Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122823 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kumara Wisyesa
"Latar Belakang. Meningioma memiliki jumlah kasus yang cukup banyak dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien karena adanya gejala nyeri dan gangguan emosional. Karena itu, penting diketahui luaran dari hasil tindakan operasi pada pasien meningioma. Penulis menggunakan instrumen EORTC QLQ C-30 untuk menilai kualitas hidup pasien dengan meningioma sphenoorbita setelah operasi.
Metode. Penelitian ini adalah studi cross sectional. Subyek adalah penderita meningioma dengan hiperostosis sphenoorbita yang dilakukan pembedahan di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Oktober hingga Desember 2016 sebanyak 40 orang. Data diambil dari rekam medis pasien dan kuesioner EORTC QLQ-C30 yang mencakup status kesehatan global, fungsi fisik, fungsi peran, fungsi emosional, fungsi kognitif, fungsi sosial, dan gejala-gejala klinis.
Hasil. Berdasarkan perhitungan skor EORTC QLQ-C30 didapatkan adanya kenaikan yang bermakna secara statistik p-value

Background. Meningioma has a considerable number of cases and can affect patients quality of life due to pain and emotional disturbance. Therefore, it is important to know the outcome of surgical procedures in patients with meningioma. The authors use the EORTC QLQ C 30 instrument to assess the quality of life of patients with sphenoorbital meningioma after surgery.
Method. This study was a cross sectional study. The subjects were patients with meningioma with hyperostosis sphenoorbita who underwent surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital from October to December 2016 as many as 40 people. Data were taken from the patient's medical record and the EORTC QLQ C30 questionnaire.
Results. Based on the calculation of EORTC QLQ C30 score, there was a statistically significant increase p value
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, M. Deni
"Latar Belakang: Adenoma hipofisis adalah kumpulan dari berbagai jenis tumor yang ditemukan di kelenjar hipofisis, yang dapat menyebabkan kompresi nervus optikus, sehingga menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan lapang penglihatan akibat efek penekanan massa tumor. Tindakan operasi transfenoid pada adenoma hipofisis bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan dekompresi massa tumor dengan harapan memperbaiki atau mempertahankan fungsi nervus optikus.
Tujuan: Menilai luaran fungsi penglihatan (tajam penglihatan dan lapang penglihatan) pada pasien adenoma hipofisis serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran tersebut.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap pasien-pasien adenoma hipofisis yang telah dioperasi transfenoid dari tahun 2012-2014. Fungsi penglihatan pasien (visus, visual impairment scale, dan lapang penglihatan) sebelum dan sesudah operasi transfenoid diambil dari rekam medik pasien.
Hasil: Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan nilai visual impairment scale (VIS). Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan sebanyak enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan visus. Setelah dilakukan tindakan pembedahan untuk mengangkat adenoma hipofisis dengan pendekatan transfenoid, sebagian besar pasien (57,1%) mengalami perbaikan fungsi penglihatan baik dengan metode pemeriksaan visus maupun VIS. Usia, jenis kelamin, waktu onset sampai berobat, waktu berobat sampai operasi, waktu onset sampai operasi, atau volume operasi tidak berhubungan dengan luaran fungsi penglihatan pasien.
Kesimpulan: Operasi transfenoid pada adenoma hipofisis dapat memberikan perbaikan fungsi penglihatan pada sebagian besar pasien adenoma hipofisis.

Background: Pituitary adenoma is a collection of various type tumors found in the pituitary gland, which can lead to compression of the optic nerve, causing a decrease in visual acuity and field of vision due to the suppressive effect of the tumor mass. Transphenoidal surgery on pituitary adenoma aims to diagnose and decompression of the tumor mass in order to improve or preserve optic nerve function.
Purpose: Evaluate the visual function outcomes (visual acuity and field of vision) in patients with pituitary adenoma and the factors that influence these outcomes.
Method: A cross-sectional study on patients who had transphenoidal surgery of pituitary adenoma from 2012 - 2014. The patient’s visual functions (visual acuity, visual impairment scale, and field of vision) were evaluated before and after transphenoidal surgery. The data were taken from the patient’s medical record.
