Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162266 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tommie Prasetyo Utomo Wiharto
"Tujuan Mengetahui hubungan antara nilai glukosa darah puasa, disfungsi ereksi DE, dan lower urinary tract symptoms LUTS pada pasien dengan pembesaran prostate jinak.Metode Terdapat 42 pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan pembesaran prostat jinak. LUTS dan DE dievaluasi dengan menggunakan International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function-5 IIEF-5. Diabetes mellitus ditegakkan jika gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL. LUTS dikategorikan menjadi 3 grup; ringan, sedang, dan berat dimana DE dikategorikan menjadi 2; positif dan negative. Semua data dianalisa menggunakan SPSS ver. 22.Hasil Usia rata-rata pasien adalah 68,83 8,56 tahun dengan mayoritas menderita DE 83.33 dan LUTS 80.96. Diabetes mellitus ditemukan pada 26,19 pasien dengan rata-rata nilai gula darah puasa 108.3 21.1 mg/dL. Nilai IPSS didapati berhubungan signifikan dengan nilai gula darah puasa r = 0.879, p

Aims To discover the correlation between fasting glucose level, erectile dysfunction, and lower urinary tract symptoms LUTS in patients diagnosed with benign prostatic hyperplasia BPH .Methods There were 42 patients with BPH related LUTS aged over 50 years old enrolled in this study. LUTS and erectile dysfunction ED were evaluated using International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function 5 IIEF 5 . Diabetes mellitus was established if fasting glucose level was above 126 mg dL. LUTS was classified into 3 groups mild, moderate, and severe LUTS while ED was classified into 2 groups ED positive and ED negative. Data were analyzed using SPSS ver. 22Results Patients rsquo mean age was 68.83 8.56 years old with most of them had ED 83.33 and also suffered from severe LUTS 80.96 . Diabetes mellitus was observed in 26.19 subjects with mean fasting glucose level was 108.3 21.1 mg dL. IPSS score were significantly correlated with fasting glucose level r 0.879, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyandra Parikesit
"Penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi hubungan antara LUTS/BPH dan sindrom metabolik pada pria Indonesia. Dua ratus dua puluh tujuh pasien dengan BPH diinklusi dalam penelitian ini. Pengukuran indeks masa tubuh, lingkar perut, volume prostat, dan international prostate symptom score (IPSS) dilakukan pada semua pasien. Berbagai pemeriksaan laboratorium seperti prostate specific antigen, gula darah puasa, trigliserida, lipoprotein densitas tinggi telah diuji. Diagnosa sindrom metabolik disesuaikan dengan kriteria dari The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS disubkategorikan menjadi nilai keluhan obstruktif dan iritatif dan sindrom metabolik di kelompokkan sesuai dengan jumlah komponen kriteria (kurang dari 3, 3, 4, dan 5). Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisa hubungan antara seluruh data kontinyu. Nilai rerata antara kelompok faktor resiko dianalisa menggunakan One-way ANOVA untuk data dengan nilai distribusi normal dan Kruskall Wallis untuk data dengan nilai distribusi tidak normal. Pada penelitian ini didapatkan sindrom metabolik pada 87 pasien (38.3 %). Pasien dengan sindrom metabolik memiliki nilai indeks masa tubuh, lingkar perut, tekanan darah sistolik, trigliserida, gula darah puasa, gejala iritatif, dan total IPSS lebih tinggi, dan lipoprotein densitas tinggi lebih rendah secara signifikan. Pasien dengan obesitas sentral memiliki resiko mengalami gejala LUTS/BPH sedang-berat lebih tinggi secara signifikan (RR 1.16, 95% CI: 1.01-1.4, p = <0.05) dan resiko memiliki nilai PSA yang tinggi (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23 -0.74, P = <0.001). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sindrom metabolik memiliki dampak yang terbatas terhadap gejala LUTS/BPH pada pria Indonesia. Hubungan dan peningkatan resiko gejala LUTS/BPH hanya terlihat pada pasien dengan obesitas sentral.

