Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213304 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tandjung, Betarina
"Gangguan napas saat tidur merupakan abnormalitas pada seseorang dengan ciri kesulitan bernapas ketika tidur. Penyakit ini terjadi ketika seseorang mengalami henti napas ketika dalam keadaan tidur. Tanda dan gejala dari penyakit ini antara lain mendengkur saat tidur dan mengantuk ketika dalam keadaan sadar. Namun, tanda dan gejala tersebut dapat dikatakan tidak secara spesifik langsung mengarah kepada gangguan ini. Di Indonesia penyakit ini belum banyak mendapat perhatian sehingga kerapkali penderita tidak mengetahui kondisinya. Namun begitu, tanda dan gejala kerap kali dikeluhkan dan mengganggu produktivitas dan lingkungan dari penderita. Penelitian kali ini dilakukan kepada pegawai kantor yang waktunya digunakan untuk bekerja dengan sedikit aktivitas fisik. Subjek diinstruksikan untuk mengisi kuesioner Berlin dan diperiksa berat badan, tinggi badan, dan tekanan darah. Data kemudian diuji secara statistik dan dilihat hubungan dengan faktor risiko. Hasil yang didapatkan prevalensi subjek memiliki risiko tinggi gangguan napas saat tidur adalah 21.6 . Didapatkan pula hubungan antara faktor risiko berupa usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan gaya hidup dengan peningkatan risiko gangguan napas saat tidur. Usia tua, jenis kelamin pria, indeks massa tubuh berlebih, dan kebiasaan merokok meningkatkan risiko gangguan napas saat tidur. Hal tersebut antara lain berkaitan dengan peningkatan lemak tubuh, pelemahan otot pernapasan, dan obstruksi pada saluran napas sehingga menyebabkan udara yang masuk ke saluran napas berkurang.

Sleep disordered breathing is an abnormality that is characterized by disruption of breathing during sleep. This disease happens when someone experiences cessation of breathing in the sleeping state. The sign and symptoms of this disease are snoring during sleep and daytime sleepiness. However, those sign and symptoms are not specific to the disease. In Indonesia, this disease is not commonlly discussed. Therefore, patients do not fully realize their condition hence neglecting their health. Those sign and symptoms often disturb their daily activities, productivity, and environment. The subject of this research were administration employees of University of Indonesia. The subjects were instructed to fill out the Berlin Questionnaire and undergo some measurements including weight, height, and blood pressure. The data collected were statistically tested and analyzed. The prevalence of high risk sleep disordered breathing was 21.6 . Furthermore, there was a relation between the condition and the risk factors such as age, gender, body mass index, and lifestyle. Older age, male gender, excessive body mass index, and smoking habit can elevate the risk of sleep disordered breathing. Those relations can be explained by the excessive body fat, weakened respiratory muscles, and airway obstruction that results in reduction of oxygen in the airway. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Renny Kurniawati
"Obstructive sleep apnea OSA adalah salah satu gangguan pernapasan saat tidur dikarenakan obstruksi saluran napas atas. Pasien OSA tidak dapat tidur nyenyak dan dapat mengalami arrousal ketika tubuh berusaha mengambil napas. Para pegawai dengan gangguan ini dikhawatirkan mengalami penurunan kebugaran tubuh dan kantuk pada jam kerja sehingga tidak memiliki kualitas kerja maksimal. Pengambilan data dilakukan sebanyak satu kali untuk tiap individu dengan pelaksanaan selama dua hari sesuai dengan metode potong-lintang. Sebanyak 191 orang staf administrasi Universitas Indonesia dengan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan menjadi responden dalam pengisian kuesioner STOP-Bang dan pengukuran berat badan, tinggi badan, serta tekanan darah untuk mengetahui persebaran risiko OSA dan hubungannya dengan tekanan darah, IMT, usia, lingkar leher, jenis kelamin, serta aktivitas merokok. Didapatkan 82,7 responden berisiko rendah, 7,3 sedang, dan 9,9 tinggi. OSA memiliki hubungan bermakna dengan semua faktor risiko yang disebutkan p0,05 . Hasil tidak bermakna karena proporsi responden berisiko rendah, sedang, dan tinggi terlalu tidak berimbang. Sebagian besar responden berisiko sedang dan tinggi memiliki lebih dari satu faktor risiko.