Result: A total of eight patients (57.1%) showed improvement and six patients (42.9%) didn’t show improvement of visual impairment scale (VIS). A total of eight pstients (57.1%) showed improvement, and as many as six patients (42.9%) did not show vision improvement. After transphenoidal surgery, most patients (57.1%) had improved their visual functions not only by Snellen chart visual acuity test, but also by VIS score. Age, gender, time of onset to treatment, treatment time until surgery, time of onset to surgery, tumor volume before surgery were not related to the patient's visual function outcomes.
Conclusion: Transphenoidal surgery of pituitary adenoma can provide visual function improvement in most patients with pituitary adenoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maelissa Pramaningasih
"Pendahuluan: Kualitas hidup pasien dengan kanker kolorektal di Indonesia saat ini dievaluasi oleh kuesioner yang tidak seragam. European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire ColoRectal 29 EORTC QLQ-CR29 , adalah sebuah kuesioner yang terstandarisasi untuk menilai kualitas hidup yang umum digunakan pada negara maju. Penelitian ini untuk membuktikan bahwa EORTC QLQ-CR29 adalah kuesioner yang valid dan reliabel untuk digunakan di Indonesia.
Metode: Kuesiober EORTC QLQ-CR29 diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris. Dilakukan sebuah studi pilot terlebih dahulu, kemudian studi utama ke pasien kanker kolorektal pada poliklinik Bedah Digestif di RS dr.Cipto Mangunkusumo. Desain studi cross-sectional, digunakan intraclass correlation coeficient ICC untuk menilai test-retest reability. Konsistensi internal dievaluasi menggunakan Cronbach rsquo;s ? coefficient. Validitas konvergen dan diskriminan dianalisa dengan multi-trait scaling. Validitas klinis dievaluasi berdasarkan perbedaan klinis yang telah diketahui sebelumnya menggunakan known-group comparisons.
Hasil: Sebanyak limapuluhdua pasien yang berpertisipasi pada penelitian ini. Proses penterjemahan membutuhkan sedikit perubahan akibat adanya perbedaan budaya. Uji test-retest dilakukan pada 17 subjek, yang menunjukan nilai yang dapat diterima 0.67-1.00 . Nilai Cronbach rsquo;s ? coefficient 0,77-0,86, nilai ini melebihi kriteria 0,7. Pada multi-trait scaling analysis menunjukan skala multi-item memenuhi standar validitas konvergen dan diskriminan. Pada uji known group comparison menunjukan kualitas hidup yang berbeda berdasarkan lokasi tumor.
Kesimpulan: dibutuhkan adaptsi budaya dalam proses penterjemahan. Kuesioner EORTC QLQ-CR29 yang telah diterjemakan merupakan kuesioner yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kolorektal di Indonesia.

Background: Currently in Indonesia the quality of life QoL of colorectal cancer patients is evaluated by many questionnaire. European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire ColoRectal 29 EORTC QLQ CR29 , as a standardized objective method to assess QoL of colorectal cancer patients has been widely used in developed country. This research is to prove that EORCT QLQ CR29 is a reliable and valid questionnaire to be used in Indonesia.
Methods: The EORTC QLQ C29 was translated forward and backward into Indonesian language. A pilot study was firstly done then proceed with the main study towards colorectal patients in Digestive Surgery Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. This is a cross sectional study, intraclass correlation coeficient ICC was used to assess the test retest reability. The Internal consistency reability was estimated using Cronbach rsquo s coefficient. Convergent and discriminant validity was analyzed with multi trait scaling. Clinical validity was assesed in terms of clinical difference using known group comparisons.
Result: Fifty two patients participated in this study. The translation proses require some adjusment due to cultural adaptation. Test retest was administered to 17 patient, showed acceptable reproducibility 0,67 1,00. The Cronbach rsquo s coefficient 0,77 0,86 exceeded the 0,7 criterion and multi trait scaling analysis showed that multi item scales met standards of convergent and discriminant validity. The known group comparisons showed QoL differences between groups of patients based on tumor location.
