Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178743 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudha Puspa Handini
"ABSTRAK
Sindrom metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik yang terdiri dari obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi. Setiap komponen dari sindrom metabolik sebagai faktor risiko mayor kardiovaskular. Dislipidemia sebagai faktor risiko utama penyakit kardiovaskular. Penanganan sindrom metabolik memerlukan tatalaksana yang menyeluruh baik farmakologik maupun non farmakologik. Penelitian menunjukkan bahwa akupunktur dapat memperbaiki dislipidemia seperti menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida dan LDL serta meningkatkan HDL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi kombinasi elektroakupunktur dan medikamentosa terhadap profil lipid dan lingkar perut penderita sindrom metabolik. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol sham dilakukan pada 50 penderita sindrom metabolik yang dialokasikan secara acak menjadi kelompok terapi kombinasi elektroakupunktur dan medikamentosa kelompok elektroakupunktur atau kelompok terapi kombinasi elektroakupunktur sham dan medikamentosa kelompok kontrol . Kadar kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida dan lingkar perut digunakan untuk mengukur keluaran penelitian. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna lingkar perut kelompok elektroakupunktur sebesar -4,00 -5,00 ndash; -2 cm dibandingkan kelompok kontrol 0,00 -2 ndash; 3,00 cm

ABSTRACT
Metabolic syndrome is a group of metabolic abnormalities including obesity, insulin resistance, dyslipidemia and hypertension. Each component of the metabolic syndrome is a major cardiovascular risk factor. Dyslipidemia is a major risk factor for cardiovascular disease. Treatment of metabolic syndromes requires a comprehensive management of both pharmacologic and nonpharmacologic. Study showed that acupuncture can improve dyslipidemia such as lowering total cholesterol, triglycerde, LDL and increasing HDL. This study aims to determine the effectiveness of combination therapy of electroacupuncture and medicatian on lipid profile and waist circumference of metabolic syndrome patients. Single blinded randomized clinical trials with sham control were performed on 50 patients with metabolic syndrome that randomized into a combination group of electroacupuncture and medication electroacupuncture group or a combination group of sham electroacpuncture and medication control group . Total cholesterol levels, HDL, LDL, triglycerides and waist circumference used to measure the study outcomes. The results showed that waist circumference in electroacupuncture group decreased significantly 0f 4,00 5,00 ndash 2 cm compared to the control group of 0,00 2 ndash 3,00 cm, p"
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Binahayati
"ABSTRAK
Sindrom metabolik MetS adalah kumpulan faktor yang kompleks dan saling berhubungan, yang meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes mellitus tipe 2. Resistensi insulin dan obesitas sentral dianggap sebagai penyebab utama dari sindrom metabolik, sehingga penurunan resistensi insulin menjadi tujuan klinis yang penting saat ini. Beberapa studi menyimpulkan bahwa akupunktur dapat meningkatkan sensitivitas insulin, karena itu efektif untuk mengatasi gangguan metabolik Uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding dilakukan pada 50 penderita sindrom metabolik yang dibagi secara acak ke dalam dua kelompok, kelompok elektroakupunktur dan medikamentosa n = 25 serta kelompok elektroakupunktur sham dan medikamentosa n=25 . Elektroakupunktur dilakukan 2 kali seminggu sebanyak 10 kali tindakan di titik CV12 Zhongwan, CV4 Guanyuan, ST25 Tianshu, ST36 Zusanli, ST40 Fenglong, SP6 Sanyinjiao, dan MA-IC3 Endokrin. Dilakukan pemeriksaan gula darah puasa dan insulin puasa untuk mengukur HOMA-IR sebagai luaran primer. Hasilnya terdapat perbedaan bermakna secara statistik perubahan HOMA-IR antara kelompok elektroakupunktur dan medikamentosa dengan kelompok elektroakupunktur sham dan medikamentosa -1,66 2,187 dan -0,29 2,388, p = 0,044 . Terapi kombinasi elektroakupunktur dan medikamentosa efektif untuk menurunkan resistensi insulin pada penderita sindrom metabolik.