Obstructive sleep apnea OSA is a respiratory disorder arising from obstruction in the upper respiratory tract, disturbing sleep cycle. Patients with OSA could not sleep well and experience arousal during effortful breathing. Employees with OSA were expected to have a decrease in fitness and an increase in sleepiness and fatigue, implicating performance at work. Data collection was held twice once to each respondent based on cross sectional metode. As many as 191 administration staff of Universitas Indonesia, majority of whom were female, filled STOP Bang questionnaires and underwent weight, height, and blood pressure examination to determine the risk prevalence and its relation to blood pressure, BMI, age, neck circumference, sex, and smoking. Among them, 82,7 were classified as low risk, 7,3 moderate risk, and 9,9 high risk. OSA was found to be significantly related to all risk factors p0,05 due to unequal sample sizes within each study group. The majority of respondents with moderate and high risk were known to have more than one risk factor. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levina Putri Siswidiani
"Obstructive sleep apnea atau OSA adalah salah satu bentuk gangguan tidur yang disebabkan oleh gangguan pernapasan, dimana terjadi obstruksi saluran napas atas berulang selama seseorang tidur. OSA dapat menyebabkan fragmentasi tidur dan akhirnya menyebabkan rasa mengantuk di siang hari. Ketika seseorang mengantuk, terjadi penurunan kemampuan persepsi dan perubahan emosi, yang mengarah pada penurunan produktivitas kerja. Pegawai administrasi yang dirasa memiliki tingkat rasa mengantuk yang tinggi saat jam kerja merupakan subjek dari penelitian ini. Subjek yang diteliti yaitu pegawai administrasi di Pusat Administrasi Universitas Indonesia yang dirasa menggambarkan karakteristik pegawai administrasi Indonesia. Subjek diminta untuk mengisi kuesioner Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur tingkat rasa mengantuknya di siang hari dan kuesioner STOPBANG untuk mengetahui risiko OSA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun pegawai Pusat Administrasi Universitas Indonesia yang berisiko tinggi OSA mengalami mengantuk di siang hari, namun jumlahnya hanya sedikit. Sebagian besar pegawai tidak mengantuk di siang hari. Karenanya, tidak terdapat hubungan antara risiko OSA dengan tingkat rasa mengantuk pada pegawai Pusat Administrasi Universitas Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya nilai kuesioner Epworth tidak dapat menentukan risiko OSA, melainkan hanya menunjukkan bahwa seseorang memiliki kualitas tidur di malam hari yang buruk.

Obstructive sleep apnea, also known as OSA, is one of sleep-related breathing disorders in which there are repeated obstructions in the upper airway during nighttime sleep. OSA can cause fragmentation of sleep that leads to excessive daytime sleepiness. When someone is sleepy, there is a slight reduction of perception and change of emotion, which leads to a decrease in work productivity. Our research subjects are administration staff of Universitas Indonesia whom we feel possess the characteristics of administration staff. They were asked to fill in the Epworth Sleepiness Scale questionnaire to grade daytime sleepiness and the STOPBANG questionnaire to predict the risk of OSA.
The results showed that although the staffs those are at high risk of OSA suffer excessive daytime sleepiness, but the proportions were insufficient. Hence, there was no correlation between the values of daytime sleepiness and the risk of OSA in administration staff of Universitas Indonesia. This might be because a high score of Epworth questionnaire could not determine the risk of OSA, but only show a lack of night-time sleep.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sleep disordered breathing in children : a comprehensive clinical guide to evaluation and treatment is a comprehensive, timely and up-to-date review of pediatric sleep disordered breathing (SDB) and offers a thorough focus on several key areas: namely, the normal development and maturation of the airway and breathing during sleep, the techniques that are in place for assessment of SDB in children, the clinical manifestations and characteristics of several pediatric populations at risk for SDB, the implications of SDB in various end-organ systems, and, finally, a critical review of the evidence on current therapeutic approaches. This unique and complete text is of welcome interest to all practicing physicians and healthcare professionals who evaluate children with sleep problems, namely pulmonologists, pediatricians, sleep physicians, pediatric neurologists, pediatric otolaryngologists, and family practitioners, as well as clinical researchers, pediatric nurse practitioners and respiratory therapists.
