Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139807 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Mahavira
"Latar belakang: Hubungan antara kadar gula darah yang tinggi dan thrombolysisin myocardial infarction TIMI flow pra/pascaprosedur angioplasti primerterhadap mortalitas 1 tahun belum banyak dieksplorasi.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan kadar gula darahsaat admisi dan TIMI flow pra/pascaprosedur terhadap mortalitas 1 tahun pasieninfark miokard akut disertai elevasi segmen ST IMA-EST yang menjalaniintervensi koroner perkutan primer IKPP .Metode: 856 pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP pada Januari 2014 hinggaJuli 2016 dianalisis secara retrospektif. Cut-off yang digunakan untuk kadar guladarah tinggi pada studi ini adalah ge;169 mg/dL. Kesintasan 1 tahun dinilai denganmetode Kaplan-Meier.Hasil: Pasien dengan kadar gula darah ge;169 mg/L N=307 mempunyai proporsiTIMI flow akhir 0 ndash; 1 yang lebih tinggi [3.3 vs. 0.5 ; adjusted odds ratio OR = 5.58, 95 confidence interval CI 1.30 ndash;23.9; p=0.02] dan mortalitas 1 tahun lebih tinggi [16.3 vs. 6 ; adjusted hazard ratio HR = 1.9, 95 CI1.12 ndash;3.23, p=0.017] dibanding pasien dengan kadar gula darah rendah N=549 .TIMI flow akhir 0 ndash; 1 merupakan prediktor independen mortalitas 1 tahun HR= 7.0, 95 CI 3.23 ndash;15.15;

Background The association of high blood glucose level and Thrombolysis InMyocardial Infarction TIMI flow before after primary angioplasty with 1 yearmortality has not much been explored.Objective This study sought to determine the association of blood glucose level BGL on admission and pre post procedural TIMI flow with 1 year mortality inpatients with ST segment elevation myocardial infarction STEMI undergoingprimary percutaneous coronary intervention PCI .Methods 856 patients with STEMI and treated with primary PCI betweenJanuary 2014 and July 2016 were retrospectively analyzed. The cut off used for ahigh BGL in this study was ge 169 mg dL. Survival at 1 year was assessed byKaplan Meier method.Results Patients with BGL ge 169 mg dL N 307 had higher proportion of finalTIMI flow 0 1 3.3 vs. 0.5 adjusted odds ratio OR 5.58, 95 confidenceinterval CI 1.30 to 23.9 p 0.02 and higher 1 year mortality 16.3 vs. 6 adjusted hazard ratio HR 1.9, 95 CI 1.12 to 3.23, p 0.017 compared withlower BGL patients N 549 . Final TIMI flow 0 1 was an independent predictorof 1 year mortality HR 7.0, 95 CI 3.23 to 15.15 p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siskawati Suparmin
"Komplikasi kronik diabetes, seperti penyakit kardiovaskular, ulkus diabetikum, penyakit ginjal, dan kerusakan mata dapat disebabkan oleh merokok. Akhir-akhir ini dikatakan bahwa merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Meskipun mekanisme pastinya belum dipahami sepenuhnya, diduga bahwa resistensi insulin yang disebabkan oleh nikotin, pada orang yang merokok tembakau berhubungan dengan peningkatan jumlah orang yang menderita diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini dirancang untuk meneliti beda kadar glukosa darah pada pria perokok dan bukan perokok tembakau usia 20-60 tahun di Salemba tahun 2009-2010.
Data dari 32 orang pria perokok dan 32 orang pria bukan perokok yang diambil secara consecutive sampling diperoleh dari pengisian angket dan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dengan teknik tindik jari . Hasilnya adalah nilai rerata kadar glukosa darah puasa pada kelompok bukan perokok adalah 102,0 (86-150) mg/dL, sedangkan rerata kadar glukosa darah puasa pada kelompok perokok adalah 118,6 (SD 25,2) mg/dL. Dengan uji Mann-Whitney, didapatkan nilai p=0,002. Dengan demikian, terdapat perbedaan bermakna kadar glukosa darah kelompok perokok dan bukan perokok tembakau.

