Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juan, Tjiu Sion
"Ruang lingkup dan cara penelitian:
Jus jeruk jika diminum bersama obat-obat tertentu dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obat tersebut secara drastis karena jus jeruk merupakan penghambat poten organic anion transporter polypeptide (OATP), yakni uptake/influx transporter yang terdapat di brush border sel usus, dan obat-obat tersebut merupakan substrat dari OATP. Eritromisin merupakan substrat dan penghambat Pglycoprotein (P-gp), yakni efflux transporter yang juga terdapat di brush - border sel usus. Terdapat tumpang tindih yang cukup ekstensif antara substrat dan penghambat OATP dan P-gp. Eritromisin seringkali digunakan untuk pengobatan infeksi saluran napas, dan pasien yang menderita infeksi ini juga sering minum jus jeruk untuk tambahan vitamin C dan untuk rasa segar. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus jeruk siam bersama eritromisin pada farmakokinetik eritromisin. Penelitian ini merupakan studi menyilang dua kali pada 13 sukarelawan sehat. Eritromisin dosis tunggal diminum bersama air dan bersama jus jeruk dengan urutan acak selang 2 minggu. Sampel darah diambil pada jam-jam tertentu sampai dengan 9 jam dan kadar eritromisin dalam serum diukur secara mikrobiologis. Parameter bioavailabilitas yang dinilai adalah AUC0_, (area di bawah kurva kadar eritromisin terhadap waktu dari jam 0 sampai "'), Cmax (kadar puncak eritromisin dalam darah) dan tmax (waktu untuk mencapai Cmax). Ke-3 parameter tersebut dibandingkan antara eritromisin yang diminum dengan air dan yang diminum dengan jus jeruk.
Hasil dan kesimpulan:
Bioavailabilitas (AUCo-"' jam) tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 9.6°/o sampai 189.3% dengan rata-rata 81.2% dibandingkan jika tablet eritromisin tersebut diminum bersama air. Berdasarkan kriteria bioekivalensi jus jeruk siam dinyatakan tidak mempengaruhi bioavailabilitas eritromisin dengan bioavailabilitas eritromisin dengan jus jeruk berkisar antara 80-125% dibandingkan dengan bioavailabilitas yang diminum bersama air. Dari 13 subyek penelitian ini, jus jeruk siam tidak mempengaruhi bioavailabilitas eritromisin pada 3 orang subyek. Jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas eritromisin pada 7 subyek dan meningkatkan bioavailabilitas eritromisin pada 3 subyek. Kadar maksimal eritromisin dalam serum (Cmax) dari tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 30.0°/o sampai 206.1% dengan rata-rata 93.6% dibandingkan dengan Cmax dari tablet eritromisin yang diminum bersama air. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jus jeruk siam tidak mempengaruhi Cmax eritromisin (p = 0.173). Waktu untuk mencapai kadar maksimal eritromisin dalam serum (tmax) dari tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam memanjang dibandingkan dengan tmax dari tablet eritromisin tersebut diminum bersama air (rata-rata 2.04 dan 1.69 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Waktu paruh eliminasi (t112) dari tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memendek dibandingkan dengan t112 daii tablet eritromisin yang diminum bersama air (rata-rata 1.63 dan 1.73 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Penurunan AUC dan Cmax eritromisin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan OATP. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa eritromisin adalah ~ubstrat dari OATP dan transporter ini dihambat oleh jus jeruk siam. S~byek yang mengalami penurunan AUC dan Cmax mungkin mempuMyai transporter OATP yang dominan atau yang lebih peka terhadap hambatan oleh jus jeruk siam. Peningkatan AUC dan Cmax eritromisin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan CYP3A4 dan/atau P-gp, tetapi tampaknya bukan akibat hambatan CYP3A4 karena jeruk siam tidak mengandung furanokumarin dihidroksibergamotin maupun flavonoid naringin dan naringenin yang menghambat aktivitas metabolik CYP3A4. Subyek yang mengalami peningkatan AUC dan Cmax mungkin mempunyai transporter P-gp yang dominan atau yang lebih peka terhadap hambatan oleh jus jeruk siam. Pada beberapa subyek dengan bioavailabilitas yang tidak berubah mungkin disebabkan oleh ekspresi transporter OATP dan P-gp yang seimbang. Pada 12 subyek terjadi penurunan kecepatan absorpsi."
2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurika Pramanan Diah
"Streptococcus pneumonia>e, bakteri patogen yang banyak menyebabkan infeksi sehingga menjadi penyakit pneumokokal yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi. Antibiotik makrolid seperti eritromisin dan azitromisin merupakan pilihan terapi namun menunjukkan adanya peningkatan resistensi. Terdapat dua mekanisme utama timbulnya resistensi terhadap makrolid, yaitu metilasi ribosom yang diperankan oleh gen erm>(B) dan pompa efluks yang diperankan oleh gen mef>(A). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan gen erm>(B) dan mef>(A) pada isolat Streptococcus pneumoniae> yang resisten terhadap eritromisin dan azitromisin.