This paper was made to evaluate the association between LUTS/BPH and MetS in Indonesian men. A total of 227 patients with histologic proven BPH were included in this study. Body mass index (BMI), waist circumference (WC), prostate volume, and international prostate symptom score (IPSS) were measured. Prostate specific antigen (PSA), fasting blood glucose (FBG), triglyceride (TG), high density lipoprotein (HDL) were tested. MetS were diagnosed using The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS was subcategorized as irritative and obstructive scores and patients were classified into 4 groups according to the number of exhibited MetS components (less than 3, 3, 4, and 5). Spearman s correlation were used to analyses the association between all continuous variable. Mean difference between risk factor groups were analysed using One-way ANOVA for normally distributed variables and Kruskall Wallis for abnormally distributed variables. In this paper, MetS was diagnosed in 87 patients (38,3%). Patients with MetS have significantly higher BMI, WC, systolic blood pressure, triglyceride, fasting blood glucose, IPSS irritative score, total IPSS score, and lower HDL cholesterol. Patients with central obesity have significantly higher risk of having moderate-severe LUTS (RR 1.16, 95% CI: 1.01 -1.4, p = <0.05) and decreased risk in developing higher PSA level (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23-0.74, P = <0.001). From this paper we could conclude that MetS has limited impact towards LUTS/BPH in Indonesian men. Association and increase risk of LUTS/BPH were only seen in patients with central obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Faisal Abdi
"Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan dan mengevaluasi manajemen gejala saluran kemih bawah LUTS laki-laki sugestif dari benign prostatic hyperplasia BPH oleh dokter umum di Jakarta. Penelitian cross-sectional observasional ini dilakukan pada periode Januari 2013 hingga Agustus 2013 di Jakarta. Peneliti mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang menjelaskan manajemen LUTS laki-laki sugestif BPH oleh dokter dalam praktek sehari-hari pada bulan sebelumnya. Peneliti mengumpulkan kuesioner dari 200 dokter yang berpartisipasi dalam 4 simposium urologi yang diadakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebagian besar dokter berusia antara 25 dan 35 tahun 71,5 dan telah bekerja selama lebih dari 1 tahun 87,5 . Satu sampai lima kasus LUTS pada pria sugestif BPH diobati oleh 81 dokter setiap bulannya. Saat diagnosis, gejala yang paling umum ditemukan adalah retensi urin 55,5 , frekuensi 48 , dan nokturia 45 . Pemeriksaan diagnostik yang lazim termasuk pemeriksaan colok dubur 65 , sistem skoring 44 , pengukuran tingkat antigen spesifik prostat PSA 23,5 , dan penilaian fungsi ginjal 20 . Kebanyakan dokter merujuk pasien pria dengan LUTS sugestif dari BPH ke dokter spesialis urologi 59,5 dan 46,5 dokter umum meresepkan obat-obatan sebagai terapi awal. Antagonis antagonis alfa-adrenergik 71,5 adalah obat yang paling umum diresepkan. Terapi kombinasi dengan antagonis -adrenergik dan inhibitor 5a-reduktase tidak rutin diresepkan 13 . Tiga puluh delapan persen dari dokter umum merujuk pasien ketika retensi urin berulang dan 33 ketika terjadi komplikasi. Penelitian ini memberikan bukti bahwa manajemen LUTS pada laki-laki sugestif BPH oleh dokter umum di Jakarta menyarankan sisitem rujukan sebagian untuk pedoman yang tersedia dalam hal metode diagnostik dan terapi awal. Namun, beberapa aspek dari pedoman, seperti pengukuran tingkat PSA, penilaian fungsi ginjal, urinalisis, pemeriksaan ultrasound, dan peresepan terapi kombinasi, masih jarang dilakukan.