"
New York: Springer, 2012
e20426417
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Michael
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas NNP dan Mini FESS sebagai modalitas terapi pasien hidung tersumbat dengan SDB. Digunakan rancangan pre eksperimental sebelum dan sesudah NNP dan Mini FESS dengan menilai perubahan pemeriksaan kualitatif menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS), Skor Analog Visual (SAV), Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoskopi dan Polisomnografi (PSG). Pengambilan subyek penelitian secara berurutan (consecutive sampling) selama 6 bulan di poli THT-RSCM. Sebanyak 7 pasien dengan keluhan hidung tersumbat disertai sleep disordered breathing menunjukkan perbaikan pasca operasi berdasarkan ESS dengan delta 48,28±1,99% nilai p=0,017, SAV median delta 100%(80% - 100%) nilai p=0,018, PNIF delta 52,03±2,69% p=0.017 dan 85,71% (6 dari 7) perbaikan ukuran konka inferior menjadi normal. Seluruh parameter PSG tidak didapatkan adanya perubahan yang bermakna dengan p>0,05. NNP dan mini FESS efektif untuk mengatasi hidung tersumbat yang disertai SDB berdasarkan perbaikan parameter pemeriksaan kualitatif. Hipereaktifitas parasimpatis yang mengakibatkan hipertrofi konka inferior merupakan hipotesis yang dapat dibuktikan pada penelitian ini dan memperkaya kerangka teori pada patofisiologi obstruksi nasal sebagai penyebab SDB.

This study aims to determine the effectiveness of PNN and Mini FESS as a therapeutic modality for patients with nasal congestion and SDB. This pre- experimental study evaluated the efficacy of PNN and mini FESS in management of nasal obstruction with SDB subjects. The evaluation performed by assessing changes in qualitative examination using Epworth Sleepiness Scale (ESS), Visual Analog Score (VAS) of nasal obstruction symptom Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoscopic examination. and Polysomnography (PSG). The subjects were included consecutively for 6 months at ENT clinic-Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 7 patients with nasal obstruction and sleep disordered breathing showed post-operative improvement in evaluations by using ESS (delta 48.28 ± 1.99% p-value = 0.017), VAS of nasal obstruction with median delta of 100 % ( 80 % - 100 % ) and p-value = 0.018, PNIF (delta 52.03 ± 2.69% p-value = 0.017) and regaining normal size of inferior turbinate in 85,71% (6 of 7) subjects. While all of the PSG parameters did not had any significant changes with p > 0.05. PNN and mini FESS is effective to overcome nasal obstruction with SDB based on an improvement in the qualitative evaluations. Parasympathetic hyperreactivity resulting in inferior turbinate hypertrophy is a proven hypothesis; thus may enrich the theoretical framework on the pathophysiology of nasal obstruction in SDB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Pranandrari
"Latar belakang: Kejadian obstructive sleep apnea (OSA) dipengaruhi kebiasaan tidur dan pekerjaan. Profesi perawat berhubungan dengan rotasi kerja yang mempengaruhi waktu tidur. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens dan faktor-faktor yang berhubungan dengan OSA pada perawat RS Persahabatan Jakarta menggunakan kuesioner penapisan dan polisomnografi (PSG).
Metode: Perawat dilakukan penapisan OSA menggunakan kuesioner Berlin dan STOP-Bang dan dilakukan pemeriksaan PSG untuk mengetahui prevalens OSA. Karakterisik demografis, pekerjaan dan kebiasaan dianalisis untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan OSA.
