Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Fadlil Sumadi, 1952-
malang: Setara Press, 2013
342 AHM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
342.02 SAT k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
342.02 SAT k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
342.02 SAT k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A. Mukthie Fadjar
Jakarta: Konstitusi Press, 2006
342.02 ABD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The Head of Region Election in "judicial review" perspective of Constitutional Court constitutes crucial as well as strategic problem in order to organize general election concept comprehensively. This will ensure independency of General Election and Governance legal rezimes. In addition, the comprehensive General Election Law will be able to reduce distortion deriving from the existance of different three laws regulating the carrying out of general election."
340 JIHAG 13:3 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Yudha Pratama Hulu
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan Bawaslu dalam penyelesaian perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Bawaslu dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia serta menjelaskan sejauh mana hukum acara Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kedudukan Bawaslu dalam pertimbangan putusan perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal serta analisis Putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden dari tahun 2009 hingga 2024. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa Bawaslu merupakan pihak pemberi keterangan dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Bawaslu juga diberi kewenangan untuk menghadirkan saksi atau ahli dalam proses persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden masih belum sempurna. Dalam mempertimbangkan putusannya, Hakim Konstitusi juga masih bergantung pada keterangan Bawaslu. Mahkamah Konstitusi juga dalam putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden mengesampingkan dalil permohonan Pemohon ketika ditemukan bahwa Bawaslu telah menangani perkara tersebut, terlepas apakah proses di Bawaslu telah dilakukan secara benar atau tidak. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Pemilihan Umum, serta peraturan perundang-undangan di bawahnya guna memperbaiki tata cara penanganan pelanggaran pemilu di Bawaslu serta menyempurnakan hukum acara PHPU Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi.

This undergraduate thesis discusses the position of General Election Supervisory Agency (Bawaslu) in the resolution of Dispute over the Results of Presidential General Elections (PHPU of the President and Vice President) in the Constitutional Court. The purpose of this research is to determine the position of Bawaslu in the PHPU of the President and Vice President in Indonesia and to explain the extent to which the procedural law of the Constitutional Court considers the position of Bawaslu in the consideration of the decision of the PHPU case of the President and Vice President in Indonesia. This research was conducted using doctrinal legal research methods and analysis of PHPU decisions of the President and Vice President from 2009 to 2024. Based on the results of this study, it was found that Bawaslu is a party providing information in the PHPU case of the President and Vice President. In addition, Bawaslu is also entitled to present witnesses or experts in the PHPU trial of the President and Vice President. However, the procedural law of the Constitutional Court in dealing with the PHPU cases of the President and Vice President is still not perfect. The Constitutional Court often relies on Bawaslu's testimony in reaching its decision. The Constitutional Court has also often rejected the petitioner's arguments when it found that Bawaslu had handled the case, regardless of whether or not Bawaslu's procedure was correct. To solve these problems, amendments to the Constitutional Court Law, the General Election Law and the laws and regulations under them are needed to improve the procedures for handling election violations in Bawaslu and to improve the procedural law for the PHPU president and vice-president by the Constitutional Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Artikel ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai fungsi lembaga negara penegak hukum di Indonesia. Perbedaan kewenangan dan fungsi lembaga penegak hukum seperti MA, Kejaksaan Agung, dan MK perlu dipahami secara mendalam. Selanjutnya mengingat perrmasalahan di semua lembaga pengadilan di seluruh dunia antara lain tentang lambatnya penyelesaian perkara, artikel ini mendeskripsikan dan menganalisis peran Hakim Agung dalam menyelesaikan perkara kasasi dan peninjauan kembali sebelum dan sesudah terbitnya SK Ketua MK No. 119/KMA/SK/VII/2013 tentang penetapan hari musyawarah dan ucapan dan No. 214/KMA/SK/XII/2014 tantang jangka waktu penanganan perkara pada MA. Namun demikian, ketika MK menerbitkan putusan No. 34/PUU-XI/2013 muncul masalah bahwa diantara produk kedua lembaga tinggi negara di bidang peradilan terlihat tidak sejalan, terutama dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Di satu sisi, MA yang menginginkan terciptanya proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan melalui penguatan dua produk di atas, namun di sisi lain MK melalui putusannya memperpanjang rentang waktu proses penyelesaian perkara permohonan peninjauan kembali yang dapat dilakukan berulang kali. Kemudian untuk memberikan kepastian hukum, MA menerbitkan surat edaran MA No. 7 tahun 2014 yang menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dibatasi satu kali melalui payung hukum lainnya, yaitu UU kekuasaan kehakiman dan UU Mahkamah Agung."
JK 12:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap “ inkracht van gewisjde”. Putusan MK No. 34/ PUU-XI/2013 menyatakan bahwa upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil, sehingga pasal 268 ayat (3) KUHAP yaitu, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Putusan MK tersebut menimbulkan pro dan kontra, di satu sisi ada yang berpendapat bahwa PK lebih dari satu kali merupakan upaya melindungi hak masyarakat dalam memperoleh keadilan, namun di sisi lain ada pendapat bahwa PK lebih dari satu kali merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum. Setelah mengkaji putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 dapat disimpulkan, pertama, PK lebih dari satu kali telah sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh keadilan dalam penegakan hukum, karena dalam rangka mewujudkan keadilan dan menemukan kebenaran materiil tidak dapat dibatasi oleh waktu. Kedua, putusan MK bersifat final dan mengikat “final and binding” meskipun menimbulkan pro dan kontra maka semua pihak wajib melaksanakan putusan MK. Oleh karena itu diharapkan kepada MA segera menyempurnakan Peraturan MA tentang pengajuan PK perkara pidana dengan menyesuaikan putusan MK."
JK 12:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.

Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>