Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171137 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roza Mulyana
"ABSTRAK
Latar Belakang.Ophiocephalus striatus berpotensi meningkatkan kadar IGF-1 dan albumin karena mengandung asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral. Belum ada penelitian menggunakan ekstrak Ophiocephalus striatus khusus pada pasien usia lanjut dengan malnutrisi.Tujuan. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Ophiocephalus striatus terhadap kadar IGF-1 dan albumin pasien usia lanjut dengan malnutrisiMetode. Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada pasien rawat inap yang telah melewati kondisi akut dan dibolehkan pulang, berusia ge; 60 tahun dengan skor Mini Nutritional Assessment le; 23,5 dan kadar albumin < 3,5 g/dL. Dilakukan randomisasi untuk mendapatkan ekstrak Ophiocephalus striatus 10 gram sehari atau plasebo selama 14 hari. Kadar IGF-1 dan albumin diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan. Pengaruh pemberian ekstrak OS dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney. Hasil. Randomisasi dilakukan terhadap 109 subjek, sebanyak 90 subjek menyelesaikan penelitian hingga 14 hari masing-masing kelompok45 orang . Median usia 69 64;75 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 3. Didapatkan perubahan kadar IGF-1 dan albumin sesudah perlakuan pada kelompok ekstrak OS vs plaseboberturut-turut 14,70 0,30;31,50 ng/mL vs 1,00 -6;13,15 ng/mL p = 0,002 dan 0,50 0,15;0,70 g/dL vs 0,10 0,0;0,50 g/dL p = 0,003 . Simpulan. Ekstrak Ophiocephalus striatus dapat meningkatkan kadar IGF-1 dan albumin pasien usia lanjut dengan malnutrisi

ABSTRACT
Backgound.Supplementation with Ophiocephalus striatus is potential to increase IGF 1 and albumin levels in elderly malnourished patients beacause of the contents of amino acids, fatty acids, vitamins, and minerals.Objective.This study was conducted to confirm the effect of Ophiocephalus striatusextract on levels of IGF 1 and albumin in elderly malnourished patients. Method.The study design is a double blind randomized controlledtrial involving hospitalizedmalnourished ge 60 years old patientsin acute ward before discharged, with Mini Nutritional Assessment score le 23.5 and albumin level 3.5 g dL.A total of 109 subjects were randomly divided into two groups including one group received Ophiocephalus striatus extract 10 g per day and another group received plasebo for 14 days. Albumin and IGF 1 levelswere obtained before and after intervention. Results.Ninety subjects completed the study extract group 45 subjects plasebo goup 45 subjects for 14 days. Median of age was 69 64 75 years, with male to female ratio were 2 3. The delta differences of IGF 1 and albumin levels between extract group and placebo group were 14.7 0.30 31.5 ng mL vs 1.00 6 13.15 ng mL p 0.002 and 0.50 0.15 0.70 g dL vs 0.10 0,0 0.50 g dL p 0.003 , respectively. There were significant differences between extract and placebo group. Conclusions. Supplementation with Ophiocephalus striatus extract was associated with a significant increase in IGF 1 and albumin levels."
Lengkap +
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Pinantih
"Infertilitas adalah kelainan reproduksi yang ditandai dengan kegagalan kehamilan lebih dari satu tahun tanpa kontrasepsi meskipun berhubungan seksual secara rutin. Terapi hormonal yang mahal masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi infertilitas akibat faktor biologis, sehingga diperlukan alternatif lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak kuda laut (Hippocampus comes L.) memengaruhi kadar albumin, globulin, dan total protein darah tikus Sprague-Dawley yang dikondisikan infertil dengan induksi DMPA. Ekstrak kuda laut diberikan kepada 30 tikus jantan yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, masing-masing dengan perlakuan berbeda. Hasil penelitian menunjukkan rerata terbesar dari total protein adalah kelompok DMPA ditambah ekstrak kuda laut 300 mg/kgBB (6,73 ± 0,35 g/dL). Rerata terbesar kadar albumin adalah kelompok DMPA ditambah 225 mg/kgBB (3,72 ± 0,10 g/dL). Rerata terbesar kadar globulin adalah kelompok kontrol (3,06 ± 0,18 g/dL). Berdasarkan uji ANOVA satu arah, tidak didapatkan signifikansi antarkelompok pada parameter total protein (p=0,837), albumin (p=0,812), maupun globulin (p=0,750). Hasil analisis ini menandakan pemberian ekstrak kuda laut tidak memengaruhi kadar protein darah tikus yang diinduksi DMPA.

