Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177699 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ivan Pradhana
"Prevalensi gejala depresi pada orang dengan demensia ODD berkisar 30-50 . Hal ini menandakan bahwa pada sebagian besar ODD gejala depresi timbul beriringan dengan penurunan kognitif. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa gejala depresi pada demensia timbul karena ODD kehilangan kemandirian dalam beraktivitas sehari-hari serta melupakan banyak hal esensial dalam hidup, seperti nama keluarga dan kerabat, terutama pada ODD dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Penelitian ini ingin melihat apakah terdapat korelasi antara skor gejala depresi dan skor kognitif global dengan memeriksa 42 ODD menggunakan Montgomery-Asberg Depression Rating Scale MADRS untuk menilai skor gejala depresi dan Mini Mental State Examination MMSE untuk menilai skor kognitif global. Pada penelitian ini ODD yang digunakan sebagai subjek penelitian dibatasi, yaitu hanya ODD dengan rentang skor MMSE 17-23 gangguan kognitif ringan dan MADRS.

T is estimated that 30 50 of people with dementia PWD suffer from significant depression. This fact marks that in most PWD, depression occurs at the same time with cognitive decline. Several researches explain that this happens because PWD cannot run their daily activities independently and forgot many essential things, such as family. It is also known that depression occurs more in highly educated people. Therefore, this research is made with the intention to find the correlation between the depression score and global cognitive score in 42 PWD using Montgomery Asberg Depression Rating Scale MADRS to assess the symptoms of depression and Mini Mental State Examination MMSE to assess te global cognitive score. PWD that are included in this research restricted only they who had MMSE score between 17 and 23 mild cognitive impairment , and MADRS score below 34 no depression, mild depression, and moderate depression . Of 42 subjects, depression occurred in 41 97,6 of 42 subjects and the global cognitive score mean is 19,53. Depression score has a strong correlation with global cognitive score r 0,647, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nadim
"Latar Belakang. Depresi sering ditemukan pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dan berhubungan dengan aktivitas penyakit LES. Kurangnya perhatian klinisi terhadap penapisan hingga tatalaksana depresi pada LES sangat berperan. Hospital Anxiety and Depression Scal (HADS) merupakan salah satu skala pengukuran depresi berbentuk kuesioner yang sering dan mudah digunakan serta memiliki banyak terjemahan yang tervalidasi sedangkan Mexican- Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) merupakan sistem skoring untuk menilai aktivitas penyakit LES dengan biaya minimal namun mempunyai reliabilitas dan validitas yang baik. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamasi sistemik sedangan anti-dsDNA merupakan autoantibodi spesifik pada LES yang kadarnya meningkat seiring dengan aktivitas penyakit. Saat ini di Indonesia, belum ada penelitian yang mengkorelasikan antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada LES.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada pasien LES.
Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan analisis data primer pasien LES usia 18-60 tahun. Dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik serta pengisian kuesioner HADS diikuti dengan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar anti-dsDNA dan melengkapi perhitungan skor Mex-SLEDAI. Korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA, dan skor Mex-SLEDAI didapat dengan uji korelasi Spearman menggunakan SPSS.
Hasil. Dilakukan analisis pada 121 subjek. Seluruh sampel adalah perempuan dengan median usia 31 (24-39) tahun. Median skor HADS-D sebesar 6 (4-7), median RNL sebesar 2,64 (1,945-3,91), median anti-dsDNA sebesar 133,5 (29,8-388,5), dan median skor Mex-SLEDAI sebesar 5 (3-10). Terdapat korelasi positif sangat lemah antara skor HADS-D dengan RNL (r 0,18 dan p 0,048). Terdapat korelasi positif lemah antara skor HADS-D dengan Mex-SLEDAI (r 0,244 dan p 0,007). Tidak terdapat korelasi antara skor HADS-D dengan anti-dsDNA.
Kesimpulan. Terdapat korelasi positif antara skor HADS-D dengan RNL dan skor Mex-SLEDAI tetapi tidak ada korelasi antara skor HADS-D dengan kadar anti-dsDNA pada pasien dengan LES.