Sebanyak 60 isolat Streptococcus pneumoniae> diikutsertakan dalam penelitian ini. Uji kepekaan terhadap eritromisin dan azitromisin dilakukan dengan metode difusi cakram. Dari 60 isolat tersebut  didapatkan 33 (55 %) isolat sensitif sedangkan 27 (45 %) isolat resisten terhadap eritromisin dan azitromisin. Selanjutnya keberadaan gen erm>(B) dan mef>(A) dideteksi menggunakan PCR. Di antara 27 isolat Streptococcus pneumoniae> yang resisten terhadap eritromisin dan azitromisin, 7 (25,9 %) isolat memiliki gen erm>(B), 6 (22,2 %) isolat memiliki gen mef>(A), serta 14 (51,9 %) isolat memiliki kedua gen erm>(B) dan mef>(A). Dari 27 isolat tersebut, 11 ( 40,7 %) isolat merupakan serotipe 19 F, dan 9 ( 81,8 % ) isolat di antaranya memiliki kedua gen erm>(B) dan mef>(A). Hasil penelitian menunjukkan proporsi cukup besar baik dari gen erm>(B) atau mef>(A) saja maupun kedua gen secara bersamaan pada isolat Streptococcus pneumoniae> yang resisten terhadap eritromisin dan azitromisin. Sedangkan dari 15 isolat Streptococcus pneumoniae> yang peka terhadap eritromisin dan azitromisin tidak ditemukan gen erm>(B) dan mef>(A).

Streptococcus pneumoniae>, the leading pathogen of bacterial infection, is responsible for for pneumococcal diseases with severe morbidity and mortality. Macrolides ( e.g erythromycin and azithromycin ) has become drug of choice for pneumococcal diseases, but the prevalence of macrolides-resistant Streptococcus pneumoniae >have been rising in recent years. There are two major mechanisms mediating resistance to macrolides, >ribosomal methylation by >erm>(B) gene, and efflux pump by mef>(A) gene. The aims of this study is to detect erm>(B) and mef>(A) genes in erithromycin and azithromycin-resistant Streptococcus pneumoniae> isolates.
A total of 60 Streptococcus pneumoniae> isolates were analyzed using antimicrobial suscepbility test ( disk diffusion method ) to determine their drug resistance to erythromycin and azithromycin. Among 60 isolates, 33 (55 %) isolates were susceptible, and 27 (45 %) isolates were resistant to erythromycin and azithromycin. The presence of erm>(B) and mef>(A) was determined by PCR. Among of 27 erythromycin and azithromycin Streptococcus pneumonia>-resistant isolates, 7 (25,9 %) isolates carried erm>(B) gene, 6 (22,2 %) isolates carried mef>(A) genes, and 14 (51,9 %) isolates carried both erm>(B) and mef>(A) genes. Of these 27 isolates, 11 ( 40,7 %) isolates belongs to serotype 19 F, with 9 ( 81,8 %) isolates carried both erm>(B) and mef>(A) genes. In conclusion, there was a high proportion of either erm>(B) and mef>(A) genes alone or both of these genes in erythromycin and azithromycin-resistant Streptococcus pneumoniae> isolates. Of 15 erythromycin and azithromycin-susceptible Streptococcus pneumoniae> isolates, no erm>(B) and mef>(A) genes were found.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinka Taher
"Ruang lingkup dan Cara penelitian :
Jus jeruk jika diminum bersama obat-obat tertentu dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obat tersebut secara drastis karena jus jeruk merupakan penghambat paten organic anion transporter polypeptide (OATP), yakni uptake/influx transporter yang terdapat di brush birder sel usus, dan obat-obat tersebut merupakan substrat dari OATP. Siprofloksasin merupakan substrat dan penghambat P-glycoprotein (P-gp), yakni efflux transporter yang juga terdapat di brush border sel usus. Terdapat tumpang tindih yang cukup ekstensif antara substrat dan penghambat OATP dan P-gp.
Siprofloksasin seringkali digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi, dan pasien yang menderita infeksi seringkali juga minum jus jeruk. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus jeruk Siam bersama siprofloksasin pada farmakokinetik siprofloksasin.