Infertility is a reproductive disorder characterized by the failure to achieve pregnancy for over a year without contraception despite regular sexual intercourse. Expensive hormonal therapy remains the primary option to address infertility due to biological factors, hence the need for alternative treatments. This study aims to determine whether the administration of seahorse extract (Hippocampus comes L.) affects the levels of albumin, globulin, and total blood protein in Sprague-Dawley rats conditioned to be infertile with DMPA induction. The seahorse extract was administered to 30 male rats divided into 5 treatment groups, each receiving different treatments. The results showed that the highest average total protein was in the DMPA group with 300 mg/kgBW seahorse extract (6.73 ± 0.35 g/dL). The highest average albumin level was in the DMPA group with 225 mg/kgBW (3.72 ± 0.10 g/dL), and the highest average globulin level was in the control group (3.06 ± 0.18 g/dL). Based on one-way ANOVA, there was no significant difference between the groups for total protein (p=0.837), albumin (p=0.812), or globulin (p=0.750). This analysis indicates that the administration of seahorse extract does not affect the protein levels in the blood of DMPA-induced rats."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roza Mulyana
"ABSTRAK
Background: a freshwater fish Ophiocephalus striatus or known locally to Indonesian as haruan,can potentially increases IGF-1 and albumin levels in elderly patients with hypoalbuminemia due to the contents of amino acids, fatty acids, vitamins, and minerals. This study was conducted to investigate the effect of Ophiocephalus striatus extract on the level of IGF-1 and albumin in elderly patients with hypoalbuminemia due to the contents of amino acids, fatty acids, vitamins, and minerals. This study was conducted to investigate the effect of Ophiocephalus striatus extract on the level of IGF-1 and albumin in elderly patients with hypoalbuminemia.
Methods: the study is a double-blind randomized controlled trial involving malnourished elderly inpatients (≥60 years old) recovering from acute condition before hospital discharge, with Mini Nutritional Assessment score ≤23.5 and albumin level <3.5 g/dL. A total of 109 subjects were randomly divided into two groups: one group received 10 g Ophiocephalus striatus extract per day for 14 days and another group received placebo. Albumin and IGF-1 levels were obtained before and after intervention.
Results: ninety subjects completed the study (extract group=45 subjects; placebo group =45 subjects) for 14 days. The median of age were 69 (64;75) years and the male to female ratio were 2 : 3. The changes of IGF-1 and albumin levels from before to after intervention between extract group compared to placebo group were 14.7 (0.30;31.5) ng/mL vs 1.0 (-6;13.15) ng/mL (p=0.002) and 0.5 (0.15;0.70) g/dL vs 0.10 (0.0;0.50) g/dL (p=0.003), respectively. There were significant differences in the improvement of IGF-1 and albumin levels between extract and placebo group.
Conclusion: supplementation of Ophiocephalus striatus extract was associated with a significant increase in IGF-1 and albumin levels in elderly patients with hypoalbuminemia."
Lengkap +
Jakarta: Interna Publishing, 2017
610 IJIM 49:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Darel Domu Abadi
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi dalam bidang biomedik merupakan kemajuan
penting bagi umat manusia. Salah satu dari teknologi tersebut adalah biomaterial
mampu luruh untuk stem tulang, yang saat ini sedang dikembangkan dengan
berbasis logam Fe. Penelitian ini membahas pengaruh albumin terhadap material
Fe-Mn-C, yang difabrikasi melalui metode metalurgi serbuk, dengan
memvariasikan kadar unsur Mn dan albumin terlarut. Kemudian dilakukan
karakterisasi material Fe-Mn-C serta pengujian korosi material Fe-Mn-C dan
larutan hasil perendamannya. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa
kehadiran protein albumin dan penambahan kadar albumin pada larutan ringer
menurunkan laju korosi. Hasil produk korosi pada larutan hasil pencelupan
material Fe-Mn-C didapatkan masih pada batas aman konsumsi harian tubuh
manusia, yang menandakan material Fe-Mn-C biokompatibel untuk diterapkan
secara biomedik.

ABSTRACT
Biomaterial technology has been a very important progress of human race.
