Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72480 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Nurbowo Ardi
"ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Kokohana Arisutawan
"Latar belakang: Keadaan hipoksia hipobarik intermiten menyebabkan penurunan tekanan atmosfer sehingga terjadi penurunan tekanan partial oksigen. Salah satu respon fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoksia adalah melakukan angiogenesis. Penelitian ini untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi jumlah pembuluh darah otot rangka.
Metode: Penelitian ini adalah eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus), jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Setiap kelompok mendapat perlukan berbeda-beda yaitu dimasukkan ke chamber hipobarik sebanyak 1x, 2x, 3x 4x dan kelompok kontrol. Pajanan 1 kali merupakan pajanan hipoksia akut. Pajanan hipobarik dilakukan selama 5 menit dengan interval tujuh hari. Selanjutnya otot rangka semua tikus diambil sebagai untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Variabel yang dievaluasi adalah jumlah pembuluh darah otot rangka pada masing-masing kelompok coba.
Hasil: Keadaan hipoksia dicapai pada setiap kelompok uji. Saturasi dalam setiap ujicoba dibawah 60%. Perubahan perilaku akibat hipoksia di temukan pada semua uji coba. Rerata jumlah pembuluh darah otot rangka kelompok kontrol adalah 45,60 ± 7,96. Jumlah pembuluh darah pada kelompok satu dan dua dibawah kelompok kontrol (38,60 ± 3,44 dan 41,00 ± 6,44). Pada kelompok yang mendapat pajanan 3 dan 4 kali, jumlah pembuluh darah di atas kelompok kontrol (48,00 ± 5,87, dan 46,20 ± 8,29). Pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI terjadi peningkatan dibandingkan hipoksia akut. Pada uji Anova, tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik terhadap perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada semua kelompok.
Simpulan: Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI dibandingkan dengan hipoksia akut. Terdapat perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada hewan coba tikus Wistar, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.

Background: Hypoxia hypobaric intermittent condition may cause a decrease of atmospheric pressure that leads to a decrease in partial oxygen pressure. One of the body physiologic response to hypoxia are angiogenesis. This research aims to prove the effect of intermittent hypoxia hypobaric on histological changes of skeletal muscle
Methods: This research is an experimental in vivo study on 25 Wistar rats (Rattus norvegicus), male aged 40-60 days, with body weight of 220 grams that is divided into 5 groups, each group has 5 mice. Each of the group got different treatment : once, twice, thrice and four time exposed into hypobaric chamber and control group. Once time exposed is acute hypoxia. Hypobaric exposure were given for 5 minutes with interval of 7 days. Skeletal muscle of the mouse were taken to do histological examination beneath light microscopy Variable that should be evaluated are number of blood vessels in the skeletal muscle in each of the group.
Results: Hypoxia condition can be achieved in test group. Saturation in the test group are beneath 60%. Changes in behavior in hypoxic condition can be found in all test group. The average of all skeletal muscle in control groups are 45,60 ± 7,956. The number of skeletal muscle in group 1, 2 are beneath control group (38,60 ± 3,435 dan 41,00 ± 6,442). In the group that has been exposed three or four times, the number are higher compared to control groups (48,00 ± 5,874, dan 46,20 ± 8,289). Skeletal muscle vassels that have HHI occour increase compared to acute hypoxia. In ANOVA test group, we cannot find any statistically significant difference between the number of skeletal muscle between all groups.
Conclusion: An increasing in the number of skeletal muscle vessels that are experiencing HHI compared with acute hypoxia. There was a change in the number of skeletal muscle vessels in Wistar rats, but not statistically significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Radhianie Djan
"Pada penelitian ini dianalisis tingkat karbonil sebagai penanda dari stress oksidatif di otak akibat terpapar oleh hipoksia hipobarik. Para penerbang atau pilot, sangat sering ditemukan dalam kondisi hipoksia hipobarik karena seringnya terpapar oleh berbagai macam faktor. Salah satu organ yang penting yang bisa terkena oleh stress oksidatif yang disebabkan karena hipoksia hipobarik adalah otak. Desain peneltian ini dilakukan dengan cara atau metode eksperimental, dimana pada penelitian ini digunakan jaringan otak tikus jantan galur winstar sebagai sampel jaringan. Setelah itu, sampel dikelompokkan menjadi empat perlakuan yang berbeda pada frekuensi pemaparan hipoksia hipobarik dan terdapat satu kelompok kontrol. Pengukuran tingkat karbonil/ oksidasi protein menggunakan metode pengukuran yang diterapkan oleh Cayman's Protein Carbonyl Assay yang telah dimodifikasi oleh departemen biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada hasil penelitian ditemukan adanya perbedaan tingkat karbonil yang bermakna antara empat kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok control (p<0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada keadaan hipoksia hipobarik pada jaringan otak tikus.