Penelitian ini merupakan studi menyilang dua kali pada 12 sukarelawan sehat. Siprofloksasin dosis tunggal diminum bersama air dan bersama jus jeruk dengan urutan acak selang 2 minggu. Sampel darah diambil pada jam-jam tertentu sampai dengan 12 jam, dan kadar siprofloksasin dalam serum diukur secara mikrobiologis. Parameter bioavailabilitas yang dinilai adalah AUCo-12jam(area di bawah kurva kadar siprofloksasin terhadap waktu dari jam 0-12), Cmax(kadar puncak siprofloksasin dalam darah) dan tmax (waktu untuk mencapai Cmax). Ke-3 parameter tersebut dibandingkan antara siprofloksasin yang diminum dengan air dan yang diminum dengan jus jeruk.
Hasil dan kesimpulan :
Bioavailabilitas (AUCo-12jam) tablet Ciproxine yang mengandung 500 mg siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 26.6% sampai 149.4% dengan rata-rata 75.4% dibandingkan dengan yang diminum bersama air; penurunan ini bermakna secara statistik (p=0.019).
Berdasarkan kriteria bioekivalensi, jus jeruk siam dinyatakan tidak mempengaruhi bioavailabilitas siprofloksasin jika bioavailabilitas siprofloksasin dengan jus jeruk berkisar antara 80-125% bioavailabilitasnya dengan air. Di antara 12 subyek penelitian ini, hanya pada 2 orang subyek jus jeruk siam tidak mempengaruhi bioavailabilitas siprofloksasin. Jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin pada 8 subyek, dan meningkatkan bioavailabilitas siprofloksasin pada 2 subyek. Kadar maksimal siprofloksasin dalam serum (Cmax) dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk slam berkisar antara 26.7% sampai 147.3% dengan rata-rata 81.3% dibandingkan dengan Cmax dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama air, dan penurunan ini tidak bermakna secara statistik.
Waktu untuk mencapai kadar maksimal siprofloksasin dalam serum (tmax) dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memendek dibandingkan dengan tmax dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama air (rata-rata 1.08 dan 1.13 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Waktu paruh eliminasi (t1/2) tablet siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memanjang dibandingkan dengan t1/2 dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama air (rata-rata 2.99 dan 2.93 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Pada 7 subyek terjadi penurunan kecepatan absorpsi. Penurunan AUC dan Cmax siprofloksasin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan OATP. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa siprofloksasin adaiah substrat dari OATP dan bahwa transporter ini dihambat oleh jus jeruk siam. Subyek yang mengalami penurunan AUC dan Cmax tampaknya mempunyai transporter OATP yang dominan.
Peningkatan AUC dan Cmax siprofloksasin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan P-gp dan/atau CYP1A2 dan sulfotransferase. Tetapi hambatan ini tampaknya bukan hambatan CYP1A2 maupun sulfotransferase, karena jeruk siam tidak mengandung flavonoid naringin dan naringenin yang menghambat aktivitas metabolik CYP1A2 sedangkan hambatan sulfotransferase tidak diketahui. Subyek yang mengalami peningkatan AUC dan Cmax mungkin mempunyai transporter P-gp yang dominan. Pada beberapa subyek dengan bioavailabilitas yang tidak berubah mungkin disebabkan oleh ekspresi transporter OATP dan P-gp yang seimbang. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin secara bermakana, baik secara statistik maupun berdasarkan kriteria bioekivalensi. Di samping itu terdapat variabilitas yang tinggi antar subyek, sehingga dianjurkan agar tidak minum antibiotik ini bersama jus jeruk siam karena pengaruhnya cukup besar dan pada setiap subyek tidak dapat diprediksi.

Field and methodology :
Orange juice can drastically decrease bioavailability of some medications that are taken together with the juice because orange juice is a potent inhibitor of organic-anion transporting polypeptides (OATP), the uptake/influx transporter expressed on the enterocyte brush border, and the medications are substrates of OATP.
Ciprofloxacin is a substrate and inhibitor of P-glycoprotein, the efflux transporter which is also expressed on the enterocyte brush border. There is an extensive overlap between substrate and inhibitor of OATP and P-gp. Ciprofloxacin is used in the treatment of various infections, and patients suffer from these infections often drink orange juice for extra vitamin C and roborants.
The present study was carried out to find out the effects of a local orange juice on the pharmacokinetics of ciprofloxacin. A randomized, open-label, 2-way crossover study was performed with an interval of 2 weeks. Twelve healthy volunteers received 500 mg ciprofloxacin with either water or local orange juice. Blood samples were drawn at certain hours until 12 hours. Serum concentrations of ciprofloxacin were measured by simple microbiologic method.
Results and conclusions :
Bioavailability (AUC0-12 hours) of Ciproxine tablet containing 500 mg ciprofloxacin which was taken with 200 ml of local orange juice ranged from 26.6% to 149.4% with an average of 75.4% compared to that which was taken with 200 ml of water; this decrease was statistically significant (p=0.019).