Background. Depression is common in systemic lupus erythematosus (SLE) and can increase SLE disease activity. Lack of clinical attention to screening until the management of depression play an important role. Hospital Anxiety Depression Scale (HADS) is a depression measurement scales that is often and easy to use while Mexican-Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) is a scoring system to asses disease activity at lower cost but has good reliability and validity. Neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) is a systemic inflammation marker whereas anti-dsDNA is a specific antibody for SLE. In  Indonesia, there are no studies that correlate HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Objective. To determine the correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Methods. This study used a cross-sectional design that analysed the primary data of SLE patients aged 18-60 years. Interviews and physical examinations were carried out as well as filling out the HADS questionnaire followed by blood sampling to assess anti-dsDNA levels and calculate Mex-SLEDAI score. The correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score were obtained by using the Spearman correlation test using SPSS.
Results. This study analysed on 121 subjects with a median age of 31 (24-39) years. The median HADS-D score was 6 (4-7), median NLR was 2.64 (1.945-3.91), median anti-dsDNA level was 133.5 (29.8-388.5), and median Mex- SLEDAI score was 5 (3-10). There is a very weak positive correlation between HADS-D and NLR (r 0.18 and p 0.048) and weak positive correlation between HADS-D and Mex-SLEDAI (r 0.244 and p 0.007). There is no correlation between HADS-D and anti-dsDNA.
Conclusion. There are positive correlation between HADS-D score with NLR and Mex-SLEDAI score but there is no correlation between HADS-D score with anti-dsDNA level in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny
"Latar belakang dan tujuan: Gangguan fungsi kognitif, mulai dari gangguan ringan hingga demensia, yang prevalensinya semakin meningkat seiring dengan peningkatan angka harapan hidup, akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Hingga saat ini, minimnya pemanfaatan pemeriksaan patologi untuk menegakkan diagnosis definitif menjadikan pemeriksaan fungsi luhur sebagai pemeriksaan baku emas dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Seiring kemajuan teknologi kedokteran, MRI kepala mulai digunakan secara luas untuk menilai proses neurodenegeratif dan patologi vaskular otak yang berkorelasi kuat dengan gangguan fungsi kognitif. Penilaian temuan kelainan dengan metode skala pengukuran visual yang menggabungkan temuan atrofi dan lesi vaskular terbukti memberikan hasil yang baik dalam penegakkan diagnosis dan prediksi prognosis gangguan fungsi kognitif. Titik potong baku dan valid untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi adanya gangguan fungsi kognitif perlu diteliti untuk meningkatkan peran MRI kepala dalam penilaian fungsi kognitif.
Metode: Uji deskriptif dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui nilai titik potong skor atrofi serebri, skor lesi substansia alba, dan skor infark serebri pada pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan data pemeriksaan fungsi kognitif dan MRI kepala terhadap 76 subjek penelitian dalam kurun waktu Januari 2014 hingga Desember 2016.
Hasil: Skala pengukuran visual dapat menggambarkan perubahan struktur otak pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. Dengan perhitungan receiver operation curve ROC dari skor atrofi, lesi vaskular, dan skor visual gabungan pada pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan didapatkan bahwa skor visual gabungan memiliki nilai akurasi diagnostik terbaik dengan nilai AUC 78,3 95 IK 68,1 -88,6 . Kemudian didapatkan titik potong skor visual gabungan sebesar 8,5 sensitivitas 55,6 , spesifisitas 82,5 dengan tingkat spesifisitas tertinggi dalam membedakan pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan.
Kesimpulan: Skor visual gabungan mempunyai nilai akurasi diagnostik sedang dan dapat digunakan pada praktik klinis dalam membedakan pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan.

Background and objective: Impaired cognitive function, ranging from mild impairment to dementia, whose prevalence increases with increasing life expectancy, will affects the quality of life. Until now, the lack of utilization of pathology examination to make a definitive diagnosis makes the neuropsychological screening instruments as a gold standard examination with good sensitivity and specificity. As medical technology advances, head MRIs are beginning to be widely used to assess neurodegenerative processes and brain vascular pathology that are strongly correlated with cognitive impairment. Assessing findings of abnormalities by a visual measurement scale method that combines the findings of atrophy and vascular lesions proved to provide good results in the diagnosis and prediction of cognitive function impairment prognosis. Standard and valid cutoff points for diagnosis and predicting cognitive dysfunction need to be investigated to improve the role of head MRI in cognitive function assessment.