Chronic complications of diabetes such as cardiovascular disease, diabetic ulcers, kidney disease, and retinopathy can be caused by smoking. Recently, it has been said that smoking can increase the risk of diabetes type 2. Although the mechanism has been not clear, it has been suspected that insulin resistance caused by nicotine in tobacco smokers is related with increasing number of people who have type 2 diabetes mellitus. This research was designed to investigate the difference of blood glucose level in 20-60 years old male tobacco smokers and non-smokers in Salemba in 2009-2010.
The data from 32 male smokers and 32 male non-smokers taken by consecutive sampling was collected from questionnaire and measuring fasting blood glucose level by finger prick technique. The average value of fasting blood glucose in non-smokers group was 102,0 (86-150) mg/dL and in smokers group was 118,6 (SD 25,2) mg/dL. With Mann-Whitney test, it was known that p=0,002. So, there was a significant difference of blood glucose level in male tobacco smokers and non-smokers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Nadia
"Studi mengenai pemberian klopidogrel sebelum angiografi koroner (pretreatment) pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang akan menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) terbatas, namun dapat disimpulkan bahwa aman dan dapat penurunan angka major adverse cardiovascular events (MACE). Pada studi yang dilakukan beberapa tahun terakhir, manfaat pemberian klopidogrel pretreatment dipertanyakan. Studi yang telah ada dilakukan di negara lain berbeda dengan kondisi di Indonesia; terdapat perbedaan karakteristik seperti waktu onset nyeri dada hingga pasien sampai ke fasilitas kesehatan primer, loading antiplatelet, serta dilakukan tindakan IKPP yang lebih panjang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian klopidogrel pretreatment  dengan TIMI-flow pasien IMA EST yang menjalani IKPP. Studi potong lintang retrospektif terhadap 220 pasien IMA EST dilakukan di rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak tanggal 1 Januari - 30 Oktober 2018 dengan membagi subjek dalam kelompok klopidogrel pretreatment (600 mg klopidogrel diberikan > 120 menit sebelum angiografi koroner) dan kelompok yang diberikan < 120 menit.
Analisis multivariat menunjukkan bahwa klopidogrel pretreatment merupakan prediktor utama yang mempengaruhi TIMI flow sebelum tindakan IKPP (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Pemberian klopidogrel pretreatment berhubungan dengan TIMI flow sebelum tindakan IKPP, namun tidak berpengaruh terhadap TIMI setelah dilakukan tindakan IKPP. 

Immediate antiplatelet administration is the standard therapy used in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing primary percutaneous coronary intervention. Studi on clopidogrel pretreatment are limited, but it can be concluded that was safe, also reduced the number of major adverse cardiovascular events (MACE). Recently, pretreatment with P2Y12 are questioned. There are differences in the background and the conditions between the studies that have been conducted and the condition in Indonesia; such as duration of angina onset until arrive at primary health care, time of loading antiplatelet and longer ischemic time.
This study sought to evaluate the association between clopidogrel pretreatment and TIMI flow of patients with acute STEMI undergoing primary PCI. Single-center retrospective cross sectional study of 220 patients with acute STEMI were conducted in National Centre of Cardiovascular Harapan Kita, Indonesia from 1 January-30 October 2018. Subjects are devided into two groups: clopidogrel pretreatment (≥ 120 minute from coronary angiography conducted) and non pretreatment group (<120 minute). Multivariate analysis revealed that clopidogrel pretreatment is the main predictor of preprocedural TIMI grade flow (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Clopidogrel pretreatement was associated with TIMI flow grade pre intervention, but not with TIMI flow grade post intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Ayudyasari
"Prediktor keparahan pankreatitis bilier yang telah banyak digunakan seperti kriteria Ranson, Imrie modifikasi, dan APACHE II membutuhkan waktu pengumpulan data hingga 48 jam dengan variabel diagnostik multipel sehingga sulit untuk diterapkan. Studi ini bertujuan untuk mencari prediktor keparahan tunggal agar dapat segera ditentukan tatalaksana terbaik bagi tiap pasien.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien pankreatitis bilier akut di RSCM tahun 2008-2016. Kadar glukosa darah sewaktu GDS awal, derajat keparahan, dan mortalitas dicatat dan dianalisis menggunakan SPSS 20.0.Sebanyak 41 pasien pankreatitis bilier dari 140 pasien pankreatitis akut memenuhi kriteria inklusi dari studi ini. Rerata usia pasien 49,2 tahun, 24 58,5 laki-laki dan 17 41,5 perempuan. Median kadar GDS kasus ringan, sedang, dan berat adalah 109,5 mg/dL; 131 mg/dL; dan 171 mg/dL. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar GDS pada pankreatitis bilier ringan dengan berat, nilai p 0,008.Pada kurva ROC GDS terhadap pankreatitis bilier berat didapatkan AUC 0,885 IK 95 0,743 ndash; 1,000 . Nilai cut-off GDS 154,5 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang optimal dalam memprediksi pankreatitis bilier akut berat, yaitu 75 dan 91,8 . Kadar GDS tersebut memiliki nilai prediksi positif dan negatif sebesar 50 dan 97,1 . Tidak didapatkan hubungan antara kadar GDS dengan mortalitas, nilai p 0,249. Didapatkan hubungan antara derajat keparahan dengan mortalitas dengan nilai p 0,021 dan OR 0,028. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar GDS 154,5 mg/dL dapat memprediksi pankreatitis bilier akut berat dengan akurasi yang baik.