Based on the bioequivalence criteria, orange juice does not affect ciprofloxacin bioavailability if its bioavailability with orange juice ranges from 80-125% of its bioavailability with water. Among 12 subjects, only in 2 subjects orange juice did not affect ciprofloxacin bioavailability. Orange juice decreased ciprofloxacin bioavailability in 8 subjects and increased ciprofloxacin bioavailability in 2 subjects. Peak concentration (Cmax) of ciprofloxacin with orange juice ranged from 26.7% to 147.3% with an average of 81.3% compared to that with water, but this decrease was not statistically significant.
Ciprofloxacin t1/2 with orange juice was slightly shortened compared to that with water (averages of 1.08 and 1.13 hours), but not statistically significant. Ciprofloxacin tip with orange juice was slightly prolonged compared to that with water (averages of 2.99 and 2.93 hours), but not statistically significant. In 7 subjects there were decreases in the absorption rate. Direct decreases in AUC and Cmax can occur if the substance is a substrate of OATP and this transporter is inhibited. This study showed indirectly that ciprofloxacin is a substrate of OATP and that OATP is inhibited by the local orange juice. Subjects with decreased AUC and Cmax seem to have predominant OATP transporter. Inhibition of P-gp causes increases in AUC and Cmax.
Subjects with increased AUC and Cmax may have predominant P-gp transporters and/or CYP1A2 and sulfotransferase. However, inhibition of CYP1A2 and sulfotransferase is unlikely, because orange juice does not contain naringin and naringenin which inhibit CYP1A2, while inhibition of sulfotransferase is not known. Subjects with unchanged AUCs may have balanced OATP and P-gp. From the results of the present study, it was concluded that slam orange juice caused a significant decrease in ciprofloxacin oral bioavailability, both statistically and based on bioequivalence criteria, with a quite large interindividual variability. Therefore, it was recommended that ciprofloxacin should not be administered with slam orange juice because the effect is quite significant and in each subject the effect is unpredictable."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 10811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rian Septian
"Penelitian dilakukan untuk menguji aktivitas ektrak kulit buah Manggis sebagai anti Staphylococcus aureus pada agar Mueller Hinton.
Metode: Penelitian menggunakan desain eksperimental laboratorik dengan 11 kelompok perlakuan. Ekstrak kulit buah Manggis dengan pengenceran 10 kali, 15 kali, 20 kali, 30 kali, dan 40 kali dibuat triplo dan digunakan sebagai sampel uji. Eritromisin pengenceran 10 kali, 15 kali, 20 kali, 30 kali, dan 40 kali dibuat triplo dan digunakan sebagai kontrol positif. Akuabides dibuat triplo dan digunakan sebagai kontrol negatif. Hasil akhir diolah menggunakan SPSS versi 16.0.
Hasil: Rerata diameter zona hambat pada agar Mueller Hinton untuk ekstrak kulit buah Manggis pengenceran 10 kali sebesar 32 mm, pengenceran 15 kali sebesar 31 mm, pengenceran 20 kali sebesar 27 mm, pengenceran 30 kali sebesar 21 mm, dan pengenceran 40 kali sebesar 0 mm.
Diskusi: Staphylococcus aureus bersifat sensitif terhadap pemberian ekstrak kulit buah Manggis pengenceran 10 kali, 15 kali dan 20 kali; bersifat intermediet pada pengenceran 30 kali; dan bersifat resisten pada pengenceran 40 kali.

This study was conducted to examine the activity of the extraction of mangosteen peel as anti Staphylococcus aureus on Mueller Hinton agar.
Method: This study is experimental laboratoric. Eleven treatment groups have been used in this study. The dilution of mangosteen peel extraction at 10 fold, 15 fold, 20 fold, 30 fold, and 40 fold have been made triplo as test sample. The dilution of Erythromycin at 10 fold, 15 fold, 20 fold, 30 fold, and 40 fold have been made triplo as positive control. Aquades bidestilation has been made triplo as negative control. The outcome will be processed by SPSS version 16.0.
Results: Mean diameter of inhibition zone by Mangosteen peel extraction at 10 fold dilution, 15 fold dilution, 20 fold dilution, 30 fold dilution, 40 fold dilution respectively is 32 mm, 31 mm, 27 mm, 21 mm, and 0 mm.