In this study, there will be a discussion of the level of carbonyl concentration as the stress oxidative marker in the brain because of the exposure to the hypobaric hypoxia. The hypobaric hypoxia situation is often appeared in the pilot or aviator who frequently exposed to this kind of setting (high altitude). Hypobaric hypoxia may leads to the stress oxidative condition which can affect the vital organs particularly brain. In this study, the method used is experimental design and using the sample of brain tissue from male Wistar rats. Furthermore, the rat’s samples were differentiated into one control group and four different groups which exposed to the hypobaric hypoxia condition in each different altitude using the help of hypobaric chamber. In this study, the measurement of protein oxidation (carbonyl concentration) is using the method of Cayman's Protein Carbonyl Assay with several modification from the Universitas Indonesia biochemistry department. The results have confirmed that there is a significant different of carbonyl level in the exposed compared to the control group (p<0.05). As a consequence, we can conclude that in the hypobaric hypoxia situation, there will be an elevation of stress oxidative in the brain tissue."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Pratama
"Latar belakang: Kelebihan berat badan pada penerbang dapat berkaitan dengan jam terbang total dan faktor risiko lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko tersebut.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif diantara penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari 27 April-13 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan antropometri. Data terdiri dari karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT) berdasarkan standar WHO Asia Pasifik. Analisis dengan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Diantara 690 penerbang yang berusia 19-65 tahun, diperoleh 428 penerbang yang beresdia mengikuti penelitian ini. Penerbang yang sesuai dengan kriteria berjumlah 220 orang (145 kelebihan berat badan dan 75 normal). Faktor dominan berkaitan dengan kelebihan berat badan adalah jam terbang total dan kebiasaan makan makanan berlemak. Dibandingkan penerbang dengan jam terbang total 40-2000, subjek dengan jam terbang total 2001-15000 dan 15001-30000 masing-masing mempunyai 58% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan.[masing-masing risiko relatif suaian (RRa)=1,58 ; p=0,000] Dibandingkan subjek yang hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempunyai 48% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan (RRa=1,48; 95% CI=1,24-1,76; p=0,000).
Kesimpulan: Jam terbang total lebih dari 2000 jam dan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempertinggi risiko kelebihan berat badan di antara penerbang sipil Indonesia.

Background: Overweight at risk on pilots can be related to the total flying hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to overweight at risk in Indonesian civil pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling was conducted among pilots undergoing periodic medical check up on April 27th-May 13th 2015 at Aviation Medical Centre (Balai Kesehatan Penerbangan) The collected data were demographic and characteristics, eating and exercise habits. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Subjects were classified normal and overweight at risk according to WHO Asia Pacific. Analysis was using Cox regression with constant time.
Results: A number of 690 pilots who conducted medical examinations, 428 subjects agreed to join the study. A number of 220 subjects were available for this study, which consisted of 145 overweight at risk pilots and 75 normal. Pilots who had 2001-15000 and 15001-30000 total flight hours, compared to pilots who had 40?2000 total flight hours had 58% increased risk to be overweight [adjusted relative risk (RRa)= 1.58; p = 0.000]. Pilots who had eating fatty food habit 3-4 times a week had 48% increased risk to be overweight at risk (RRa = 1.48; 95% CI= 1.24 to 1.76; p = 0.000).
