Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26190 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maulina Rachmasari
"ABSTRAK
Latar Belakang:Teknik conventional two flap palatoplasty akan menimbulkan defek lateral tanpa adanya pelindung periosteum. Defek lateral yang terbuka ini akan menyebabkan rentannya terkena kontaminasi dan infeksi. Hal inilah yang akan menimbulkan kontraksi luka, pembentukan skar dan mengganggu pertumbuhan maxilla.Tahun 2011, terdapat studi mengenai teknik ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo;. Teknik ini meninggalkan sebagian periosteum yang diharapkan dapat mempercepat proses epitelisasi pada defek lateral. Epitelisasi yang lebih cepat diharapkan mengurangi terjadinya kontraksi luka dan kedepannya dapat tercapai pertumbuhan maksila yang baik.Metode:Merupakan studi kasus kontrol yang terdiri atas 2 grup membandingkan pertumbuhan maksila pasien dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit yang dikerjakan dengan teknik conventional ldquo;Two Flap Palatoplasty rdquo; dan teknik ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo;. Hasil pengukuran cephalometri dicatat serta dibuat cetakan gigi untuk tiap pasien kemudian dikategorisasi menggunakan metode GOSLON YARDSTICK. Data yang diperoleh dianalisis dengan SPSS versi 20.Hasil:Terdapat 4 pasien di kelompok ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo; dan 10 pasien pada teknik conventional ldquo;Two Flap Palatoplasty rdquo;. Hasil pengukuran cephalometri SNA, SNB dan ANB menunjukkan bahwa kedua grup tersebut masuk dalam golongan maloklusi tipe III defisiensi maksila . Sementara hasil GOSLON Yardstick memperlihatkan GOSLON tipe III sebagai kelompok yang sering ditemukan bagi kedua grup dengan reliabilitas inter-rater baik p=0.839 . Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi antara variabel cephalometri dengan skor GOSLON.Kesimpulan:Hasil studi kami menunjukkan bahwa teknik modifikasi ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo; tidak berhubungan secara signifikan terhadap pertumbuhan maksila. Namun penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu ukuran sampel yang sedikit karena faktor keluarga, sosial dan faktor lainnya yang berada di luar kendali tim peneliti. Selain itu usia pasien yang dievaluasi ialah 7-9 tahun, dimana hasil ini bukan merupakan hasil akhir. Kata Kunci: Evaluasi pertumbuhan maksila, cephalometri, GOSLON YARDSTICK, Two Flap Palatoplasty

ABSTRACT
Background Conventional Two Flap Palatoplasty technique will made lateral defects without any periosteal coverage. These denuded lateral defects are prone to contamination and infection. These will result in wound contraction, scar formation and maxillary growth impairment.In 2011, we studied ldquo The Non Denuded Palatoplasty rdquo technique. This technique precipitated the epithelialization process of the lateral defects. Faster epithelialization is expected to decrease wound contraction and in the long run will result in good maxillary growth.Methods This is a case control study to compare the maxillary growth of 2 groups consists of unilateral cleft lip and palate patients repaired with ldquo The Non Denuded Palatoplasty rdquo technique and Conventional Two Flap Palatoplasty. The outcome will be evaluated from cephalometry and the dental cast for each patient areevaluated using GOSLON YARDSTICK method. Data will be analyzed using SPSS version 20.Results A total of 4 patients in The Non Denuded Palatoplasty group and 10 in the Conventional Two Flap Palatoplasty. The cephalometric SNA, SNB and ANB point showed Class III skeletal jaw relationship or deficient maxilla. While the GOSLON yardstick type III are the frequent GOSLON on both group with good inter ratter reliability p 0.839 based on Mann Whitney test. In these study there were no correlation between cephalometric variables with GOSLON score.Conclusion Our results showed that modification The Non Denuded Palatoplasty technique made no statistically significant difference to the maxillary growth. However this study has several limitations, which are the sample size was small due to family, social and other factors that are beyond the control of the investigating team. Also the age of evaluation 7 9 years , means that the result is not the final outcome. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rienna Diansari
"Latar Belakang: Menurut Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, laju kematian akibat patologi aorta torakalis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan median pertambahan percepatan +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 pada tahun 1990 dibandingkan 2010. Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan penambahan laju kematian tertinggi yaitu 41%. Di Indonesia, pasien datang dalam kondisi penyakit lanjut karena keterlambatan diagnosis dan manajemen dan hal ini menjadikan pasien berada pada kondisi patologi aorta yang kompleks. Kondisi patologi aorta yang kompleks tentunya membutuhkan tindakan bedah aorta yang kompleks pula. Sejauh ini belum terdapat studi yang secara khusus meneliti luaran klinis bedah aorta torakalis kompleks dibandingkan dengan non-kompleks, terutama pada populasi di negara berkembang.