Conclusion: Some cultural adaptation is needed in the translation process. The translated EORTC QLQ CR29 is a reliable and valid questionnaire for assessing quality of life of colorectal cancer patients in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mousavi, Adel
"Latar Belakang. Virchow pada 1851 mendefinisikan kraniosinostosis sebagai penutupan prematur sutura kranialis. Pasien kraniosinostosis tidak hanya mengalami kelainan kalvaria, tetapi juga gangguan lainnya. Hingga saat ini, belum ada evaluasi baku pascaoperasi. Studi ini bertujuan mengajukan metode evaluasi pascaoperasi menggunakan volume otak dari CT Scan dan aspek tumbuh kembang. Metode. Studi bersifat retrospektif menggunakan data rekam medis dan radiologis pasien kraniosinostosis yang dilakukan operasi. Variabel independen mencakup jenis kelamin, usia saat operasi, jenis kraniosinostosis, dan sutura yang terlibat. Variabel dependen mencakup volume otak dan status perkembangan. Hasil. Terdapat delapan pasien memenuhi kriteria. Nilai median usia pasien saat menjalani operasi adalah 9,5 bulan, terdiri dari lima laki-laki (62%) dan tiga perempuan (38%). Seluruh pasien mengalami peningkatan volume otak dengan rentang 0,4% hingga 29%. Terdapat lima pasien (62%) memiliki volume otak sesuai usianya dan tiga pasien lainnya memiliki volume otak yang tidak sesuai usia pascaoperasi. Tiga pasien dengan volume otak tidak normal ditemukan mencapai volume normal pascaoperasi. Tidak ada perubahan tumbuh kembang pascaoperasi. Kesimpulan. Studi ini dapat menjadi referensi bagi studi lainnya untuk mengevaluasi volume otak dan tumbuh kembang pascaoperasi pasien kraniosinostosis. Evaluasi volume otak berdasarkan CT scan dan status tumbuh kembang pasien dapat digunakan sebagai salah satu pilihan standar dalam manajemen kraniosinostosis.

Background. Craniosynostosis defined by Virchow as premature closure of cranial sutures. These patients not only have abnormal calvaria, but also other disorders. Until now, postoperative evaluation has not been standardized. This study aims to describe postoperative evaluation using brain volume and development aspects of the patients. Methods. This is a retrospective study using records and radiological examinations of patients who underwent surgery. The Independent variables are sex, age of operation, type of craniosynostosis and sutures involved. The dependent variables assessed are brain volume and developmental aspects. Results. This study includes 8 patiens. Age during surgery has median of 9.5 months that consists of 5 male (62%) and 3 female (38%). All patients experienced increased brain volume with changes from 0.4% to 29%. There were 5 patients (62%) with normal brain volume and 3 patients with abnormal brain volume at postoperative control. There were 3 patients that had preoperative abnormal brain volume who achieved normalization. There was no change in developmental aspects postoperatively. Conclusion. This study can be used as reference for assessing brain volume and growth in craniosynostosis. Study of brain volume evaluation based on CT scans and developmental status can be used as standard procedures in management of craniosynostosis."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anggiaty Idris Gassing
"Latar Belakang: Kanker kepala dan leher terdapat 10 dari keseluruhan kasus kanker di seluruh tubuh. Efek samping akibat terapi kanker berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Instrumen yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher salah satunya adalah University of Washington Quality of Life UW-QOL. Hingga saat ini belum pernah dilakukan adaptasi kuesioner UW-QOL ke bahasa Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen UW-QOL adaptasi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher.
Metodologi: Penelitian ini berdesain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI/RSCM dr. Cipto Mangunkusumo terhadap pasien kanker kepala dan leher usia dewasa.
Hasil: Uji validitas menggunakan uji korelasi Spearman dengan korelasi bermakna pada seluruh butir pertanyaan di tingkat signifikansi p

Background: Head and neck cancer accounts for 10 of all cancer cases throughout the body.. Side effects due to cancer therapy have a significant impact on patient quality of life. The University of Washington Quality of Life UW QOL is the most frequent intruments used to assess the quality of life of head and neck cancer patients. At present, the Indonesian version of UW QOL questionnaire is not available.
Objective: This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian adaptation of UW QOL to assess the quality of life of head and neck cancer patients.
Method: Cross sectional study was conducted in ORL HNS Department outpatient clinic dr. Cipto Mangunkusumo hospital towards 41 adult patients with head and neck cancer.
