Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87021 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ikbal Gentar Alam
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pasien bedah dengan sakit kritis yang dirawat di ICU cukup sering dijumpai dan menggunakan sumber daya rumah sakit lebih banyak. Sakit kritis dapat menyebabkan pasien menjadi malnutrisi. Malnutrisi pada pasien yang dirawat di ICU akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi untuk pasien sakit kritis pascabedah bertujuan untuk menurunkan stres metabolik, memodulasi respons imun, dan membantu penyembuhan lukaHasil dan Pembahasan: Pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis pascabedah bergantung pada kondisi klinis pasien. Serial kasus ini menguraikan dua pasien dengan bedah mayor gastrointestinal, satu pasien dengan pembedahan pembuluh darah besar, dan satu pasien dengan pembedahan besar daerah leher sampai mediastinum. Selama perawatan di ICU semua pasien diberikan terapi nutrisi dengan target energi 30 kkal/kg BB dan protein 1,2 ndash;2,0 g/kg BB per hari. Nutrisi diberikan secara optimal sesuai kondisi pasien untuk mendukung perbaikan klinis pasien. Terapi nutrisi secara optimal pada sakit kritis pascabedah dapat menurunkan katabolisme, memodulasi sistem imun, mencegah malnutrisi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitasKesimpulan: Terapi nutrisi yang optimal pada pasien sakit kritis pascabedah dapat membantu perbaikan klinis

ABSTRACT
Introduction Surgical patients with critical illness admittted to the ICU are fairly common and use more hospital resources. Critical illness can cause the patients become malnourished. Malnutrition in the ICU patients will increase the morbidity and mortality rates. Nutrition therapy in critically ill postoperative patients aims to reduce metabolic stress, modulate the immune response, and improve wound healingResults and Discussion Fulfilment of nutrition requirements in postoperative critically ill patients depends on the patient 39 s clinical condition. This serial case describes two patients with major gastrointestinal surgery, one patient with major blood vessel surgery, and one patient with large neck and mediastinum surgery. During treatment in the ICU all patients were given nutrition therapy with the target energy of 30 kcal kg and protein 1.2 ndash 2.0 g kg daily. Nutrition is given optimally adjusted to patients rsquo condition to support the patient clinical improvement. Optimal nutrition therapy in critically ill postsurgical patients can reduce catabolism, modulate the immune system, prevent malnutrition, and decrease morbidity and mortality rates.Conclusion Optimal nutrition therapy in critically ill postsurgical patients can support clinical improvement "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannessa Wulandari
"Latar Belakang: Sindroma Guillain-Barre merupakan kondisi kritis dengan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan hiperkatabolisme sehingga meningkatkan risiko malnutrisi. Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot diafragma, dan meningkatkan risiko infeksi yang akan memperberat kondisi sakit kritis. Terapi medik gizi bertujuan menyediakan substrat energi, mengurangi responss metabolik terhadap stres, memicu responss imun, serta mempertahankan massa bebas lemak.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan sindroma Guillain-Barre berusia antara 21-58 tahun. Keempat pasien memiliki status gizi obes berdasarkan kriteria World Health Organization WHO Asia Pasifik. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada keadaan sakit kritis dimulai dengan enteral dini dengan target 20-25 kkal/kg BB fase akut dan protein 1,2-2 g/kg BB. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna. Mikronutrien diberikan vitamin D3, B, C, seng.