Discussion: Staphylococcus aureus is sensitive at 10 fold dilution, 15 fold dilution, and 20 fold dilution; is intermediet at 30 fold dilution; and resistant at 40 fold dilution of Mangosteen peel extraction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahriah
"Berbagai penelitian telah membuktikan khasiat ekstrak air rosella (Hibiscus sabdariffa L) dalam pemeliharaan fungsi kardiovaskular. Penggunaan ekstrak air rosella yang dikoadministrasikan dengan aspirin berpotensi untuk terjadi, karena aspirin merupakan terapi yang juga digunakan dalam pemeliharaan fungsi kardiovaskular, khususnya sebagai antiplatelet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak air rosella terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik aspirin. Studi interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik ekstrak air rosella dengan aspirin terbagi dalam beberapa kelompok perlakuan, yaitu kelompok aspirin tunggal, rosella tunggal dan tiga kelompok ko-administrasi ekstrak air rosella dengan aspirin. Ekstrak air rosella dalam tiga variasi dosis yang diberikan secara ko-administrasi dengan aspirin tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap AUC, Cmaks, tmaks, Vd, Klirens, dan t1/2 asam salisilat. Selain itu, pemberian ekstrak air rosella secara ko-administrasi dengan aspirin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan waktu perdarahan dan survival rate dari tikus uji. Berdasarkan  hasil penelitian ini disimpulkan, ekstrak air rosella yang digunakan secara ko-administrasi dengan aspirin pada tikus tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik aspirin.

Various studies have proven the efficacy of Roselle (Hibiscus sabdariffa L) in maintaining cardiovascular function. The use of aqueous extract of Roselle with aspirin has the potential to occur, because aspirin is a therapy that is also used in the maintenance of cardiovascular function, especially as antiplatelet. This study aimed to determine the effect of aqueous extract of Roselle on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of aspirin. The study of pharmacokinetic and pharmacodynamic interactions of aqueous extract of Roselle with aspirin was divided into several treatment groups: single aspirin group, single Roselle and three co-administration groups of aqueous extract of Roselle with aspirin. Co-administration aqueous extract of Roselle with aspirin did not have a significant difference on AUC, Cmax, Tmax, Vd, clearance, and t½ salicylic acid. In addition, co-administration aqueous extract of Roselle and aspirin did not show a significant increase in the bleeding time and survival rate of rats. In conclusion, aqueous extract of Roselle used by co-administration with aspirin in rats did not have a significant effect on the pharmacokinetics and pharmacodynamics of aspirin."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T54283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santoso Purwoadi
"Studi Pengaruh Temperatur Sinterisasi Terhadap Kandungan
Oksigen .Superkonduktor YBa 2cu 3ox Dengan Memakai Cara Titras
i Yodometri
xi + 68f~ halarnan tabel , gambar , lampiran
Senyawa keramik YBa2cu3ox dibuat dengan mencampur -
kan r 2o3
, Baco3 ,dan CuO dal am perbandingan mol ~ ·~ 2. : 3
, melalui berbagai t ahapan kerja yaitu kal s inasi, sinterisasi,
dan anea isasi. Se:riyawa i ni dapat bertindak sebagai
superkonduktor pada temper atur kritis yang sangat
rendah ( 93 K ).
Mutu superkonduktor YBa2cu3ox ditentukan oleh tinggi-
rendahnya temperatur saat munculnya gejala superkon -
duktivi tas, yang berkai tan dengan kandungan oksigen su
perkonduktor YBa2cu
3ox tersebut. Penelitian ini menyelidiki pengaruh tinggi-renda~-
nya temperatur proses sinterisasi terhadap kandungan
oksigen superkonduktor YBa2cu3ox. Kte-beradaan gejala
superkonduktivitas pada c.uplikan dibuktika:n melalui
cara - cara uji efek Meissner - Ochsenfeld dan perbandingan
pola difraksi sinar X, sementara untuk menentukan
kandungan oksigennya dipakai cara t.i trasi yodometri.
Hasil P,eneli tian menunjukkan bahwa semakin tinggi
temperat.ur sinteri sasi. superkondukt.or YBa2cu,ox,. kandungan oksigennya semakin rendah"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filza Camellia Hafsyari
"Kadar dopamin yang tidak seimbang dalam tubuh mengindikasikan berbagai macam kelainan neurologis seperti Parkinson disease (PD), skizofrenia, alzheimer, dan depresi. Salah satu metode pendeteksian dopamin adalah dengan sensor elektrokimia. Sensor elektrokimia merupakan metode pendeteksian yang murah dan dapat digunakan secara on-site. Contoh sensor elektrokimia adalah Screen-printed Carbon Electrode (SPCE). Modifikasi Screen-printed Carbon Electrode (SPCE) dengan nanopartikel merupakan pengembangan yang menarik dan terbukti meningkatkan selektivitas dan sensitivitas.Nanopartikel emas memilikikonduktivitas yang baik, area permukaan yang besar, dan biokompatibilitas yang tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan memodifikasi SPCE dengan nanopartikel emas secara elektrokimia. Hasil yang didapatkan adalah pendeteksian dopamin secara optimum terjadi pada SPCE yang dideposisi (AuNPs-SPCE) selama 200 detik dan pada pH 6,5. Kemudian AuNPs-SPCE diujikarakterisasi melalui SEM dan UV-DRS. Uji analisis pada deteksi dopamin pada AuNPs-SPCE meliputi Limit of Detection (LOD), Limit of Quantification (LOQ), uji keberulangan, dan uji interferensi. Hasil uji linearitas adalah persamaan y = 0,420x + 0,2260 dengan R2= 0,9829 untuk SPCE dan sedangkan AuNPs-SPCE memiliki persamaan garis y = 2,817x + 1,456 dengan R2 =0,991 dengan slope yang mengindikasikan sensitivitas sensor. Hasil LOD dan LOQ untuk SPCE adalah 3,13 ?M dan 10,45 ?M. Sedangkan untuk AuNPs -SPCE LOD & LOQ-nya adalah 2,26 ?M dan 7,561 ?M.

