Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74402 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihombing, Mauditha Angela
"Di abad ke-21 ini, perkembangan internet secara global menghasilkan inovasi-inovasi dalam perkembangan media, salah satunya dengan kemunculan media sosial. Media sosial yang sebelumnya hanya digunakan untuk berkomunikasi secara pribadi kini menjadi media yang secara global digunakan dalam pembentukan opini masyarakat terhadap isu tertentu dan pengaruhnya kini mampu menyaingi media konvensional. Saat ini, media sosial dapat pula digunakan dalam mengonstruksikan gagasan mengenai suatu kejahatan, salah satunya gagasan mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh akun instagram @ekspospredator. Seiring dengan beragamnya persepsi orang mengenai makna pelecehan seksual, perilaku yang dahulunya dianggap bukan pelecehan seksual pun kini dapat menjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak dapat ditolerir. Ketika membahas mengenai pelecehan seksual, apa definisinya dan bagaimana bentuknya, konstruksi ini dilihat berbeda oleh berbagai kelompok, namun sebagian besar orang melihat makna pelecehan seksual ini seringkali didasari oleh relasi kuasa antara pelaku dan korban. Akun instagram @ekspospredator secara khusus menekankan unsur consent maupun kenyamanan sebagai faktor yang menentukan apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual atau bukan.

In the 21st century, the global improvement of the internet creates several innovations in media, one of which is the emergence of social media. Social media, which were used only for private communication, has now evolved into a media who have the power to create the public opinion about certain issues and its influence has now able to compete with conventional media. At this point, social media can also be used in constructing the idea of a crime, one of the examples is an instagram account named ekspospredator in terms of constructing the idea of what is sexual harassment. Since there are expansion and variation regarding the meaning of sexual harassment, certain behaviors that were regarded as non sexual harassment has now become a sexual harassment that`s undesirable and intolerable. When we talked about sexual harassment, whether it`s the definition or the form, the construction is viewed differently by each group, but most of the people saw sexual harassment based on power relation between the perpetrator and the victim. Instagram account ekspospredator specifically points consent and comfort as the factors that determine whether an action can be categorized as sexual harassment or not. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Budi Utami
"ABSTRAK
Tuduhan pelecehan yang dilayangkan oleh Christine Blasey Ford, seorang dosen Universitas Palo Alto, California, terhadap calon Hakim Agung Brett Kavanaugh merupakan salah satu kasus tuduhan pelecehan seksual yang menjadi sorotan nasional di Amerika Serikat pada tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi efektivitas politisasi isu gender yang dilakukan baik oleh Ford maupun Kavanaugh pada masyarakat dan media massa di Amerika Serikat. Politisasi isu gender Ford dan Kavanaugh dalam hearing dianalisis dan dievaluasi dengan menggunakan teori Sexual Politics Kate Millet dan metode Analisis Wacana Kritis Sara Mills. Selain itu, pengaruh politisasi isu gender yang dilakukan Ford dan Kavanaugh dalam hearing juga dapat dilihat melalui representasi dan keberpihakan dua media Amerika Serikat dengan bias politik yang berbeda (Fox News dan The New York Times terhadap kasus tersebut. Dengan menggunakan teori Sexual Politics Kate Millet, penelitian ini menemukan bahwa konsep gender seperti ideologi feminitas dan maskulinitas seringkali digunakan Ford dan Kavanaugh dalam berargumen, bersikap, dan membela diri dalam hearing. Feminitas yang diperlihatkan Ford dalam hearing berhasil menarik simpati dan membangun hubungan emosional dengan mayoritas masyarakat Amerika Serikat terutama kelompok perempuan dan progressif. Sementara itu maskulinitas yang diperlihatkan Kavanaugh kurang efektif untuk menarik simpati masyarakat namun berhasil untuk mempertahankan posisinya sebagai Hakim Agung Amerika Serikat. Representasi media juga memperlihatkan bahwa politisasi gender yang dilakukan Ford dan Kavanaugh memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pergerakan kelompok perempuan dan kelompok penyintas pelecehan seksual. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan memperlihatkan sikap yang sesuai dengan ideologi feminitas, perempuan memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menarik simpati masyarakat. Namun, simpati dan dukungan besar terhadap perempuan tetap tidak dapat mengalahkan laki-laki yang memiliki kekuatan dan dominasi politik dalam pemerintahan sebuah negara.