Result: The validity test using Spearman correlation test with significant correlation in all questions items at the level of significance p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wicaksono
"ABSTRAK
Di berbagai literatur, tumor meningioma sphenoid wing memiliki dua nama, yaitu meningioma en-plaque sphenoid wing dan meningioma spheno-orbita. Meningioma di regio sphenoorbita itu adalah tumor kompleks meliputi sphenoid wing, orbita, sinus cavernosus yang merupakan penyulit terhadap reseksi total. Presentasi klinis adalah klasik trias yaitu proptosis, gangguan visual, paresis okuler. Meningioma sphenoid wing ditemukan tersering adalah jenis en-plaque. Meningioma en-plaque adalah suatu subkelompok morfologis yang didefinisikan sebagai lesi tipis, menyebar luas, menyerupai karpet atau lembaran, yang menginfiltrasi dura dan terkadang menginvasi tulang dan tumbuh didalamnya sebagai tumor intraosseus sehingga menyebabkan hiperostosis. Meningioma juga memproduksi enzim yang mana diketahui secara tidak langsung menghasilkan proses penulangan. Berdasarkan literatur, dari seluruh tumor meningioma terdapat 15-20% yang ditemukan di sphenoid wing disertai hiperostosis pada regio frontotemporal-lateral orbita. Antara Januari 2010 dan Januari 2012, sebanyak 60 pasien meningioma di sphenoid wing atau sekitar 46,1% dari jumlah keseluruhan temuan meningioma intrakranial (130 pasien) menjalani operasi reseksi di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hiperostosis merupakan perubahan pada tulang cranium yang paling banyak ditemukan yang berhubungan dengan meningioma khususnya di regio sphenoid wing. Beberapa teori mengemukakan bahwa hiperostosis ini merupakan kejadian sekunder dari proses pembentukan tumor dan timbulnya dengan atau tanpa invasi tumor ke tulang. Banyaknya kasus pasien yang dikonsulkan oleh departemen Mata dengan keluhan proptosis yang datang ke departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo menjadikan hal tersebut menarik uuntuk diperhatikan dan untuk diketahui lebih jauh deskripsi datanya. Obyektif Studi ini bertujuan melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai meningioma sphenoid wing yang disertai hiperostosis mengenai data demografisnya. Studi ini ingin melihat tentang hubungan antara banyaknya insiden dengan sebaran usia, jenis kelamin dan keterkaitan dugaan penyebabnya, jenis tumor. Selain itu, studi ini ingin mengevaluasi hubungannya dengan pemakaian kontrasepsi khususnya KB suntik, hasil operasi serta komplikasi dan angka rekurensinya.Metode Studi ini adalah studi retrospektif dilakukan berdasarkan status rekam medis berupa data riwayat penyakit pasien, manifestasi klinis yang ada, tanda-tanda neurooradiologis dan teknik operasi, pada 60 pasien yang menjalani pembedahan secara kraniotomi dan lateral orbitotomi dari Januari 2010 sampai Januari 2012. Populasi sampel diambil dari pasien di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang didiagnosa dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis periode Januari 2010 - Januari 2012. Kriteria ekslusi adalah tumor meningioma di luar regio sphenoid wing dan meningioma sphenoid wing tanpa adanya hiperostosis. Hasil Pada studi ini terdapat rentang usia pasien: 31-60 tahun dengan rerata usia 44 tahun, jenis kelamin diantaranya 2 (3%) laki-laki dan 58 (96,7%) perempuan. Keluhan utama adalah proptosis yang progresif, penurunan tajam penglihatan disertai hiperostosis. Seluruh pasien dilakukan pembedahan melalui lateral orbitotomi dan kraniotomi fronto-temporal disertai dekompresi orbita. Pemantauan dilakukan terhadap derajat luas reseksi tumor dan komplikasi postoperatif. Semua pasien dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis pada lateral orbita telah menjalani pembedahan dengan reseksi subtotal atau parsial. Pemeriksaan patologi menunjukkan sebanyak 33 (55%) pasien adalah meningioma meningoteliomatosa. Setelah pembedahan, proptosis dilaporkan membaik secara klinis pada 54 (90%) pasien, tajam pengihatan meningkat secara klinis pada 18 (30%) pasien, perihal paresis okuler sulit didapatkan datanya. Lama follow-up adalah 3 bulan sampai 1 tahun, didapatkan rekurensi tumor pada 4 (6,6%) pasien dan 2 (3,3%) pasien menjalani pembedahan kedua. Sebanyak 2 (3,3%) pasien tidak terpantau. Ditemukan 51 (85%) pasien dengan riwayat penggunaan kontrasepsi KB yang menahun, non