ABSTRACT
The metabolic syndrome is a complex disorder defined by a cluster of interconnected factors that increase the risk of cardiovascular diseases and diabetes mellitus type 2. Insulin resistance and central obesity are considered significant factors as the underlying cause of the metabolic syndrome, since reduction of insulin resistance is an important clinical goal today. Several studies have concluded that acupuncture can improve insulin sensitivity, as it is effective against metabolic disturbances. A single blind randomized controlled trial involved 50 patients randomly allocated into two groups electroacupuncture with medication group n 25 or sham electroacupunture with medication group n 25 . Electroacupuncture therapy was given twice a week for ten times at CV12 Zhongwan, CV4 Guanyuan, ST25 Tianshu, ST36 Zusanli, ST40 Fenglong, SP6 Sanyinjiao, and MA IC3 Endocrine. Fasting blood glucose and fasting insulin serum were assessed to measure HOMA IR as the primary outcome. There was a statistically significant difference in changing of HOMA IR between electroacupuncture with medication group and sham electroacupunture with medication group 1,66 2,187 and 0,29 2,388, p 0.044 . Electroacupuncture with medical treatment effectively decreased insulin resistance of metabolic syndrome patients."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Listyandini
"ABSTRAK
Akhir-akhir ini, berbagai studi berfokus pada indeks antropometri untuk obesitas seperti lingkar pinggang (LP), rasio lingkar pinggang-lingkar pinggul (RLPP), dan rasio lingkar pinggang-tinggi badan (LP-TB) sebagai faktor prediksi sindrom
metabolik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi cut-off points dengan sensitivitas
dan spesifistas optimal dari indeks antropometri untuk obesitas dalam mendefinisikan
sindrom metabolik menurut kriteria NCEP-ATP III pada pegawai di area Tanjung
Priok di Jakarta. Desain penelitian adalah cross sectional. Analisis data menggunakan
kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) untuk mengindentifikasi cut-off
points optimal dari LP, RLPP, dan LP-TB dalam memprediksi sindrom metabolik.
Total sampel diperoleh sebanyak 256 responden (174 pria dan 82 wanita) berusia 20-
58 tahun, yang bekerja di instansi pemerintah di area pelabuhan Tanjung Priok.
Berdasarkan area under curve (AUC), didapatkan indeks antropomteri dengan angka
terbesar hingga terkcecil secara berurutan yaitu LP-TB, LP, dan RLPP. Didapati cutoff
point LP ≥88 cm pada pria dan ≥85 cm pada wanita. Cut-off points RLPP pada
pria ≥0,9 dengan sensitifitas 63% dan spesifisitas 60%, sedangkan RLPP pada wanita
≥0,83 dengan sensitifitas 73% dan spesifitas 62%. Didapatkan LP-TB dengan cut-off
points 0,5, dengan sensitivitas 66% (pria) dan 67% (wanita) serta spesifisitas 65%
(pria) dan 62% (wanita). Sebagai faktor prediksi sindrom metabolik, indeks
antropometri dapat dipilih dengan pertimbangan kemudahan pengukuran. LP dinilai
lebih mudah dipraktikkan karena pengukuran tidak berbentuk rasio dan hanya
melibatkan satu pengukuran antropometri saja, sehingga bias pengukuran dapat
diminimalisir. Dibutuhkan studi longitudinal untuk memperkuat hasil penelitian ini.

ABSTRACT
Recently, many studies have focused on anthropometric indices for abdominal obesity
as waist circumference (WC), waist to hip ratio (WHR), and waist to height ratio
(WHtR) to define metabolic syndrome (MetS). This study aimed to compare WC,
WHR, and WHtR and define an optimal cut-off values, which is most closely
predictive of the components of the NCEP-ATP III MetS definition among employees
in Port of Tanjung Priok, Jakarta. This study was cross-sectional study. Receiver
Operating Characteristic (ROC) analysis was used to examine discrimination and
find optimal cut-off values of WC, WHR, and WHtR to predict components of MetS. It
included 256 subjects (174 men and 82 women) aged 20-58 years, who worked in
Port of Tanjung Priok. According to area under curve, we found WHtR with the
highest score, followed by WC, and followed by WHR with the lowest score. WC cutoff
points were ≥88 cm in men dan ≥85 cm in women. WHR cut-off points were ≥0,9
in men (sensitivity 63%; specificity 60%), ≥0,83 in women (sensitivity 73%;
specificity 62%). WHtR cut-off points was 0,5, in men and women (sensitivity 66%
and specificity 65% in men; sensitivity 67% and specificity 62% in women).