The established severity predictors of gallstone pancreatitis such as Ranson criteria, modified Imrie, and APACHE II usually require several days and multiple diagnostic variable to be fulfilled so that they are not convenient to use. This study was held to find a simple severity predictor of gallstone pancreatitis to immediately choose the best management for each patient.The data were derived retrospectively from the medical records of acute gallstone pancreatitis patients during 2008 2016. Random blood glucose RBG level on admission, severity grading, and mortality were recorded and analyzed using SPSS 20.0.Forty one gallstone pancreatitis out of 140 acute pancreatitis patients were included in this study. The mean age was 49,2 years old, 24 58,5 were male and 17 41,5 were female. The median RBG level in mild, moderately severe, and severe disease were 109,5 mg dL 131 mg dL and 171 mg dL respectively. There was a significant difference of RBG level on mild and severe disease, p value 0,008.The ROC curve of RBG and severe gallstone pancreatitis revealed the AUC of 0,885 CI 95 0,743 ndash 1,000 . The cut off point of RBG level 154,5 mg dL had the optimal sensitivity 75 and specificity 91,8 to predict severe disease. The positive and negative predictive value of RBG level 154,5 mg dL were 50 and 97,1 . There was no significant difference between RBG level and mortality, p 0,249. There was a relationship between severity grading and mortality, p 0,021 and OR 0,028. We can conclude that RBG level of 154,5 mg dL can acurately predict severe disease.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riswandi
"Latar Belakang: Pelumpuh otot merupakan obat anestesia yang sering digunakan dalam praktik anestesia umum sehari-hari. Atrakurium, yang merupakan golongan pelumpuh otot benzilisoquinolium, dapat meningkatkan kadar histamin dalam darah dibandingkan obat pelumpuh otot lainnya. Peningkatan kadar histamin dapat menghambat Glucose Induce Insulin Secretion (GIIS) yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hiperglikemia perioperatif dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik pada pasien diabetik maupun nondiabetik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan kadar gula darah setelah pemberian atrakurium dengan rokuronium.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar ganda pada 80 pasien yang menjalani operasi dengan pembiusan umum. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu rokuronium dan atrakarium. Protokol anestesia sama pada kedua kelompok, kecuali pada penggunaan pelumpuh otot. Kadar gula darah dan hemodinamik inisial, 5 menit, 15 menit dan 30 menit setelah pemberian pelumpuh otot dicatat dan diukur. Hasil yang didapat dianalisis secara statistik menggunakan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Kedua kelompok menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada rerata kadar gula darah dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan rerata kadar gula darah pada kelompok rokuronium dibandingkan dengan atrakurium di tiap waktu pengukuran menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (nilai P secara berurutan adalah 0,649, 0,473 dan 0,931). Untuk perbandingan perubahan denyut jantung dan MAP pada kedua kelompok juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan.
Simpulan: Baik rokuronium maupun atrakurium dapat mempengaruhi perubahan kadar gula darah pada pasien nondiabetik, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan diantara keduanya

Background: Muscle relaxant drugs are often used in daily general anesthesia practices. Atracurium, a class of benzilisoquinolium muscle relaxant, can increase the level of histamine in the blood than other muscle relaxant drugs. This increment inhibits Glucose Induce Insulin Secretion (GIIS) which can increase blood glucose levels. Perioperative hyperglycemia can increase morbidity and mortality in both diabetic and nondiabetic patients. This study aims to compare blood sugar levels change after the administration of atracurium and rocuronium.