ABSTRACT
In 2018, sexual assault allegation filed by Christine Blasey Ford, a lecturer at the University of Palo Alto, California, against Supreme Court nominee Brett Kavanaugh became the national spotlight in the United States. This study aims to analyze and evaluate the effectiveness of gender politics carried out by both Ford and Kavanaugh to the public and mass media in the United States. Ford and Kavanaugh's gender politics in the hearing were analyzed and evaluated using Kate Millet's Sexual Political Theory and Sara Mills's Critical Discourse Analysis method. Also, the influence of gender politics conducted by Ford and Kavanaugh in the hearing can also be seen through the representation and alignments of two US media with different political biases on the case (Fox News and The New York Times). By using Sexual Political Theory from Kate Millet, this research found that Ford and Kavanaugh often use gender concepts such as ideology of femininity and masculinity in arguing, acting, and defending themselves in the hearing. The femininity shown by Ford in the hearing succeeded in attracting sympathy and building emotional relations with the majority of the United States, especially women and progressive groups. Meanwhile, the masculinity shown by Kavanaugh was less effective in attracting the sympathy of the people but succeeded in maintaining his position as the Supreme Court of the United States. Media representations also show that the gender politicization carried out by Ford and Kavanaugh has a considerable influence on the movement of women and the group of sexual harassment survivors. This research concludes that by displaying attitudes that are in line with the ideology of femininity, women have a higher power in attracting public sympathy. However, great sympathy and support for women still cannot defeat men who have political power and dominance in the government of a country."
2020
T54825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shara Monarizka
"Saat ini ditemukan banyak kasus kekerasan seksual yang dialami oleh para perempuan di Indonesia yang diungkap oleh media massa. Peran media massa dalam penyebaran informasi pun lantas menjadi krusial karena dapat berpengaruh terhadap pembentukan pandangan masyarakat terhadap kasus tersebut. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi, masyarakat pun dapat dengan mudah mengakses pemberitaan terkait melalui gawai dan sejenisnya. Adapun salah satu kasus kekerasan seksual yang pemberitaannya diungkapkan secara berkelanjutan hingga pada akhirnya menjadi perbincangan nasional adalah kasus yang dialami oleh Baiq Nuril, korban pelecehan seksual secara verbal yang juga dipidanakan atas pelanggaran UU ITE untuk pencemaran nama baik oleh mantan Kepala Sekolah bernama Muslim. Kasus tersebut pun merambah menjadi wacana internasional yang diberitakan terus-menerus yang salah satunya oleh The Jakarta Post, media massa di Indonesia yang berbahasa Inggris dengan target audiens menengah ke atas. Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji bagaimana The Jakarta Post merepresentasikan Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual dari segi ideasional (gagasan) dan interpersonal (hubungan antarpartisipan). Penelitian ini juga mengkaji bagaimana keberpihakan The Jakarta Post terhadap Baiq Nuril. Dengan menggunakan ancangan campuran, yaitu kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini mengaplikasikan analisis wacana kritis oleh Fairclough (2010) dan linguistik fungsional sistemik oleh Halliday dan Matthiessen (2014), khususnya yaitu transitivitas dan modus. Sebanyak 27 teks berita tentang kasus Baiq Nuril di The Jakarta Post diperoleh secara daring sebagai sumber data primer dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa baik dari segi ideasional maupun interpersonal, Baiq Nuril secara utama direpresentasikan sebagai korban pelecehan seksual sekaligus korban UU ITE. Keberpihakan The Jakarta Post sebagai korban pelecehan seksual sekaligus korban UU ITE. Keberpihakan The Jakarta Post terhadap Baiq Nuril ditunjukkan dengan bagaimana Baiq Nuril ditampilkan sebagai pihak yang tidak bersalah dan lantas memperoleh banyak simpati serta dukungan dari berbagai kalangan, seperti aktivis dan lembaga keagamaan hingga pemerintah daerah setempat.

