Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurindah Hilimi
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tiga permasalahan, yakni penyelesaian perkara pidana delik Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain dalam Hukum Pidana Indonesia saat ini, penyelesaian perkara pidana melalui metode Islah perdamaian dalam Hukum Pidana Islam dalam perkara Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain, dan prospek penerapan Perdamaian Islah menurut Hukum Pidana Islam dalam penyelesaian perkara pidana delik Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif, dengan tujuan penelitian adalah mengetahui prospek penerapan Perdamaian Islah menurut Hukum Pidana Islam dalam penyelesaian perkara pidana delik Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain di Indonesia. Hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional, memiliki sebuah konsep yang bernama Islah, dimana untuk jenis kejahatan Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain dimungkinkan bahkan sangat dianjurkan adanya upaya perdamaian yang bertujuan agar terciptanya kedamaian antar pelaku dan keluarga korban. Konsep ini memiliki kesamaan karakteristik dengan konsep Restorative Justice yang kini sedang berkembang di Indonesia. Pada akhirnya penelitian ini menunjukan bahwa penerapan Islah atau perdamaian dalam hukum pidana Islam memiliki prospek yang cukup baik untuk dijadikan salah satu model atau alternatif penyelesian perkara pidana delik Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain di Indonesi. Adapun bentuk penerapannya adalah dengan melakukan objektifikasi yakni memasukan esensi dari metode Islah dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan delik Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain.

ABSTRACT
This research discusses about three problems, wich are the dispute settlement of Criminally Negligent Homicide in Indonesia Legal System, the dispute settlement of the Criminally Negligent Homicide with Islah or Reconciliation in Islamic Criminal Law, and the prospect of applying for reconciliation Islah in Islamic Criminal Law as an dispute settlement for Criminally Negligent Homicide in Indonesia. The method used in this research is normative juridical, and the purpose of this research is to study the The Prospect of Applying for Reconciliation Islah in Islamic Criminal Law as An Dispute Settlement for Criminally Negligent Homicide in Indonesia. Islamic law as one of the sources of national law, has a concept or method to settling Criminally Negligent Homicide cases, the method called Islah or reconciliation. In Islamic Legal System, Islah is strongly recommended to settling the criminal casesthis method is expected to create peace between perpetrators and families of victims. This concept has similarities with the concept of Restorative Justice that is being developed in Indonesia. Ultimately this research indicates that the application of Islah or peace in Islamic criminal law has a good enough prospect to be one of the models or alternatives for the settlement Criminally Negligent Homicide in Indonesia. The form of implementation is to do objectification of how to enter the essence of the method of Islah in legislation related to the Criminally Negligent Homicide cases."
2017
S69850
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delphi Aulisia
"Skripsi ini membahas mengenai prospek penerapan pemaafan, yakni sebuah jenis penyelesaian untuk tindak pidana (jarimah) qisas diyat yang dikenal dalam hukum pidana Islam, dalam tindak pidana kelalaian yang menyebabkan matinya orang khususnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Terdapat tiga permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu konsep tindak pidana kelalaian yang mengakibatkan matinya orang dan sanksinya menurut hukum pidana Indonesia, konsep pembunuhan tersalah dan sanksinya menurut hukum pidana Islam, dan prospek penerapan pemaafan sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana kelalaian yang menyebabkan matinya orang dalam kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif melalui penelusuran kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaafan sebagai sebuah penyelesaian alternatif memiliki prospek yang cukup baik untuk diterapkan di Indonesia untuk kasus kelalaian yang mengakibatkan matinya orang dalam kecelakaan lalu lintas dengan alasan: 1) ketentuan di dalam hukum Islam telah berhasil dipositivisasikan ke dalam hukum positif Indonesia yang hasilnya terlihat dari adanya produk peraturan perundang-undangan yang memiliki semangat syariat Islam; dan 2) pemaafan, selain dikenal dalam hukum pidana Islam, juga merupakan sebuah praktik yang sejalan dengan paradigma hukum keadilan restoratif yang mana telah mulai diterapkan di Indonesia.