Tujuan: Mengetahui hubungan kompleksitas pembedahan dengan mortalitas in-hospital dan kesintasan jangka menengah pasca bedah aorta torakalis serta faktor lain yang berhubungan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder. Dilakukan pengambilan data dasar melalui rekam medis dan registri terhadap pasien pasca bedah aorta torakalis (1 Januari 2018 – 31 Desember 2021) di PJNHK. Analisa kesintasan 1 dan 3 tahun dilakukan dengan follow up melalui telepon dan pesan digital. Kemudian dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kompleksitas pembedahan sebagai prediktor utama serta variabel lainnya dengan luaran primer (mortalitas in-hospital) dan sekunder (kesintasan jangka menengah).
Hasil: Total 208 pasien diinklusikan ke dalam analisis luaran primer; 157 (75,5%) menjalani bedah aorta torakalis kompleks dan 51 (24,5%) menjalani bedah aorta torakalis non-kompleks. Mortalitas in-hospital serupa pada kedua kelompok (23,6% vs 13,7%; p = 0,194). Pada analisa multivariat, sindrom malperfusi (OR 3,560; p = 0,002), durasi CPB > 180 menit (OR 4,331; p = 0,001), dan prioritas pembedahan (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) adalah prediktor independen mortalitas in-hospital. Follow-up kesintasan 1 dan 3 tahun pasca bedah aorta torakalis adalah 92,6% dan 80,3%, secara berurutan. Regresi Cox mengidentifikasi diabetes (HR 4,539; p = 0,025) dan status prosedur emergensi (HR 9,561; p = 0,015) sebagai prediktor independen mortalitas 1 tahun, dan diabetes (HR 3,609; p = 0,004), diseksi aorta (HR 2,795; p = 0,029) dan diameter aorta maksimum (HR 1,034; p = 0,003) sebagai prediktor independen mortalitas 3 tahun. Kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah.
Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani tindakan bedah aorta torakalis terbuka, kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah. Kesintasan jangka pendek dan menengah lebih banyak dipengaruhi faktor komorbid maupun faktor durante pembedahan

Background: According to Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, a prominent increase of overall global death rate is seen on developing country compared to developed country, with relative change in median daeath rate of +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 in 1990 vs 2010. South-east Asia is nation with highest increase of 41%. This is due to delayed in diagnosis and treatment and leads to late stage and complex aortic disease. The more complex the disease, the more complex the surgical procedure will be. Up until now, there is no data regarding the impact of surgical complexity on short and mid-term survival in patients underwent aortic surgery, especially in developing country.
Objectives: This study aimed to investigate the impact of surgical complexity on short and mid-term mortality and other influencing factors.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of patients underwent thoracic aortic surgery (January 1st, 2018 to December 31st, 2021) in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). One-year and 3-year survival analysis was obtained through phone calls and digital messages. Statistical analysis was done to investigate the impact of surgical complexity as the main predictor and other variables on primary (in-hospital mortality) and secondary (mid-term survival) outcome.