Nowadays, there are many cases of sexual violence experienced by women in Indonesia that are revealed by the mass media. The role of the mass media in disseminating information is crucial because it can influence public‟s views on the case. Along with technological advances, public can easily access related news through gadgets and so on. One of the cases of sexual violence whose news was continuously disclosed until it eventually became a national discourse was the one experienced by Baiq Nuril, the victim of verbal sexual harassment who was also convicted of violating the ITE Law for defamation by a former school principal named Muslim. The case has become an international discourse that was being reported by media continuously, such as The Jakarta Post which is the English-speaking mass media in Indonesia targeting the middle and upper middle class. In this regard, this study examines how The Jakarta Post actually represents Baiq Nuril as a victim of sexual harassment from both ideational and interpersonal perspectives. This study also examines how The Jakarta Post takes sides with Baiq Nuril. By conducting a mixed approach, namely qualitative and quantitative, this study applies critical discourse analysis by Fairclough (2010) and systemic functional linguistics by Halliday and Matthiessen (2014), especially transitivity and mode. A total of 27 news texts about Baiq Nuril in The Jakarta Post are obtained online as the primary data source in this study. The results of the analysis show that from both ideational and interpersonal perspectives, Baiq Nuril is primarily represented as a victim of sexual harassment as well as a victim of the ITE Law. The way The Jakarta Post advocates Baiq Nuril is shown by how Baiq Nuril is represented as the innocent party that gets a lot of sympathy and support from various groups, from activists and religious institutions to the local government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadia Adzra Kamila
"Di Indonesia, pelecehan seksual masih kerap terjadi di ruang-ruang publik terutama di dalam transportasi umum seperti kereta. Berbagai media daring pun memberitakan kasus pelecehan seksual yang terjadi di kereta rel listrik (KRL) maupun kereta api di bawah naungan PT KAI ini. Meskipun kasus pelecehan seksual di KRL dan kereta api yang diberitakan sama, masing-masing media menyajikan berita ini secara berbeda yang menghasilkan realitas yang berbeda pula. Berangkat dari hal ini, penulis melakukan analisis teks pemberitaan di media daring yang berfokus melihat bagaimana media Kompas dan Detik melakukan framing pada wacana berita kasus pelecehan seksual di KRL dan kereta api. Dari analisis tersebut, penulis juga ingin melihat bagaimana tone berita yang dihasilkan framing media Kompas dan Detik terhadap kasus pelecehan seksual di kereta ini membentuk persepsi khalayak akan reputasi PT KAI. Berdasarkan analisis yang dilakukan, ditemukan bahwa kedua media melakukan framing berita dengan mengambil sudut pandang serta menekankan aspek tertentu yang berbeda satu sama lainnya. Kompas menyajikan berita kasus pelecehan seksual di kereta dengan menggunakan perspektif yang berpihak pada KAI. Sementara itu, Detik menyajikan berita kasus pelecehan seksual ini menggunakan perspektif yang berpihak pada pemangku kepentingan PT KAI, terutama pengguna layanan kereta dan publik. Hal ini menunjukkan, tone berita yang dihasilkan Kompas cenderung positif dibandingkan tone berita dalam media Detik yang cenderung negatif. Sehingga kedua media melakukan framing berita secara berbeda yang menghasilkan realitas yang kontradiktif terkait kasus pelecehan seksual di kereta. Hal ini juga menjadi temuan bahwa framing oleh media dapat membentuk bagaimana persepsi masyarakat terhadap reputasi perusahaan PT KAI sebagai penyedia layanan transportasi umum kereta berdasarkan realitas yang ditampilkan di media.