This undergraduate thesis discusses about the prospect of applying forgiveness, which is a form of settlement for qisas diyat crimes known in the Islamic criminal law, in death by negligence especially in traffic accident cases in Indonesia. There are three issues addressed: the concept of death by negligence and its sanctions according to Indonesian criminal law, the concept of wrongful murder and its sanctions in Islamic criminal law, and the prospect of applying forgiveness as an alternative settlement in death by negligence in traffic accident cases in Indonesia. The research method used is the juridical normative method through library research. The result of this research shows that forgiveness as an alternative settlement has a rather good prospect to be implemented in Indonesia in cases of death by negligence in traffic accident cases for these reasons: 1) some laws in Islamic law have been integrated into Indonesian positive laws and the results can be seen through the existence of legislations that have the spirit of Islamic law; and 2) not only is forgiveness known in Islamic criminal law, it is also a practice that goes hand in hand with restorative justice, a new legal paradigm that has been implemented in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramzy
"Secara konvensional hukum dibagi menjadi menjadi hukum publik dan hukum privat maka hukum pidana menjadi hukum publik. di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu metode perdamaian (shulh). Di dalam perdamaian (shulh) baik korban atau walinya ataupun washinya (pemegang wasiat) diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman dengan imbalan pengganti sama dengan diat atau lebih besar dari diat. Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sangat sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia yaitu semangat musyawarah untuk setiap permasalahan pidana dengan tujuan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (obat terkahir) bukan sebagai premium remedium (obat utama).

Conventionally law is divided into the public law and private law in which the public law governing the relationship between citizens and the state such as criminal law, while private law governs the relationship between citizens with citizens such as contract law. Enactment of Law No. 8 of 1981 regarding Indonesian Crime Law Procedure has led to fundamental changes, both conceptually and in implemental to the settlement procedures for criminal cases in Indonesia. In the tradition of Islamic criminal law there is a method of settlement, namely method of concilliation (shulh). In the shulh both the victim or the will holder will be allowed to make conciliation in terms of punishment in return for a replacement is equal or greater than the blood money (diyat). Restorative justice is an approach model in a criminal case settlement efforts. This approach focuses on the direct participation of perpetrators, victims and society in the process of resolving criminal cases. Criminal cases settlement process through conciliation method is in accordance with the characteristic of the Indonesian nation, "spirit of deliberation" for every crime case settlement with the aim that criminal law is not as a premium remedium but ultimum remedium"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31921
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilang Sakti
"Penelitian tesis ini membahas tentang pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan yang menerapkan restorative justice dalam tindak pidana yang menyebabkan matinya korban (khususnya pada tindak pidana pembunuhan, pembunuhan berencana, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian). Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian normatif dengan mencari bahan kepustakaan atau data sekunder yang kemudian dilengkapi dengan data primer. Dalam tesis ini yang menjadi permasalahan adalah apakah restorative justice dapat diterapkan terhadap kasus tindak pidana yang menyebabkan matinya korban, apakah penerapan restorative justice dalam kasus tindak pidana yang menyebabkan matinya korban dapat dijadikan sebagai bahan perimbangan hakim dalam memberikan putusan, serta bagaimana pengaruh pertimbangan hakim terhadap putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana yang menyebabkan matinya korban yang diselesaikan dengan restorative justice. Dalam praktiknya, keadilan restoratif pada prinsipnya merupakan konsep penyelesaian yang menekankan adanya pertemuan antara keluarga korban dan terdakwa serta masyarakat untuk mencapai kesepakatan bersama. Kesepakatan inilah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dengan mempertimbangkan keadilan restoratif dalam penjatuhan hukuman, hakim harus memastikan pemulihan keluarga korban dan mengintegrasikan kembali pelaku ke masyarakat.

This thesis research discusses the consideration of judges in court decisions that apply restorative justice in criminal offences homicide (specifically in the criminal offences of murder, manslaughter, and abuse that cause). This thesis research uses normative research methods by searching for literature or secondary data which is then complemented by primary data. In this thesis, the problems are whether restorative justice can be applied to criminal offences homicide, whether the application of restorative justice in criminal offences homicide can be used as a consideration for judges in giving decisions, and how the influences of judges’ considerations on court decisions in criminal offences homicide resolved with restorative justice. In practice, restorative justice is in principle a settlement concept that emphasizes a meeting between the victim’s family, the defendant and the community to reach a mutual agreement. This agreement is taken into consideration by the judge in reaching a verdict. By considering restorative justice in sentencing, judges must ensure the recovery of the victim’s family and reintegrate the offender into society."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radius Affiando
"Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu bentuk tindak pidana yang mengadopsi suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan memiliki suatu masalah baru dengan adanya suatu moda transportasi Transjakarta. Hal ini berkaitan dengan suatu kecelakaan yang terjadi dalam jalur khusus bus transjakarta. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan suatu bentuk kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta. Adapun metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif, dengan cara menggali secara mendalam mengenai konsep dari kealpaan. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan suatu bentuk kealpaan dengan teori lain yang terkait sehingga penelitian ini memiliki tipe penelitian deskriptif. Dalam melakukan penelitian ini, penulis berpegang pada satu bidang ilmu, yaitu ilmu hukum. Data penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilengkapi dengan tambahan data primer berupa wawancara dengan beberapa pihak terkait. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan hasil bahwa tidak terdapat suatu perbedaan penerapan mengenai suatu konsep kealpaan pada kecelakaan di jalur transjakarta dengan kecelakaan pada umumnya. Selain itu, suatu hal yang berbeda jauh antara penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kereta api dengan jalur khusus transjakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu kecelakaan di dalam jalur transjakarta tidaklah ubahnya suatu kecelakaan lalu lintas pada umumnya dan bukan suatu kecelakaan khusus yang mempunyai suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang khusus pula.