Hasil: Tiga pasien pulang dengan perbaikan kekuatan motorik dengan lama perawatan intensif yang bervariasi, sedangkan satu pasien masih dalam perawatan karena membutuhkan ventilasi mekanik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi adekuat menunjang proses penyembuhan penyakit dan memperbaiki kapasitas fungsional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardine Godong
"AKI disebabkan oleh pengaruh gangguan sistemik atau lokal hemodinamik yang menyebabkan terjadinya stres atau kerusakan pada sel tubular yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Pasien yang mengalami malnutrisi dengan peningkatan prevalensi kejadian AKI sebanyak 2,25 kali. Skrining pasien malnutrisi dilakukan dalam 24 hingga 48 jam pertama saat pasien masuk ke rumah sakit menggunakan alat skrining, salah satunya adalah NRS-2002. Penelitian menggunakan desain kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di RSUPN dr. CIpto Mangunkusumo dan RSUI. Diperoleh 64 subjek dengan kelompok skor NRS-2002 ≥ 3 sebanyak 36 subjek dan kelompok skor NRS < 3 sebanyak 28 subjek. Jumlah pasien laki-laki sebanyak 40 (62,5%) subjek, dan perempuan sebanyak 24 (37,5%) subjek, dengan usia rerata 50,95 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh, kelompok IMT dengan malnutrisi adalah kelompok terbanyak dengan jumlah 21 (32,8%) subjek. Pasien dengan faktor risiko hipertensi sebanyak 18 (28,1%) subjek. Subjek dengan Skor NRS ≥ 3 didapatkan 36 subjek dengan 10 orang yang mengalami AKI. Subjek dengan skor NRS <3 didapatkan sebanyak 28 orang dengan 1 orang mengalami AKI. Hasil uji statistik menggunakan uji fischer’s exact test diperoleh nilai p 0,017 ( RR 7,78, CI 95% 1,06-57,20). Hal ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan bermakna antara skor Nutritional Risk Screening – 2002 dengan kejadian acute kidney injury pada pasien sakit kritis

AKI is caused by systemic or local hemodynamic disturbances that result in stress or damage to tubular cells, which can progress to chronic kidney failure. Patients experiencing malnutrition have a 2.25 times higher prevalence of AKI. Screening for malnutrition is conducted within the first 24 to 48 hours of hospital admission using screening tools such as the NRS-2002. This study used a prospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. A total of 64 subjects were obtained, with 36 subjects having an NRS-2002 score ≥ 3 and 28 subjects having an NRS score < 3. There were 40 male subjects (62.5%) and 24 female subjects (37.5%), with an average age of 50.95 years. Based on body mass index, the group with malnutrition was the largest group, with 21 subjects (32.8%). There were 18 subjects (28.1%) with hypertension as a risk factor. Subjects with an NRS score ≥ 3 included 36 subjects, with 10 of them experiencing AKI. Subjects with an NRS score <3 included 28 people, with 1 person experiencing AKI. The results of the statistical test using Fischer's exact test obtained a p-value of 0.017 (RR 7.78, CI 95% 1.06-57.20). This indicates a significant relationship between the Nutritional Risk Screening - 2002 score and the incidence of acute kidney injury in critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Anak yang dirawat di ICU cenderung mengalami malnutrisi sejak masuk atau selama perawatan yang dapat memperberat penyakit dasar, memperpanjang lama rawat serta meningkatkan mortalitas. Baik underfeeding atapun overfeeding dapat terjadi di ICU Anak selama perawatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, menggunakan data rekam medis. Selama 3 bulan penelitian. didapatkan 45 subjek penelitian. Dari 45 data pasien didapatkan 127 peresepan untuk menilai keseuaian peresepan dengan pemberian nutrisi pada pasien. Pemberian nutrisi pada pasien yang dirawat di ICU Anak merupakan hal yang sangat penting. Perlu perhitungan kebutuhan nutrisi yang cermat, pemberian nutrisi tepat yang sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi malnutrisi yang lebih berat lagi.

Children admitted to the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) are at risk for poor and potentially worsening nutritional status, a factor that further increases comorbidities and complications, prolongs the hospital stay, increases cost and increases mortality. Both underfeeding and overfeeding are prevalent in PICU and may result in large energy imbalance. This was cross sectional study design, with 3 month consecutive sampling in PICU which met 45 patients as the subject and 127 prescription of nutrition. Nutrition support therapies in PICU is very important .Adequate nutrition therapy is essential to improve nutrition outcomes in critically ill children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada populasi dunia berusia di bawah 45 tahun. Cedera kepala sedang (CKS) dan berat (CKB) biasanya memerlukan perawatan intensif dan pendekatan medis-bedah. Pasien dengan cedera kepala mengalami peningkatan laju metabolisme sehingga memerlukan tatalaksana medik gizi yang sesuai. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas, risiko infeksi, dan komplikasi lainnya. Pemberian nutrisi enteral dini dalam kurun 24-48 jam setelah masuk Intensive Care Unit (ICU) dapat memperbaiki luaran klinis pasca cedera.
Serial kasus ini bertujuan untuk melaporkan peran tatalaksana medik gizi pada status gizi, lama pemakaian ventilator, tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien kritis dengan CKS dan CKB. Empat pasien laki-laki dengan rentang usia 25-46 tahun diobservasi selama perawatan di ICU RS Cipto Mangunkusumo, dua pasien dengan diagnosis CKS dan sisanya dengan diagnosis CKB. Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, dua pasien memiliki berat badan (BB) normal, satu pasien BB lebih dan satu pasien obesitas II. Tingkat kesadaran berdasarkan skor Glascow Coma Scale (GCS) pasien pada saat masuk ICU adalah 6-11.