Anthropometric indices for metabolic syndrome prediction could be determined by
considering measurement complexity. WC was considered as an easy measurement
because it`s not in ratio and involved one measurement. Bias of measurement could
be minimized. Longitudinal studies is needed to evaluate the consistency of the
findings."
2016
T47064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Dhaniaputri
"ABSTRAK
Dislipidemia dan diabetes melitus merupakan komponen utama dalam klaster kelainan metabolisme yang disebut dengan sindrom metabolik, diikuti dengan komponen penyusun lainnya berupa obesitas abdominal dan hipertensi dimana setiap komponen tersebut merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Tingginya angka mortalitas dan morbiditas sindrom metabolik mendorong dunia medis melakukan upaya preventif agar kondisi sindrom metabolik tidak berkembang menjadi penyakit kardiovaskular yang salah satu upaya tersebut ialah dengan melakukan pengembangan hewan model sindrom metabolik dengan tujuan untuk mempelajari patofisiologis dan upaya mengatasi sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dislipidemia (kadar kolesterol total dan trigliserida plasma) pada pengembangan hewan model sindrom metabolik melalui profil lipid setelah pemberian kombinasi diet tinggi-lemak dan streptozotosin (STZ) dosis rendah. Untuk menganalisis efek variasi dosis STZ, hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok; 1 kelompok kontrol yang tidak diberikan diet tinggi-lemak dan STZ dan 3 kelompok induksi yang diberikan diet tinggi-lemak serta injeksi tunggal STZ dosis rendah (25, 35 dan 45 mg/kg.BB). Hasil menunjukkan tidak adanya perubahan bermakna pada profil kolesterol pada semua kelompok dosis terhadap kelompok kontrol, sedangkan peningkatan signifikan (p<0,05) terjadi pada profil trigliserida plasma setelah pemberian diet tinggi-lemak selama 26 hari. Namun, terjadi penurunan kadar trigliserida yang menunjukkan pola dose-dependent setelah injeksi STZ dosis 25 dan 35 mg/kgBB. Secara keseluruhan, induksi kombinasi diet tinggi lemak selama 26 hari menunjukkan peningkatan trigliserida plasma secara bermakna dibandingkan kelompok normal dan kondisi hipertrigliseridemia ini hanya dapat dipertahankan pada kelompok yang diberikan STZ dosis dengan dosis 25 mg/kgBB.

ABSTRACT
Dyslipidemia and diabetes mellitus are the main components of a cluster of metabolic abnormalities called metabolic syndrome, followed by other components such as abdominal obesity and hypertension which each component is an independent risk factor for cardiovascular disease. The high mortality and morbidity of metabolic syndrome encouraged medical scientists to make a precautionary strategy to prevent metabolic syndrome developed to cardiovascular disease which one of the strategies is to develop the experimental models of metabolic syndrome to study pathophysiology and try to overcome metabolic syndrome. This study analyzed the dyslipidemic effect (total cholesterol and triglyceride plasma concentration) in the development of an experimental model of metabolic syndrome induced by a combination of high-fat diet and low dose streptozotocin. To analyze the effect of low dose streptozotocin variance, 3 groups received a combination of high-fat diet and variance of low dose streptozotocin (25, 35, and 45 g/kg body weight) compared to 1 control group which not given a high-fat diet nor low dose streptozotocin. The result showed no significant difference in total cholesterol concentration between groups given a combination of high-fat diet and STZ and control group, while a significant increase occurred on triglyceride plasma concentration (p<0,05) after 26 days of induction of high-fat diet. However, low dose streptozotocin injection showed decreasing lipid profile dose-dependently on groups given 25 and 35 mg/kg STZ. In conclusion, 26 days of induction of high fat-diet increased plasma triglyceride concentration significantly compared to the normal group and the condition of hypertriglyceridemia could only be maintained in a group given 25 mg/kg STZ.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Lutfiani