Two kind of mistake in criminal law are negligence and deliberate. Traffic accident is one of the negligence criminal offence that become a new problem for DKI Jakarta Local Goverment. While transjakarta as a new public transportation operated and caused numerous traffic accident in transjakarta busway. The aim of this study is to find out how far negligence theory applied in transjakarta traffic accident. The method of this study is normative juridicial using in-depth review of negligence concept and used to explain any negligence type with another theory in a descriptive way. The source used in this method are secondary data consist of primary, secondary, and tertiary law data added with interview as additional primary law data. The result of this study is there are no significant difference in transjakarta traffic accident with common traffic accident. The criminal responsibility of transjakarta traffic accident is not mutual with railway accident. The conclusion of this study are there are no significant difference in transjakarta traffic accident with common traffic accident and no specific criminal responsibility."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43141
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi
"Skripsi ini membahas mengenai kontribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan ketentuan perlindungan korban perkosaan di dalam hukum pidana nasional Indonesia. Bentuk penelitian dalam karya tulis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Latar belakang dalam penulisan karya tulis ini adalah melihat ketentuan hukum pidana Indonesia terkait perkosaan yang selama ini diatur dalam Pasal 285 KUHP, hanya memberikan sanksi kepada pelaku berupa pidana penjara maksimal 12 tahun. Ironinya perlindungan terhadap korban perkosaan sama sekali tidak diakomodir dalam ketentuan tersebut, padahal dampak negatif yang diderita oleh korban mencakup banyak hal di antaranya berupa kerugian fisik dan psikis. Di sisi lain, hukum pidana Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah memiliki ketentuan hukum yang komprehensif terkait delik perkosaan, yaitu berupa hukuman had zina bagi pelaku perkosaan dan sistem perlindungan bagi korban. Ketentuan hukum pidana Islam tersebut dapat diimplementasikan ke dalam RUU KUHP Indonesia mengingat ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yaitu "Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara", dengan sila pertamanya yaitu "Ketuhanan yang Maha Esa". Demikian kesimpulan dari penelitian ini adalah untuk menjamin perlindungan hak-hak korban perkosaan perlu dilakukan pembaharuan ketentuan yang ada, yang dapat mengadopsi dari ketentuan hukum pidana Islam.

This thesis discusses the contribution of Islamic criminal law in the law reform of rape victim protection in Indonesian national criminal law. This is a legal normative research that use a qualitative approach. Indonesian criminal law provisions in Article 285 of the Criminal Code, only impose sanctions on the perpetrators in the form of imprisonment for a maximum of 12 years. The irony is the rape victim protection did not accommodated on the provisions, whereas the negative impact suffered by the victims include many things (ie. physical and psychological damages). On the other hand, Islamic criminal law that comes from al-Quran and as-Sunnah have a comprehensive legal provisions related to the offense of rape and protection system to the victims. Islamic criminal law provisions can be implemented into Indonesian Law. It is based on provision of Article 2 of Law No. 12 of 2011: "Pancasila is the source of all laws of the country", where the first principle is "Ketuhanan Yang Maha Esa". The conclusion is to ensure the protection of the rights of rape victims, it need to have a law reform due to the existing provisions that could adopt from the Islamic Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Nul Hakim
"Tujuan perkawinan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa namun demikian pada kenyataan perkawinan bukanlah tanpa masalah sehingga seringkali terjadi kekerasan dalam dalam rumah tangga untuk itulah pemerintah membentuk Undang Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKDRT dan tujuan dibentuknya undang undang ini adalah untuk menjaga keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia aman tenteram dan damai Namun adakalanya laporan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di dasari rasa emosional sesaat yang kemudian melaporkan perbuatan tersebut kepada pihak kepolisian namun tidak jarang juga terjadi ketika pada akhirnya permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga tersebut dapat diselesaikan ataupun karena didorong pertimbangan perkembangan anak pasangan suami istri tersebut akhirnya dapat kembali berdamai Dalam keadaan yang demikian maka korban cenderung menjadi tidak lagi berniat untuk melanjutkan perkaranya sampai ke tingkat persidangan yang jutsru akan memicu ketegangan dalam rumah tangga yang sudah kembali rukun tersebut Kesulitan yang timbul bagi aparatur di tingkat penyidikan dalam memilih untuk tidak melanjutkan perkara kekerasan dalam rumah tangga dimana antara pelaku dan korban telah tercapai perdamaian karena tidak semua delik yang diatur Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dirumuskan sebagai delik aduan karena dalam penanganan perkara KDRT hukum acara yang digunakan pada dasarnya mengacu pada KUHAP maka upaya penyidik dalam mencari kemungkinan penyelesaian diluar pengadilan hanya terbatas sebelum pelapor secara resmi memasukan laporannya mengingat setelah laporan diteruskan oleh kepolisian yang berwenang maka penanganan perkara tersebut akan mengikuti alur penanganan perkara pada umumnya sebagaimana yang diatur didalam KUHAP penuntutan tercapainya perdamaian antara pelaku dan korban juga tidak serta merta menghentikan proses penuntutan perkara tersebut hal ini berarti bahwa walaupun terjadi perdamaian antara pelaku dan korban penuntut umum pada dasarnya harus tetap melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan dan perdamaian merupakan faktor yang dipertimbangkan oleh penuntut umum dalam menentukan berat ringannya pidana yang dituntut atas perbuiatan terdakwa Untuk itu diperlukan adanya konsep diversi terhadap perkara kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tujuan Undang Undang PKDRT yaitu untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