One of the most helpful biomaterial technology is biodegradable material for
human bone-stem, which currently being developed with iron-based. This thesis
discusses the effects of albumin towards Fe-Mn-C material, which has been
fabricated with metallurgy powder method, through varying levels of dissolved
Mn and albumin elements. Afterwards, Fe-Mn-C material is characterized and
examined for its corrosion, along with the marinating solutions. This research
shows result that the existence of albumin protein by adding the level of albumin
in ringer solution has decreased the corrosion rate. The corrosion result product in
the solution for marinating Fe-Mn-C material is still in a safe zone for daily
consumption of human body, which indicates Fe-Mn-C material biocompatible to
be applied in biomedical."
Lengkap +
2016
S63467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Agustia Rahma Putri
"Latar belakang: Kanker saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Insidensi kanker ginekologi di Indonesia masih tinggi. Aspek nutrisi merupakan salah satu aspek yang paling sering mengalami kelainan pada pasien dengan kanker. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) merupakan modalitas skrining nutrisi yang mengombinasikan data kualitatif dan semi-kuantitatif. Proses inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien kanker dapat mengakibatkan penurunan kadar albumin dan prealbumin. Namun, belum banyak penelitian sebelumnya yang mencari bagaimana korelasi kadar albumin dan prealbumin terhadap skor PG-SGA.
Tujuan: Mengetahui parameter yang paling baik dalam mendeteksi malnutrisi untuk pasien dengan onkologi ginekologi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis dengan kanker ginekologi yang berobat ke Poliklinik Onkologi Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan direncanakan atau telah menjalani terapi pada Oktober 2020 - September 2021. Pasien dengan riwayat keganasan primer selain keganasan ginekologi, menerima terapi kortikosteroid oral atau intravena, riwayat pembedahan saluran cerna yang memengaruhi absorpsi/asupan nutrisi, dan riwayat penyakit liver akut atau kronik dan alkoholisme dieksklusi dari penelitian.
Hasil: Didapatkan sebanyak 90 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Secara keseluruhan, nilai rerata albumin yaitu 4,19 g/dL, rerata prealbumin yaitu 39,1 mg/dL, dan rerata skor PG-SGA yaitu 3 atau kategori A. Terdapat korelasi positif lemah antar kadar albumin dengan prealbumin (r=0,378, p=0,000), Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar albumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,313, p=0,003), sedangkan tidak terdapat korelasi kadar prealbumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,145, p=0,173).
Kesimpulan: Didapatkan korelasi antara albumin terhadap skor PG-SGA, namun tidak didapatkan korelasi antara prealbumin terhadap skor PG-SGA.

Background: Cancer is still one of the major health problems in the world. The incidence of gynecological cancer in Indonesia is still high. Nutritional aspect is one of the most frequent aspects of abnormalities in patients with cancer. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) is a nutritional screening modality that combines qualitative and semi-quantitative data. Systemic inflammatory process that occurs in cancer patients can result in a decrease in albumin and prealbumin levels. However, there have not been many previous studies looking at the correlation between albumin and prealbumin levels on the PG-SGA score.
Objective: Knowing the best parameters in detecting malnutrition for gynecological oncology patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a cross-sectional method. The subjects of this study were diagnosed with gynecological cancer who went to the Gynecological Oncology Polyclinic of RSUPN Dr. Dr. Cipto Mangunkusumo and planned or already undergoing therapy during October 2020 - September 2021. Patients with a history of primary malignancy other than gynecological malignancy, receiving oral or intravenous corticosteroid therapy, history of gastrointestinal surgery affecting nutrient absorption/intake, and history of acute or chronic liver disease and alcoholism was excluded from the study.
Results: There were 90 subjects who were included in this study. Overall, the average level of albumin was 4.19 g/dL, the average level of prealbumin was 39.1 mg/dL, and the average of scored-PG-SGA was 3 or category A. There was a weak positive correlation between albumin and prealbumin levels (r=0.378, p=0.000). This study showed a weak negative correlation between albumin level and scored-PG-SGA (r=-0.313, p=0.003), whereas there was no correlation between prealbumin levels and scored-PG-SGA (r=-0.145, p=0.173).