Methods: A descriptive test with a cross sectional approach to determine the value of the cutoff point of cerebral atrophy, white matter lesion, and cerebral infarct score in patients with dementia and mild cognitive impairment. The examination was performed based on cognitive function and head MRI examination data on 76 subjects in the period from January 2014 to December 2016.
Result: The scale of visual measurements can describe changes in brain structure in patients with cognitive impairment. With the calculation of receiver operation curve ROC of atrophic scores, vascular lesions, and combined visual scores in patients with dementia and mild cognitive impairment, AUC 78.3 95 CI 68.1 88.6 was obtained with cut point cut point 8.5 with the highest level of specificity sensitivity 55.6 , specificity 82.5 in distinguishing patients with dementia and mild cognitive impairment.
Conclusion: The combined visual score cutoff point has a moderate diagnostic value of accuracy and can help to distinguish patients with dementia and mild cognitive impairment in clinical practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melyawati
"Latar belakang: Melasma adalah kelainan kulit hiperpigmentasi simetris, didapat, umumnya ditandai oleh makula coklat hingga coklat gelap pada daerah kulit yang terpajan sinar matahari. Patogenesis melasma masih belum diketahui dengan jelas. Berdasarkan perkembangan terkini, interaksi antara vaskularisasi kulit dan melanosit diduga memiliki peranan pada lesi melasma.
Tujuan: Untuk megetahui proporsi telangiektasis pada pasien melasma dan menilai korelasi skor telangiektasis dengan derajat keparahan pigmentasi lesi melasma.
Metode: Sejumlah 48 wanita dengan melasma diikutsertakan apada penelitian observasional potong lintang ini. Mereka dipilih berdasarkan metode consecutive sampling. Wajah dari masing-masing subyek penelitian (SP) diperiksa dan kemudian dibagi dalam 4 area: dahi, malar kiri, malar kanan, dan dagu. Keparahan pigmentasi lesi melasma dievaluasi menggunakan skor pigmentasi berdasarkan Melasma Area and Severity Index (MASI). Skor telagiektasis dinilai menggunakan 5-point dermoscopic scale yang telah tervalidasi, dengan bantuan alat dermoskopi. Analisis statistik dilakukan untuk menilai hubungan antara skor telangiektasis dengan derajat keparahan pigmentasi lesi melasma.
Hasil: Dengan bantuan dermoskopi, ditemukan telangiektasis pada 35,4% (n=17/48) SP. Dari total 192 area wajah yang diperiksa, 124(64,5%) di antaranya memilik lesi pigmentasi. Derajat pigmentasi 1 sejumlah 64,8%, derajat 2 sebanyak 26,4%, dan derajat 3 sejumlah 8,8%. Dari 124 lesi pigmentasi didapatkan 29(23,3%) lesi dengan telangiektasis. Skor telangiektasis 1 pada 7,2% lesi, skor 2 pada 13,6% lesi, dan skor 3 pada 2,4% lesi pigmentasi. Berdasarkan analisis statistik, terdapat korelasi positif bermakna antara derajat pigmentasi dengan skor telangiektasis melasma (r = 0.474, p < 0.0001).

Background: Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis characterized by irregular light to dark brown macules and patches on sun-exposed areas of the skin. The pathogenesis of melasma is still poorly understood. Recently, interaction between skin vascularity and melanocytes has been proposed to have influence in melasma pigmentation.
Purpose: To investigate the proportion of telangiectases in melasma and its correlation with pigmentation severity of melasma.