"Pengembangan model hewan sindrom metabolik masih diperlukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pemilihan model hewan eksperimental yang dapat mewakili patofisiologi sindrom metabolik pada manusia. Pemberian diet tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah pada hewan coba diketahui berpotensi menggambarkan berbagai kelainan metabolik akibat resistensi insulin dan obesitas. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh pemberian diet tinggi lemak dan varian streptozotocin dosis rendah terhadap kadar glukosa plasma sebagai salah satu parameter penilaian komponen sindrom metabolik. Studi dilakukan terhadap empat kelompok, terdiri dari kelompok normal (N: diet standar dan dapar sitrat pH 4,5), model 1 (M1: diet tinggi lemak-streptozotocin 25 mg/kg BB), model 2 (M2: diet tinggi lemak-streptozotocin 35 mg/kg BB), model 3 (M3: diet tinggi lemak-streptozotocin 45 mg/kg BB). Pemberian induksi diet tinggi lemak peroral sehari sekali selama 49 hari disertai dengan injeksi intraperitoneal streptozotocin dosis rendah pada hari ke-28. Pemberian induksi diet tinggi lemak sebelum injeksi streptozotocin tidak memengaruhi kadar glukosa plasma secara bermakna (p > 0,05). Namun, pada akhir penelitian kadar glukosa plasma kelompok model 1 dan 2 menunjukkan peningkatan kadar glukosa plasma melebihi 200 mg/dL secara bermakna (p < 0,05) berbanding dengan kelompok normal. Pemberian streptozotocin dosis rendah juga menunjukkan adanya aktivitas dose-dependent dosis 25 dan 35 mg/kg BB, meskipun tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p > 0,05) antar kelompok model. Dosis induksi streptozotocin yang paling optimal dalam penelitian ini adalah 25 mg/kg BB.

The development of animal models of metabolic syndrome still needed to provide a better understanding of the selection of experimental animal models that can represent metabolic syndrome pathophysiology clinically. Administration of high-fat diets and low doses of streptozotocin in experimental animals is known potentially represent various metabolic disorders due to insulin resistance and obesity. This study aims to evaluate the effect of high-fat diets and low-dose streptozotocin variants on plasma glucose level as one of assessment parameters of the metabolic syndrome component. The study was conducted on four groups, consisting of normal groups (standard diet and citrate buffer pH 4.5), model 1 (high-fat diet and streptozotocin 25 mg/kg BW), model 2 (high-fat diet and streptozotocin diet 35 mg/kg BW), model 3 (high-fat diet and streptozotocin 45 mg/kg BW). Induction oral of high-fat diet once a day for 49 days accompanied by a low-dose injection of intraperitoneal streptozotocin on the day 28. Induction of a high-fat diet before streptozotocin injection not significantly influence (p > 0,05) plasma glucose levels. However, at the end of the study the plasma glucose level of model group 1 and 2 showed increased plasma glucose levels exceeding 200 mg/dL significantly (p < 0,05) compared to the normal group. Administration low-dose streptozotocin also showed a dose-dependent activity of 25 and 35 mg/kg BW, although there were no significant differences (p < 0,05) between the model groups. The most optimal dose of streptozotocin induction in this study was 25 mg/kg BW."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Poerwoto
"Latar belakang. Berat badan lebih dan obesitas sebagai masalah kesehatan juga ditemukan di Indonesia. Obesitas berkaitan dengan sindrom metabolik, yang juga dapat ditemukan pada populasi dengan berat badan normal.
Tujuan. Untuk melihat perbedaan proporsi sindrom metabolik (menurut kriteria NCEP-ATP III, dan modifikasi Asia Pasifik) pada populasi wanita obes (IMT > 25 kglm2 ) dan non-obes (IMT 18,5 - 24,9 kglm2), serta profil komponen sindrom metabolik.