Unbalanced dopamine levels in the body indicate various kinds of neurological disorders such as Parkinson's disease (PD), schizophrenia, Alzheimer's, and depression. One method of detecting dopamine is by electrochemical sensors. Electrochemical sensors are inexpensive detection methods and can be used on-site. An example of an electrochemical sensor is the Screen-printed Carbon Electrode (SPCE). Modification of Screen-printed Carbon Electrode (SPCE) with nanoparticles is an interesting development and is proven to increase selectivity and sensitivity. Gold nanoparticles have good conductivity, large surface area, and high biocompatibility. This research was carried out by electrochemically modifying SPCE with gold nanoparticles. The results obtained were that the optimal detection of dopamine occurred in deposited SPCE (AuNPs-SPCE) for 200 seconds and at a pH of 6.5. Then the characterization of AuNPs-SPCE was tested by SEM and UV-DRS. Dopamine detection analysis tests on AuNPs-SPCE include Limit of Detection (LOD), Limit of Quantification (LOQ), repeatability test, and interference test. The results of the linearity test are the equation y = 0.420x + 0.2260 with R2 = 0.9829 for SPCE and while AuNPs-SPCE has the equation of the line y = 2.817x + 1.456 with R2 = 0.991 with the slope indicating the sensitivity of the sensor. The LOD and LOQ results for SPCE were 3.13 ?M and 10.45 ?M, respectively. Whereas for AuNPs -SPCE the LOD & LOQ were 2.26 ?M and 7,561 ?M."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Delly Apriyarni
"Peningkatan DNA adduct yaitu 8-OHdG dipengaruhi oleh adanya xenobiotik yang bersifat toksik dan karsinogenik. Xenobiotik yang digunakan pada penelitian ini adalah paraquat diklorida sebagaimana diketahui paraquat diklorida merupakan pestisida golongan II berdasarkan WHO yang memikili efek berbahaya karena dapat menyebabkan mutasi gen sehingga berdampak karsinogenik. Penambahan ion logam Cu(II) dan Ni(II) sebagai media yang dapat berekasi dengan hidrogen peroksida untuk mengahasilkan reaksi Fenton. Rekasi fenton akan menghasilkan hidroksil radikal yang dapat menyebabkan peningkatan stress oksidatif sehingga menghasilkan rekatif oksigen spesies (ROS) yang berakibat pada mutasi DNA.
Pada penelitian ini baik secara in vitro maupun in vivo diperoleh hasil bahwa dengan penambahan dua ion logam, Cu(II) dan Ni(II), menghasilkan efek yang supresif, artinya nilai konsentrasi 8-OHdG yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai masing-masing logam. Hal itu disebabkan ion logam Ni(II) akan menekan oksidasi DNA sehingga oksidasi DNA dengan ion logam Cu(II) akan terganggu. 8-OHdG terbanyak diperoleh dengan pencampuran paraquat diklorida dan ion logam Cu(II). Kajian in viro ini menggunakan kondisi inkubasi pada suhu 370C mewakili kondisi tubuh dan pH 7,4 serta 8,4 dengan waktu inkubasi 24 jam dan 6 jam. Diperoleh untuk kadar 8-OHdG dari ion logam Cu(II) dan paraquat diklorida sebesar 101,48 ppb dan 134,60 ppb. Sedangkan nilai kadar urin dan serum dari proses in vivo hari 14 dan 28 adalah 6,76 ppb& 3,48 ppb dan 1,22 ppb dan 0,76 ppb.