Selama perawatan keempat pasien mendapat nutrisi enteral dini dan pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap. Pada seluruh pasien, kebutuhan energi dapat dipenuhi sesuai target 25-30 kkal/kg BB. Kebutuhan makronutrien dapat dipenuhi sesuai target, yaitu protein 1,2-2 g/kg BB, lemak 20-30%, dan karbohidrat minimal 100 g/hari. Pada dua pasien dengan CKB, diberikan nutrien spesifik berupa glutamin sebesar 0,2 g/kgBB/hari dan mikronutrien berupa vitamin C, vitamin B kompleks, asam folat, dan seng.
Hingga akhir pemantauan status gizi pada dua pasien CKS dapat dipertahankan, sedangkan dua pasien dengan CKB mengalami penurunan berat badan. Dua pasien CKS hanya menggunakan ventilator selama 4-5 hari, sedangkan dua pasien dengan CKB menggunakan ventilator lebih lama yaitu 12 dan 31 hari dengan disertai komorbiditas pneumotoraks dan ventilator-associated pneumonia. Tingkat kesadaran seluruh pasien mengalami perbaikan. Skor GCS pasien pada akhir perawatan di ICU adalah 7-15. Kapasitas fungsional berdasarkan Indeks Barthel juga mengalami perbaikan pada tiga pasien, yaitu dari ketergantungan total menjadi ketergantungan sedang atau berat.
Dapat disimpulkan bahwa tatalaksana medik gizi dapat berperan dalam mempertahankan status gizi, menurunkan lamanya pemakaian ventilator, memperbaiki tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien sakit kritis dengan CKB dan CKS. Tingkat keparahan cedera kepala dan komorbiditas dapat memengaruhi luaran klinis dan harus dipertimbangkan dalam memberi tatalaksana medik gizi.

Traumatic brain injury (TBI) is a leading cause of death and disability in the global population under 45 years old. Moderate and severe TBI usually require intensive care and a medical-surgical approach. Patients with TBI experience an increase in metabolic rate and therefore require appropriate medical nutrition therapy. Inadequate energy intake can cause an increase in morbidity, risk of infection, and other complications. Early enteral nutrition within 24-48 hours after ICU admission has been shown to improve clinical outcome.
This case series aims to report the role of medical nutrition therapy on nutritional status and clinical outcomes of critically ill patients with moderate and severe TBI. Four male patients aged 25-46 years were observed during their stay at the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Based on body mass index, two patients were normoweight, one patient was overweight and one patient was class II obese. The Glascow Coma Scale (GCS) scores of the patients on ICU admission were ranged 6-11.
Two of the four patients were classified as moderate TBI and the other two patients were as classified as severe TBI. On monitoring four patients received early enteral nutrition and the nutrition was gradually increased to reach the target of 25-30 kcal/kg body weight (BW). Enteral formula were targeted to achieve protein intake of 1.2-2 g/kgBW, fat intake of 20-30% of energy intake, and carbohydrate intake of at least 100 g/day. Two patients with severe TBI were given specific nutrients in the form of glutamine as much as 0.2 g/kgBW/day and micronutrients in the form of vitamin C, vitamin B complex, folic acid, and zinc. Two patients with moderate TBI received mechanical ventilation for 4 and 5 days, while two patients with severe TBI received mechanical ventilation for 12 and 31 days. In two patients with severe TBI, prolonged use of mechanical ventilation may be associated with the comorbidities of pneumothorax and ventilator-associated pneumonia.
At the end of monitoring, the levels of consciousness were improved in all patients. The patients GCS score at the end of treatment in the ICU were ranged 7-15. Functional capacity based on the Barthel Index also improved in three patients, from total dependence to moderate or severe dependence. Weight loss was experienced in two patients with severe TBI, possibly due to severe and prolonged catabolism in severe TBI. Patients with severe TBI may have higher energy requirements to maintain their nutritional status.