Conclusion: Flying hours total 2000 or more and eating fatty foods habit increase the risk of overweight at risk civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Chitra
"Latar belakang: Terdapat beberapa metode pengukuran TIK, baik invasif maupun noninvasif. Metode invasif pengukuran TIK kadang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tenaga ahli. Untuk itu, metode noninvasif pemeriksaan TIK telah banyak dikembangkan. Salah satunya adalah sonografi ONSD. Menurut studi sebelumnya, ONSD memiliki korelasi yang kuat, serta sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam memprediksi peningkatan TIK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan pemeriksaan ONSD menggunakan ultrasonografi dalam mendeteksi peningkatan TIK pada pasien dengan infeksi otak.Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menilai korelasi antara nilai ONSD menggunakan ultrasonografi dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi. Terdapat 43 subjek tersangka infeksi otak yang telah dilakukan pemeriksaan sonografi ONSD sesaat sebelum dilakukan pengukuran tekanan pembukaan lumbal pungsi. Tekanan pembukaan lumbal pungsi diperiksa dengan menggunakan intravenous IV tubing, three way stopcock, dan penggaris ukur. Tekanan pembukaan dikatakan meningkat jika lebih dari 20 cmH2O. Pemeriksaan ONSD dilakukan pada kedua mata dengan menggunakan ultrasonografi dengan frekuensi transmit sekitar 7-15MHz.Hasil: Didapatkan usia rata-rata subjek adalah 35 tahun. Sebagian besar subjek adalah HIV positif 55,8 . Jenis infeksi otak terbanyak adalah meningitis TB yaitu 28 kasus 65,1 . Keluhan terbanyak yang dialami subjek adalah sakit kepala 79,1 dan demam 88,4 . Defisit okulomotor berupa paresis nervus abdusen atau nervus okulomotorius didapatkan pada 8 subjek 18,6 . Median tekanan pembukaan subjek yaitu 18 cmH2O rentang 7- 81 cmH2O , dimana 16 subjek 37,2 dengan tekanan di atas 20 cmH2O. Nilai ONSD pada tekanan pembukaan meningkat lebih lebar dibandingkan ONSD pada tekanan pembukaan normal 6,09 0,59 vs 5,58 0,55mm . Terdapat perbedaan ONSD yang bermakna antara tekanan pembukaan meningkat dan normal p=0,02 . Berdasarkan hasil uji Spearmen didapatkan hubungan antara ONSD dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi p= 0,002 dengan derajat korelasi sedang r= 0,452 . Model regresi ONSD terhadap tekanan pembukaan lumbal pungsi adalah y= -36,488 9,936x.Kesimpulan: ONSD berkorelasi sedang dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi.

Background There are several methods of measuring increased intracranial pressure, both invasive and noninvasive. The invasive method of measuring intracranial pressure sometimes can not be performed because of limited tools and experts. For that reason, noninvasive methods of intracranial pressure examination have been widely developed today. One of the noninvasive method is ONSD sonography. According to previous studies, ONSD has a strong correlation, as well as good sensitivity and specificity in predicting increased intracranial pressure. This study aims to determine the usefulness of ONSD examination using ultrasonography in detecting increased intracranial pressure in patients with cerebral infection.Method This study used cross sectional design and assessed the correlation between ONSD value using ultrasonography with opening pressure of lumbar puncture. There were 43 suspected cerebral infection subjects who had performed ONSD sonographic shortly before opening pressure swere measured. The opening pressure is examined using intravenous IV tubing, three way stopcock, and a measure ruler. The opening pressure is interpreted to increase if the pressure exceeds 20 cmH2O. The ONSD examination is performed on both eyes using ultrasound with a transmitting frequency of about 7 15MHz.Result The average age of the subject was 35 years. Most of the subjects were HIV positive 55.8 . The most common type of cerebral infection is TB meningitis 28 cases, 65,1 . The most common chief complaints were headache 79.1 and fever 88.4 . An oculomotor deficit paresis of the abduscen nerve or oculomotor nerve was obtained in 8 subjects 18.6 . The median of opening pressure was 18 cmH2O range 7 81 cmH2O , where 16 subjects 37.2 with pressure above 20 cmH2O. The ONSD value at the increased opening pressure was wider than ONSD at normal opening pressure 6.09 0.59 vs 5.58 0.55mm . There was a significant ONSD difference between increased and normal opening pressure p 0.02 . Based on Spearmen test results obtained the relationship between ONSD with puncture lumbar opening pressure p 0,002 with medium degree of correlation r 0.452 . The ONSD regression model of predicting opening pressure of lumbar puncture is y 36,488 9,936x.Conclusion ONSD correlated moderately with opening pressure of lumbar puncture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Handoko Triweda
"Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten merupakan kondisi hipoksia akibat menurunnya tekanan parsial oksigen dalam darah yang terjadi secara berulang yang dapat dinyatakan sebagai preconditioning hypoxia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hipoksia intermiten dapat menyebabkan adaptasi fisiologis pada berbagai jaringan dan organ tubuh, salah satunya adalah neovaskularisasi. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi otot jantung dengan fokus pada pertambahan jumlah vaskularisasinya yang dilakukan pada ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit dalam interval 7 hari.Metode: Penelitian eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Kelompok pertama dimasukkan ke dalam chamber hipobarik 1 kali saja. Kelompok kedua dimasukkan 2 kali dalam interval 7 hari, kelompok ketiga 3 kali dalam interval 7 hari dan keleompok keempat 4 kali dalam interval yang sama selama lima menit setiap paparan. Sementara kelompok lima tidak dimasukkan ke dalam chamber sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya jantung semua tikus diambil sebagai sampel untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Parameter yang dievaluasi adalah pertambahan jumlah vaskularisasi pada otot jantung.Hasil: Pada perlakuan hipoksia hipobarik akut 1 kali paparan terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah 1,2 kali dari kontrol dengan nilai p yang tidak bermakna 0,476. Selanjutnya peningkatan bermakna terjadi pada paparan 2 kali hingga mencapai maksimal pada paparan 3 kali dengan peningkatan sebasar 2 kali dari kontrol dengan nilai p yang bermakna 0,001 dan tidak mengalami pertambahan lagi setelah paparan 4 kali. Kesimpulan: Terdapat peningkatan jumlah pembuluh darah otot jantung pada hewan coba tikus Wistar yang mengalami hipoksia hipobarik baik akut maupun intermiten pada ketinggian 25.000 kaki di atas permukaan laut. Peningkatan bermakna terjadi mulai dari paparan 2 kali atau lebih dan pertambahan maksimal terjadi pada paparan 3 kali. Kata kunci: Hipoksia hipobarik intermiten; hypobaric chamber; neovaskularisasi

Background: Intermittent hypobaric hypoxia is a hypoxic condition caused by decreased oxygen partial pressure in blood which occurs repetitively and can be stated as preconditioning hypoxia. Several studies showed that intermittent hypoxia can cause physiological adaptation in various tissues and organs, one of which is neovascularization. This study was conducted to prove the effect of intermittent hypobaric hypoxia on histological changes of cardiac muscles that focused on the increase of vascularization amount which was conducted at 25,000 feet high for 5 minutes in 7 days interval. Methods: In vitro experimental study was conducted on 25 male Wistar rats Rattus norvegicus aged 40-60 days, weighing more than 220 grams that were divided into 5 groups, each group contained 5 rats. First group was placed into hypobaric chamber only once, second group was placed twice with 7 days interval, third group was placed 3 times with 7 days interval, and fourth group was placed 4 times with the same interval for 5 minutes for every exposure. Meanwhile, the fifth group was not placed into the chamber as control group. Afterwards, the hearts of every rats were taken as samples and histological examination was performed under light microscope. The parameter evaluated was increase vascularization of cardiac muscle. Results: There was an increase of blood vessels number on acute hypobaric hypoxia treatment one exposure as many as 1.2 times compared to control with insignificant p value of 0.063. Significant increase occurred on second exposure until it reached maximum on third exposure with 2 times increased compared to control with significant p value of 0.001 and no further increase was observed after 4 times exposure. Conclusion: There was an increase of cardiac muscle blood vessels in Wistar rats animal models that experienced both acute and intermittent hypobaric hypoxia at 25,000 feet above sea level. Significant increase occurred from two or more exposure and maximum increase occurred on third exposure. Keywords: Intermittent hypobaric hypoxia; hypobaric chamber; neovascularization. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syougie
"Latar Belakang: Penggunaan video display terminal VDT oleh pemandu lalu lintas udara PLLU dalam pekerjaan mereka dapat menyebabkan sindrom mata kering SMK yang berbahaya bagi keselamatan dan keamanan penerbangan.
Tujuan: Menilai efektifitas pemberian obat tetes mata sodium hyaluronate pada PLLU Bandara Soekarno Hatta dengan sindom mata kering.