pengguna 4 (6,6%), tidak diketahui 4 (6,6%) pasien. Dari jumlah 51 (85%) pasien pengguna KB, diantaranya 46 (90,2%) pasien menggunakan kontrasepsi suntik, 4 (7,8%) pasien dengan pil, 1 (1,9%) pasien dengan susuk. Sebanyak 41 (89,1%) pasien menggunakan kontrasepsi KB suntik selama lebih dari 10 tahun dan 5 (10,8%) pasien kurang dari 10 tahun. Meningioma pada sphenoid wing kebanyakan berjenis meningioma meningotelial dan neoplasma jenis ini cenderung menyebabkan hiperostosis setempat serta memiliki gambaran radiologi yang khas. Semua hiperostosis yang ditemukan pada sphenoid wing harus diangkat untuk mencegah rekurensi. Pengangkatan tumor secara luas disertai dekompresi tulang sphenoid wing memberi hasil fungsional dan kosmetik yang memadai. Tidak ada hubungan bermakna dari data meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis dengan usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan bermakna antara KB dengan jenis meningioma yaitu meningoteliomatosa. Kerjasama yang baik antara dokter bedah saraf dan dokter mata adalah penting untuk kelainan ini. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi KB suntik banyak didapat pada pasien meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis.

ABSTRACT
Sphenoid wing meningioma has two names, such as meningioma en plaque sphenoid wing and spheno-orbital meningiomas. Meningiomas in the sphenoorbita has its complex, includes sphenoid wing, orbit, cavernous sinus, which could complicate the total resection. Clinical presentation is the classic triad of proptosis, visual disturbance, and occular paresis. The most common sphenoid wing meningioma is en-plaque meningioma. En-plaque meningioma is a morphological subgroup defined as thin lession, widely spread, like carpet or sheet, which infiltrated dura and sometimes invading bone and grows inside the tumor intraosseus thus causing hyperostosis. Meningiomas are also produce enzymes, which indirectly cause calcification. Fifteen to twenty percent of meningiomas are found in sphenoid wing with hyperostosis in frontotemporal-lateral orbital region. Fourty six percents from all of intracranial meningioma patient cases were sphenoid wing meningioma with hyperostotic during Period January 2010 to January 2012. Hyperostotic is a change in the skull bones are most commonly found associated with meningioma especially in the region of the sphenoid wing. Some theories suggest this event is secondary to the process of tumor formation and could occur with or without tumor invasion to bone. Many cases of patients with proptosis who are consulted by ophtalmologists that come into the department of Neurological Surgery School of Medicine-Cipto Mangunkusumo, makes it interesting to be observed and explored further. Objective This study is performed to conduct further evaluation of the sphenoid wing meningioma with hyperostosis, regarding the demographic data. The study wanted to see the relationship between the number of incidents with the distribution of age, sex, causes, and the type of tumor. In addition, this study evaluated the relationship between the usage of injectable contraceptives in particular family planning, operating results, and the rate of complications and recurrence. Methods This study was a retrospective study conducted by collecting medical records of patients’ medical history, clinical manifestations, the neurooradiological sign, and engineering operations, in 60 patients who underwent surgery for a craniotomy and lateral orbitotomi from January 2010 until January 2012. Population samples were taken from patients in the department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo. Inclusion criteria were all patients diagnosed with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in the periods of January 2010 - January 2012. Exclusion criteria were meningioma tumor in the sphenoid wing and the outer region of the sphenoid wing meningioma without hyperostosis. In this study there were patients with age range from 31-60 years with the average age of 44 years old.There were 2 (3%) men and 58 (96.7%) female. The chief complaint is progressive proptosis and visual impairment. All of the patient undergo surgery through lateral orbitotomi and fronto-temporal craniotomy accompanied by orbital decompression. Monitoring on a wide degree of tumor resection and