasil survey yang dilakukan oleh BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 tentang Survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, diketahui bahwa angka penyalahguna narkotika di Indonesia telah mencapai 2,2% atau sekitar 3,8 juta orang dari total populasi penduduk. Hal ini mengalami peningkatan bila dibandingkan pada tahun 2008 yaitu sekitar 3,3 juta orang. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam UU No. 35 Tahun 2009 tersebut diatas belum sesuai dengan yang diharapkan, dimana dari tahun ke tahun jumlah penyalahguna atau pecandu narkotika semakin meningkat.
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi: penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta penelitian empiris melalui pengisian kuesioner dan tehnik wawancara secara depth interview, dengan para narasumber untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Sistem hukum Indonesia memposisikan kejaksaan sebagai penyandang asas dominus litis yang memiliki fungsi sentral dalam pengendalian proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan.
Peran Jaksa Penuntut Umum untuk bisa mewujudkan tercapainya tujuan dari UU No. 35 Tahun 2009 khususnya upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika yaitu dengan cara meningkatkan kompetensi pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap UU No. 35 Tahun 2009 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur mengenai tindak pidana narkotika, selanjutnya memaksimalkan kewenangannya untuk melakukan pra penuntutan, penuntutan serta melaksanakan penetapan hakim. Selain itu diharapkan konsistensi dan sinergi antara aparat penegak hukum (integrated criminal justice system) mengingat dalam pengimplementasian UU No. 35 Tahun 2009 melibatkan berbagai stakeholder terkait, yakni Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan, Lembaga Pemasyarakatan, disamping juga terdapat aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa dan Hakim.
Setelah konsistensi dan sinergi antara stakeholder terkait telah berjalan dengan baik, diperlukan juga adanya dukungan dari pemerintah untuk menambah fasilitas rehabilitasi medis dan sosial di seluruh Indonesia, karena saat ini jumlah lembaga rehabilitasi/RSKO yang bisa menampung para terdakwa tindak pidana narkotika masih sangat terbatas.

Abuses and illegal circulation of narcotic drugs continue to pose serious threat to any country. This is due to increased production of illegal drugs and their fast and extensive distribution across state borders. This results in increasing number of drug victims each year. The State continually and at any time necessary amends laws and regulations that govern efforts to eradicate abuses of drugs and the similar substances. The paradigm in handling cases of drug abuses in Indonesia has shifted following amendment to Law Number 22 Year 1997 on Narcotic Drugs and Law Number 5 Year 1997 regarding Psychotropic Drugs to become Law No. 35 Year 2009 regarding Narcotic Drugs.
The objective of the drafting of Law No.35 Year 2009 on Narcotic Drugs is to ensure regulation on efforts to do medical and social rehabilitation on drug abusers and addicts. However, based on the result of survey conducted by BNN in cooperation with the Health Research Center of Universitas Indonesia in 2011 on development of drug abuses in Indonesia, the drug abuse rate in Indonesia has reached 2.2% of the population or around 3.8 million. This is an increase compared to the figure in year 2008 namely around 3.3 million. Hence, we can say that the objective of Law No. 35 Year 2009 as mentioned above cannot be achieved as expected, and instead increase in term of the total number of drug abusers or addicts year by year.
The research conducted in this thesis is juridical normative in nature and uses the following methods of data collection: literature studies through collection of primary legal materials, secondary legal materials, tertiary legal materials, and empirical research through questionnaires and in-depth interviews with the source persons to get the required information. The Indonesian legal system positions the public prosecutor’s office as the holder of dominus litis principles and has the central function in controlling a case proceeding and determines whether an individual can be declared as the defendant and brought to justice.