Metode Penelitian: Penelitian potong lintang dengan total sampling dilakukan pada PLLU Bandara Soekarno Hatta untuk mencari prevalensi sindrom mata kering. Dilanjutkan penelitian intervensi pre-post pada lima puluh PLLU Bandara Soekarno Hatta yang didiagnosis SMK derajat ringan dengan tes Schirmer kemudian diberikan obat tetes sodium hyaluronate. Efektivitas obat dinilai secara obyektif dengan uji Schirmer dan secara subyektif dengan kuesioner Ocular Surface Disease Index OSDI sebelum dan sesudah pemberian obat.
Hasil: Prevalensi sindrom mata kering pada PLLU Bandara Soekarno Hatta sebanyak 60,3 . Ada peningkatan yang signifikan secara statistik untuk kedua uji Schirmer dari 14,58 2,56 menjadi 8,22 1,33 dan skor OSDI dari 16,7 0-46 menjadi 25 0-64,6 setelah tujuh hari pemberian obat. Hal ini juga sejalan dengan kondisi klinis yang menunjukkan pergeseran dari derajat ringan menjadi normal baik untuk tes Schirmer dan kuesioner OSDI.
Kesimpulan: Obat tetes Sodium hyaluronate efektif dalam mengatasi sindrom mata kering derajat ringan pada pemandu lalu lintas udara.

Background: The use of video display terminals VDT by air traffic guides ATC can lead to dry eye syndrome DES that rsquo s harmful for safety and security of aviation.
Objective: Assess the effectiveness of sodium hyaluronate SH eye drops on ATC of Soekarno Hatta Airport with DES.
Research Methods: Cross sectional studies with total sampling were conducted on ATC of Soekarno Hatta Airport to find prevalence of DES. Followed with pre post intervention study on fifty ATC of Soekarno Hatta Airport which was diagnosed DES mild degree with Schirmer test and then administered SH eye drops. The effectiveness of the drug was assessed objectively by Schirmer test and subjectively by Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire before and after drug administration.
Result: Prevalence of DES on ATC of Soekarno Hatta Airport is 60,3. There was a statistically significant increase for both Schirmer tests from 14.58 2.56 to 8.22 1.33 and OSDI scores from 16.7 0 46 to 25 0 64.6 after seven days administration of drugs. This is also in line with clinical conditions that indicate a shift from mild degrees to normal for both Schirmer test and OSDI questionnaire.
Conclusion Sodium hyaluronate eye drops are effective in treating mild DES on ATC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monica
"Stroke merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di dunia yang terutama disebabkan oleh hipoksia serebrum Meskipun nyawa sebagian pasien stroke dapat diselamatkan sekitar 70 kasus masih menderita gejala sisa akibat kerusakan neuron otak Oleh karena itu penelitian studi eksperimental ini ditujukan untuk mengetahui efek neuroterapi dari berbagai kombinasi ekstrak akar kucing dan pegagan pada tikus Sprague Dawley pasca hipoksia dibandingkan dengan efek neuroterapi pirasetam sebagai kontrol positif Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga kombinasi ekstrak tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan pirasetam Dari ketiga kombinasi dosis tersebut dosis 200 mg akar kucing dan150 mg pegagan memberikan efek yang paling signifikan dan hampir sama dengan pirasetam terhadap pemulihan neuron hipokampus girus dentatus eksternus tikus pasca hipoksia sehingga dapat disimpulkan bahwa kombinasi dosis ekstrak yang optimum adalah 200 mg akar kucing dan150 mg pegagan.

Stroke and other cerebrovascular diseases is the third cause of death in the world and is mainly caused by cerebral hypoxia Although some patients can be saved about 70 of cases still suffer from residual symptoms caused by damage of brain neurons Therefore this experimental study aimed to determine the neurotherapeutic effects of dose combination of Acalypha indica Linn and Centella asiatica extracts on hypoxic mice compared to piracetam The result shows that statistically all dose combination of extracts don rsquo t have any difference with piracetam However 200 mg Acalypha indica Linn 150 mg Centella asiatica has the most significant and similar result to pirasetam in healing process of post hypoxic mice rsquo s hippocampal external dentate gyrus neurons To conclude with the optimal dose of extracts combination is 200 mg Acalypha indica Linn 150 mg Centella asiatica."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Latar belakang: Sebagai salah satu penyebab hipertensi, pengaruh langsung asupan asam lemak trans masih belum diketahui dengan pasti. Konsumsi jangka panjang dapat mengakibatkan inkorporasi asam lemak trans di membran neural otak yang dapat memengaruhi jalur sinyal neurotrophin, termasuk Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Sebagai neurotrophin yang terdapat di berbagai bagian dari tubuh, BDNF diperkirakan memiliki peran dalam pengaturan tekanan darah.