Method: This is a double blind randomized prospective clinical trial on 80 patients who underwent general anesthesia. Patients were divided into two groups: rocuronium and atracurium. The anesthesia protocol was the same in both groups, except for the use of muscle relaxants. Initial blood sugar and hemodynamic levels were recorded and measured on the 5th minutes, 15th minutes and 30th minutes after the administration of muscle relaxants. The results obtained were then analyzed statistically using unpaired t test.
Results: Both groups showed a significant decrease in blood sugar levels over time. However, the mean change in blood sugar levels in the rocuronium group compared to atracurium at each measurement time showed no significant differences (P values ​​in sequence were 0.649, 0.473 and 0.931). For comparation, changes in heart rate and MAP in both groups also showed no significant differences.
Conclusion: Both rocuronium and atracurium can decrease blood sugar levels in nondiabetic patients, with no significant differences among the two."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adelin Dhivi Kemalasari
"Polimorfisme CYP2C19 menurunkan metabolisme klopidogrel dan telah diketahui meningkatkan mortalitas serta kejadian kardiovaskular mayor. VerifyNow P2Y12 merupakan salah satu pemeriksaan yang secara spesifik menggambarkan fungsi platelet terhadap agen penghambat P2Y12 yang dikonsumsi. Hubungan antara polimorfisme CYP2C19 dengan TIMI flow pada populasi Asia, khususnya Indonesia, belum pernah dilakukan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme CYP2C19 terhadap fungsi penghambatan platelet dan TIMI flow, serta hubungan antara fungsi penghambatan platelet dan TIMI flow.
Dilakukan pemeriksaan polimorfisme CYP2C19 dengan menggunakan metode Taqman dan pemeriksaan fungsi penghambatan platelet yang diukur dengan VerifyNow P2Y12 pada 90 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP yang memenuhi kriteria penelitian.
Dari 90 subyek penelitian, studi polimorfisme genetik mengungkapkan 23,3% pasien dengan alel * 2, 11,2% dari * 3 alel pembawa, dan 1,1% membawa kedua alel. 24,4% pasien tergolong non-responder terhadap klopidogrel. Secara keseluruhan tidak terdapat hubungan secara langsung antara polimorfisme CYP2C19 dengan TIMI flow 3, namun terdapat hubungan antara polimorfisme CYP2C19 dengan penurunan fungsi penghambatan platelet (OR 4.7, p = 0.030). Indeks reaktivitas platelet >208 PRU meningkatkan risiko TIMI flow < 3 (OR 3.3, p= 0.046).
Tidak terdapat hubungan secara langsung antara polimorfisme CYP2C19 dengan TIMI flow, namun pasien dengan polimorfisme CYP2C19*2 dan/atau *3 memiliki risiko untuk mengalami penurunan penghambatan fungsi platelet. Pasien yang tergolong non-responder terhadap klopidogrel ini juga berisiko untuk mendapatkan reperfusi miokard yang suboptimal.

CYP2C19 polymorphism plays an important role in clopidogrel metabolism. The genetic factor is VerifyNow P2Y12 is an examination that specifically describes platelet function against P2Y12 inhibitors. It is unknown whether platelet reactivity measured by P2Y12 reaction unit (PRU) is affected by CYP2C19 polymorphism or predictive of TIMI flow in Asian populations, particularly in Indonesia. We sought to define whether polymorphisms on CYP2C19 genes and platelet reactivity may affect the myocardial perfusion.
STEMI patients who underwent primary PCI and has received 600 mg loading dose of clopidogrel were recruited for the study. We measured platelet reactivity by VerifyNow P2Y12, high platelet reactivity was defined as > 208 PRU. Genetic polymorphisms analysis to assess the presence of CYP2C19*2 and *3 alleles on each patient were performed by Taqman method.
There were 90 patients recruited for study. Genetic polymorphisms studies revealed 23.3% of patients with *2 allele, 11.2% of *3 allele carriers, and 1.1% carried both allele. 23.4% of patients were clopidogrel non-responders. Overall, there was no correlation between CYP2C19 polymorphism and TIMI flow < 3, but there was a relationship between CYP2C19 polymorphism and decreased function of platelet inhibition (OR 4.7, p = 0.030). Platelet reactivity index > 208 increased the risk of suboptimal reperfusion (OR 3.3, p = 0.046).