Public prosecutors play the role in realizing the achievement of objective of Law No. 35 Year 2009, in particular, efforts of medical and social rehabilitation on drug abusers and addicts namely by enhancing their competency and understanding on Law No. 35 Year 2009 and other provisions that regulate drugrelated crimes, and subsequently maximize their authority to perform preprosecution, prosecution and execute the judge’s stipulation. In addition, consistency and synergy among legal enforcement apparatuses (integrated criminal justice system) related to the implementation of Law No. 35 Year 2009 involve various relevant stakeholders namely the Ministry of Social Affairs, Ministry of Health, Correctional Institutions, as well as law enforcers such as police, prosecutors and judges. Asides from consistency and synergy among relevant stakeholders, supports are required from the government to provide more medical and social rehabilitation facilities throughout Indonesia, as presently there are limited number of rehabilitation institutions/RSKOs that can accommodate defendants in drug-related crimes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bela Annisa
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang penyalahgunaan narkotika yang jenisnya belum
terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, ditinjau dari segi penerapan asas legalitas. Dengan menggunakan
metode penelitian kepustakaan disertai wawancara dengan beberapa narasumber
terkait, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana seharusnya
pengaturan jenis-jenis narkotika di dalam regulasi narkotika yang berlaku saat ini,
yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, agar tetap bisa digunakan dalam
kasus-kasus penyalahgunaan narkotika jenis baru yang terus berkembang.
Pembahasan diarahkan pada beberapa hal, yaitu kekuatan hukum sebuah lampiran
regulasi narkotika, keberlakuan asas legalitas terhadap lampiran tersebut, serta
ketentuan mengenai interpretasi terhadap lampiran tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the illicit use of narcotics that the kind of narcotics
haven’t been registered yet in Annex of Law Number 35 Year 2009, reviewed
from the application of legality principle. By combining the literature research
method and the interviews with some experts, this thesis aims to know how the
kind of narcotics should be regulated in the regulation of narcotics nowadays, that
is Law Number 35 Year 2009, so that regulation can be used for new cases of
narcotic illicit use that continue to thrive day by day. The discussion lines to
several things, which are the force of law of an annex of narcotics regulation,
enforceability of legality principle to the annex, and provision in interpreting the
annex."
Universitas Indonesia, 2014
S58251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mely Chinthya Devi
"Skripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai pelaksanaan pidana denda yang dijatuhkan bagi pelaku Illicit Traffic berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Kedua, mengenai tepat atau tidaknya perumusan ancaman pidana denda bernominal tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 guna mencapai tujuan pemidanaan yang diharapkan oleh perumus undang-undang. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk meninjau kembali ketepatan perumusan ancaman pidana denda bagi pelaku Illicit Traffic dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, dalam kaitannya guna mencapai tujuan yang diharapkan oleh undang-undang. Perumusan pidana denda dalam jumlah tinggi bagi pelaku Illicit Traffic pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dibentuk guna meningkatkan fungsi prevensi umum dan represif sehingga dapat menekan angka penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prekursor narkotika. Namun, tingginya jumlah ancaman pidana denda justru menjadi salah satu faktor yang secara tidak disadari justru menghambat pelaksanaan pidana denda oleh para pelaku Illicit Traffic itu sendiri dan berakibat pada tidak tercapainya tujuan pemidanaan yang sebenarnya diharapkan.

The thesis mainly discusses about two problems. First, about execution of fines sanction for Illicit Trafficker of Narcotic Drugs which sentenced by Law of 2009 Number 35. Second, about exactness of fines for Illicit Trafficker of Narcotic Drugs which regulated by high amount in Law of 2009 Number 35 regarding on the purpose of sentencing which brought by the legislators. By combining the literature research method with the field research method, this thesis aims to review the regulation about the high amount of fines for Illicit Trafficker of Narcotic Drugs which regulated by Law of 2009 Number 35. The high amount of fines for Illicit Trafficker in this law is regulated by the thought of increasing the functions of punishment in deterrence and retributive ways, so it can reduce the number of illicit use and traffic of Narcotic Drugs. In the other hand, those high amounts of fines also being a factor, the legislators had not aware, which can pursues the execution of fines sanction itself and makes the purpose of sentencing unreachable."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marbuhal Sindak Panaili Bitik Maninga Pardamean D.