This study was performed to describe and evaluate the management of male lower urinary tract symptoms LUTS suggestive of benign prostatic hyperplasia BPH by general practitioners GPs in Jakarta. This observational cross sectional study was performed between January 2013 and August 2013 in Jakarta. We developed a questionnaire consisting of 10 questions describing the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in their daily practice in the previous month. We collected questionnaires from 200 GPs participating in 4 urology symposiums held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Most GPs were aged between 25 and 35 years 71.5 and had worked for more than 1 year 87.5 . One to 5 cases of male LUTS suggestive of BPH were treated by 81 of GPs each month. At diagnosis, the most common symptoms found were urinary retention 55.5 , frequency 48 , and nocturia 45 . The usual diagnostic workup included digital rectal examination 65 , scoring system 44 , measurement of prostate specific antigen PSA level 23.5 , and renal function assessment 20 . Most GPs referred their male patients with LUTS suggestive of BPH to a urologist 59.5 and 46.5 of GPs prescribed drugs as an initial therapy. Alpha adrenergic antagonist monotherapy 71.5 was the most common drug prescribed. Combination therapy with adrenergic antagonists and 5 reductase inhibitors was not routinely prescribed 13 . Thirty eight percent of GPs referred their patients when recurrent urinary retention was present and 33 when complications were present. Our study provides evidence that the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in Jakarta suggests referral in part to available guidelines in terms of diagnostic methods and initial therapy. However, several aspects of the guidelines, such as PSA level measurement, renal function assessment, urinalysis, ultrasound examination, and prescription of combination therapies, are still infrequently performed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harris Mustafa Banadji
"Peningkatan PSA dapat ditemukan pada semua kelainan terkait prostat, baik keganasan kanker prostat maupun non-keganasan prostatitis . Terdapat hipotesis bahwa pemberian antibiotik diperkirakan dapat menurunkan kadar PSA. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh pemberian antibiotik terhadap penurunan kadar PSA pada pasien yang menderita LUTS yang memiliki kadar PSA tinggi. Penelitian ini menggunakan metode randomisasi-terkontrol yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang mendapat terapi antibiotik dan kelompok yang mendapat plasebo diberikan selama 2 minggu. Nilai PSA diperiksa saat awal dan saat selesai obat. Biopsi prostat dilakukan pada saat selesai konsumsi obat. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan antibiotik dengan penurunan kadar PSA pada penderita LUTS.

To see the effect of antibiotic administrations on PSA level reduction in patients with LUTS who have high PSA level, subjects were collected from urology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo National Hospital using consecutive sampling. Patients who have LUTS went through a selection process using inclusion and exclusion criteria. Selected patients were randomized into two different groups control who receive antibiotics and placebo group. Both groups were then given two weeks length of therapy, assessments for PSA levels before and after drug administrations, and a prostate biopsy at the end of drug administrations.There is no significant association between antibiotic and PSA level reduction in LUTS patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Andre Yudha Alfanius
"Material dan Metode: Kami mendapatkan 50 pasien terpasang DJ stent perendoskopi dan dibagi menjadi kelompok kontrol terdiri dari 25 pasien dan kelompok yang mendapat obat antimuskarinik terdiri dari 25 pasien. Kedua kelompok tersebut kami bandingkan keluhan LUTS dan kualitas hidup pasca pemasangan DJ stent yang dinilai pada saat satu hari setelah lepas kateter dan dua minggu pasca pemasangan DJ stent. Penilaian LUTS pasien dilakukan dengan total skor IPSS dan kualitas hidup pasien dengan pertanyaan QoL.
Hasil: Satu hari pasca lepas kateter antara kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat obat antimuskarinik, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada total skor IPSS, skor IPSS komponen storage symptoms dan voiding symptoms, dan nilai QoL. Dua minggu pasca pemasangan DJ stent pada kedua kelompok didapatkan perbedaan yang bermakna total skor IPSS, skor IPSS komponen storage symptoms dan voiding symptoms, dan nilai QoL, yaitu lebih rendah pada kelompok pasien yang mendapat obat antimuskarinik. Perbandingan antara satu hari setelah lepas kateter dengan dua minggu pasca pemasangan DJ stent pada kelompok obat antimuskarinik, terdapat penurunan dengan perbedaan bermakna pada total skor IPSS, skor IPSS komponen storage symptoms dan voiding symptoms, dan nilai QoL.
Kesimpulan: Pemberian obat antimuskarinik selama jangka waktu tertentu, memberikan perbaikan gejala LUTS, baik voiding symptoms maupun storage symptoms, dan peningkatan kualitas hidup pada pasien-pasien yang terpasang DJ stent.

Objective: To analyze the effect of antimuscarinic drug on LUTS and Quality of Life (QOL) in patients with DJ stent.
Materials and Methods: We analyzed 50 patients who have DJ stent inserted endoscopically and divided the subjects into two groups, 25 patients had anti- muscarinic and 25 patients as the control group. LUTS and QoL were compared in both groups one day after catheter released and at the second week after DJ stent insertion. The severity of LUTS was examined based on total IPSS score and quality of life based on QoL questionnaire.
Results: In day 1 after the catheter released, there were no statistically significant differences on the total IPSS score, storage and voiding symptoms score on IPSS, and QoL score between two groups. Two weeks after DJ stent insertion, there were significant differences on total IPSS score, storage and voiding symptoms score on IPSS, and QoL score between two groups, where the group with anti- muscarinic had lower score than the control group. Group with antimuscarinic drug showed significant decrease of total IPSS score, storage and voiding symptoms score on IPSS and QoL score at the second week after DJ stent insertion compared to the first day.