Results: A total of 208 patients were included in the analysis; 157 (75,5%) underwent complex surgery, and 51 (24,5%) underwent non-complex surgery. In-hospital mortality was similar actoss 2 groups (23,6% vs 13,7%; p = 0,1240). On multivariable analysis, malperfusion syndrome (OR 3,560; p = 0,002), CPB duration > 180 minutes (OR 4,331; p = 0,001), and surgical priority (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) were identified as independent predictor of in-hospital mortality. One and 3-year survival were 92,6% and 80,3%, respectively. Cox regression identified diabetes (HR 4,539; p = 0,025) and emergency procedure (HR 9,561; p = 0,015) as independent predictors for 1-year mortality, and diabetes (HR 3,609; p = 0,004), aortic dissection (HR 2,795; p = 0,029), and maximum aortic diameter (HR 1,034; p = 0,003) for 3-year mortality. Surgical complexity was not associated with early and mid-term mortality.
Conclusions: In patients undergoing thoracic aortic surgery, surgical complexity was not associated with early and mid-term survival. Short and mid-term survival was largely determined by patient comorbidities and intra-surgery factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Ayu Sawitri Octavira
"Latar Belakang: Aktifitas fisik seperti berlari dapat mempengaruhi sekresi dan komposisi saliva, termasuk protein saliva di dalam rongga mulut, salah satunya protein SMBP. Protein saliva diketahui dapat memfasilitasi pertumbuhan biofilm bakteri.
Tujuan: Mengetahui pengaruh protein Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari terhadap pertumbuhan biofilm P. gingivalis.
Metode: Studi eksperimental ini menggunakan teknik sampling purposive. Pemilihan subjek pelari dan nonpelari didasarkan riwayat lari dan pengukuran VO2max. Streptococcus mutans binding salivary protein diidentifikasi menggunakan SDS-PAGE. Streptococcus mutans binding salivary protein didapatkan melalui interaksi protein saliva pelari dan nonpelari dengan bakteri S. mutans. Uji biofilm pertumbuhan bakteri P. gingivalis ATCC 33277 menggunakan pewarnaan crystal violet. Data yang didapat kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji korelasi.
Hasil: Protein SMBP memfasilitasi pertumbuhan biofilm P. gingivalis pada inkubasi 3 jam maupun 24 jam.
Kesimpulan: Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari memfasilitasi perumbuhan biofilm P. gingivalis.

Background: Physical activity such as running can affect salivary secretion and composition, including salivary proteins in the oral cavity, such as salivary protein SMBP. Salivary proteins are known to inhibit or facilitate the growth of bacterial biofilms. Salivary protein can facilitate or inhibit the growth of bacteria.
Objective: To determine the effect of Streptococcus mutans binding salivary protein towards the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
Methods: This experimental study used purposive sampling and VO2max test to determine runners and non runners. Protein profile samples were identified using SDS PAGE. S. mutans salivary protein was obtained from binding of salivary protein and S. mutans. Biofilm assay P. gingivalis ATCC 33277 growth towards Streptococcus mutans binding salivary protein salivary protein was conducted using the dye crystal violet assay. The data was statistically analyzed using correlation test.
Results: Salivary protein of Streptococcus facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm on incubation time 3 and 24 hours.
Conclusion: Salivary protein of Streptococcus mutans collected from runners and non runners facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Wydya Yenny
"ABSTRAK
Penyebab PV adalah Malassezia spp. atau disebut juga Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ova/a, merupakan jamur serupa ragi yang bersifat saprofit, dalam kondisi tertentu berubah menjadi bentuk miselium yang bersifat patogen. Dalam hal kesembuhan, PV prognosisnya baik tetapi masalah utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Tingkat kekambuhan pada tahun pertama setelah pengobatan 60% dan pada tahun kedua setelah pengobatan 80%. Hal ini terjadi karena Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit, kadang terdapat lebih dalam pada folikel rambut, selain itu juga karena faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Berbagai faktor yang berperan pada penyakit ini antara lain faktor lingkungan yang lembab dan panas, pakaian tertutup, genetik, hormonal, imunodefisiensi, kulit berlemak, malnutrisi, hiperhidrosis, pengobatan dengan kortikosteroid atau imunosupresan, dan penggunaan antibiotika jangka lama, serta pemakaian kontrasepsi oral. Faktor lingkungan yang berperan pada PV antara lain adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Kelembaban kulit dinilai dengan mengevaluasi skin capacitance (SC) dan transepidermal water loss (TEWL). Pada kulit normal SC dan TEWL seimbang, pada kulit lembab SC meningkat sedangkan TEWL berkurang. Pada pasien PV diduga kelembaban kulit tinggi.
Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai hubungan PV dengan kelembaban kulit. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat membantu memberikan asupan dalam penatalaksanaan PV.
Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit. Pada kondisi tertentu bentuk ragi berubah menjadi bentuk miselia yang memberi gambaran Minis PV. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah kelembaban kulit yang tinggi, yang dicerminkan oleh SC dan TEWL.
Perumusan masalah
Apakah ada perbedaan skin capacitance dan transepidermal water loss kulit non-lesi pasien pitiriasis versikolor dengan non-pitiriasis versikolor?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Octavia
"Tujuan: Menganalisis hubungan antara ukuran saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan 126 sampel dengan usia 20-40 tahun yang dipilih secara konsekutif dan dibagi menjadi 2 grup berdasarkan sudut ANB yaitu : maloklusi kelas I dan II, kemudian dikelompokkan lagi menjadi 6 kelompok uji berdasarkan pola pertumbuhan skeletal vertikal (hipo-, normo-, dan hiperdivergen). Saluran pernapasan faring atas dan bawah diukur menggunakan analisis McNamara, sementara panjang saluran pernapasan faring diukur dari titik PNS-Eb. Uji hubungan ukuran saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal dilakukan menggunakan uji Pearson’s Chi-Square dan dilanjutkan dengan uji korelasi Gamma untuk melihat arah hubungannya. Hasil: Analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lebar saluran pernapasan faring atas dan bawah pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Panjang saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas II juga menunjukkan tidak ada hubungan dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal, berbeda dengan maloklusi kelas I yang menunjukkan adanya hubungan antara panjang saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Kesimpulan: Meskipun hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi lebar saluran pernapasan faring atas pada maloklusi kelas II menunjukkan pola yang unik yaitu saluran pernapasan faring atas menyempit pada pola pertumbuhan skeletal vertikal yang semakin divergen. Temuan unik lainnya dari penelitian ini adalah panjang saluran pernapasan faring berkorelasi positif dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal pada maloklusi kelas I, yaitu semakin panjang saluran pernapasan faring dengan meningkatnya pola pertumbuhan skeletal vertikal.

Objective: To analyse the correlation between the pharyngeal airway morphology in class I and II malocclusions with vertical skeletal growth patterns. Methods: This cross-sectional study was involved 126 samples aged 20-40 years who were selected by consecutive sampling and divided into 2 groups; class I and class II malocclusions according to ANB angle. This group will be further be divided into 6 test groups based on the vertical skeletal growth patterns (hypodivergent, norm divergent, and hyperdivergent). Upper and lower pharyngeal airway width were measured using McNamara analysis, while pharyngeal airway length was measured from the PNS-Eb point. Pearson's Chi-Square test was used to test the correlation between pharyngeal airway morphology and vertical skeletal growth patterns and proceed with the Gamma correlation test to see the direction of the correlation. Results: Statistical analysis showed that there was no correlation between the upper and lower pharyngeal airway width in Class I and II malocclusions with vertical skeletal growth pattern. The length of the pharyngeal airway in class II malocclusion also showed no correlation with the vertical skeletal growth pattern, in contrast to the class I malocclusion which showed a statistical correlation between the pharyngeal airway length and the vertical skeletal growth pattern. Conclusion: Although the results of statistical analysis showed no statistical correlation, the upper pharyngeal airway width in class II malocclusion showed a unique trend, that the upper pharyngeal airway width narrowed with an increasingly vertical skeletal growth pattern. Another trend finding from this study is that the length of the pharyngeal airway is positively correlated with the vertical skeletal growth pattern in class I malocclusion i.e., the longer the pharyngeal airway, the greater were the vertical skeletal growth pattern.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Shiddiq Al Hanif
"Latar Belakang. Penyakit kardiovaskular masih merupakan masalah kesehatan utama global. Banyak penelitian menghubungkan kondisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pada pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) dengan luaran klinis yang lebih buruk. Mengetahui peran faktor-faktor yang mempengaruhi Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) pada pasien SKA dengan PGK penting dalam upaya pencegahan luaran yang buruk.