"Skripsi ini membahas mengenai konsepsi permufakatan jahat yang diterapkan dalam kasus Fredi Budiman. Dalam perkara ini, Fredi Budiman dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan ldquo;permufakatan jahat untuk secara tanpa hak dan melawan hukum menjual, membeli, dan menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I rdquo;, padahal perbuatan ldquo;membeli rdquo; yang dilakukan Fredi Budiman telah selesai dilakukan. Penerapan seperti demikian terjadi karena fakta bahwa dalam perkara ini, ldquo;permufakatan jahat rdquo; diterapkan selayaknya ldquo;penyertaan rdquo;. Hal ini bertentangan dengan konsepsi dasar permufakatan jahat samenspanning yang hanyalah perbuatan kesepakatan antar para pihak untuk melakukan sebuah tindak pidana, sehingga seharusnya tidak diterapkan lagi terhadap para pelaku yang telah melakukan sebuah tindak pidana hingga selesai sesuai dengan niatnya. Pada akhirnya akan didapatkan kesimpulan bahwa penerapan konsepsi permufakatan jahat selayaknya penyertaan adalah penerapan hukum yang keliru.

This thesis analyzes the application of the concept of criminal conspiracy in the case of Fredi Budiman. In this case, Fredi Budiman was declared guilty of ldquo conspiracy to unlawfully buy, sell, and broking sales of Narcotic Drugs rdquo , whereas Fredi Budiman rsquo s act of ldquo buying rdquo have been done completely. Such application occurred due to the fact that in this case, ldquo criminal conspiracy rdquo was applied as if it is a ldquo criminal complicity rdquo . This does not conform to the basic concept of criminal conspiracy samenspanning itself which is merely an act of agreement between parties to commit a crime, so it should not be applied extensively to the perpetrators of a completed crime. Eventually, it will be concluded that the utilization of criminal conspiracy similar to complicity is an incorrect application of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68025
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Murlian
"Tesis ini membahas mengenai PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS) yang merupakan salah satu kewajiban perpajakan objektif yang melekat pada kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan atas pembangunan rumah atau bangunan dengan kriteria tertentu. Pertimbangan utama diberlakukan kebijakan ini adalah untuk mencegah penghindaran pengenaan PPN. Dalam perjalanan waktu, ketentuan PPN KMS senantiasa mengalami perubahan. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah asas keadilan pajak terpenuhi pada pengenaan PPN KMS dan aturan pelaksananya telah memenuhi asas kepastian hukum. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa PPN KMS sama sekali tidak mencerminkan asas keadilan pemungutan pajak dan peraturan pelaksana PPN KMS tidak memberikan kepastian hukum karena peraturan yang ada selalu berubah-ubah atau inkonsistensi sehingga sangat membingungkan masyarakat yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

This thesis discussed about the Value Added Tax imposed on activity of build on one's own that is one obligation taxation objective attached to to the activity of build on one’s own that conducted not within the business activity or work by individual or corporate for the construction of house or building with certain criteria. Activity of build on one's own that conducted not within its business activity or work, subject to Value Added Tax with consideration to prevent evasion of Value Added tax. In course of time, the provisions of the Value Added Tax imposed on activity of build on one's own constantly changing. The research was conducted with the study of librarianship and field studies with the aim of this study is to determine whether the principle of tax fairness are met on the imposition of Value Added Tax imposed on activity of build on one's own and rules of the organization has fulfilled the principle of legal certainty. Based on the results of this research thar the Value Added Tax imposed on activity of build on one's own in no way reflects the principle of tax fairness and the implementing regulation of the Value Added Tax imposed on activity of build on one's own does not provide legal certainty due to the ever-changing regulations or inconsistencies so very confusing communities that conduct activities to build on one's own."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35968
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hegar Sandroria Enggar
"ABSTRAK
Kesalahan merupakan salah satu teori penting dalam hukum pidana. Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Dengan munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu bentuk tindak pidana mengadopsi bentuk kesalahan berupa kealpaan maupun kesengajaan. Dalam prakteknya tidak mudah untuk membedakan pengenaan antara dua bentuk kesalahan tersebut dalam perkara kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menafsirkan Pasal 310 dan Pasal 311 sebagai pasal yang mengatur ketentuan pidana bagi pelaku kecelakaan. Adapun metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian yang bersifat normatif, dengan cara menggali secara mendalam mengenai konsep kealpaan maupun kesengajaan. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan kelalaian maupun kesengajaan seperti apa yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311. Dari hasil penelitian, kesengajaan dan kealpaan yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 bukan merupakan suatu bentuk aliud maupun minus. Pasal 310 mengancam pidana bagi seseorang yang menimbulkan kecelakaan karena ketidak hati-hatinya. Sedangkan Pasal 311 mengancam pidana bagi seseorang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara membahayakan. Pasal 310 merupakan lex specialis dari beberapa pasal dalam KUHP, sedangkan Pasal 311 merupakan aturan baru dalam mengancam pidana perbuatan pengemudi kendaraan bermotor.