Conclusion: Antimuscarinic administration for a period of time, improved LUTS symptoms and increased quality of life in patients with DJ stent.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sholichin
"Tujuan: Penelitian ini akan mencari korelasi antara pemeriksaan dengan sistim skoring (IPSS) dan hasil pemeriksaan uroflowmetri (Qmax) serta hasil pemeriksaan urodinamik ( BOOI ). Diharapkan akan diketahui sejauh mana data subyektif pasien berkorelasi dengan data obyektif.
Bahan dan Cara: Data dikumpulkan dari pasien yang dilakukan pemeriksaan di Poliklinik Khusus Urologi sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan Mei 2006 dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
HasiI Penelitian: Terdapat 89 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Umur rata-rata 65,56 ±7,2 tahun. IPSS rata-rata 20,57+7,0. Pancaran kencing maksimal (Qmax) rata-rata 5,94 ±3,5 ml/detik. BOOI kategori obstruksi sebanyak 56 (65,1%) pasien, ekuivokal 20 (23,3%) dan tidak obstruksi sebanyak 10 (11,6%). Koefisien korelasi antara IPSS dan Qmax adalah r = - 0,32 (sangat lemah) signifikansi p = 0,002. Koefisien korelasi antara IPSS dengan BOOI adalah r = 0,28 p = 0,008. Koefisien korelasi antara Qmax dan BOOI adalah r = - 0,45 p = 0,00. Hasil uji Anova didapatkan adanya perbedaaan Qmax yang bermakna p=0,041 (p<0,05) diantara derajat LUTS. Pada penelitian ini tidak ada perbedaan BOOT yang bermakna (p=0,093) diantara derajat LOTS. Tidak ada perbedaan Qmax yang bermakna (p = 0,12 ) diantara BOOT.
Kesimpulan: Keluhan LUTS yang diukur dengan IPSS mempunyai korelasi sangat lemah tetapi signifikan dengan pemeriksaan obyektif yang diukur dengan uroflowmetri dan urodinamik. Pemeriksaan uroflowmetri mempunyai korelasi sangat lemah tetapi signifikan dengan pemeriksaan urodinamik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Meilinda
"Disfungsi ereksi (DE) merupakan disfungsi seksual pada laki-laki yang paling sering ditemukan dan prevalensinya mencapai 76% pada pasien LUTS. Penyebab DE dihubungkan dengan kelemahan otot dasar panggul. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah latihan otot dasar panggul, yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas otot ischiocavernosus dan bulbocavernosus. Biofeedback otot dasar panggul dapat memberikan informasi visual dan auditorik sehingga otot dapat melakukan kontraksi dengan tepat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian biofeedback otot dasar panggul terhadap perbaikan fungsi ereksi pada pasien dengan lower urinary tract symptoms (LUTS). Perbaikan fungsi ereksi dinilai dengan skor IIEF (International Index of Erectile Function), EHS (Erectile Hardness Score), dan kekuatan otot dasar panggul. Perbaikan gejala LUTS juga dinilai dengan skor IPSS (International Index of Prostat Symptoms). Penelitian ini merupakan studi randomized controlled trial pada pasien rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, pada kelompok perlakuan mendapatkan biofeedback otot dasar panggul sebanyak 10 sesi, 2 kali seminggu dan latihan otot dasar panggul dirumah. Kelompok kontrol hanya mendapatkan latihan otot dasar panggul dirumah. Terdapat 21 pasien LUTS yang mengalami disfungsi ereksi (DE). Sebanyak 10 subjek (50%) termasuk dalam kategori DE ringan, 4 subjek (20%) termasuk dalam kategori DE sedang, dan 6 subjek (30%) termasuk dalam kategori DE berat. Dari hasil penelitian didapatkan perbaikan skor IIEF, IPSS, EHS, slow twitch dan fast twitch pada kelompok perlakuan (p-value <0,05), sedangkan pada kelompok kontrol hanya didapatkan perbaikan pada skor IIEF dan IPSS (p-value <0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat perbaikan fungsi ereksi (peningkatan skor IIEF, skor EHS, penurunan skor IPSS dan peningkatan kekuatan otot dasar panggul) setelah pemberian biofeedback otot dasar panggul pada pasien DE dengan LUTS selama 10 sesi.