In Indonesia, sexual harassment cases often happen in public transportation such as public trains. Several online medias cover these sexual harassment cases in public train provided by PT KAI. Although these medias cover the same cases of sexual harassment in public train of PT KAI, each media has different ways of serving the information regarding the cases, leading to different reality captured in the mind of their audiences. Therefore, the author conducted a text analysis in online media Kompas and Detik to see how both media frame their news report regarding the sexual harassment cases that took place in public train. From this text analysis, the author would also gain insights on how the tone of the news produced by Kompas and Detik through their framing regarding the sexual harassment cases in public train has shaped the public's perception toward corporate reputation of PT KAI. Based on the analysis conducted, the author found that these two media framed the news by taking a different point of view and emphasizing certain aspects that were different from each other. Kompas presents news regarding cases of sexual harassment in trains using a perspective that is in favor of PT KAI. Meanwhile, Detik presents the news of this sexual harassment cases using a perspective that favors PT KAI stakeholders, especially train service users and the public. This finding shows that the tone of news produced by Kompas tends to be positive compared to the tone of news produced by Detik that tends to be negative. Thus, Kompas and Detik as online media framed the news differently which resulted in contrast realities shown on each media related to cases of sexual harassment in the train. Other than that, the author found that framing by the media could shape how the public perceives the reputation of PT KAI as a provider of rail public transportation services based on the reality shown in the media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nabiela Tenriummu Ramly
"“Standar ganda seksual” merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan adanya penilaian negatif oleh masyarakat patriarki kepada perempuan yang tidak tunduk dengan ekspektasi peran gender. Bentuk penerimaan diri para perempuan pendukung gerakan body positivity dilihat secara seksual dan dinilai negatif, khususnya di media sosial TikTok. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode studi kasus untuk menjelaskan fenomena serangan “standar ganda seksual” terhadap perempuan content creator yang mendukung gerakan body positivity pada media sosial TikTok sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang siber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serangan “standar ganda seksual” hadir dan melanggengkan sistem patriarki yang memaksa perempuan untuk bungkam dan patuh dengan standar yang tidak realistis yang dikonstruksikan oleh ekspektasi masyarakat patriarki. Teori feminis radikal juga menjelaskan bagaimana serangan balik kepada perempuan pendukung gerakan body positivity dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang menimbulkan beberapa dampak dan juga berusaha untuk membungkam para perempuan yang melakukan perlawanan atas tuntutan sistem patriarki.

“Sexual double standards” is a concept that explain the negative assessment by patriarchal society of women who do not obey the expectations of the gender roles. Messages voiced by women through the content of the body positivity movement are viewed sexually and viewed negatively, especially on TikTok. This qualitative research will use case study method to explain the phenomenon of "sexual double standards" as a backlash against female content creators who promote the body positivity movement on TikTok as a form of sexual violence against women in cyberspace. The results of this study show that the "sexual double standards" attack exists and perpetuates a patriarchal system that forces women to remain silent and comply with unrealistic standards constructed by the expectations of a patriarchal society. Radical feminist theory also explains how the backlash against women who support the body positivity movement to be a form of sexual violence against women which has several impacts and also tries to silence women who fight against the demands of the patriarchal system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Leony Putri Rasono
"Tulisan akademis ini bertujuan untuk menganalisis potensi efek bumerang terhadap korban kekerasan seksual akibat dari informasi yang disampaikan dalam konten-konten dalam akun-akun penyintas kekerasan seksual kampus dalam echo chambers media sosial. Dengan menggunakan metode analisis konten, bentuk terjadinya potensi efek bumerang yang muncul diidentifikasi melalui representasi foto, comments, dan caption. Hasil analisis memperlihatkan bahwa respons dalam unggahan akun-akun tersebut berpotensi menimbulkan efek bumerang bagi korban akibat informasi yang disampaikan. Potensi lain juga ditemukan karena ketiadaan consent korban terhadap dinaikkannya unggahan dalam akun-akun tersebut. Guna memberikan ruang aman dan perlindungan bagi korban, beberapa strategi dan penguatan dari lingkungan perguruan tinggi sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya efek bumerang bagi korban dan produser konten, yaitu akun-akun penyintas kekerasan seksual tersebut.