ABSTRACT
Mens rea is important theory in criminal law. The criminal law recognizes two forms of mens rea, namely intention and negligence. With the advent of Law Number 22 of 2009 on Road Traffic and Transportation, traffic accident as a form of criminal act adopts the form of negligence and intention. In practice it is not easy to distinguish between the two forms of the imposition of such errors in the case of a traffic accident. Accordingly, this study aims to interpret Article 310 and Article 311 of the penal provisions of article regulating the perpetrator of the accident. The methods used in the conduct of research is a normative, by digging deeply about the concept of negligence and intention. It aims to explain the negligence and intentional such as those mentioned in Article 310 and Article 311. From the research, deliberate and omissions set forth in Article 310 and Article 311 is not a form of aliud or minus. Article 310 of criminal threatening for someone who caused an accident because of his lack of care. While Article 311 of criminal threatening for a person driving a motor vehicle dangerously. Article 310 is lex of several articles in the Criminal Code, whereas Section 311 is a new rule of criminal conduct in threatening motorists.
"
2014
S56124
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Andri
"Aktifitas penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor telah begitu luas di masyarakat kita. Masalah ini akan menjadi ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya, tetapi juga sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu pemerintah telah melakukan langkah-langkah dengan mengundangkan peraturan perundangundangan terkait penyalahgunaan Narkoba serta membentuk lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menjadi badan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada perkembangannya setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi BNN diberikan kewenangan yang besar. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekusor narkotika. BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika diluar penyidik POLRI yang sudah ada.
Dalam sistem peradilan pidana, Penyidik BNN menjadi salah satu gatekeeper selain penyidik POLRI dan PPNS dalam penanganan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Porsi kewenangan BNN yang sangat besar dan tidak adanya aturan diferensiasi dalam tataran pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan dengan penyidik POLRI, contoh dalam bentuk kekhasan cara penangkapan, obyek tangkapan, spesialisasi narkoba yang disita dan sebagainya antara penyidik BNN dengan penyidik kepolisiaan dapat menimbulkan permasalahan secara kelembagaan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka dapat timbul kendala dimana sistem peradilan terpidana yang terpadu menghendaki keseluruhan proses yang bekerja dalam satu sistem, sehingga antara masing-masing lembaga itu sebagai sub sistem yang akan saling berhubungan dan mengaruhi satu sama dengan yang lainnya dapat bekerja sama dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum.

The activity of abusing Narcotics and Precursor has been widely spread in our society. This problem will become a serious threat towards not only the survival but also the future of the victims, and is very harmful for the life of the society, the nation, and the state. Therefore, the government has taken some steps by enacting the relevant laws and regulations to the drugs abuse and by establishing a non-structural institution, BNN (National Narcotics Board) which becomes a coordinating board with the relevant government agencies for availability, prevention, and combat of the misuse and illegal selling of Narcotics and Narcotic Precursor.
In its development after the promulgation of the law No. 35 of the year 2009 on Narcotics, BNN has been granted big responsibilities for its duty and functions. One of BNN?s responsibilities is to prevent and combat the misuse and the spread of narcotics and narcotic precursor. BNN is granted a responsibility to do investigation and inquiry towards the misuse and the spread of the narcotics and narcotic precursor outside the existing POLRI (the Police Department of the Republic of Indonesia) investigators.
In the criminal justice system, BNN investigators become one of the gatekeepers besides POLRI and PPNS?s investigators in handling the Narcotics and Narcotic Precursor criminal acts. The portion of BNN responsibilities is very big and there is no differentiation rule in the level of execution of investigation and inquiry duty with POLRI investigators. Therefore, the differences in the way BNN and POLRI make an arrest, the subjects of the arrest, the drugs specialization confiscated, and other differences may cause problems institutionally.
Based on that, there will be problems incurred where the integrated criminal justice system expects the entire process works under one system so that each institution will be the sub-system mutually related and influencing one another, and can coorperate to accomplish the goal of the law enforcement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28937
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>