It can be concluded that medical nutrition therapy may play a role in improving the level of consciousness and functional capacity in critically ill patients with moderate and severe traumatic brain injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Felicia Suganda
"Tatalaksana nutrisi penyakit kritis pada anak dengan pneumonia berat mencakup pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, manajemen cairan dan elektrolit serta monitoring status gizi. Terapi nutrisi yang adekuat harus diberikan pada anak sakit kritis yang dirawat intensif dengan tujuan meminimalkan efek fase akut. Sekitar 15-20% anak masuk perawatan intensif sudah dalam kondisi malnutrisi sebelumnya. Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru. Status nutrisi yang terganggu dapat mempengaruhi fungsi paru pada pasien yang bernapas spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status nutrisi dapat mempengaruhi fungsi otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon terhadap hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Pasien pada serial kasus ini mempunyai rentang usia 3-4,5 bulan. Umumnya keluhan utama adalah sesak napas yang semakin berat, disertai dengan tarikan dinding dada dan malas menyusu. Berkurangnya asupan menyebabkan pasien mengalami masalah gizi sehingga perlu adanya dukungan nutrisi. Terapi nutrisi diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien, yang dihitung dengan rumus Schofield atau rumus White jika menggunakan ventilator, kemudian dikalikan faktor stres dan pemberiannya dimulai dari 80% kebutuhan energi basal, yang secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai kebutuhan total. Kebutuhan protein dan lemak disesuaikan dengan kondisi sakit kritis. Pemantauan terapi nutrisi dilakukan pada delapan hingga sebelas hari. Pemantauan mencakup tanda klinis, toleransi asupan makanan, kapasitas fungsional, balans cairan, parameter laboratorium dan antropometri. Selama pemantauan didapatkan bahwa sebagian besar pasien dapat mencapai kebutuhan energi total pada hari keenam hingga delapan pemantauan. Pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis bersifat individual dan mencakup semua aspek. Dengan tatalaksana nutrisi yang baik, diharapkan kualitas hidup pasien pneumonia berat dengan berbagai penyakit penyerta akan lebih baik.

Nutrition therapy in critically ill children with severe pneumonia includes the provision of macronutrient, micronutrient, specific nutrition, fluid and electrolyte management and nutrition status monitoring. Adequate nutrition therapy should be given in critically ill children in the intensive care to minimize acute phase effect. Approximately 15-20% children admitted to the intensive care already in malnutrition state. Malnutrition is common in patients with pulmonary disease. Altered nutrition status can effect pulmonary function in spontaneous breathing or in mechanically ventilator dependent patient, because nutritional status can affect muscle function, ventilatory drive, hypoxia response and pulmonary defense mechanism. Patients in this case series have an age range from 3 to 4.5 months. Their chief complaints were dyspnoe (difficulty in breathing) with chest retraction and lack of breastfeed. Reduce intake caused patient prone to nutritional problem. Nutritional support is given according to each patient’s requirement, which is calculated with Schofield equation or White equation if the patient on ventilator, using stress factor and the administration starts with 80% basal energy expenditure, which gradually increased to reach the total energy expenditure. Protein and lipid requirement is calculated based on critically ill state. Patient’s monitoring performed on eight to eleven days. Patient’s clinical signs, food intake tolerance, functional capacity, fluid balance, laboratory and anthropometric parameter were taken. During the monitoring it was found that most patients can achieve total energy requirement on day six to eight monitoring. Nutrition in critically ill patients is individualized and includes all aspects. With the management of good nutrition, expected quality of life of patients with severe pneumonia various comorbidities would be better.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mulyantari
"Latar Belakang: Gagal napas merupakan suatu sindrom pada sistem pernapasan yang gagal dalam fungsi pertukaran gas, sehingga menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas sangat memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gagal napas. Terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dapat menjadi strategi terapi yang dapat mengurangi ketergantungan pada ventilator, mengurangi komplikasi, menurunkan lama rawat di ICU dan meningkatkan keluaran klinis pasien.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan gagal napas yang dirawat di ICU RSUPNCM. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada sakit kritis. Nutrisi enteral dini diberikan dalam 48 jam perawatan di ICU. Tiga pasien dapat mencapai target energi 25-30 kkal/kg BB, dan minimal protein 1,2 g/kg BB, sedangkan 1 pasien dengan obes I hanya dapat mencapai energi <70% dari kebutuhan energi total dan protein 0,6 g/kg BB. Mikronutrien diberikan dalam makanan cair. Volume makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan imbang cairan pasien setiap hari.