There is no direct relationship between CYP2C19 polymorphism and TIMI flow, but patients with CYP2C19*2 and/or CYP2C19*3 had increased risk of being clopidogrel non responders. After adjusted to confounding factors, VerifyNow > 208 PRU is associated with suboptimal myocardial reperfusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geis Alaztha
"Latar belakang: micro-RNA saat ini telah diketahui berperan dalam patofisiologi berbagai penyakit termasuk di bidang kardiovaskular. miR-26a platelet dikaitkan dengan aktifitas platelet tinggi.Resistensi klopidogrel telah diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi di populasi Asia, yang mana dapat mempengaruhi mortalitas serta kejadian kardiovaskular mayor. Hubungan antara ekspresi miR-26a platelet dengan resistensi klopidogrel begitu pula dengan TIMI flow pasca IKPP pada IMA-EST di populasi Asia, belum pernah dilaporkan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi miR-26a platelet terhadap reaktivitas platelet dan perfusi miokardium pasca IKPP.
Metode: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan mendapatkan terapi dosis loadingklopidogrel 600 mg, dimasukkan kedalam populasi penelitian. Kami mengukur reaktivitas platelet dengan menggunakan VerifyNow P2Y12, aktifitas platelet tinggi didefiniskan jika memiliki nilai > 208 PRU. Metode RealtimePCR Taqman dilakukan untuk analisa ekspresi miR-26a platelet. Ekspresi miR-26a platelet dan reaktivitas platelet dikorelasikan dengan TIMI flowpasca IKPP pada pasien IMA-EST.
Hasil: Terdapat 100 subyek yang direkrut pada studi ini. Diantaranya, 59% menunjukkan peningkatan ekspresi miR-26a. Reaktifitas platelet meningkat pada 27 % pasien studi ini dikategorikan non-responder terhadap klopidogrel. Terdapat hubungan antara ekspresi dengan penurunan fungsi penghambatan platelet (OR 4.2, p = 0.006). Indeks reaktivitas platelet >208 PRU meningkatkan risiko TIMI flow < 3 (OR 3.3, p= 0.015). Tidak terdapat hubungan langsung antara ekspresi miR-26a platelet dan TIMI flow < 3.
Kesimpulan: Pasien dengan peningkatan ekspresi miR-26a platelet memiliki risiko untuk mengalami menjadi non-responderklopidogrel. Tidak terdapat hubungan langsung antara ekspresi miR-26a platelet dan TIM flowpasca IKPP.

Background: micro-RNA has now been known to play a role in the pathophysiology of various diseases including cardiovascular disease. Clopidogrel resistance has been known prevalent in Asian population, that may affect mortality and major cardiovascular events. The relationship between the expression of platelet miR-26a and clopidogrel resistance as well as TIMI flow post primary PCI in STEMI among Asian populations, has never been done.
Objective: the aim of this study is to define whether miR-26a platelet expression has a relation with platelet reactivity and myocardial perfusion after primary PCI.
Methods: STEMI patients who underwent primary PCI and has received 600 mg loading dose of clopidogrel were recruited for the study. We measured platelet reactivity by VerifyNow P2Y12, high platelet reactivity was defined as > 208 PRU. Realtime PCR by taqman method were performed to asses the expression of miR-26a platelet. miRNA-26a platelet expression and platelet reactivity were correlated with TIMI flow post primary PCI in STEMI.
Hasil: there were 100 patients recruited for this study. among them, 59% of patients with high expression of miR-26a platelet. Platelet reactivity showed 27% of the patients were clopidogrel non-responders. There was a relationship between high miR-26a expression and decreased function of platelet inhibition (OR 4.2, p = 0.006). Platelet reactivity index > 208 increased the risk of suboptimal reperfusion (OR 3.3, p = 0.015). There was no direct correlation between miR-26a expression and TIMI flow < 3.