Increased DNA adduct, which is 8-OHdG is influenced by the presence of xenobiotics which are toxic and carcinogenic. Xenobiotics used in this study are paraquat dichloride, known as paraquat dichloride, a group II pesticide based on WHO which has a dangerous effect because it can cause gene mutations, so it has a carcinogenic impact. Adding Cu(II) and Ni(II) metal ions as a medium can reject hydrogen peroxide to produce Fenton reactions. Fenton's reaction will produce radical hydroxyl, which can cause an increase in oxidative stress to have oxygen species (ROS), resulting in DNA mutations.
In this study, both in vitro and in vivo obtained the result that the addition of two metals, Cu(II) and Ni(II) ions, produced a suppressive effect, meaning that the 8-OHdG concentration value obtained was smaller than the respective values metal. That is because Ni(II) metal ions will suppress DNA oxidation, so DNA oxidation with Cu(II) metal will be disrupted. 8-OHdG is obtained by mixing paraquat dichloride and Cu(II). In vitro study uses incubation conditions at 370C, representing the condition of the body and pH of 7.4 and 8.4 with an incubation time of 24 hours and 6 hours. They obtained 8-OHdG levels of Cu(II) metal ions and paraquat dichloride of 101.48 ppb and 134.60 ppb. While the concentration of urine and serum from in Vivo process days 14 and 28 is 6.76 ppb & 3.48 ppb and 1.22 ppb and 0.76 ppb.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaedi
"Penelitian ini bertujuan untuk membuat eksipien ko-proses dari campuran kappa dan iota karagenan pada perbandingan tertentu yang dikombinasi dengan pragelatinisasi pati singkong propionat (PPSP), selanjutnya mengkarakterisasi eksipien ko-proses dan menggunakannya dalam formulasi sediaan gastroretentif tablet mengapung.
Pada penelitian ini, tablet dibuat dengan metode granulasi basah dan menggunakan famotidin sebagai model obat. Formulasi tablet mengapung dibuat dengan eksipien koproses karagenan dan PPSP dengan perbandingan tertentu. Daya mengembang dan keterapungan tablet mengapung dievaluasi. Pelepasan obat dari tablet mengapung diteliti dan dianalisa dengan menggunakan beberapa model persamaan kinetika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula A dengan eksipien koproses karagenan : PPSP (1:1) sebanyak 60 % dengan HPMC 10% menghasilkan formula yang terbaik dengan waktu mengapung 11,42 ± 1,53 menit dengan lamanya keterapungan selama 20 jam. Formula tersebut juga menunjukkan profil pelepasan yang terkendali dengan model kinetika Higuchi serta mekanisme difusi non Fickian.

The aim of this study was to make a coprocess excipients from the mixture of kappa and iota carrageenan on specific comparisons, combined with the pregelatinized cassava starch propionate (PPSP) , further characterized the coprocess excipients and used the formulation in processed gastroretentif preparation of floating tablet.
In this study, tablets were made by wet granulation method and using famotidine as a model drug. Some formulations of floating tablets were prepared by varying the composition of the excipients coprossed carragenan with a certain ratio. The swelling and buoyancy of the floating tablets were evaluated. Furthermore, the drug release from the floating tablets were studied and analyzed using several models of kinetic equations.
The results showed that formula A with excipients coprocessed carragenan (1:1) as much as 60% with 10% HPMC produce the best formula and floating lag time 11.42 ± 1.53 minutes and total floating time for 22 hours. The formula also revealed a profile of controlled drug release and approached to Higuchi kinetics model and the non Fickian diffusion mechanism."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
T31802
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siska
"

Apium graveolens L. (seledri) merupakan obat herbal yang digunakan untuk pengobatan hipertensi. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa penggunaan bersama herbal dengan obat sintetik dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat sintetik. Informasi mengenai interaksi antara obat herbal dengan obat sintetik masih terbatas sehingga perlu diketahui efektivitas dan keamanan penggunaan kombinasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya interaksi farmakodinamik dan farmakokinetik kombinasi kaptopril dan ekstrak seledri yang diberikan secara oral sebagai antihipertensi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah pengujian interaksi farmakokinetik dengan mengambil darah tikus pada titik waktu tertentu setelah pemberian obat dan ekstrak seledri. Konsentrasi kaptopril diukur menggunakan kromatografi cair kinerja ultra tinggi-tandem spektrometri massa (KCKUT-SM/SM), selanjutnya dihitung Ke, Cmax, AUC, Tmax, dan T1/2. Bagian kedua yaitu pengujian interaksi farmakodinamik untuk