Conclusion: A weak negative correlation was found between albumin and the scored-PG-SGA, but no correlation was found between prealbumin and the scored-PG-SGA.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Hunter Design
"Latar belakang. Pasien sakit kritis berada dalam kondisi katabolik yang menyebabkan ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat untuk mempertahankan massa otot, meningkatkan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen. Ophiocephalus striatus (OS) mempunyai potensi sebagai sumber protein karena mengandung asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari pemberian suplementasi ekstrak OS terhadap luas penampang otot rektus femoris, bisep brakii, kadar prealbumin, dan imbang nitrogen pasien sakit kritis dengan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menggunakan ventilator di intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2019 ICU. Sebanyak 42 subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok ekstrak (n=19) mendapatkan suplementasi ekstrak OS 15 g/hari, yang diberikan sejak hari kedua sampai dengan hari keenam. Kelompok kontrol (n=23) tidak mendapatkan suplementasi tersebut. Pengukuran luas penampang otot, pemeriksaan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh.
Hasil. Terjadi peningkatan luas penampang otot rektus femoris pada kelompok ekstrak (p=0,038) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,006) disertai perbedaan bermakna antara dua kelompok (p=0,001). Terjadi peningkatan luas penampang otot bisep brakii pada kelompok ekstrak (p=0,033) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar prealbumin pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,023) disertai perbedaan peningkatan yang bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar imbang nitrogen pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kedua kelompok (p=0,685).
Kesimpulan. Pemberian suplementasi ekstrak Ophiocephalus striatus secara signifikan dapat meningkatkan luas penampang otot rektus femoris, otot bisep brakii, dan kadar prealbumin pada pasien sakit kritis.

Background. Critically ill patients are in catabolic conditions that have imbalances in protein synthesis and breakdown. Thus, they require adequate protein intake to maintain the muscle mass and to increase the prealbumin levels and nitrogen balance. Ophiocephalus striatus (OS) is a potential source of proteins since it contains high amount of amino acids, fatty acids, minerals, and vitamins. This study was aimed to measure the effect of OS extract supplementation on cross-sectional area (CSA) of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance in critically ill patients with ventilator.
Methods. This was a randomized controlled clinical trial study involving patients aged 18-65 years old with ventilator in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July until October 2019. In total, 42 subjects were randomized into two groups. Extract group (n=19) recieved 15 g of OS extract supplementation daily, administered from the second day to the sixth day. Control group (n=23) did not receive the extract. Measurement of CSA of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance were done in the first and the seventh day.
Results. There was an increase of cross sectional area of rectus femoris in extract group (p=0.038) and a decrease in control group (p=0.006) with significant difference between the two groups (p=0.001). There was an increase of cross sectional area of biceps brachii in extract group (p=0.033) and a decrase in control group (p=0.001) with significant difference between the two groups (p<0.001). There was an increase of prealbumin levels in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p=0.023), with a significant difference of increase between the two groups (p<0.001). There was an increase of nitrogen balance in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p<0.001), with an insignificant difference of increase between the two groups (p<0.685)
Conclusion. Administration of Ophiocephalus striatus extract supplementation can significantly increase the cross-sectional area of rectus femoris and biceps brachii, and the prealbumin levels in critically ill patients.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Miptah Farid Thariqulhaq
"Penyakit TB MDR merupakan salah satu penyakit infeksi yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia dengan angka keberhasilan pengobatan 45%. Konversi kultur sputum merupakan suatu prediktor kuat dari awal keberhasilan terapi. Waktu konversi yang lambat akan memperpanjang periode penularan dan memprediksi tingkat kegagalan pengobatan yang tinggi. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konversi kultur sputum pasien TB MDR. Penelitian terkait faktor risiko kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum di poli MDR terpadu RS Paru Dr M Goenawan Partowidigdo tahun 2022. Penelitian ini menggunakan studi cohort retrospektif dengan sampel yang diambil dari catatan rekam medis dan SITB pasien poli MDR. Variabel yang diteliti adalah kadar albumin < 3,5 gram/dl dan ≥ 3,5 gram/dl dengan variabel covariat usia, jenis kelamin, pendidikan, index masa tubuh, status merokok, gradasi sputum bta, komorbid, regimen pengobatan, dan kepatuhan minum obat . Hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat menunjukkan kadar albumin < 3,5 mg/dl memiliki kecepatan waktu konversi 41,8% lebih lambat dengan (HR=0,582, 95% CI 0.344-0.984) untuk mengalami konversi dibanding dengan pasien TB MDR dengan kadar albumin ≥ 3,5 mg/dl setelah memperhitungkan status merokok dan kepatuhan minum obat. Perlunya memperbaiki kadar albumin yang rendah pada pasien TB MDR di rumah sakit dan memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien agar turut berpartisipasi memantau asupan makan pasien yaitu makanan yang mengandung tinggi protein seperti ikan gabus serta ekstra putih telur untuk membantu meningkatkan kadar albumin pasien yang dapat berguna untuk terjadinya konversi kultur sputum.