Tujuan. Mengetahui hubungan skor Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE), skor Gensini, Left Ventricular Hypertrophy (LVH), dan Rasio Netrofil Limfosit (RNL) terhadap kejadian MACE 30 hari pasien SKA yang mengalami PGK non-dialisis.
Metode. Desain penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis117 pasien SKA yang menjalani PCI di Rumah Sakit Umum Pemerintah Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2018 hingga Juni 2018. Pasien dibagi berdasarkan derajat PGK serta dinilai MACE 30 hari. Dilakukan pencatatan data skor GRACE, skor Gensini, LVH, dan RNL. Analisis hubungan faktor-faktor tersebut dilakukan menggunakan uji chi square.
Hasil. Dari 117 pasien 62,3% ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI), pada akhir perawatan 67,5% pasien termasuk dalam kelompok derajat 1-2 PGK, 17,1% dalam kelompok PGK derajat 3a-3b dan 15,4% dalam kelompok PGK derajat 4-5. MACE terjadi pada 47 (40,2%) pasien dengan 17 (14,5%) mengalami kematian.Terdapat hubungan bermakna antara skor GRACE dengan MACE (54,8% MACE pada skor GRACE tinggi vs 32% MACE pada
skor GRACE rendah-sedang ( p = 0,016) (OR : 2,57 IK95% : 1,18-5,59), sedangkan pada skor Gensini,LVH dan RNL walaupun terdapat peningkatan proporsi MACE namun tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan. Skor GRACE berhubungan dengan MACE 30 hari pasien SKA dengan PGK non dialisis.

Background. Cardiovascular disease is still a major global health problem. Many studies have linked Chronic Kidney Disease (CKD) in Acute Coronary Syndrome (ACS) patients with worse clinical outcomes. Knowing the role of factors that influence MACE in ACS with CKD patients is important in preventing poor outcomes.
Objective. To determine the relationship between GRACE scores, Gensini scores, LVH, and NLR to the 30-day MACE incidence in ACS patients with CKD.
Method. This study is a retrospective cohort study using secondary data from the medical records of 117 ACS patients who underwent PCI at the Cipto Mangunkusumo Government General Hospital from January 2018 to June 2018. Patients were divided based on the degree of CKD and assessed for 30-day MACE. Data were recorded on GRACE scores, Gensini
scores, LVH, and RNL. Analysis of the relationship between these factors was carried out using the Chi Square test.
Results. Of the 117 patients 62.3% were STEMI, at the end of hospital treatment 67.5% were in the normal-grade 2 CKD group, 17.1% in the CKD grade 3a-3b group and 15.4% in the CKD grade 4-5 group. MACE occurred in 47 (40.2%) patients with 17 (14.5%) dying. There was a significant relationship between GRACE scores and MACE (54.8% MACE at high GRACE scores vs. 32% MACE at low-moderate GRACE scores (p = 0.016) (OR : 2,57
CI95% : 1,18-5,59)), while the Gensini score, LVH and NLR scores even though there was an increase in the proportion of MACE but no significant relationship was found.