Methods: A total of 48 woman with melasma were included in this cross-sectional observational study. They were selected based of consecutive sampling method. The face of each subject were examined and divided into 4 regions: forehead, left malar, right malar, and chin area. Pigmentation severity of facial melasma skin was evaluated using the pigmentation score of Melasma Area and Severity Index (MASI). Telangictases score was assessed using a validated 5-point dermoscopic scale with the aid of a hand-held noncontact polarized dermoscope. Statistical analyses were performed to assess the association between pigmentation severity and telangiectases score.
Results: Using dermoscope, we found telangiectases with various severity in 35.4%(n=17/48) of the subjects. Of the total 192 facial areas examined, 124(64,5%) of which, have melasma pigmentation. The percentage of pigmentation degree is 64,8% for grade 1, 26,4% for grade 2, dan 8,8% for grade 3. Of these area with pigmentation, 29(23,3%) had telangiectases. Telangiectases score of 1, 2, and 3 present in 7,2%, 13,6%, dan 2,4% of pigmentation lesion, respectively. There was significant relationship between telangiectases and pigmentation in melasma, as increased pigmentation was correlated modestly with telangiectases score (r = 0.474, p < 0.0001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Fawzia
"Pendahuluan: Depresi mempengaruhi 45,19% pasien tuberkulosis paru (TB) dalam kepatuhan terhadap pengobatan, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan kematian, resistensi obat yang meningkat, serta penularan penyakit yang terus berlanjut. Usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, status gizi, komorbiditas, fase terapi, dan status HIV adalah faktor-faktor yang dapat berkontribusi terhadap depresi pada pasien TB. Infeksi Mycobacterium tuberculosis menyebabkan peradangan sistemik, mengubah respons pusat sistem kekebalan tubuh di sistem saraf pusat, mengaktifkan sumsum tulang belakang-hipotalamus-kelenjar adrenal (HPA) dan saraf simpatis, serta berkontribusi terhadap masalah psikiatri. Komposisi asam lemak, termasuk jumlah tinggi EPA dan DHA, mempengaruhi fungsi sel dengan memodifikasi pola produksi eikosanoid, resolvin, dan protektin. Selain itu, fluiditas membran sel yang meningkat dengan peningkatan asam lemak omega-3 dibandingkan dengan asam lemak omega-6 mempengaruhi kejadian depresi.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 99 orang dengan TB paru. Data dikumpulkan menggunakan Semi-Kuantitatif Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ), pengukuran antropometri, dan Beck Depression Inventory-II (BDI-II).
Hasil: Analisis korelasi menggunakan uji Spearman menunjukkan rasio asupan omega-6/omega-3 PUFA sebesar 7,78 ± 1,13, dengan nilai median skor depresi sebesar 9 (10-36). Tidak ada korelasi antara asupan omega-6/omega-3 PUFA dan skor depresi (r=0,063; p = 0,534).
Kesimpulan: Tidak ada korelasi antara rasio asupan omega-6/omega-3 PUFA dan skor depresi pada pasien TB paru. 

Introduction: Depression affects 45.19% of pulmonary tuberculosis (TB) patients in their adherence to treatment, leading to increased morbidity, mortality, drug resistance, and disease transmission. Factors like age, gender, education, income, nutrition, comorbidities, therapy phase, and HIV status contribute to TB-related depression. Mycobacterium tuberculosis infection induces systemic inflammation, alters the immune response in the central nervous system, activates the hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis and sympathetic nerves, and influences psychiatric issues. Fatty acid composition, particularly high levels of EPA and DHA, modifies cellular function by affecting eicosanoid, resolvin, and protectin production. The greater cell membrane fluidity with omega-3 fatty acids compared to omega-6 fatty acids affects depression occurrence.
Methods: A cross-sectional study of 99 individuals with pulmonary TB was conducted. Data was collected using the Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ), anthropometric measurements, and Beck Depression Inventory-II (BDI-II).
Results: Spearman correlation analysis revealed an omega-6/omega-3 PUFA intake ratio of 7.78 ± 1.13, with a median depression score of 9 (10-36). No correlation was found between omega-6/omega-3 PUFA intake and depression score (r=0.063; p = 0.534).