Metode. Penelitian bersifat deskriptif analitik, dilakukan pada bulan Desember 2003 - Juni 2005, di Pali Lipid dan Obesitas, Divisi Metabolik Endokrinologi RSCM. Subyek ialah perawat wanita di RSCM, berusia 20 hingga 50 tahun. Jumlah responden ialah 45 subyek obes, dan 45 non-obes.
Hasil. Dari 90 responden total, 12 (26,7 %) subyek obes memenuhi kriteria sindrom metabolik menurut NCEP-ATP III. Menggunakan kriteria modifikasi Asia Pasifik, didapatkan 14 (31,1 %) subyek obes mengalami sindrom metabolik. Tidak ada subyek non-obes yang memenuhi kriteria sindrom metabolik [p < 0,0011 Tiga puluh (66,7 %) subyek obes mempunyai lingkar pinggang > 88 cm, dibandingkan 0 (0,0 %) subyek non-obes. Empat (8,9 %) subyek obes mempunyai tekanan darah 130185 mmHg, pada kelompok non-obes hanya 1 (2,2 %) subyek. Tiga (6,7 %) subyek obes memiliki kadar glukosa darah puasa a. 110 mg/dL atau merupakan pasien DM tipe 2 yang mendapat obat hipoglikemik oral, sedangkan pada kelompok non-obes tidak ada_ Tigabelas (28,9 %) subyek obes mempunyai kadar trigliserida 150 mgIdL, dan tidak ada pada kelompok non-obes. Kadar kolesterol HDL < 50 mg/dL didapatkan pada 26 (57,8 %) subyek obes, dan 9 (20,0 %) pada subyek non-obes.
Simpulan. Sindrom metabolik hanya ditemukan pada populasi perawat wanita obes.

Backgrounds. Overweight and obesity as health problems are also found in Indonesia. Obesity is related to metabolic syndrome, which can also occurs in normal weight population.
Objectives. To look at the difference in metabolic syndrome (according to NCEPATP III criteria, and modified Asia Pacific criteria) proportion within obese female population (BMI > 25 kg/m2 ) and non-obese female population (BMI 18,5 -- 24,9 kg/m2), and the profile of metabolic syndrome components.
Methods. This cross sectional study was conducted from December 2003 to June 2005, at Lipid and Obesity Clinic, Metabolic and Endocrinology Division, Department of Internal Medicine, University of Indonesia - Cipto Mangunkusumo General Hospital. Subjects were Cipto Mangunkusumo General Hospital female nurses, ages 20 to 50 years old. The first group consisted of 45 obese subjects, and the second group of 45 non-obese persons.
Results. Twelve (26.7 %) of obese subjects fulfilled the NCEP-ATP III criteria for metabolic syndrome. Using the modified Asia Pacific criteria, there were 14 (31.1 %). None of the non-obese subjects fulfilled any of those two criteria [p < 0.001]. Thirty (66.7 %) of obese subjects had waist circumference > 88 cm, as compared to none of non-obese subjects. Four (8.9 %) of the obese subjects had blood pressure
130185 mmHg, as compared to only 1 (2.2 %) in non-obese subjects. Only 3 (6.7 %) of the obese subjects had fasting glucose levels > 110 mg/dL or had been diagnosed as DM type 2 patient and receiving oral hypoglycemic drug, whereas none of the non-obese subjects. Thirteen (28.9 %) of the obese subjects had triglyceride level > 150 mg/dL, and none of non-obese subjects. HDL-cholesterol level < 50 mg/dL was found in 26 (57.8 %) of obese subjects, and 9 (20.0 %) of non-obese subjects.
Conclusions. Metabolic syndrome was found only in obese female nurses.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janni Koesnomo Matsalim
"Latar Belakang. Salah satu isu penyakit yang berhubungan dengan aktivitas kerja yang rendah adalah gangguan metabolisme yang berujung pada sindrom metabolik. Penelitian ini ingin mengetahui jumlah pekerja yang menjalankan pekerjaan tertentu yang terdeteksi menderita sindrom metabolik. Karena tidak adanya data spesifik mengenai jumlah kasus ini, kami akan mencari tahu angka kejadian dan faktor-faktor risiko yang terkait dengan kejadian sindrom metabolik pada kelompok-kelompok pekerja ini.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan berkala pekerja dari tahun 2009 - 2012. Mencakup 114 data responden, terbagi atas 67 data responden dari kelompok pekerja kantor dan 47 data responden dari kelompok guru.