Conclusion. The GRACE score correlates with the 30-day MACE of ACS with non- dialysis
CKD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Purwono
"Latar Belakang: Efusi pleura ganas menunjukkan prognosis yang buruk sehingga sitologi cairan pleura berperan penting dalam mempersingkat waktu diagnosis. Teknik barbotage diketahui bermanfaat dalam meningkatkan nilai diagnostik sitologi pada karsinoma urotelial, namun belum diketahui perannya pada keganasan rongga toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan deteksi sel ganas dan hitung jumlah sel tumor antara pungsi pleura konvensional dan dengan teknik barbotage pada keganasan rongga toraks.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kesesuaian dengan desain potong lintang yang dilakukan di IGD, poli intervensi paru dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2022 – Juni 2023. Subjek penelitian adalah pasien keganasan rongga toraks dengan EPG yang dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Sitologi cairan pleura diperiksa menggunakan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa dari sampel pungsi pleura konvensional dan barbotage pada subjek yang sama. Data karakteristik klinis, radiologis, laboratorium dan histopatologis diambil dari rekam medis.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 34 dari 84 subjek EPG menunjukkan sitologi positif pada keseluruhan teknik (40,5%). Teknik konvensional dan barbotage menunjukkan hasil serupa yaitu 39,3%. Deteksi sel ganas dengan teknik konvensional dan barbotage menunjukkan kesesuaian sangat baik yang bermakna (ĸ=0,950; p<0,001). Deteksi sel ganas dengan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa juga menunjukkan kesesuaian sangat baik (ĸ=0,899 dan 0,924; p<0,01). Hitung jumlah sel tumor antara kedua teknik dengan masing-masing pewarnaan menunjukkan kesesuaian cukup (ĸ=0,556 dan 0,520; p<0,01). Analisis multivariat menunjukkan bahwa lokasi lesi primer di paru (OR 4,61; IK 95% 1,33 – 16,03) dan cairan pleura yang keruh (OR 3,41; IK 95% 1,19 – 9,83) memengaruhi hasil sitologi positif cairan pleura.
Kesimpulan: Studi ini merupakan studi pertama yang meneliti mengenai penggunaan teknik barbotage pada tindakan pungsi pleura. Pungsi pleura dengan teknik barbotage merupakan alternatif diagnostik yang secara umum aman dan setara dengan teknik konvensional.

Background: Malignant pleural effusion is a predictor of poor prognosis, therefore pleural fluid cytology is an important tool to shorten the time of diagnosis. Barbotage technique is known to increase diagnostic value in urothelial malignancy, but its role in thoracic malignancies is still unknown. This study aims to compare pleural fluid cytology positivity and tumour cell count between thoracentesis with conventional and barbotage technique in thoracic malignancies.
Methods: This study is a measurement of reliability using a cross-sectional design which was carried out in emergency department, pulmonary intervention clinic and ward of National Respiratory Center Persahabatan Hospital in November 2022 – June 2023. The subjects of this study were thoracic malignancy patients with MPE who met the inclusion and exclusion criterias. Pleural fluid cytology was examined using Papanicolaou and Giemsa stains from conventional and barbotage thoracentesis samples taken on the same subject. Clinical, radiological, laboratory and histopathology data were collected from medical records.
Results: Pleural fluid cytology using both techniques was diagnostic in 34 of 84 (40,5%) MPE patients and 39,3% in each conventional and barbotage technique. Thoracentesis with both techniques showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.950; p<0,001). Papanicolaou and Giemsa stains also showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.899 and 0.924; p<0.001). Tumour cell count between both techniques using each stain showed significantly moderate agreement (ĸ=0.556 and 0.520; p<0.01). Multivariate analysis showed that primary lesion in the lung (OR 4.61; 95% CI 1.33 – 16.03) and cloudy pleural fluid (OR 3.41; 95% CI 1.19 – 9.83) increased the odds of positive pleural cytology.