Conclusion: No correlation exists between the omega-6/omega-3 PUFA intake ratio and depression scores in pulmonary TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernard As Dakhi
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang paling sering pada pasien AR dengan laju1,5-1,6 kali lebih tinggi dari populasi non AR. Prevalensi gagal jantung pada AR dua kali lipat dibanding non AR. Karakteristik pasien AR Indonesia berbeda dibanding pasien di Negara Barat. Masih sedikit penelitian yang melihat korelasi faktor resiko non tradisional dengan disfungsi diastolik.
Tujuan: Mengetahui apakah ada korelasi faktor resiko non tradisional yaitu lama menderita penyakit, derajat aktivitas penyakit dan skor disabilitas dengan disfungsi diastolik pada wanita penderita AR.
Metode: Desain penelitian adalah potong lintang pada wanita penderita AR yang berobat ke poli Rematologi RSCM dari Oktober 2015-Januari 2016.Sampel penelitian belum pernah dinyatakan menderita penyakit jantung sebelumnya.Disfungsi diastolik dinilai secara ekhokardiografi. Lama menderita sakit diperoleh dengan wawancara langsung, sementara aktivitas penyakit dan tingkat disabilitas dinilai dengan menghitung skor DAS28 dan skor HAQ-DI.
Hasil: Disfungsi diastolik dijumpai pada 30,8 % partisipan ( masing-masing 13,5% tingkat ringan dan sedang, dan berat sebesar 3,8% ). Rerata lama menderita AR 26,5 bulan (rentang 2-240), rerata DAS28-CRP 2,69±1,11 sementara DAS28-LED 3,65 (rentang 1,13-7,5), rerata skor HAQ-DI 0,29 (rentang 0-2,38). Hipertropi LV dijumpai pada 34,6% partisipan, rerata EF 66,7±5,76%. Kelainan katup dijumpai pada 34,6% partisipan. Korelasi antara lama sakit, DAS28-CRP, DAS28-LED and skor HAQDI dengan E/A secara berurutan adalah (r= - 0,065; p=0,89), (r=0,393; p=0,38), (r=0,357; p=0,43), (r=0,630; p=0,12) ; sementara dengan E/E? secara berurutan adalah (r=0,136; p=0,77), (r= - 0,536; p=0,21), (r= - 0,393; p=0,38), (r=0,374; p=0,41).
Simpulan: Lama menderita sakit, derajat aktivitas penyakit dan derajat disabilitas, tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dengan disfungsi diastolik. Angka hipertropi jantung juga cukup tinggi, dan kelainan katup yang paling sering di jumpai adalah regurgitasi ringan.Dengan tingginya angka proporsi disfungsi diastolik pada penelitian ini maka diusulkan agar dirumuskan strategi penatalaksanaan jantung pada pasien-pasien AR untuk mencegah progresifitasnya.

Background: Cardiovascular is the main cause of death in RA, with the rate of 1.5-1.6 times higher than non RA population .The prevalence of HF in RA is 2 times fold of non RA. RA patients characteristics in Indonesia is different from the ones in western. There are only few studies about correlation between non traditional risk factor and diastolic dysfunction in RA patients.
Objective: To study the correlation between each of the non traditional risk factors including disease duration,disease activity and disability score with the diastolic dysfunction in women with RA.
Methods: A cross-sectional, consecutive sampling study conducted to 52 RA women without any previous history of cardiovascular disease. All participants underwent an echocardiography to asses the diastolic dysfunction and other findings associated. Duration of disease is assesed by direct interview, while the disease activity by calculating DAS28 and disability sore by HAQ-DI.
Results: Diastolic dysfunction was found in 30.8 % of study participants ( 13.5 % for each low and moderate grade, while severe was 3.8% ). Mean of disease duration was 26.5 months (range 2-240), mean DAS28-CRP 2.69±1.11 while mean DAS28-ESR 3.65 (range 1.13-7.5), HAQ-DI score 0.29 (range 0-2.38). LV hypertrophy was found in 34.61% participants. Mean EF 66.7±5.76%. Valve abnormality was found in 34.6% study participants. Correlation between duration of disease, DAS28-CRP, DAS28-ESR and HAQDI score with E/A in sequence was (r= - 0.065; p=0.89), (r=0.393; p=0.38), (r=0.357; p=0.43), (r=0.630; p=0.12) ; while with E/E? in sequence was (r=0.136; p=0.77), (r= - 0.536; p=0.21), (r= - 0.393; p=0.38), (r=0.374; p=0.41).