efek antihipertensi dengan metode pengukuran tekanan darah secara non-invasive pada ekor. Tekanan darah diukur sebelum perlakuan, setelah induksi NaCl 4%, dan setelah pemberian bahan uji. Pengambilan sampel urin dan darah untuk pengujian kadar natrium, kalium, volume urin, kadar kreatinin, aktivitas enzim ALT (SGPT), dan enzim penghambat konversi angiotensin. Hasil uji pada profil farmakokinetik kaptopril berbeda antara pemberian tunggal dengan kombinasi ekstrak seledri. Pemberian kaptopril 2,5 mg/kg bb bersamaan dengan ekstrak seledri 40 mg/kg bb tanpa jeda waktu menurunkan Cmax dan AUC serta memperpanjang waktu Tmax dan T1/2. Pemberian ekstrak seledri 1 jam sebelum kaptopril (10 mg/kg bb) pada kombinasi, meningkatkan Cmax dan AUC, serta memperpanjang T1/2. Tekanan darah tikus yang mendapat kombinasi kaptopril dosis 5 mg/kg bb dengan ekstrak seledri dosis 40 mg/kg bb menurun lebih besar dibandingkan dengan pemberian kaptopril tunggal. Penurunan tekanan darah pada kelompok kombinasi kaptopril dan ekstrak seledri diikuti dengan peningkatan volume urin. Kadar natrium urin dan serum, serta kadar kalium serum cenderung mengalami peningkatan pada semua kelompok perlakuan namun tidak berbeda bermakna dengan kelompok normal. Kadar kalium urin cenderung mengalami penurunan kecuali pada kelompok kombinasi kaptopril (5 mg/kg bb) dan ekstrak seledri (40 mg/kg bb). Kreatinin serum cenderung meningkat pada kelompok kombinasi kaptopril dengan ekstrak seledri tetapi masih dalam rentang normal. Kreatinin urin dan bersihan kreatinin pada tikus yang mendapat kombinasi kaptopril dan ekstrak seledri tidak berbeda dengan kelompok normal.  Kadar SGPT cenderung menurun pada semua kelompok kombinasi kaptopril dan ekstrak seledri, namun tidak berbeda bermakna dengan kelompok normal. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah pemberian kombinasi kaptopril dosis 2,5 mg/kg bb dan 10 mg/kg bb dengan ekstrak seledri dosis 40 mg/kg bb secara oral dapat mengubah farmakokinetik kaptopril.  Pemberian kombinasi kaptopril dosis 5 mg/kg bb dan ekstrak seledri dosis 40 mg/kg bb menurunkan tekanan darah kembali normal pada tikus hipertensi yang diinduksi NaCl.


Apium graveolens L. (celery) is commonly used as herbal medicine for antihypertension. There was evidence that herb combines with the synthetic drug may affect the pharmacokinetics and pharmacodynamics of the synthetic drug. Information about the interaction between herbal medicines and synthetic drugs is still limited, therefore it will be necessary to explore the clinical results when using these combinations. This study aimed to investigate the pharmacodynamic and pharmacokinetic interaction of oral administration of combined captopril and celery as antihypertensive agent in animal model. The study was divided into two parts. In the first part which was the pharmacokinetics study, blood samples were collected at a various time points after herb-drug combination administration. The blood values of Ke, Cmax, AUC, Tmax, and T1/2 of captopril were obtained by using LC-MS/MS method. The second part was the pharmacodynamic study. The blood pressure was measured bymeans of non-invasive tail method and recorded before and after treatment of induction of 4% NaCl solution and herb-drug administration. The urine and blood were collected and the sodium and potassium concentration, cumulative urine volume, creatinine, the activities of glutamic pyruvic transaminase enzyme and angiotensin converting enzyme inhibition were measured. The results of the pharmacokinetic study showed that concomittant administration of 2.5 mg/kg bw of captopril and 40 mg/kg bw of celery extract decreased Cmax, Ke, AUC and increased T1/2 and Tmax of captopril. When 40 mg/kg bw of celery extract was given 1 hour before 10 mg/kg bw of captopril, the Cmax, T1/2, AUC of captopril were increased and Ke was decreased compared with captopril alone. The combination 5 mg/kg bw of captopril and 40 mg/kg bw of celery extract decreased the blood pressure in hypertensive rats better than 5 mg/kg bw of captopril alone. The decreased in blood pressure was followed by an increase in urine volume. Urinary and serum sodium, serum potassium levels tended to increase in all treatment groups, but they were not significantly different from the normal group. Urinary potassium levels tended to decrease except in the combined 5 mg/kg bw of captopril and 40 mg/kg bw of celery extract. In conclusion, oral administration of combination of 2,5 mg/kg bw and 10 mg/kg bw captopril with 40 mg/kg bw celery extract changes the pharmacokinetics of captopril, whereas the administration of combination of 5 mg/kg bw captopril and 40 mg/kg bw celery extract decreased the blood pressure to normal value in NaCl-induced hypertension rats.

"
2019
D2586
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>