Conclusion: To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate thoracentesis with barbotage technique. Thoracentesis with barbotage technique is a generally safe alternative procedure and equivalent to conventional technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Rachman
"Penyakit tidak menular PTM merupakan penyebab utama kematian secara global saatini. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan masyarakat kota Depok terancam bahaya danrisiko PTM, termasuk juga salah satunya Pegawai Negeri Sipil PNS Balaikota Depok. Namun demikian hasil kegiatan skrining PTM pada PNS di lingkungan Balaikota Depok menunjukkan partisipasi yang cukup rendah 46,4. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah secara mendalam tentang pemanfaatan pelayanan skrining PTM oleh PNS Balaikota Depok. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan desain Rapid Assesment Procedure. Pengumpulan data dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terfokus, Wawancara Mendalam serta observasi telaah dokumen yang dilaksanakan pada bulan April-Juni 2018 di Balaikota Depok. Hasil penelitan menunjukkan pengetahuan informan tentang PTM dan skrining PTM masih perlu ditingkatkan. Hambatan yang dirasakan informan dalam mengikuti skrining PTM adalah : 1 adatugas lain yang harus dikerjakan, 2 kurangnya informasi tentang kegiatan skrining PTM, 3 harus mengantri lama, 4 takut diketahui penyakit yang ada pada dirinya, 5 pelaksanaan kegiatan yang tidak memperhatikan privasi peserta. Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa belum ada kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan skrining PTM untuk PNS di Balaikota Depok. Belum ada pengorganisasian serta SOP khusus untuk pelaksanaan skrining PTM. Sosialisasi perlu dimaksimalkan untuk meningkatkan pengetahuan PNS tentang PTM dan pentingnya mengikuti skrining PTM. Dukungan kebijakan dan kerjasama baik lintas program dan lintas sektor juga diperlukan untuk keberhasilan program dimasa yang akan datang. Adanya pengorganisasian serta SOP untuk pelaksanaan skrining PTM akan menghasilkan program skrining PTM yang lebih berkualitas, efektif dan efisien.

Qualitative Study about Utilization of Non Communicable Disease Screening Service by Civil Servants at The Town Hall Depok. Non communicable diseases NCDs are the leading cause of death globally today. The results of Indonesia 39s basic health research in 2013 show that the people of Depok city at risk of NCDs, including Civil Servants at Depok City Hall. However, the results of the NCDs screening program for civil servants at the City Hall of Depok showed relatively low participation 46.4. The purpose of this study was to investigate in depth the utilization of NCDs screening services by civil servants at the City Hall of Depok. This study was a qualitative research with the design of Rapid Assessment Procedure. Data collection was done through focus group discussion, in depth interview and observation of document review conducted in April June 2018 at City Hall Depok. The results showed that informant knowledge about NCDs and NCDs screening still needed to be improved. The barriers felt by informants in following NCDs screening were 1 there were other jobs to be done, 2 lack of information, 3 long queues, 4 fear of known illness present in itself, 5 not paying attention to the privacy of the participants. In addition, this study also found that there is no policy that regulates theimplementation of this program. The program also has not conducted any organizing and special SOP. Socialization needs to be maximized to improve civil servant knowledge about NCDs and the importance of NCDs screening. Good policy and cooperation support across programs and across sectors is also needed for future program success. Attendance of organizing and SOP will result in a more qualified, effective and efficient program."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49877
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sugiartati Arif
"Latar Belakang: Variasi pada posisi nasion dapat mengubah nilai SNA yang berpengaruh secara signifikan pada interpretasi hubungan rahang sebagai contoh, semakin ke anterior atau superior posisi nasion maka semakin kecil nilai SNA yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai ANB dan perubahan nilai estimasi pada pola skeletal rahang. Titik S dan N yang mewakili bidang basis kranium anterior yang berperan dalam menentukan pola skeletal rahang. Garis S-N yang tidak sesuai dapat mempengaruhi hasil pada analisa sefalometri lateral dengan keadaan S-N yang sangat miring terhadap FHP akan menghasilkan ketidaksesuaian hasil analisa sefalometri lateral dengan keadaan morfologi yang sebenarnya sehingga diperlukan alternatif lain dalam menegakkan diagnosis, antara lain dengan menganalisis basis kranium posterior (S-Ba).
Tujuan: Menganalisis hubungan antara inklinasi basis kranium posterior dengan berbagai pola skeletal rahang.
Metode: Subjek penelitian menggunakan sefalogram lateral pada pasien laki-laki dan perempuan berusia 20-45 tahun yang belum melakukan perawatan ortodonti. Sefalogram lateral dalam kondisi baik dan terlihat jelas serta memiliki kemiringan bidang S-N terhadap bidang Frankfort 5°-7° dengan mengelompokkan masing-masing sefalogram berdasarkan pola skeletal rahang kelas I, kelas II dan kelas III.