postoperative complications is performed. All patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in lateral orbita have operated with subtotal or partial resection. Pathological examination showed 33 (55%) patients are meningothelial meningioma. After surgery, proptosis reduced in 54 (90%) patients, and increasing visus in 18 (30%) patients. Three months to one year follow-up found the tumorrecurred in 4 (6.6%) patients and 2 (3.3%) patients, who underwent a second surgery. Two (3.3%) patients were not monitored. No history of chronic use of contraception. A total of 42 (89.36%) patients using injectable contraception for more than 10 years and 5 (10.6%) patients less than 10 years. Reported contraceptive device users in52 patients (86%) patients, non-users in 4 (6.6%), and unknown in 4 (6.6%) patients. From a total of 52 (86%) patients with contraceptive users, 47 of them (90.38%) used injectable contraception, 4 (7.69%) consumed oral contraceptive pill, dan 1 (1.92%) patient with the implant contraception. Conclusion The most common type of sphenoid wing meningioma were menignothelial meningioma. This tumor is the most diversified and is tend to cause local hyperostosis and has a picture of a typical radiology. All hyperostosis found on the sphenoid wing must be removed to prevent recurrence. Wide removal of the tumor with decompression sphenoid wing bones gives the adequate functional and cosmetic results. There is no significant correlation of the data sphenoid wing meningioma with hyperostosis with age and sex. However, there was a significant relationship between the meningothelial meningioma with injecting contraception. Good cooperation between neurosurgeons and ophthalmologists is important for this disorder. History of the use of injectable contraception is obtained in patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Amelia
"Pendahuluan: Perdarahan Intraventrikel Intraventricular Hemorrhage / IVH merupakan perdarahan spontan yang terjadi di dalam sistem ventrikel, 30-45 sering berhubungan dengan Intracerebral Hemorrhage ICH . Evaluasi aktifitas sehari-hari yang akurat dan tepat pada pasien pasca stroke sangat penting untuk kualitas perawatan dan pengukuran luaran pasca perawatan stroke. Modified Rankin Scale mRS merupakan skala pengukuran disabilitas yang dipakai secara global untuk evaluasi pemulihan dari stroke.
Tujuan: Menelaah data luaran penderita perdarahan intraventrikel yang dilakukan operasi di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo berdasarkan mRS.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan desain potong lintang cross sectional . Adapun variabel independent yaitu lokasi lesi perdarahan intraserebral, IVH-skor, GCS awal, dan variabel dependent yaitu luaran berdasarkan skoring mRS. Subjek penelitian adalah semua pasien penderita perdarahan intraventrikel yang dikelola Departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2010 sampai dengan Agustus 2016. Jumlah sampel pada penelitian ini didapatkan 23 sampel. Data penelitian diperoleh melalui catatan rekam medis, subjek dihubungi via telepon, kemudian subjek atau keluarga diwawancara untuk menilai status fungsionalnya dengan mRS. Data diolah dengan menggunakan program SPSS 21.
Hasil: Luaran 6 bulan IVH dengan menggunakan mRS secara keseluruhan didapatkan independent 11 pasien 47,8 dependent 4 pasien 17,3 dan 8 pasien meninggal 34,9 . IVH sebagian besar berusia di bawah 60 tahun 60,8 dan 39,2 yang berusia diatas 60 tahun, dari penelitian didapatkan IVH skor terbanyak adalah >15 sebanyak 15 pasien 65,2 . GCS rata-rata 7,6 2,14 . MAP terbanyak adalah >100 dengan jumlah 20 pasien 87 , dan faktor resiko yang mengalami hipertensi sebanyak 19 pasien 82,6.
Diskusi: mRS dapat digunakan sebagai standar penilaian luaran IVH.

Introduction: Intraventricular hemorrhage IVH is a spontaneous hemorrhage occurring within the ventricular system, 30 40 often associated with Intracerebral hemorrhage ICH, Accurate and precise daily evaluating activity in post stroke patients is critical for the quality of care and measurement of post stroke outcomes. Modified Rankin Scale mRS is a global disability measurement scale used for the evaluation of stroke recovery.
Aims: Configuring outcome data of patient with intraventricle hemorrhage operated at neurosurgery departmen of cm hospital based on mRS.