The purpose of marriage is to establish a happy and everlasting family or household based on the sole Almighty God however in reality marriage is not without problems as domestic violence often occurs Therefore the Law No 23 of the year 2004 on Elimination of Domestic Violence has been enacted by the government and its objective is to maintain the unity and the harmony of a happy safe calm and peaceful household Nevertheless occasionally the report on domestic violence happened due to temporary emotional turmoil and then this act was reported to the police However it often happened that the domestic violence occurring could be ended or it stopped because of the consideration of their children rsquo s development so that the couple finally could get back together again peacefully In such a condition the victim tends to no longer have the intention to proceed with the case to the court hearings since it will cause the tension to appear in the household which has calmed down Difficulties appear for the apparatus in the investigation phase in the cases where the victim chooses not to proceed with the case of domestic violence since the perpetrator and the victim have settled the matter The difficulties occur because not all misdemeanors governed by the Law Number 23 of the year 2004 on Elimination of Domestic Violence are formulated as offense In handling domestic violence cases the law of procedure applied basically refers to KUHAP Penal Code so the effort of the investigator to seek for the possibility of settlement outside court is limited to only before the person reporting officially submits his her report considering that after the report is followed up by the relevant police officers the handling of the case will comply with the case handling procedure in general as governed in KUHAP The accomplishment of settlement between the perpetrator and the victim cannot automatically put an end to the case prosecution process This means that even though there is settlement between the perpetrator and the victim the general prosecutor basically has to continue proceeding with the case to the court and the accomplishment of the settlement is the factor which is considered by the general prosecutor to determine the seriousness of the criminal act prosecuted based on what the accused has done Consequently it is necessary to have a diversion concept towards domestic violence cases as the objective of the Law on Elimination of Domestic Violence is to maintain the unity of the harmonious and prosperous household "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudia Hwai Willy Wibowo
"Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga quasi yudisial yang melaksanakan fungsi yudisial (mengadili) dalam hal terjadinya kecelakaan kapal, walaupun tidak termasuk peradilan yang secara limitatif diatur dalam Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan muncul saat pihak yang diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Pelayaran ternyata diproses kembali secara pidana dan kemudian dalam penjatuhan sanksi pidananya, hakim juga menggunakan putusan Mahkamah Pelayaran sebagai bahan pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan. Walaupun begitu ternyata dua kali pemrosesan tidak melanggar asas Ne Bis In Idem dengan tidak terpenuhi dua syarat keberlakuannya, serta penggunaan putusan Mahkamah Pelayaran tidak akan melanggar asas Non-Self Incrimination tergantung dari cara penggunaannya.

Voyage Court is a quasi-judicial institution which perform judicial functions (try) in the event of ship accident, although not included in the limitative regulated court in the Law of Judicial Power. Problems arise when party are examined and sanction by the Voyage Court turned out to be processed again in a Criminal Court and at the imposition of criminal sanctions, the judge also uses Voyage Court decision as a consideration material for its decision. Although the twice processing itself does not violate the principle of Ne Bis In Idem with some of the unmet requirements and the use of Voyage Court decision would not violate the principle of Non-Self-Incrimination depending on how to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22602
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>