Hasil: Penelitian yang melibatkan 168 perawat ini menunjukkan prevalens OSA adalah 32,74% (55/168) berdasarkan kuesioner Berlin dan 16,67% (28/168) berdasarkan kuesioner STOP-Bang. Indeks massa tubuh, lingkar leher (LL) dan status gizi merupakan faktor risiko OSA berdasarkan penapisan Berlin. Indeks massa tubuh, LL, status gizi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jam kerja dan jam tidur merupakan faktor risiko OSA berdasarkan penapisan STOP-Bang. Subjek dengan risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin menunjukkan hasil skor STOP-Bang lebih besar terhadap subjek tanpa risiko OSA dengan skor >2 (p<0,000). Pemeriksaan PSG menunjukkan 10 subjek menderita OSA.
Kesimpulan: Prevalensi OSA adalah 32,74% berdasarkan kuesioner Berlin dan 16,67% berdasarkan kuesioner STOP-Bang. Indeks massa tubuh, LL dan status gizi merupakan faktor risiko OSA berdasarkan kedua kuesioner tersebut. Subjek dengan risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin menunjukkan skor STOP-Bang >2.

Background: Obstructive sleep apnea (OSA) is associated with sleep habits and occupation. Nurses are subject to lengthy night working shift which deprives sleep. This study reveals the prevalence and the related factors of OSA among the nurses of Persahabatan Hospital Jakarta using screening questionnaire and polysomnography (PSG).
Methods: Nurses were screened for OSA using Berlin and STOP-Bang questionnaires and were examined using PSG to reveal the prevalence of OSA. Demographic, work and habitual characteristics were analyzed to reveal related factor of OSA.
Results: The study, involved 168 nurses, shows prevalence of OSA is 32.74% (55/168) based on Berlin questionnaire and 16.67% (28/168) based on STOP-Bang questionnaire. Body mass index, neck circumference (NC) and nutrition status (NUT) is shown as risk factor of OSA from Berlin questionnaire. Body mass index, NC, NUT, sex, education level, working hour and sleeping hour is shown as risk factor of OSA from STOP-Bang questionnaire. Subjects with risk of OSA, as determined by Berlin questionnaire, exhibits STOP-Bang score >2 compared to subjects without risk of OSA (p<0.000). The PSG shows 10 subjects are OSA.
Conclusions: Prevalence of OSA is 32.74% based on Berlin questionnaire and 16.67% based on STOP-Bang questionnaire. Body mass index, NC and NUT serves as OSA risk factors from both of these questionnaires. Subject with risk of OSA, as determined by Berlin questionnaire, tends to exhibit STOP-Bang score >2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Putri Moegandi
"

Pendahuluan: Gangguan tidur merupakan salah satu gangguan kesehatan dengan prevalensi tinggi di dunia. Salah satu contoh gangguan tidur dengan prevalensi terbanyak adalah obstructive sleep apnea. OSA diketahui dapat menyebabkan kantuk pada siang hari, sementara konsentrasi diperlukan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh risiko sleep apnea berdasarkan kuesioner Berlin terhadap performa akademik mahasiswa fakultas kedokteran. Metode: Penelitian ini dilakukan menggunakan desain penelitian potong lintang. Penelitian dilakukan pada 135 mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada periode November 2018-2019. Risiko sleep apnea diukur menggunakan kuesioner Berlin, sementara performa akademik diukur melalui indeks prestasi semester. Analisis data menggunakan chi-square dan regresi logistik. Hasil: Risiko tinggi sleep apnea didapatkan pada 26% responden, dengan rincian risiko tinggi pada laki-laki sebesar 14.81% dan pada perempuan sebesar 5.92%. Performa akademik kurang baik ditemukan pada 30.3% responden. Terdapat hubungan antara risiko sleep apnea dengan performa akademik (p=0.00), dimana sebanyak 13.3% responden dengan risiko tinggi sleep apnea memiliki performa akademik kurang baik. Pada analisis multivariat ditemukan bahwa risiko tinggi sleep apnea merupakan faktor risiko dari performa akademik kurang baik (OR=4.6; p= 0.002). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara risiko sleep apnea yang diukur dengan Kuesioner Berlin dengan performa akademik Mahasiswa Fakultas Kedokteran.     