MDR TB disease is an infectious disease whose prevalence is increasing from year to year in Indonesia with a treatment success rate of 45%. Sputum culture conversion is a strong predictor of initial therapeutic success. Slow conversion time will prolong the period of transmission and predict a high rate of treatment failure. There are several risk factors associated with sputum culture conversion in MDR TB patients. Research related to risk factors for albumin levels and sputum culture conversion time is still very limited. The aim of this study was to determine the relationship between albumin levels and sputum culture conversion time at the integrated MDR polyclinic at Dr M Goenawan Partowidigdo Pulmonary Hospital in 2022. This study used a retrospective cohort study with samples taken from medical records and SITB patients at poly MDR. The variables studied were albumin levels < 3.5 mg/dl and ≥ 3.5 mg/dl with the covariate variables age, sex, education, body mass index, smoking status, sputum gradation, co-morbidities, medication regimens, and drinking adherence drug . The results of the study based on multivariate analysis showed that albumin levels < 3.5 mg/dl had a 41.8% slower conversion time (HR=0.582, 95% CI 0.344-0.984) to experience conversion compared to MDR TB patients with albumin levels ≥ 3.5 mg/dl after taking into account smoking status and medication adherence. It is necessary to improve low albumin levels in MDR TB patients at the hospital and provide counseling to the patient's family to participate in monitoring the patient's food intake, namely foods that contain high protein such as snakehead fish and extra egg whites to help increase the patient's albumin levels which can be useful for the occurrence of sputum culture conversion."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Leopold Jim
"Kejadian infeksi dengue dewasa di Indonesia tergolong tinggi. Komplikasinya adalah sindrom renjatan dengue (SRD) akibat kebocoran plasma. Untuk mengatasi kebocoran plasma, WHO menganjurkan pemberian cairan kristaloid isotonik atau koloid seperti albumin 5%. Penelitian in vitro memperlihatkan ikatan albumin dengan reseptor glikoprotein 60 (gp60) di sel endotel menstimulasi ekspresi caveolin-1 dan Src protein tyrosine kinase (PTK) yang meningkatkan perpindahan albumin ke ekstravaskular, namun secara in vivo belum diketahui pengaruh cairan albumin terhadap proses transitosis dan caveolin-1 urin.
Penelitian ini merupakan open label randomized controlled trial sejak bulan November 2018 sampai dengan Januari 2020, di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Banten. Dari 90 pasien, sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria DD, dan 60 pasien memenuhi kriteria DBD. Alokasi secara acak dilakukan pada 60 pasien DBD, yang terdiri atas kelompok demam berdarah dengue yang diberikan ringer laktat (n = 30) dan kelompok demam berdarah dengue yang diberikan albumin (n = 30).
Pasien DBD yang diberikan albumin 5%, caveolin-1 plasma menurun pada jam ke-12 (p = 0,016); Src PTK lebih rendah pada jam ke-12 (p = 0,048); hemokonsentrasi lebih ringan pada jam ke-12 (p = 0,022) dan ke-24 (p = 0,001); kadar albumin serum lebih tinggi pada jam ke-12 (p = 0,037) dan ke-24 (p = 0,001); albumin urin lebih ringan pada jam ke-24 (p = 0,006) dan ke-48 (p = 0,005); dan lama rawat lebih pendek (p < 0,001) dibandingkan dengan ringer laktat.
Kesimpulan: pemberian cairan albumin 5% memperbaiki kebocoran plasma transitosis dan memperpendek lama rawat pasien DBD.