Methods This was an observational study with cross sectional design. The independent variables are location of intracerebral hemorrhage lesion, IVH score, initial GCS, and dependent variable is outcome based on mRS scores. Subjects of research were all patients with intraventricular hemorrhage administered by Department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo Hospital during January 2010 until August 2016 period. The number of samples in this study were obtained 23 samples. Research data was obtained through medical record and transferred into data entry format, patients was contacted by telephone, then patients or family were interviewed to assess their functional status with Modified Rankin Scale. Data is processed by using SPSS 21 program.
Results: 6 months IVH overall outcomes are 11 independent patients 47.8 4 dependent patients 17.3 and 8 patients died 34.9. IVH were mostly under 60 years old 60,8 and 39,2 were aged over 60 years, from the study obtained IVH most scores were 15 as many as 15 patients 65.2. GCS averages 7.6 2.14 . Most MAPs were 100 with 20 patients 87, and hypertension risk factors were 19 patients 82.6.
Discussion: mRS can be used as standard outcome assessment of IVH.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
"Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan.
Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75.
Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut.

Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents.
Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected.
Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75.
Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Ganefianty
"Meningioma merupakan tumor intrakranial primer yang paling umum terjadi, terhitung sepertiga dari semua tumor yang menyerang sistem saraf pusat. Meningioma dapat mempengaruhi beberapa dimensi kehidupan seperti fisiologis, psikologis, dan sosial. Pembedahan adalah penatalaksanaan utama pada pasien meningioma. Kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma dalam waktu 3 bulan hingga 1 tahun pasca pembedahan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 118 pasien meningioma pasca pembedahan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien meningioma pasca pembedahan memiliki kualitass hidup kurang baik (79,7%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah usia (p=0,014), grade tumor (p=0,0001), status fungsional (p=0,0001), fatigue (p=0,001), illness perception (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah status fungsional dengan nilai OR 6,728 (CI 95%= 1,655; 27,348). Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan acuan bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian keperawatan pada pasien meningioma pasca pembedahan terkait kualitas hidup.

Meningioma is the most common primary intracranial tumor, accounting for one third of all tumors that attack the central nervous system Meningioma can affect several domains of life such as physiological, psychological, and social life. Surgery is the main management in meningioma patients. The aim of this study was to investigate the factors influencing quality of life in meningioma patients after surgery. This study was a cross sectional analytic design involved. A total of 118 postoperative meningioma patients were selected by purposive sampling technique. The results of this study indicate that the majority of patients have low quality of life (79.7%). Factors related to quality of life were age (p = 0.014), tumor grade (p = 0,0001), functional status (p = 0,0001), fatigue (p = 0,001), illness perception ( p = 0,0001), and social support (p = 0,001). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated with the quality of life was functional status (OR 6.728). This study is to provide input to nurses as reference in developing nursing assesment in  meningioma patients after surgery related quality of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Aulia
"Latar Belakang. Epidermal Growth Factor Receptor mengatur beberapa proses selular penting. Overekspresi EGFR merupakan penanda negatif prognosis pada glioma.
Metode. Tujuh belas pasien astrositoma dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengevaluasi overekspresi EGFR. Seluruh pasien dievaluasi Karnofsky Performance Score 1 tahun pasca operasi.
Hasil. Sembilan pasien high-grade glioma, 67 memiliki overekspresi EGFR yang positif dan hanya 1 pasien yang hidup dengan KPS 70. Empat pasien low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif, memiliki KPS 0.
Kesimpulan. Low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif memiliki KPS yang rendah pada 1 tahun pasca operasi.

Background. Epidermal Growth Factor Receptor regulate several important cellular process. EGFR overexpression is one of negative prognostic marker in glioma.
Method. Seventeen patients with astrocytoma were performed immunohistochemistry to evaluate EGFR overexpression. All of this patient evaluate for Karnofsky Performance Score at 1 year after surgery.
Hasil. Nine patients with high grade glioma, 67 have positive EGFR overexpression, and only 1 patient still alive with KPS 70. Four patient in low grade glioma with positive EGFR overexpression have KPS 0.
Conclusion. Low grade glioma with positive EGFR overexpression have a poor KPS at 1 year after surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>