Introduction: Sleep disorder is one of the most prevalent health problem in the world. Ironically, medical student is one of the most vulnerable group in society to acquire sleep disorder. One example of the most prevalent sleep disorder is obstructive sleep apnea. OSA is known to cause daytime sleepiness which can affect concentration; meanwhile concentration is needed in a learning process. Therefore, the aim of this study is to assess the association of sleep apnea risk based on Berlin’s questionnaire towards the academic performance of medical student. Method: This study is done by using cross-sectional method to assess 135 preclinic medical student from Universitas Indonesia over the period of November 2018-January 2019. The risk of sleep apnea is assessed using Berlin Questionnaire, meanwhile academic performance is assessed by indeks prestasi (IP). Data analysis is done by chi-square and logistic regression test. Result: High risk of sleep apnea is found on 26% of the subject, with the details of 14.81% male and 5.92% female. There are 30.3% respondent who had poor academic performance. There is an association between the risk of sleep apnea and academic performance (p=0.0), where 13.3% respondents who have high risk of sleep apnea also have poor academic performance. On multivariate analysis, high risk of sleep apnea is proven to be a risk factor of poor academic performance (OR=4.6; p=0.02). Conclusion: There is an association between the risk of sleep apnea according to Berlin’s questionnaire and academic performance of medical students.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairunnisa
"Latar Belakang. Multipel sklerosis merupakan penyakit kronik progresif dimana selain dari berbagai gejala neurologis yang ada, gangguan tidur merupakan masalah yang juga memiliki dampak terhadap penyandang penyakit multipel skeloris. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur ditemukan lebih tinggi pada penyandang penyakit multipel skeloris dibandingkan populasi normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serta pola gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel sklerosis di Indonesia.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskritptif potong lintang. Populasi penelitian merupakan pasien dengan penyakit multiple sklerosis yang berobat di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data klinis dan pengambilan sampel dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Assessment (PSQI) dan STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, serta The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10). Data yang didapat kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data.
Hasil. Dari empat puluh dua subjek MS yang diikutsertakan pada penelitian ini, 32 (76,2%) subjek berusia kurang dari 35 tahun, 34 (81,0%) berjenis kelamin perempuan, 23 (54,8%) subjek tidak bekerja, 9 (21,4%) mengalami depresi, dan 9 (21,4%) memiliki EDSS 6 ke atas. Insomnia ditemukan pada 32 (76,2%) subjek, dengan proporsi yang lebih besar ditemukan pada subjek berusia 35 tahun ke atas (80% vs 75%, p=0,556), berjenis kelamin laki-laki (87,5% vs 73,5%, p=0,374), kelompok yang tidak bekerja (78,3% vs 73,7%, p=0,504), kelompok dengan depresi (77,8% vs 75,8%, p=0,638), dan kelompok dengan EDSS lebih dari sama dengan 6 (77,8% vs 75,8%, p=0,638). Seluruh subjek memiliki risiko OSA dengan 39 (92,9%) subjek memiliki risiko ringan-sedang dan 3 (7,1%) subjek memiliki risiko berat. Hanya laki-laki yang memiliki risiko terhadap kejadian OSA (37,5% vs 0%, p=0,005), tetapi tidak berkaitan terhadap kejadian insomnia.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel skeloris di Indonesia sangat tingi. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut guna menunjang diagnosis.

Background. Multiple sclerosis (MS) is a chronic progressive disease in which sleep disorder, besides various neurologic manifestations, highly impacts the patients but is often neglected in clinical settings. Several studies had discovered that sleep disorder was more prevalent in MS than general population. This study aimed to investigate the prevalence and characteristics of sleep disorder in MS patients in Indonesia.