Conclusion: Patients with high miR-26a platelet expression had increased risk of being clopidogrel non responders. There is no direct relationship between miR-26a platelet expression and TIMI flow after primary PCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Defina
"Latar belakang: Polimorfisme genetik dari reseptor P2Y12 dikatakan dapat
mempengaruhi aktivasi reseptor P2Y12 atau menghambat aktivasi trombosit. Beberapa
polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen P2Y12 ditemukan dapat menyebabkan
variabilitas antarindividu dalam agregasi platelet. Telah diidentifikasi lima
polimorfisme dari gen P2Y12 yaitu T744C, C34T, G52T, ins801A, dan C139T. Salah
satunya, polimorfisme C34T adalah salah satu dari polimorfisme yang dikatakan ada
kaitannya dengan peningkatan agregasi platelet yang dapat menunjukkan kemungkinan
untuk terjadinya modifikasi respon terapi clopidogrel. Namun hingga saat ini belum
ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara polimorfisme reseptor P2Y12
dengan TIMI-flow beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk fungsi
penghambatan platelet pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme
nukleotida tunggal pada reseptor P2Y12 dengan TIMI flow beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, termasuk penghambatan fungsi platelet.
Metode: Studi potong lintang pada 167 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
dilakukan pemeriksaan polimorfisme C34T reseptor P2Y12 dengan metode Taqman
dan pemeriksaan fungsi penghambatan platelet yang diukur dengan VerifyNow P2Y12.
Hasil: Dari 167 subjek penelitian, studi polimorfisme mengungkapkan proporsi pasien
dengan heterozygous mutan sebanyak 34.1%, dan 1.8% pasien merupakan homozygous
mutan. Sisanya adalah homozygous wildtype ditemukan sebanyak 64.1%. 25.7% pasien
tergolong non-responder terhadap clopidogrel. Secara keseluruhan tidak terdapat
hubungan secara langsung antara polimorfisme C34T dengan TIMI flow < 3, namun
terdapat hubungan antara polimorfisme C34T dengan penurunan fungsi penghambatan
platelet (OR 2.17, p = 0.046).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan secara langsung antara polimorfisme C34T
dengan TIMI flow, namun pasien dengan polimorfisme C34T pada reseptor P2Y12
memiliki risiko untuk mengalami penurunan penghambatan fungsi platelet.

Background: Genetic polymorphism of P2Y12 receptors is said to have affect of
P2Y12 receptor activation or inhibit platelet activation. Several single nucleotide
polymorphisms in the P2Y12 gene were found to cause variability between individuals
in platelet aggregation. Five polymorphisms have been identified from the P2Y12 gene,
namely T744C, C34T, G52T, ins801A, and C139T. One of them, C34T is one of the
polymorphisms that is said to be related to increased platelet aggregation which can
indicate the possibility for modification of the response of clopidogrel therapy. But until
now there has been no research that assesses the direct relationship between P2Y12
receptor polymorphisms and TIMI-flow along with the factors that influence it,
including the function of platelet inhibition in STEMI patients undergoing PPCI
Objective: This study aims to determine the relationship between single nucleotide
polymorphisms at P2Y12 receptors with TIMI flow along with the faktors that
influenced it, including inhibition of platelet function.
Methods: A cross-sectional study of 167 STEMI patients who underwent PPCI. C34T
polymorphism of P2Y12 receptor was evaluated by the Taqman method and the
inhibition of platelet function was measured by VerifyNow P2Y12.
Results: Among 167 subjects, the heterozygous mutants group were 34.1%, and 1.8%
of patients were homozygous mutants. The rest 64.1% was homozygous wildtype.
25.7% of patients were classified as non-responders to clopidogrel. Overall there was
no direct relationship between C34T polymorphisms and TIMI flow <3, but there was
a relationship between C34T polymorphisms and decreased platelet inhibitory function
(OR 2.17, p = 0.046).
Conclusion: There is no direct relationship between C34T polymorphisms and TIMI
flow, but patients with C34T polymorphisms of P2Y12 receptors have a risk of
decreasing platelet function inhibition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ziyad
"Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh manusia. Salah satu tipe DM adalah diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh rusaknya sel beta pada pankreas sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan insulin untuk meregulasi konsentrasi glukosa dalam darah. Penderita DM tipe 1 harus melakukan terapi insulin dengan memberikan suntik insulin eksternal untuk meregulasi konsentrasi glukosa di dalam darah. Selain itu, penderita DM tipe 1 harus melakukan kontrol secara kontinu terhadap konsentrasi glukosa di dalam darahnya. Pada sebuah penelitian, terdapat sebuah alat yang dapat memantau glukosa secara berkelanjutan yang disebut dengan Continuous Glucose Monitoring (CGM). Pada penelitian ini, dilakukan simulasi dengan sebuah model matematika yang menggambarkan regulasi glukosa-insulin dalam tubuh saat makanan dicerna di dalam tubuh, yaitu model hovorka, untuk diimplementasikan ke dalam CGM. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa model dari hovorka dapat menunjukkan regulasi glukosa insulin di dalam tubuh. Namun untuk evaluasi terhadap model ini dilakukan sebuah fitting terhadap parameter model hovorka dan didapatkan hasil yang kurang baik sehingga perlu dilakukan fitting ulang dengan data yang lebih baik.