Hasil: Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara basis kranium posterior terhadap pola skeletal rahang kelas II dan kelas III (p<0,05).
Kesimpulan: Rata-rata inklinasi basis kranium posterior pada kelompok pola skeletal II lebih besar (mandibula retrognati) dibandingkan pola skeletal kelas III (mandibula prognati). Terdapat perbedaan bermakna antara inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas I dan kelas III, kelas II dan kelas III. Selain itu terdapat hubungan inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas II dan kelas III yaitu moderate signifikan pada populasi di Jakarta.

Introduction: Variations in the position of nasion could significantly affect the SNA value, which in turn influences the interpretation of jaw relationships. For example, as nasion position moves more anterior or superior, the SNA value decreases, ultimately affecting the ANB value and altering the estimated jaw skeletal patterns. Points S and N represent the anterior cranial base, a crucial role in determining the skeletal jaw patterns. Improper S-N line can affect lateral cephalometric analysis results, as a highly tilted S-N line relative to the Frankfort Horizontal Plane (FHP) can lead to discrepancies between the analysis results and true morphology. Therefore, alternative methods, such as analyzing the posterior cranial base (S-Ba), are needed to establish a diagnosis.
Objective: To determine relationship between posterior cranial base inclination and skeletal jaw patterns.
Materials and Methods: The study included male and female subjects aged 20-45 who had not undergone orthodontic treatment. Lateral cephalograms with clear visibility and a 5°-7° tilted of the S-N plane relative to the Frankfort plane were selected. The cephalograms were grouped based on the skeletal jaw patterns: Class I, Class II, and Class III.
Results: Spearman correlation tests showed a relationship between the posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns (p<0.05).
Conclusions: The average inclination of the posterior cranial base was greater in the Class II skeletal jaw patterns group (retrognathic mandible) compared to the Class III skeletal jaw patterns group (prognathic mandible). Significant differences were observed in the inclination of the posterior cranial base between Class I and Class III then between Class II and Class III skeletal jaw patterns. Furthermore, there was a moderate significant relationship between posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns within the Indonesian Subpopulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Safira
"Latar Belakang: Impaksi makanan merupakan salah satu faktor lokal penyebab penyakit periodontal. Belum ada penelitian mengenai evaluasi impaksi makanan di Indonesia.
Tujuan: Memperoleh evaluasi klinis dan radiografis impaksi makanan gigi posterior serta hubungannya dengan jaringan periodontal.
Metode: Studi retrospektif menggunakan data sekunder dengan pendekatan potong lintang dari rekam medik RSKGM FKG UI periode 2015-2016.
Hasil: Didapatkan 53 subjek yang mengalami impaksi makanan di regio posterior dengan jumlah 124 kasus. Impaksi makanan lebih sering terjadi pada laki-laki, kelompok usia yang lebih tua, di ruang interdental antara molar-1 dan molar-2 maksila maupun mandibula.
Kesimpulan: Impaksi makanan paling sering terjadi akibat hilangnya kontak proksimal pada gigi 47, dengan kedalaman poket absolut dan kehilangan perlekatan sebesar 4-6 mm. Kerusakan tulang paling sering mencapai 1/3 servikal akar dengan pola vertikal, disertai dengan pelebaran ruang periodontal dan kerusakan lamina dura.

Background: Food impaction is one of the local factors contributing in periodontal diseases. There has been no research on the evaluation of food impaction in Indonesia.
Objective: Get the clinical and radiograph evaluation of food impaction in posterior teeth and its relationship with periodontal tissues.
Method: A cross sectional study using medical records in RSKGM FKG UI 2015 2016.
Result: There were 53 subjects that had food impaction in posterior teeth with total 124 cases. Food impaction is found more frequently in male subjects, elderly, and in interdental spaces between first and second molars in both maxilla and mandible.
Conclusion: The most common etiology is the loss of proximal contact in 47, with 4 6 mm periodontal pocket depth and attachment loss. Bone destruction vertically reaches 1 3 of tooth cervix.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>