Hasil: Pasien pada serial kasus ini berusia 44-67 tahun, semua adalah laki-laki. Satu pasien dengan status gizi malnutrisi ringan, 2 pasien berat badan normal dan 1 pasien dengan obes 1. Dua dari empat pasien termasuk gagal napas tipe I akibat gagal jantung kongestif dengan edema paru. Dua pasien lainnya termasuk gagal napas tipe II akibat fasitis nekrotikan. Seluruh pasien mendapatkan nutrisi enteral dalam 48 jam pertama perawatan. Satu pasien dengan malnutrisi ringan, dan hipoalbuminemia berat mengalami perawatan >21 hari karena sulit weaningventilator dan masuk sebagai chronically crtically ill sedangkan tiga lainnya dengan BB normal dan obes mengalami <21 hari perawatan.
Kesimpulan: Status gizi memengaruhi lama pemakaian ventilator mekanik. Terapi medik gizi dapat diterapkan pada semua pasien sesuai dengan komorbid dan dapat mendukung perbaikan keluaran klinis pasien.

Background: Respiratory failure is a respiratory system syndrome of inadequate gas exchange, resulting hypoxemia and/or hypercapnia. Respiratory failure patient needs mechanical ventilation as the main therapy. Malnutrition and respiratory failure are related. Early enteral nutrition is a therapeutic strategy that can reduce dependence on mechanical ventilation, complications, length of stay in ICU and improve clinical outcomes in critically ill respiratory failure patients.
Methode: This case series report four critically ill patients with respiratory failure from the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical nutrition therapy is implemented according to the ESPEN clinical nutrition guideline in critically ill. Early enteral nutrition is given in 48 hours of ICU care. Three patients can reach the energy target of 25-30 kcal/kg ABW, and a minimum of 1.2 g/kg ABW protein, whereas 1 obese patient can only achieved <70% of estimated TEE and protein needs of 0.6 g/kg IBW. Micronutrients given within enteral formula. The volume of enteral nutrition is adjusted to patient's fluid balance every day.
Result: Patients were 44-67 years old, all males. One patient was with mild malnutrition, 2 patients were in normal weight and 1 patient was obese I. Two of them were diagnosed as respiratory failure type I due to congestive heart failure with pulmonary edema. The two others were respiratory failure type II due to necrotizing fasciitis. All patients received early enteral nutrition within 48 hours. One patient with malnutrition and severe hypoalbuminemia stayed for >21 days in ICU for mechanical ventilation need, and become a chronically crtically ill while others are <21 days.
Conclusion: Nutritional status affects mechanical ventilation dependence. Medical nutrition therapy can be applied to all patients according to their comorbidities and can improve clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55557
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Kurnia Agustina
"Pembedahan obstetri dan ginekologi dapat disertai komplikasi berupa perdarahan yang mengakibatkan instabilitas hemodinamik serta menurunnya aliran oksigen dan perfusi jaringan. Penurunan perfusi juga terjadi pada saluran cerna, mengakibatkan perubahan struktur sawar mukosa, sehingga meningkatkan permeabilitas terhadap endotoksin bakteri. Proses tersebut akan meningkatkan risiko sepsis dan multiple organ dysfunction syndrome. Pemberian nutrisi enteral, termasuk nutrisi enteral dini, dapat memicu proliferasi enterosit, sehingga dapat menjaga integritas mukosa suluran cerna, mengurangi translokasi bakteri dan risiko infeksi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pascabedah. Pada serial kasus ini dilakukan pemantauan terhadap empat pasien pascabedah obstetri dan ginekologi y~ng disertai komplikasi perdarahan dan relaparotomi. Semua pasien mcnunjukkun tanda hipoperfusi splanknik. Terapi medik gizi berdasarkan rekomendasi European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), yaitu pemberian nutrisi enteral dini <48 jam pada pasien sakit kritis target 20- 25 kkal/kg BB pada fase akut dan protein minimal 1,2 glkg BB/hari. Tiga pasien yang mendapatkan nutrisi enteral dini memiliki rentang penggunaan ventilator lebih singkat, lama rawat di Intensive Care Unit lebih pendek, dan skor Sequential Organ Failure Assessment lebih rendah. Terapi medik gizi dengan pelaksanaan nutrisi enteral dini memberikan efek menguntungkan pada pasien pascabedah obstetri dan ginekologi dengan komplikasi perdarahan.