Hasil. Angka kejadian sindrom metabolik kelompok pekerja kantor sebesar 10,4% dan pada kelompok profesi guru adalah sebesar 4,3%, dengan nilai p = 0,303 dan RR = 0,41 (0,09 - 1,88).
Kesimpulan. Hipotesis pada penelitian ini dapat dibuktikan (meskipun tidak bermakna secara statistik), yaitu kelompok pekerja kantor yang lebih banyak duduk memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami sindrom metabolik bila dibandingkan dengan kelompok profesi guru yang lebih banyak berjalan.

Background. One of the diseases that related to low activity of working is a metabolic disorder that leads to metabolic syndrome. The objectives of the study are to know the number of workers who run certain jobs detected suffering from metabolic syndrome. Since there is no specific data on the number of these cases, we will find out the incidence and risk factors associated with the incidence of the metabolic syndrome on groups of workers.
Methods. The study uses a retrospective cohort design using secondary data periodic health examination of worker from the year 2009 - 2012. Covering 114 respondent data, divided into 67 respondent data of office worker group and 47 respondent data of teacher group.
Results. The metabolic syndrome incidence in group of office workers is 10.4% and in group of teacher is 4.3%, with the value of p = 0.303 and RR = 0.41 (0.09 to 1.88).
Conclusions. The hypothesis in this study can be proved (although not statistically significant), a group of office workers who sit much more have a greater risk for metabolic syndrome when compared with the teacher who walk much more.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prisca Cynthia Limardi
"Sindrom metabolik merupakan sekumpulan faktor risiko yang meningkatkan peluang kemunculan penyakit kardiovaskular.  Sindrom tersebut muncul akibat interaksi faktor lingkungan dan faktor genetik. Beberapa penelitian menemukan bahwa single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen Transcription Factor 7-Like 2 (TCF7L2) merupakan variasi yang paling berpengaruh terhadap kemunculan sindrom metabolik. Namun, studi pada SNP rs290487 dan rs290481 belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi alel risiko rs290487 dan rs290481 dengan sindrom metabolik pada populasi Bali. Studi ini menggunakan 565 sampel (321 sampel laki-laki dan 244 sampel perempuan) yang berasal dari empat desa di Provinsi Bali. Keberadaan SNP dideteksi menggunakan teknik amplification refractory mutation system polymerase chain reaction (ARMS PCR) dengan primer yang telah didesain khusus. Analisis asosiasi SNP rs290487 dan rs290481 dilakukan menggunakan uji regresi logistik ordinal. Hasil analisis menunjukkan MAF (alel T) SNP rs290487 dan rs290481 masing-masing sebesar 0,56 dan 0,53. Alel C pada masing-masing SNP merupakan alel risiko bagi peningkatan kadar gula darah puasa (GDP) dan kemunculan sindrom metabolik pada sampel perempuan di populasi Bali. Selain itu, analisis haplotype yang dilakukan menemukan bahwa haplotype TTT dari rs290487, rs290481, dan rs7903146, berasosiasi dengan peningkatan TG (p = 0,011) dan kemunculan sindrom metabolik (p = 0,003)