The incidence of adult dengue infection in Indonesia is quite high. The complication is dengue shock syndrome (DSS) due to plasma leakage. To overcome plasma leakage, WHO recommends giving isotonic crystalloid solutions or colloids such as albumin 5%. In vitro studies have shown that albumin binding to the glycoprotein receptor 60 (gp60) in endothelial cells stimulates the expression of caveolin-1 and Src protein tyrosine kinase (PTK) which increases albumin transfer to the extravascular space, but in vivo the effect of albumin fluid on the process of transitosis and urine caveolin-1 is not known.
This study is an open label randomized controlled trial from November 2018 to January 2020, in several hospitals in Jakarta and Banten. From 90 patients, 30 patients met the criteria for DD, and 60 patients met the criteria for DHF. Random allocation was made to 60 DHF patients, consisting of the dengue hemorrhagic fever group given Ringer's lactate (n = 30) and the dengue hemorrhagic fever group given albumin (n = 30).
Patients who were given albumin 5%, caveolin-1 plasma decreased at 12th hours (p = 0.016); Src PTK was lower at 12 hours (p = 0.048); milder hemoconcentration at 12th (p = 0.022) and 24th (p = 0.001) hour; serum albumin levels were higher at 12th (p = 0.037) and 24 hours (p = 0.001); urinary albumin was milder at 24th (p = 0.006) and 48th (p = 0.005); and shorter length of stay (p < 0.001) compared to ringer lactate.
Conclusion: administration of albumin 5% fluid improves transcytosis plasma leakage and shortens the length of stay of dengue infection patients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prinka Diaz Adyta
"Pendahuluan: Malnutrisi dan hipoksia merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan terapi pada KNF stadium lokal lanjut. Kadar albumin merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi. Hipoksia menyebabkan radioresistensi terhadap radiasi.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara kadar albumin praradiasi, hipoksia terhadap respon radiasi.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder terhadap 40 pasien kanker nasofaring stadium lokal lanjut yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr Cipto Mangunkusumo dari Desember 2012 sampai Agustus 2013. Dilakukan pencatatan kadar albumin praradiasi, berat badan serta CT scan sebelum dan sesudah radiasi. Kemudian dilakukan analisa HIF1α dengan pulasan imunohistokimia. Sel yang positif hipoksia dihitung per 10 lapang pandang besar. Setelah itu, dilakukan penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria Recist.
Hasil: Rerata kadar albumin praradiasi sebesar 3,9 +/- 0,5 g/dL, dan median persentase hipoksia sel yaitu 24,7(1-100)%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi (p≥0,05). Terdapat hubungan yang bermakna anatara hipoksia terhadap respon radiasi (p<0,05). Korelasi antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia menunujukkan korelasi yang lemah dan tidak bermakna (r=-0,24, p=0,324).
Kesimpulan: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa albumin praradiasi tidak berhubungan dengan respon radiasi pada KNF stadium lokal lanjut. Terbukti bahwa hipoksia meningkatkan radioresistensi dan menurunkan respon radiasi. Tidak terdapat korelasi antara albumin praradiasi dan hipoksia.

Introduction: Malnutrion and hypoxia had been shown to cause irradiation failure. Albumin is one of the nutritional status examination. Hypoxia caused radioresistance to irradiation. The purpose of this study was to evaluate the correlation of albumin, hypoxia towards radiation response in locally advanced nasopharyngeal carcinoma.
Methods: This is a retrospective cohort study using secondary data from Departement of Radiotheraphy and Departement of Pathology Cipto Mangunkusomo hospital of 40 patients locally advanced nasopharyngeal cancer who meet the inclusion criteria from December 2012 to August 2013. Albumin preirradiation, body weight and CT scan before and after radiation were recorded. We examined the expression of HIF1 α by immunohistochemistry staining. Hypoxia cell was asessed by cell counting. Radiation response was determined by Recist criteria.
Results: The mean of serum albumin is 3.9 + / - 0.5 g /dL, and the median percentage of hypoxia was 24,7(1-100)%. There was no statistically significant relationship between albumin and radiation response (p≥0.05). There was a statistically significant relationship between hypoxia and radiation response (p<0,05). There were no correlation between albumin and hypoxia (r=-0,24, p=0,324).
Conclusion: This study showed that there was no correlation between albumin preirradiation and response in locally advanced nasopharyngeal cancer. It was proven that hypoxia increased radioresistance in locally advanced nasopharyngeal cancer. There was no correlation between albumin preirradiation and hypoxia.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>