Conclusions; Duration of the disease, the disease activity score and disability score in our RA study participants had no correlation with diastolic dysfunction. The most valvular abnormality findings was mild regurgitation. Since there was a big proportion of participants with diastolic dysfunction, it is encouraged to make a stepwise approach of cardiovascular management in patients with RA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Moniqa
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Artropati hemofilia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada penyandang hemofilia dengan predileksi pada sendi siku, lutut dan pergelangan kaki. Deteksi dini artropati hemofilia dapat memperbaiki evaluasi dan tatalaksana. Ultrasonografi metode HEAD-US merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kelainan sendi penyandang hemofilia menggunakan sistem skoring yang cepat dan relatif mudah. Evaluasi sendi secara klinis pada artropati hemofilia dilakukan dengan pemeriksaan skor HJHS. Ultrasonografi metode HEAD-US dapat menjadi penunjang evaluasi artropati hemofilia .Metode : Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada skor ultrasonografi metode HEAD-US dengan skor HJHS. Kedua pemeriksaan dilakukan pada 120 sendi penyandang hemofilia yaitu siku, lutut dan pergelangan kaki. Pemeriksaan HEAD-US dan HJHS dilakukan pada hari yang sama. Hasil : Rerata umur subyek penelitian adalah 9,3 tahun sebaran 5-14 tahun . Pemeriksaan HEAD-US memiliki median 8 dengan sebaran 1-28 dan mayoritas kelainan pada pergelangan kaki. Pemeriksaan HJHS memiliki sebaran skor 0-35 dengan median 3, mayoritas kelainan pada lutut.Kesimpulan : Terdapat korelasi positif kuat antara pemeriksaan ultrasonografi metode HEAD-US dengan pemeriksaan HJHS. p = 0,002, r= 0,65 . Didapatkan formula regresi linear yaitu : skor HJHS = = ndash; 3,74 0,86 x skor HEAD-US. Untuk memperkirakan skor HJHS setelah diketahui skor HEAD-US.

ABSTRACT
Background and objective Hemophilic artropathy is one of complication of hemophilia. The elbows, knees and ankles are the most affected joints. Detection of early blood induced joint changes may improve monitoring of treatment. HEAD US scanning protocol is a quick and simple method that can be used to detect hemophilic arthropathy. Clinically, hemophilic arthropathy was assessed using HJHS. The aim of this study was to explore the value HEAD US scanning protocol on evaluating hemophilic arthropathy. Methods Cross sectional correlation study between HEAD US and HJHS. Both were done on 120 hemophilic elbow, knee and ankle joints . HEAD US and HJHS were done on the same day. Results Mean age was 9,3 years range 5 14 years . Median score of HEAD US was 8 range 1 28 , mostly on ankles. Median score of HJHS was 3 range 0 35 , mostly on knees. . Conclusion There is strong correlation between HEAD US with HJHS. p 0,002, r 0,65 . Linear regression formula was HJHS score ndash 3,74 0,86 x HEAD US score. This formula can be used to predict HJHS score. "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Muljono
"Latar belakang: Ulkus Kaki diabetik atau Diabetic Foot Ulcer merupakan salah satu komplikasi yang berat, karena sering kali ulkus kaki diabetik berakhir dengan amputasi kecacatan dan kematian. USG Doppler merupakan modalitas yang mudah tersedia dan non invasif untuk evaluasi arteri ekstremitas inferior dan dapat mendeteksi tingkat keparahan gangguan aliran darah atau Penyakit Arteri Perifer (PAP) dengan sensitivitas 42,8% dan spesifisitas 97,5%. WHO merekomendasikan klasifikasi Perfusion, Extent/Size, Depth/Tissue Loss, Infection, Sensation (PEDIS) sebagai sarana penegakan diagnosis dan membantu menentukan tatalaksana kaki diabetik. Penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi skor PEDIS dalam menilai gangguan aliran arteri tungkai berdasarkan spektral USG Doppler pada penderita ulkus kaki diabetik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek dan Metode: Subjek penelitian adalah pasien ulkus kaki diabetes yang dirawat di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular FKUI-RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini dilakukan dengan perhitungan menggunakan sensitivitas estimasi sebesar 80%, error absolut (d=5%), prevalensi estimasi 51,8% maka besar sampel minimal adalah 76. Setelah itu diperoleh data berupa skor PEDIS dan hasil spektral USG pada arteri femoralis, arteri poplitea, arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior. Penelitian ini mengumpulkan 81 orang subjek dengan 52 orang (64%) jenis kelamin laki-laki, 29 orang (36%) perempuan dan rata-rata usia 59,8+10,5 tahun. Profil gula darah sewaktu subjek median 265 mg/dl dengan kisaran antara 105-571 mg/dl. Pada tabel 3 dalam menentukan Cut Off skor PEDIS menggunakan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic), didapatkan Cut Off arteri poplitea >10, sedangkan arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior >8.