Metabolic syndrome (MetS) is a cluster of risk factors that raises risk of cardiovascular disease. MetS can occur due to an interaction between environmental and genetic factors. Several studies have shown that single nucleotide polymorphisms (SNPs) of Transcription Factor 7-Like 2 (TCF7L2) gene are significantly associated with MetS. Nevertheless, studies on SNP rs290487 and rs290481 have not yet been explored widely. This study aimed to investigate the association of rs290487 and rs290481 risk alleles with MetS in Balinese population. A total of 565 archive samples (321 males and 244 females) from four villages in Bali province were included in this study. All subjects were genotyped using amplification refractory mutation system polymerase chain reaction (ARMS PCR) method with specifically designed primers. Association between rs290487 and rs290481 with MetS were analyzed using ordinal logistic regression test. The results showed that MAF of rs290487 and rs290481 are 0,56 and 0,53, respectively. C-allele of both SNPs were risk alleles for elevated fasting plasma glucose (FPG) level and development of MetS in Balinese women. Furthermore, haplotype TTT of rs290487, rs290481, and rs7903146, were significantly associated with elevated TG level (p = 0,011) and development of MetS (p = 0,003).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luis Anthony Jayanata
"Latar Belakang Sindrom metabolik sangat serius karena diperkirakan 20 – 25% populasi orang dewasa di dunia menderita dengan kondisi tersebut. Orang dengan sindrom metabolik dua kali lipat lebih rentan meninggal karena serangan jantung dan tiga kali lebih mungkin meninggal karena stroke. Sindrom metabolik menjadi semakin umum terjadi pada pilot maskapai penerbangan komersial, dengan perkiraan prevalensi sebesar 18,28% pada pilot maskapai penerbangan komersial jarak pendek di Indonesia. Implikasi sindrom metabolik pada pilot maskapai penerbangan sangat signifikan dan dapat berdampak pada keselamatan awak pesawat dan penumpang jika tidak ditangani. Pandemi COVID-19 berdampak besar pada pengurangan lalu lintas udara, dan hal ini dapat berdampak pada paparan pilot terhadap hipoksia hipobarik di kabin dan mempengaruhi berbagai faktor gaya hidup. Studi kohort retrospektif ini menilai proporsi pilot maskapai penerbangan Indonesia yang menderita sindrom metabolik sebelum dan selama pandemi COVID-19. Metode Rekam medis pilot maskapai penerbangan yang telah melakukan pemeriksaan kesehatan di Aviation Medical Center diambil untuk penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini dari rekam medis meliputi nomor identifikasi individu pilot, usia, tekanan darah, apakah mereka sedang mengonsumsi obat tekanan darah, hasil tes darah (trigliserida, kolesterol, konsentrasi glukosa), dan jam terbang yang terakumulasi dalam waktu sekitar 6-bulan antara pemeriksaan kesehatan. Data diimpor ke SPSS 20.0 dan analisis univariat dan bivariat dilakukan untuk mengidentifikasi proporsi pilot dengan sindrom metabolik, dan hubungannya dengan faktor-faktor seperti jam terbang dan usia. Hasil Peserta yang termasuk pada studi ini adalah 76 pilot maskapai penerbangan dengan data rekam medis mulai awal tahun 2019-pertengahan tahun 2021. Proporsi pilot yang menderita sindrom metabolik mencapai puncaknya sebesar 31,58% pada pertengahan tahun 2021, jauh lebih tinggi dibandingkan data prevalensi 18,28% yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan sebelumnya dan melebihi kisaran perkiraan prevalensi pada orang dewasa di seluruh dunia. Data menunjukkan tren bahwa semakin banyak pilot yang lanjut menderita sindrom metabolik seiring berjalannya waktu, terlepas dari jam terbang. Glukosa plasma puasa (proporsi puncak pada pertengahan tahun 2021 sebesar 30,3%).