Tujuan: Mengetahui apakah terdapat hubungan antara asupan asam lemak trans dan kadar BDNF terhadap hipertensi di Kabupaten Natuna.
Metode: Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan food recall yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa pemeriksaan kadar BDNF dari sampel darah yang sudah tersimpan di laboratorium RSPJDHK pada bulan September 2019. Hasil: Terdapat 181 penduduk Natuna yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Median asupan asam lemak trans subjek dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan kontrol (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p = 0,021). Analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi kadar BDNF dengan asupan asam lemak trans memiliki efek modifikasi terhadap asupan asam lemak trans dan hipertensi (p = 0,011). Pada total subjek, asupan asam lemak trans memiliki OR 1,81 IK95% 1,10-2,99 p 0,020, namun OR 3,63 IK95% 1,69-7,77 p 0,001 pada BDNF di tertile bawah dan sedang. Uji analisis multivariat menunjukkan bahwa hasil tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor perancu.
Kesimpulan: Kadar BDNF memiliki efek modifikasi terhadap hubungan asupan asam lemak trans dan hipertensi, di mana peningkatan probabilitas hipertensi seiring penambahan asupan asam lemak trans hanya terjadi pada subjek dengan kadar BDNF rendah.

Background: As one of the major cause of hypertension, direct effect of trans fat intake and hypertension is not yet illuminated. Long-term consumption has been linked with trans fat incorporation in brain neural membrane that could lead into alteration of signaling pathways, including Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). As an ubiquitous neurotrophin, BDNF is believed to play a role in the regulation of blood pressure.
Objective: This study aimed to investigate the association between trans fat intake and BDNF level with hypertension in the population of Natuna.
Methods: This analytical cross-sectional study is using a secondary data including demographic data, physical examination, and food recall obtained from Natuna district population in July 2019. Primary data of BDNF level was obtained through analysis of blood samples stored in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in September 2019.
Results: A total of 181 samples were obtained in this study. Compared to normontesive subjects, median of daily trans fat intake of hypertensive subjects was higher (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p 0,021). Statistitical analysis showed that plasma BDNF level has a modyfing effect in relationship of trans-fat intake and hypertension (p 0,011). In cumulative subjects, trans-fat showed an odds ratio (OR) of 1,81 95%CI 1,10-2,99 p 0,020, while the OR for those with low-middle tertile BDNF level was 3,63 95%CI 1,69-7,77 p 0,001. Further multivariate analysis showed that the interaction was statistically significant after adjustment to confounding factors.
Conclusion: Plasma BDNF level has a modifying effect in the relationship between trans-fat intake and hypertension. Increased probability of hypertension in accordance with trans-fat intake only occurred in subjects with low level plasma BDNF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yann Penduff
"ABSTRACT
Hypertension has been shown to be a risk factor for cerebral structural changes, but there is currently no evidence that hypertension control prevents their occurrence. We aimed to demonstrate whether controlling hypertension delays the occurrence of cerebral structural changes. We performed a cross sectional study comparing controlled and uncontrolled hypertensive patients to investigate whether structural changes occurred more in uncontrolled hypertensive patients, compared to controlled hypertensive patients. Data from 57 patients at RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo was collected between March and April 2017, in which we compared the occurrence of cerebral structural changes between the controlled and uncontrolled groups. Cerebral atrophy.

ABSTRACT
Hipertensi diketahui dapat mengakibatkan perubahan struktur di otak, namun sampai saat ini tidak ada bukti jelas bahwa hipertensi yang terkontrol dapat mencegah terjadinya perubahan struktural pada otak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keuntungan pengendalian tekanan darah dalam mencegah perubahan struktural otak pada pasien hipertensi. Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang, dengan membandingkan perubahan struktural otak pada pasien hipertensi terkontrol dan pasien hipertensi tidak terkontrol dan menilai apakah perubahan structural akan terjadi lebih banyak pada pasien tidak terkontrol dibandingkan dengan pasien terkontrol, Data pada penelitian diambil dari 57 pasien di RSUPN dr. Ciptomangunkusumo yang dikumpulkan pada periode Maret sampai April 2017. Pada grup pasien hipertensi tidak terkontrol, atropi otak."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>