Main topics: Diabetic Foot Ulcer or Diabetic Foot Ulcer is one form that is severe, because often diabetic foot ulcers end with disability amputation and death. Doppler ultrasound is an easily available and unlimited modality for lower limb risk and can detect the severity of arterial disease or peripheral arterial sensitivity (PAP) with a sensitivity of 42.8% and specificity of 97.5%. WHO that performs Data Perfusion, Area/Size, Depth/Tissue Loss, Infection, Sensation (PEDIS) as a means of enforcing the diagnosis and helps determine the management of diabetic foot. This study was conducted to look at the PEDIS score in assessing the disturbance of limb arterial flow based on Doppler ultrasound in patients with diabetic foot ulcer at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were patients with diabetic foot ulcers performed in the Division of Vascular and Endovascular Surgery of the Faculty of Medicine-Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta and fulfilled the inclusion and exclusion criteria. This research was conducted by calculating using an estimation sensitivity of 80%, absolute error (d = 5%), the largest prevalence of 51.8%, then the minimum sample size was 76. After that data was obtained in the form of PEDIS scores and spectral results of ultrasound in the femoral artery, arteries poplitea, dorsalis pedis artery and posterior tibial artery. This study collected 81 subjects with 52 people (64%) male gender, 29 people (36%) women and an average of 59.8 + 10.5 years. The blood sugar profile was median 265 mg/dl with a range of 105-571 mg/dl. In table 3 in determining the PEDIS score Cut-Off using the Receiver Operating Characteristic curve, obtained Cut-ff popliteal artery> 10, while the dorsalis pedis artery and posterior tibial artery> 8."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bahtiar
"ABSTRAK
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang mempengaruhi spiritual lansia. Spiritual menjadi kebutuhan penting pada lansia dengan depresi sehingga penanganan intervensi keperawatan dengan pendekatan spiritual perlu diterapkan dalam menurunkan tingkat depresi lansia. Intervensi keperawatan SILANSIA (spiritual bagi lansia) digunakan sebagai usaha penanganan dalam menurunkan tingkat depresi lansia pada individu, keluarga dan masyarakat. Intervensi SILANSIA diimplementasikan kepada lansia depresi sebanyak 106 orang diberikan selama 30 menit per sesi sebanyak 8 sesi. Kriteria inklusi adalah: berusia 60 tahun ke atas, memiliki tingkat depresi ringan dan sedang, tidak mengalami gangguan kognitif dan pendengaran. Hasil implementasi kepada keluarga dan kelompok didapatkan rerata nilai depresi lansia adalah 4,79 sebelum intervensi menjadi 2,48 sesudah intervensi. Artinya rerata nilai depresi lansia mengalami penurunan sebanyak 2,31. Hasil uji independent t test didapatkan nilai p value <0,05. Intervensi SILANSIA (Spiritualitas lansia) berpengaruh terhadap penurunan tingkat depresi lansia di kelurahan Cisalak Pasar. Intervensi SILANSIA dapat digunakan sebagai pilihan intervensi keperawatan dan direkomendasikan agar diterapkan pada individu, kelompok dan masyarakat sebagai intervensi dalam menangani masalah depresi lansia di komunitas.