Erectile dysfunction (ED) is the most common male sexual dysfunction, and its prevalence reaches 76% in LUTS patients. The cause of ED is associated with weakness of the pelvic floor muscles. One of the therapies that can be given is pelvic floor muscle exercises, which aim to increase the activity of the ischiocavernosus and bulbocavernosus muscles. Pelvic floor muscle biofeedback can provide visual and auditory information so that the muscles can contract properly. This research aims to determine the effect of pelvic floor muscle biofeedback on improving erectile function in patients with lower urinary tract symptoms (LUTS). Improvement in erectile function was assessed by scores of IIEF (International Index of Erectile Function), EHS (Erectile Hardness Score), and pelvic floor muscle strength. Improvement in LUTS symptoms was also assessed by an IPSS (International Index of Prostate Symptoms) score. This research was a randomized controlled trial study on outpatients at Cipto Mangunkusumo General Hospital. Subjects in this study were divided into 2 groups, the treatment group received 10 sessions of pelvic floor muscle biofeedback, 2 times a week and pelvic floor muscle exercises at home. The control group only got pelvic floor muscle exercises at home. There were 21 LUTS patients who experienced erectile dysfunction (ED). A total of 10 subjects (50%) were included in the mild ED category, 4 subjects (20%) were included in the moderate ED category, and 6 subjects (30%) were included in the severe ED category. From the results of the study, it was found that the scores for IIEF, IPSS, EHS, slow twitch and fast twitch were improved in the treatment group (p-value <0.05), whereas in the control group there were only improved in IIEF and IPSS scores (p-value <0.05 ). The conclusion of this study was that there was an improvement in erectile function (increased IIEF score, EHS score, decreased IPSS score and increased pelvic floor muscle strength) after administering pelvic floor muscle biofeedback to patients ED with LUTS for 10 sessions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadhil Ardiyansyah
"Latar belakang: Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) merupakan masalah prostat yang umum terjadi pada laki-laki, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat disebabkan oleh PPJ akibat dari obstruksi pada Bladder outlet, instrumentasi, bahkan akibat dari sistoskopi atau kateterisasi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola kuman dan kuman terbanyak yang menyebabkan ISK pada pasien PPJ di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
Metode: Data dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito mulai Januari 2001 sampai Desember 2011. Pola kuman dan sensitivitas obat dicatat.
Hasil: Terdapat 92 pasien dengan usia 46-95 tahun yang didiagnosis dengan PPJ dan Prostatitis. Didapatkan 81,40% merupakan bakteri gram negatif, 9,3% bakteri gram positif, dan 9,3% jamur. Kemudian didapatkan Streptococcusfaecalis (11,62%) merupakan bakteri gram positif terbanyak yang ditemukan di dalam kultur urin. Obat yang dipakai untuk sensitivitas melipuit : Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim-Sulfamethoxazole.
Kesimpulan: Bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan BPH adalah Pseudomonas aerogenosa (25.58%) dan bakteri yang paling jarang ditemukan adalah Citrobacterfreundii (2.32%). Menurut penelitian ini, 82.05% pasien BPH dengan infeksi saluran kemih sensitif terhadap pengobatan dengan Imipenem, diikuti dengan Amikacin (74.35%).

Background: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is the most common condition in men with prostate problems. Urinary tract infection can be caused by BPH due to Bladder outlet obstruction, instrumentation either from cystoscopy or catheterization.
Objective: The aim of this study is to describe microorganism pattern and the most common caused urinary tract infection in BPH patient hospitalized in Dr. Sardjito general hospital.
Method: Data were retrospectively collected from Dr. Sardjito general hospital medical record patients from January 2011 to December 2011. Microorganism pattern and drug sensitivity data were collected.
Results: There were 92 patients age 46-95 years old diagnosed histophatologically as BPH and prostatitis. The 81.40% microorganism pattern were Gram negative bacteria, 9.3% Gram positive bacteria and 9.3% yeast. On the other hand , Streptococcus faecalis (11,62%)is the main gram positif bacteria found in the urine culture. The drug used for sensitivity including; Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim, and Sulfamethocazole.