Obstetrics and gynaecology surgery can be accompanied by haemorrhage complications that result in hemodynamic instability, decreased oxygen flow and tissue perfusion. Hypoperfusion also occurs in the gastrointestinal tract and changing mucosal barrier structure, thereby increasing permeability to bacterial endotoxins. These process will increase the risk of sepsis and multiple organ dysfunction syndromes. Providing early enteral nutrition, can induce the enterocyte proliferation by maintaining the integrity of the gastrointestinal mucosa, then reducing bacterial translocation and risk of infection, hence reducing postoperative morbidity and mortality. Four obstetric and gynaecologic post-operative patients who had been relaparotomy because haemorrhage have shown signs of splanchnic hypoperfusion. Medical nutrition therapy based on European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) recommendations, early enteral nuhition <48 hours, energy target of 20-25 kcal/kg in the acute phase and minimum protein 1.2 glkg BW/day, have given. Three patients who received early enteral nutrition had shorter durations of ventilators use, shorter Intensive Care Unit length of stay, and lower Sequential Organ Failure Assessment scores. Medical nutrition therapy by giving early enteral nutrition has beneficial effects on obstetric and gynaecological post-operative patients with bleeding complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T58356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Anne Miriam
"ABSTRAK
Umumnya fistula enterokutan terjadi pasca tindakan pembedahan open abdomen, yang disertai dengan status nutrisi buruk saat preoperatif. Malnutrisi merupakan salah satu komplikasi fistula enterokutan, selain gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga sepsis. Hal ini menunjukkan adanya fistula enterokutan akan memperburuk status nutrisi hingga menyebabkan kematian. Terapi nutrisi berperan penting dalam tatalaksana umum fistula enterokutan, karena pada kasus ini terjadi kondisi emergensi nutrisi. Semakin lama penundaan terapi nutrisi akan menambah risiko perburukan. Terapi nutrisi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi, mendukung penutupan spontan dari fistula, mempersiapkan komposisi dan fisiologis tubuh dalam menghadapi tindakan pembedahan selanjutnya serta meningkatkan imunitas mukosa saluran pencernaan. Pemberian terapi nutrisi berupa perhitungan kebutuhan energi, makronutrien dan mikronutrien. Pasien pada serial kasus ini berjumlah empat orang dengan rentang usia 22-39 tahun. Berdasarkan skrining dengan malnutrition screening tools MST keempat pasien mendapatkan skor ge;3. Kebutuhan energi total dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stres sebesar 1,5-2. Target kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB untuk mencegah katabolisme. Kebutuhan cairan harus terpenuhi dengan mempertimbangkan output fistula, demikian juga dengan kadar elektrolit. Nutrisi diberikan melalui oral atau enteral dengan kombinasi parenteral. Dari keempat pasien dalam serial kasus ini, satu pasien meninggal dunia akibat sepsis sedangkan 3 pasien lainnya pulang ke rumah dengan sebelumnya dilakukan repair fistula. Terapi nutrisi pada pasien fistula enterokutan bila dilakukan secara cepat dan tepat akan mengembalikan fungsi gastrointestinal, memperbaiki status nutrisi dan membantu penyembuhan luka.
ABSTRACT Enterocutaneous fistula occurs in general after open abdominal surgery, commonly associated with poor nutritional status prior to operation. Malnutrition is one of the complications of enterocutaneous fistula, besides fluid or electrolyte losses and sepsis. The existence of enterocutaneous fistula will exacerbate the nutritional status leading to death. Nutritional therapy plays an important role in the general management of enterocutaneous fistula, because this case will cause a nutritional emergency condition. The longer delays in nutritional therapy will increase the risk of worsening. Nutritional therapy aims to meet energy needs, supports spontaneous closure of the fistula, to prepare the composition and physiological body in the face of further surgical procedures and to improve the gastrointestinal mucosal immunity. Provision of nutritional therapy is in the form of the calculation of energy needs, macronutrients and micronutrients. Patients in this case series amounted to four people with the age range 22 39 years. Based on the screening with malnutrition screening tools MST the four patients scored ge 3. Total energy requirements were calculated using the Harris Benedict equation multiplied by a stress factor of 1.5 2. Protein requirement target is 1.5 2g kgBW to prevent catabolism. The fluid requirement must be met by considering the fistula output, as well as the electrolyte losses. Nutrition is given by oral or enteral with a parenteral combination. Of the four patients in this case series, one patient died of sepsis while the other 3 returned home undergoing fistula repair previously. Nutritional therapy patients with fistula enterocutaneous if it is done quickly and accurately will reestablishment of gastrointestinal continuity, improve nutritional status and wound healing process."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>