This academic paper aims to analyze the potential impact of sexual violence as a result of content in the accounts of survivors of campus sexual violence in social media echo chambers. By using the content analysis method, the potential form of the boomerang effect that appears is identified through the representation of photos, comments, and descriptions. The results of the analysis show that the responses in the uploads of these accounts may have a boomerang effect on the victims as a result of these errors and the lack of transparency in the delivery of information. Another potential is also found in the lack of notification of the victim's consent to uploads on these accounts. In order to provide a safe space and protection for victims, several strategies and continuing from the university environment are needed for a boomerang effect for victims and content producers, namely the accounts of survivors of sexual violence. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia;, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelia Tamirin
"Meskipun pelaku kekerasan seksual di kampus kini ditindak semakin tegas, masih terdapat sejumlah isu yang memerlukan tinjauan mendalam, salah satunya terkait keputusan organisasi mahasiswa untuk memublikasikan putusan bersalah pelaku di media sosial. Penelitian ilmiah yang menyatakan manfaat dari publikasi semacam ini, baik kepada korban/penyintas, pelaku, maupun publik secara umum masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak dari publikasi putusan bersalah pelaku terhadap dua perempuan korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan Universitas Indonesia. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam serta dianalisis dengan pendekatan naratif feminis dan perspektif feminis posmodern. Analisis mengungkap bahwa dampak publikasi bervariasi antar individu, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Temuan keseluruhan menunjukkan bahwa publikasi tidak secara signifikan membantu proses pemulihan. Meskipun publikasi dapat membawa validasi, dukungan, dan emosi positif bagi korban/penyintas, manfaat tersebut hanya bersifat sesaat. Di sisi lain, publikasi justru membawa berbagai risiko reviktimisasi, seperti penyebaran identitas, intimidasi, hingga ancaman. Temuan ini menegaskan pentingnya pertimbangan matang atas seluruh risiko sebelum memutuskan publikasi. Hal ini dibutuhkan guna memastikan implementasi prinsip-prinsip penanganan kekerasan seksual yang ideal.

Even though perpetrators of sexual violence on campus are now dealt with more firmly, there are still several issues that require in-depth review, one of which is related to the student organization's decision to publish the perpetrator's guilty verdict on social media. Scientific research stating the benefits of this kind of publication, both for victims/survivors, perpetrators, and the general public is still minimal. This research aims to explore the impact of the publication of the perpetrator's guilty verdict on two female victims/survivors of sexual violence within the Universitas Indonesia. Data were generated from in-depth interviews and analyzed using a feminist narrative approach and a postmodern feminist perspective. Analysis reveals that the impact of publications varies across individuals and is influenced by various factors. Overall findings suggest that publication does not significantly aid the recovery process. Although publications can bring validation, support, and positive emotions to victims/survivors, these benefits are only felt momentarily. On the other hand, publication carries various risks of revictimization, such as spreading identity, intimidation, and threats. These findings emphasize the importance of careful consideration of all risks before deciding on publication. This is needed to ensure the implementation of the principles of ideal handling of sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Redy Fadillah
"Perilaku seksual pranikah merupakan salah satu permasalahan yang dialami oleh remaja. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan pengguna media sosial dengan perilaku seksual pranikah pada remaja. Metode yang digunakan cross sectional dengan teknik cluster random sampling. Jumlah responden penelitian sebanyak 322 siswa pada Sekolah Menengah Atas. Kuesioner yang digunakan merupakan modifikasi dari Social Network Site Questionare yang berjumlah 14 pertanyaan dan 25 pertanyaan tentang perilaku seksual pranikah. Uji statistik menggunakan Chi Square dengan signifikansi le; 0,050 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pengguna media sosial dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di Sekolah Menengah Atas p=0,027 ; dan nilai koefisien korelasi r=1,683 . Disarankan agar perawat di tatanan komunitas dan institusi pendidikan bekerja sama untuk memberikan edukasi kesehatan terkait kesehatan reproduksi remaja kepada remaja di tingkat Sekolah Menengah Atas pada khususnya, serta memaksimalkan kembali program PKPR Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja.

Premarital sexual behaviour is one of problem found by adolescent. The purpose of this study is to identify the relationship between social media user and premarital sexual behaviour. The study design is using cross sectional method with cluster random sampling technique. The number of respondents are 322 Senior High School students. Questionare used in this study are modification from Sosial Network Site Questionare which contain 14 questions and 25 questions about premarital sexual behaviour. The statistical test using Chi Square with significancy le 0,050 showed a significant correlation between social media user and premarital sexual behaviour in adolescent at Senior High School p 0,027 and the coefficient correlation r 1,683. Nurses in community and institution of education are recommended to cooperate give the healthy education about adolescent reproduction healthy to adolescent especially in grade Senior High School, and maximizing the Healthy Care Adolescent Service progam."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Rahman Hakim
"Studi ini berangkat dari maraknya kasus kekerasan seksual khususnya yang menimpa anak-anak (kekerasan seksual anak) terjadi di Indonesia. Meluasnya Pornografi disebut-sebut banyak pihak sebagai penyebab fenomena ini terjadi. Menggunakan dua pendekatan sekaligus, yakni kualitatif sebagai pendekatan utama dan kuantitatif sebagai pendukung, penelitian ini berusaha menelusuri pola penggunaan media pornografi pada pelaku kekerasan seksual anak dan bagaimana media pornografi berhubungan dengan perilaku seksual mereka tersebut. Berdasarkan analisis statistik deskriptif data kuantitatif yang diperoleh dengan metode survey pada 30 orang responden diduga bahwa penggunaan media pornografi pada pelaku kekerasan seksual anak penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak banyak berbeda dengan orang biasa pada umumnya.