Background Metabolic syndrome is very serious as an estimated 20-25% of the world’s adult population suffer from it. People with metabolic syndrome are twice as likely to die from heart attack & three times as likely to die from stroke. Metabolic syndrome is becoming increasingly common in commercial airline pilots, with an estimated prevalence of 18.28% among short-haul commercial airline pilots in Indonesia. The implication of metabolic syndrome in airline pilots are significant and can have repercussions on aircrew and passenger safety if left unmanaged. The COVID-19 Pandemic has had a large impact on the reduction of air traffic, and this may impact exposure of pilots to hypobaric hypoxia in cabin and influence various lifestyle factors. This retrospective cohort study assesses the proportion of Indonesian airline pilots with metabolic syndrome before and during the COVID-19 pandemic. Methods The medical records of airline pilots who have conducted medical check-ups in the Aviation Medical Centre were taken for this study. Data used in this study from the medical records include the individual pilot’s identification number, age, blood pressure, whether they are taking blood pressure medication, blood test results (triglycerides, cholesterol, glucose concentrations), and flight hours accumulated in the roughly 6-month period between medical check-ups. Data was imported into SPSS 20.0 and both univariate and bivariate analysis was done to identify the proportion of pilots with metabolic syndrome, and its association with factors such as flight hours and age. Results Participants included 76 airline pilots with medical record data spanning from early 2019 – mid-2021. The proportion of pilots with metabolic syndrome reached a peak of 31.58% in mid-2021, much higher than the 18.28% prevalence derived from a previously conducted study and exceeds the range of estimated prevalence in adults worldwide. The data suggests a trend that more pilots continued to develop metabolic syndrome over time, independent of fligh hours. Fasting plasma glucose (peak proportion in mid-2021 of 30.3%). Conclusion The proportion of pilots with MetS had an eightfold increase by the end of the study. The Proportion of pilots with hypertension had 3.21 times increase during the COVID-19 pandemic compared to before. The proportion of pilots with FPG>100 mg/dL increased 2.89 times across the study period. Flight hours and MetS did not have a significant correlation, but the average median 6-month flight hours of pilots with MetS prior to the COVID-19 pandemic is greater than pilots during the COVID-19 pandemic by an average of 163 hours."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Sugiarti
"Sindrom metabolik merupakan konsekuensi dari hubungan yang kompleks antarafaktor genetik dan lingkungan, yang berhubungan dengan meningkatnya risikodiabetes mellitus, penyakit kardiovaskular dan kematian. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui hubungan umur, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga,asupan zat gizi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan durasi tidur dengankejadian sindrom metabolik menurut kriteria NCEP ATP III pada pegawai RSUP Persahabatan. Populasi studi adalah pegawai yang melakukan pemeriksaan kesehatan pada bulan April-Mei 2017. Disain penelitian ini adalah cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 110 responden yang dipilih dengan consecutive sampling. Data dikumpulkan pada bulan Mei-Juni 2017, meliputi pengukurantinggi badan, berat badan, lingkar pinggang, riwayat penyakit keluarga, asupanmakanan yang terdiri dari energi, karbohidrat, protein, lemak dan serat, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, durasi tidur dan data sekunder berupa hasil laboratorium trigliserida, kolesterol HDL, gula darah dan tekanan darah. Hasil menunjukkan bahwa 7,3% responden mengalami sindrom metabolik dan 54,5% obesitas sentral. Ada perbedaan yang signifikan antara umur pada responden sindrom metabolik dengan yang tidak sindrom metabolik p=0,01 . Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, asupan makanan, riwayat penyakit keluarga dan gaya hidup dengan sindrom metabolik. Meskipun demikian disarankan agar pegawai menjaga pola hidup sehat dengan olah raga teratur, makan makanan gizi seimbang dan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan.

Metabolic syndrome is a consequence of the complex relationship betweengenetic and environmental factors, which is associated with increased risk ofdiabetes mellitus, cardiovascular disease and mortality. This study aims todetermine the relationship between age, sex, family disease history, nutrientintake, physical activity, smoking habits, and sleep duration with the incidence ofmetabolic syndrome according to NCEP ATP III criteria on Persahabatan Hospital staff. The study population is an employee who performs a medical examinationin April May 2017. The design of this study is cross sectional with the number of samples of 110 respondents with selected with consecutive sampling. Data werecollected in May June 2017, including measurement of height, weight, waist circumference, family disease history, food intake consisting of energy, carbohydrate, protein, fat and fiber, physical activity, smoking habit, sleepduration and secondary data In the form of laboratory results triglycerides, HDLcholesterol, blood sugar and blood pressure. Results showed that 7.3% ofrespondents had metabolic syndrome and 54.5% of central obesity. There was significant association between age and metabolic syndrome and no significant association between sex, food intake, family disease history and lifestyle with metabolic syndrome. Never the less it is recommended that employees maintain ahealthy lifestyle with regular exercise, eating balanced nutrition and routine medical checks up."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T47823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>