Conclusion: The most frequent bacteria found in BPH patients is Pseudomonas Aerogenosa (25.58%) and the least frequentbacteria is Citrobacter freundii (2.32%). According to this study, 82.05% UTI patients sensitive to Imipenem medication, followed by Amikacin (74.35%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pramaviri
"Gejala saluran kemih bawah LUTS pada laki laki seringkali dikaitkan dengan pembesaran prostat jinak BPH yang menyebabkan obstruksi infravesika yang sering diikuti oleh trabekulasi sehingga terjadi gangguan fungsi kandung kemih Reseksi prostat transuretra TURP adalah tindak baku emas yang bertujuan untuk menghilangkan obstruksi ini Namun gejala LUTS masih banyak dikeluhkan setelah dilakukan TURP Penelitian cross sectional ini dilakukan untuk mencari hubungan antara gejala LUTS pasca TURP dengan derajat trabekulasi dan volume kandung kemih di RSUP H Adam Malik Medan Selama tahun 2013 didapatkan 39 pasien BPH rata rata umur 68 36 7 638 tahun dengan retensi urin berulang yang dilakukan tindakan TURP Dari keseluruhan sampel kelompok yang terbanyak ditemukan adalah derajat trabekulasi sedang 35 9 dan volume kandung kemih 200 cc 46 2 Dua puluh dua sampel 56 4 mengeluhkan LUTS ringan dengan rerata IPSS total 6 28 3 986 Derajat trabekulasi dan volume mempunyai korelasi positif kuat 0 661 dan 0 723 p value.

Lower urinary tract symptoms LUTS in older male is often associated with benign prostate hyperplasia BPH and caused bladder outlet obstruction BOO with the consequential trabeculation that impair bladder contractility and viscoelasticity Transurethral resection of the prostate TURP is the gold standard for relieving BPH caused BOO Nevertheless many still complained of persisting symptoms even after undergoing TURP This cross sectional study was conducted to analyze the correlation between bladder volume and trabeculation in determining LUTS after TURP in BPH patient In 2013 bladder trabeculation and volume was measured during TURP from 39 BPH patients with recurrent urinary retention and were re evaluated 6 months after The most common findings were moderate trabeculation 35 9 bladder volume 200cc 46 2 and mild degree LUTS 56 4 after TURP with mean IPSS 6 28 3 986 Bladder trabeculation and volume are positively and strongly correlated with LUTS after TURP 0 661 and 0 723 respectively p value 0 01 Analytical linear regression found that these two variables are significant factors in determining LUTS after TURP with positive predictive value of 62 In conclusion bladder trabeculation and volume had strong significant correlation with LUTS after TURP although there are other possible determining factors that are not included in the study
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahril
"Objektif : Untuk mengetahui korelasi antara Disfungsi Ereksi dengan berat Chips Prostat, Volume Prostat dan lamanya waktu TURP pada BPH.
Metode : Penelitian ini merupakan prospektif deskriptif. Semua pasien BPH yang menjalani TURP di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Juni 2001 - Desember 2002 dimasukkan kedalam penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan kwesioner International Index Erectile Function-5 (IIEF-5) untuk menilai keadaan fungsi ereksi sebelum dan dua bulan setelah operasi TURP. Pasien yang mengalami disfungsi ereksi sebelum operasi diekslusi dari penelitian ini.
Hasil: Didapatkan 15,4 % pasien disfungsi ereksi setelah TURP dengan usia rata rata 60,3 ± 4,2 tahun dan didapatkan korelasi yang signifikan antara disfungsi ereksi dengan beratnya chips prostat ( p =0,02 ). Dari analisis regresi diasumsikan bahwa setiap 1 gram chips prostat yang direseksi akan mengakibatkan kemungkinan disfungsi ereksi 0,4 %.

Objective: To determine the correlation between erectile dysfunction and tissue removed at transurethral resection of prostate, volume of the prostate and duration time of resection in Benign Prostate Hyperplasia.
Method: This was a descriptive prospective study. All BPH patients underwent transurethral resection of the prostate in Hasan Sadikin Hospital Bandung during June 2001 - December 2002 was included in this study. International Index Erectile Function-5 (IIEF-5) questionnaires was used to evaluate these subjects preoperatively and two months after operation. Patients with erectile dysfunction before operation were excluded from this study.
Results: After TURP procedure, 15.4 % patients had erectile dysfunction, with mean age 60.3 ± 4.2 years old. We found significant correlation between prostate chips weight resected during TURP and erectile dysfunction (p = 0.02). By regression analysis, it was assumed that every 1 gram resected prostate chip increased the likelihood of erectile dysfunction 0.4%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>