Berdasarkan studi kasus dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara diketahui bahwa bagaimana penggunaan media pornografi memengaruhi perilaku seksual pelaku kekerasan seksual anak merupakan hasil dari mekanisme pemutarbalikan persepsi, proses belajar sosial, efek desensitisasi, serta adanya keterbangkitan seksual (sexual aurosal) para pelaku kekerasan seksual anak tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara penggunaan media pornografi dan kekerasan seksual tidak bersifat langsung. Konsumsi pornografi mendorong terbentuknya skema tertentu tentang perempuan dan kondisi tersebut yang mendorong terjadinya kekerasan seksual.

This study departs from the rampant cases of sexual violence, especially affecting children (child sexual abuse) occurred in Indonesia. Widespread pornography is touted by many as the cause of this phenomenon occurs. Using two approaches at once, qualitative as a main and quantitative as a supporter, this study tried to discover patterns of media use of pornography on the perpetrators of child sexual abuse and how the media of pornography relates to their sexual behavior. Based on the descriptive statistical analysis of quantitative data obtained by the the method of the survey on 30 respondents alleged that the use of media pornography on the perpetrators of child sexual abuse is not much different from people in general.
Based on case studies with data collection through interviews showed that how the use of media pornography affects sexual behavior of perpetrators of child sexual abuse is the result of a twisting mechanism of perception, social learning processes the effects of desensitization, and the presence of sexual arousal perpetrators of sexual abuse of the child. The study concluded that the relationship between media use pornography and sexual violence is not straightforward and not directly. Consumption of pornography encourages the formation of certain schemes on women on perpetrators and the conditions that perpetuate sexual violence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edo Nur Karensa
"Sharenting, atau pembagian konten anak di media sosial oleh orang tua, memunculkan pertanyaan tentang perlindungan hak privasi anak. Orang tua, sebagai pemegang kontrol media sosial, menentukan batas privasi anak. Penelitian ini mengeksplorasi literasi media sosial orang tua terhadap privasi anak di Instagram, dengan berfokus pada dimensi konten dan kompetensi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma post-positivist. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan tiga orang tua yang secara rutin melakukan praktik sharenting di Instagram dan memiliki anak di bawah usia 7 tahun. Terdapat beragam dalam literasi media sosial orang tua mengenai privasi anak aktivitas sharenting di Instagram. Hal ini tampak dari keberagaman penggunaan media sosial dan pengaturan privasi pada akun Instagram mereka. Temuan penelitian menunjukkan bahwa para informan menggunakan media sosial sebagai galeri digital, sumber hiburan dan inspirasi, serta tempat untuk membandingkan pola pengasuhan anak mereka dengan para influencer. Meskipun menyadari risiko privasi, mereka menetapkan batasan, seperti pengecualian bagian tubuh dan penghindaran mengunggah lokasi yang rutin dikunjungi, dan menghindari kesan berlebihan dalam unggahan konten anak.

The activity of parents sharing content about their children on social media, known as “sharenting,” raises new questions about how children's privacy rights are protected. Parents set and control the boundaries of their children’s privacy in social media. This research explores parents' social media literacy regarding child privacy on Instagram, focusing on content dimensions and competencies. The study adopts a qualitative approach and a post-positivist paradigm. Data collection is conducted through interviews with three parents regularly practicing sharenting on Instagram and having children under the age of 7. Parents have different levels of understanding about privacy when sharing information about their children on Instagram. The research found that parents use social media like a digital gallery, for fun and ideas, and to compare how they raise their kids with influencers. Even though they know about privacy risks, they set limits, like not showing certain body parts or revealing regular locations, to keep from sharing too much about their kids."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>