ABSTRACT
Depression is a mental health problem that affects the spiritual elderly. Spiritual is a vital need for the elderly with depression so that the handling of spiritual intervention nursing approaches needs to be applied for the decrease depression level. An effort to reduce the level of depression in the elderly used SILANSIA nursing intervention (spiritual for the elderly). SILANSIA intervention was implemented for 106 depressed older adults, and the intervention was given for 30 minutes per session as many as eight sessions. Inclusion criteria are: 60 years and over, have mild and moderate levels of depression, do not have cognitive and hearing impairment. The results of the implementation of the family and group obtained the average depression value of the elderly was 4.79 before the intervention to 2.48 after the intervention, meaning that the average depression value of the elderly decreased by 2.31. The results of the independent t-test found that the p-value <0.005 means that there is the effectiveness of the SILANSIA intervention (the elderly s spirituality) the level of depression of the elderly in the Cisalak Pasar village. The SILANSIA intervention program can be applied as a choice of nursing interventions. It would be a recommendation for an individual, group and community in dealing with elderly depression."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meita Dwi Utami
"Latar Belakang: Anak sakit kritis berisiko mengalami kelebihan cairan akibat terapi cairan inadekuat. Venous excess ultrasound (VExUS), suatu point of care ultrasound (POCUS), dapat digunakan pada kongesti sistemik akibat kelebihan cairan. Terdapat 5 kelas skor VExUS yaitu VExUS A, B, C, D, dan E. Kelebihan cairan pada organ paru dievaluasi dengan lung ultrasound (LUS). Kelebihan cairan sering dihubungkan dengan balans cairan positif. Tujuan: Mengetahui korelasi antara balans cairan positif dengan skor VExUS dan LUS. Metode: Penelitian potong lintang melibatkan anak sakit kritis berusia 1 bulan hingga 18 tahun, mengalami balans cairan positif pada perawatan 24 jam pertama di PICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama November hingga Desember 2024. Analisis korelasi dilakukan terhadap skor VExUS dan LUS dengan balans cairan positif serta tanda klinis. Hasil: Pada 40 anak sakit kritis, tidak terbukti ada korelasi antara skor VExUS dan LUS dengan balans cairan positif. Hasil tambahan penelitian menunjukkan korelasi antara VExUS A dengan ronki (r=0,367, p=0,020), VExUS B dengan ronki (r=0,367, p=0,020), dan VExUS D dengan edema (r = 0,328, p = 0,039). Simpulan: Skor VExUS dan LUS tidak terbukti berkorelasi dengan balans cairan positif. VExUS A, B, dan D berkorelasi dengan ronki dan edema pada anak sakit kritis dengan kelebihan cairan.

Background: Critically ill children were at risk of fluid overload due to inadequate fluid therapy. Venous excess ultrasound (VExUS), a point of care ultrasound (POCUS), was used in systemic congestion due to fluid overload. There were 5 classes of VExUS scoring system (VExUS A, B, C, D, and E). Fluid overload in lung can be evaluated by lung ultrasound (LUS). Fluid overload was also referred to positive fluid balance. Objective: To obtain correlation between positive fluid balance with VExUS and LUS score. Methods: Cross section study on critically ill children aged 1 month to 18 years old, with positive fluid balance during first 24 hour admission to PICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, in November to December 2024. Correlation analysis were done between VExUS and LUS score, as well as the clinical signs. Results: Among 40 critically ill children, there were no correlation between VExUS and LUS score with positive fluid balance. Positive correlations were obtained between VExUS A with ronchi (r=0.367, p=0.020), VExUS B with ronchi (r=0.367, p=0.020), VExUS D with edema (r = 0.347, p = 0.028). Conclusion: VExUS and LUS score was not correlated with positive fluid balance. VExUS A, B, dan D scoring system were correlated with ronchi and edema in critically ill children with fluid overload. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>