Diabetes Mellitus (DM) is one of the most common diseases suffered by humans. One type of DM is Type 1 diabetes caused by the destruction of beta cells in the pancreas so that the body can not produce insulin to regulate the concentration of glucose in the blood. Patients with Type 1 diabetes have to do insulin therapy by giving external insulin injections to regulate the concentration of glucose in the blood. In addition, patients with Type 1 diabetes must continuously control the concentration of glucose in their blood. In one study, there was a tool that can monitor glucose continuously called Continuous Glucose Monitoring (CGM). In this study, a simulation with a mathematical model that describes the regulation of glucose-insulin in the body when food is digested in the body, the Hovorka model, to be implemented into CGM. The results of this study show that the model from hovorka can demonstrate the regulation of insulin glucose in the body. However, for the evaluation of this model, a fitting was made to the parameters of the hovorka model and poor results were obtained so that re-fitting with better data was necessary."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Pranandi
"Latar Belakang. Hiperglikemia sering terjadi pada pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK). Kondisi ini mempengaruhi prognosis pada pasien, sehingga dibutuhkan protokol insulin intensif yang efektif dan aman digunakan. Di Indonesia belum ada protokol standar yang terbukti efektif dan aman pada pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK). Tujuan. Mengetahui persentase pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) jantung yang mencapai target glukosa darah dalam 6 jam dan insiden kejadian hipoglikemia dengan menggunakan protokol insulin PERKENI 2011.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain retrospektif dari rekam medis pasien dewasa 318 tahun yang mengalami hiperglikemia (>200 mg/dL) pascabedah pintas arteri koroner (BPAK). Parameter yang dilihat karakteristik dari subjek, proporsi glukosa darah terkendali (150-200 mg/dL) dalam enam jam dan proporsi hipoglikemia. Proporsi pencapaian glukosa darah ditargetkan >50% dan kejadian hipoglikemia <12%.
Hasil. Penelitian ini dilakukan di Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari 2018 sampai September 2023. Sebanyak 98 subjek diikutsertakan dan didapatkan persentase pasien yang mencapai target glukosa darah dalam 6 jam sebesar 54,1% dan proporsi hipoglikemia sebesar 5,1%.
Kesimpulan. Berdasarkan penelitian ini persentase pasien yang mencapai target glukosa darah dalam 6 jam sebesar 54,1% dan proporsi hipoglikemia sebesar 5,1% dengan menggunakan protokol insulin PERKENI 2011.

Background. Hyperglycemia often occurs in patients after coronary bypass surgery. This condition affects the patient’s prognosis, so an intensive insulin protocol is needed that is effective and safe to use. In Indonesia, there is no standard protocol that has been proven to be effective and safe in patients after coronary bypass surgery.
Aim. To determine the percentage of post-coronary artery bypass surgery (CABG) patients who achieve blood glucose targets within 6 hours and the incidence of hypoglycemia using the PERKENI 2011 insulin protocol.
Methods. This study used a retrospective design from medical records of adult patients (318 years old) who experienced hyperglycemia (>200 mg/dL) after coronary bypass surgery. The parameters seen were the characteristics of the subjects, proportion of controlled blood glucose (150-200 mg/dL) within six hours and proportion of hypoglycemia. The proportion of blood glucose achieved is targeted at >50% dan the incidence of hypoglycemia <12%.
Results. This research was conducted at the Integrated Heart Service of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo for the period January 2018 to September 2023. A total of 98 subjects were included and it was found that the percentage of patients who reach the blood glucose target within 6 hours was 54.1% and the proportion of hypoglycemia was 5.1%.
Conclusion. Based on this study, the percentage of patients who achieved the blood glucose target within 6 hours was 54.1% and the proportion of hypoglycemia was 5.1% using the PERKENI 2011 insulin protocol.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>