Methods. A descriptive cross-sectional study involving MS patients was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta. In addition to clinicodemographic data collection, data regarding sleep quality, obstructive sleep apnea (OSA), and depression state were assessed using Indonesian previously-validated Pittsburgh Sleep Quality Index, STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, and The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10, respectively.
Results. Of forty MS participants included in this study, 29 (72.5%) aged less than 35 years, 32 (80.0%) were women, 20 (50.0%) were unemployed, 10 (25.0%) had depression, and 10 (25.0%) had Expanded Disability Scoring Scale (EDSS) of ≥6. Insomnia was found in 33 (82.5%) participants, of which larger proportion were male (100.0% vs 78.1%, p=0.309. Three (7,1%) participants had moderate risk of OSA. Only male had significant risk of OSA (moderate risk 25.0% vs 0%, p=0.036), but it did not associate with insomnia.
Conclusion. Sleep disorder in MS patients in Indonesia is prevalent. There was potencies of the risk of OSA in MS, especially in male. Detection of insomnia and risk OSA is important in MS comprehensive care."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"Pendahuluan Bagi seorang pilot, OSA dapat berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Salah satu faktor predisposisi utama terjadinya OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia.
Metode Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner STOP-BANG untuk menilai risiko OSA, kuesioner Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur Excessive Daytime Sleepiness, kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation untuk mengukur obstruksi di hidung, dan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire untuk mengukur aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa body mass index dan lingkar leher.
Hasil Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko tinggi OSA sebesar 35,8%. Kemudian, obesitas dan lingkar leher ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Untuk faktor lainnya, ditemukan juga bahwa usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Untuk faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05).
Kesimpulan Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA. Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA.

Introduction In pilots, OSA can impact flight safety as it can cause fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving skills, and multitasking. Increased body weight can predispose to OSA, and occupational factors may influence risk development. This study aims to determine the relationship between obesity and other factors on the risk of OSA in civilian pilots in Indonesia.
Methods This study used a cross-sectional design and was conducted at the Aviation Health Center. Respondents were asked to fill out the STOP-BANG questionnaire to assess OSA risk, the ESS questionnaire to measure EDS, the NOSE questionnaire to measure nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire to measure physical activity. Then anthropometric measurements were taken in the form of BMI and neck circumference.
Results From 176 respondents, 35,8% had a high risk of OSA. Obesity and neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk (p>0.05). The factors most associated with OSA risk were neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction (p<0.05).
Conclusion There is a significant relationship between anthropometric factors such as BMI and neck circumference; demographic factors such as age; comorbid factors such as blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity; and habit factors such as smoking with the risk of OSA. There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"OSA berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Faktor predisposisi utama OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia. Penelitian menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden mengisi kuesioner STOP-BANG untuk risiko OSA, kuesioner ESS untuk EDS, kuesioner NOSE untuk obstruksi di hidung, dan kuesioner GPAQ untuk aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa BMI dan lingkar leher. Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko OSA 35,8%. Kemudian, obesitas, lingkar leher, usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05). Terdapat hubungan bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA.

OSA can impact flight safety by causing fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving, and multitasking abilities. Increased body weight can predispose to OSA, and the risk development is affected by occupational factors. A cross-sectional study to determine the association between obesity and other factors on the risk of OSA in Indonesian civilian pilots was conducted at the Aviation Health Center. The respondents filled out the STOP-BANG questionnaire for OSA risk, the ESS questionnaire for EDS, the NOSE questionnaire for nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire for physical activity. Anthropometric measurements (BMI and neck circumference) were measured. Of the 176 respondents, the prevalence of OSA risk was 35.8%. Obesity, neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There was no significant association between occupational factors and OSA risk (p>0.05). Neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction were the factors most associated with OSA risk (p<0.05). There was a significant association between anthropometric factors (BMI and neck circumference), demographic factors (age), comorbid factors (blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity), and also smoking habits with the risk of OSA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>