Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153446 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jasmine Amalia Assegaf
"ABSTRACT
Penelitian ini akan membahas mengapa eksistensi Dewan Jirga di Pakistan hingga saat ini masih kuat di dalam masyarakat. Dewan Jirga merupakan institusi peradilan lokal yang beranggotakan tertua adat, tuan tanah, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan di dalam masyarakat, yang seluruhnya adalah laki-laki. Namun dalam memutuskan solusi atas permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat, Dewan Jirga seringkali menggunakan praktik-praktik budaya yang termasuk ke dalam kategori kekerasan terhadap perempuan. Dengan menggunakan teori Cultural Violence oleh Johan Galtung, peneliti melihat budaya patriarki dan identitas etnis di Pakistan sebagai bentuk kekerasan budaya. Penelitian ini menemukan bahwa karakteristik masyarakat Pakistan yang sarat dengan budaya patriarki dan identitas etnis, melegitimasi eksistensi Dewan Jirga dan praktik-praktik budayanya. Dalam hal ini termasuk praktik budaya seperti honour killing dan swara yang termasuk tindakan kekerasan terhadap perempuan. Selain melegitimasi eksistensi Dewan Jirga dan praktik budayanya, budaya patriarki dan identitas etnis juga menyebabkan adanya inkonsistensi pemerintah dan aparat negara dalam menindaklanjuti praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan. Khususnya praktik kekerasan atas nama budaya yang dipertahankan oleh Dewan Jirga. Budaya patriarki dan identitas etnis yang melegitimasi Dewan Jirga dan praktik budayanya inilah yang menyebabkan eksistensi Dewan Jirga masih memiliki pengaruh yang kuat hingga saat ini. Kata kunci: Budaya Patriarki, Dewan Jirga, Identitas Etnis, Kekerasan Terhadap Perempuan.

ABSTRACT
This research will examine why the existence of the Jirga Council in Pakistan is still strong in the community. The Jirga Council is a local justice institution composed of the oldest, landlord, and people in power in society, and all of them are men. But in deciding on solutions to problems in society, the Jirga Council often uses cultural practices that include in the category of violence against women. Using the Cultural Violence theory by Johan Galtung, the writer sees the Jirga Council as a cultural violence because it is a form of patriarchal culture and an ethnic institution. The study found that the characteristics of Pakistani society, which are full of patriarchal culture and ethnic identity, legitimize the existence of the Jirga Council and its cultural practices. These include cultural practices such as honor killing and swara which include as acts of violence against women. Besides to legitimizing the existence of the Jirga Council and its cultural practices, patriarchal culture and ethnic identity also led to the inconsistency of government and state apparatus in following up the practices of violence against women. Especially violence practices in the name of culture which mantained by the Jirga Council. Patriarchal culture and ethnic identity which legitimize the Jirga Council and its cultural practices cause the existence of the Jirga Council still has a strong influence until today. Keywords Patriarchal culture, Ethical identity, the Jirga Council, Violence Against Women."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalar Gramsia Budiman
"Pengalaman kekerasan terhadap perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas belum banyak didokumentasikan dalam penelitian sosial. Alih-alih mendapatkan dukungan karena sudah mendampingi korban/penyintas kekerasan seksual, para perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual ini justru mengalami kekerasan, yang salah satunya dilakukan oleh institusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor, pengalaman, dan dampak dari kekerasan yang dialami perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas dengan menggunakan teori feminis radikal. Penelitian ini merupakan penelitian feminis naratif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap enam perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di Universitas Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa nilai-nilai patriarki dan neoliberal di universitas menciptakan kondisi yang menindas perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual. Ancaman, intimidasi, rumor, hingga kekerasan fisik yang dialami oleh partisipan penelitian ini merupakan upaya kontrol yang dilakukan oleh laki-laki yang merasa terancam oleh perlawanan perempuan pendamping. Selain itu, universitas yang memprioritaskan reputasi demi keuntungan finansial juga melakukan kekerasan sebagai upaya kontrol untuk menghindari risiko publikasi negatif yang akan memengaruhi keuntungan finansial. Penelitian ini melihat bahwa pada dasarnya kekerasan yang dialami oleh perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual merupakan bentuk kontrol yang dilakukan oleh laki-laki, baik secara individu maupun secara institusi. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan yang dialami perempuan pendamping perempuan korban/penyintas kekerasan seksual menimbulkan dampak berupa perlukaan, seperti rasa takut, khawatir, dan ingin menyerah. Meski begitu, kekerasan yang mereka alami juga menumbuhkan amarah dan resistensi yang semakin menguatkan perlawanan mereka.

The experiences of violence faced by women supporting victims/survivors of sexual violence in university settings have not been extensively documented in social research. Rather than receiving support for advocating victims/survivors, these women often become targets of violence themselves, some of which is perpetrated by the institution itself. This study examines the factors, experiences, and impacts of violence encountered by women advocates for sexual violence victims/survivors in universities, using radical feminist theory as its framework. The research adopts a feminist narrative approach, conducting in-depth interviews with six women advocating victims/survivors of sexual violence at Universitas Indonesia. The findings reveal that patriarchal and neoliberal values within universities create oppressive conditions for these women. Threats, intimidation, rumors, and even physical violence experienced by participants are strategies of control employed by men who feel threatened by the resistance of these women. Furthermore, universities, driven by a desire to protect their reputation for financial gain, also engage in violence as a form of control to avoid the risk of negative publicity that could affect their profitability. The study highlights that the violence experienced by women advocates of victims/survivors of sexual violence is fundamentally a form of control exercised by men, both individually and institutionally. This violence results in harm, including feelings of fear, anxiety, and the desire to give up. However, it also fuels anger and resistance, ultimately strengthening their determination to continue their fight against injustice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafira Kesuma
"Childfree merupakan keputusan untuk tidak memiliki anak atau tidak mengambil peran menjadi orang tua. Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk memahami bagaimana stigmatisasi terhadap perempuan childfree melalui komentar atas Instagram story @gitasav sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan teori stigmatisasi dengan analisis isi kualitatif terhadap komentar tidak mendukung pilihan childfree perempuan pada unggahan akun Instagram @linetoday. Penulis mengidentifikasi sejumlah komentar menstigma berdasarkan komponen-komponen stigma Link dan Phelan (2001): labelling, stereotyping, separation, dan discrimination. Hasil analisis menunjukkan bahwa akar dari stigmatisasi terhadap perempuan childfree adalah konstruksi seksualitas perempuan, sistem seks/gender patriarki, dan heteronormativitas. Ketiga konstruksi turunan patriarki ini menjadi dasar lahirnya motherhood mandate bagi perempuan. Mandat ini telah terinternalisasi dalam norma-norma sosial sehingga pengaruhnya semakin kuat di masyarakat. Akibatnya, perempuan childfree mengalami diskriminasi dari masyarakat. Stigmatisasi terhadap perempuan childfree merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Di mana perempuan korban mengalami penderitaan, pemaksaan, dan perampasan kemerdekaan karena identitas biologis mereka sebagai perempuan. Stigmatisasi sebagai kekerasan terhadap perempuan memengaruhi semua perempuan dengan merampas kebebasan dan kadaulatan perempuan atas tubuhnya sendiri. Dalam hal ini, stigma menjadi alat yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan kontrol laki-laki atas perempuan dan tubuh perempuan.

Childfree is a decision not to have children or take the role of a parent. This writing aims to understand how stigmatization against childfree-woman through comments on @gitasav’s Instagram story can constitute violence against women. This writing utilizes the radical feminism and stigmatization theory with qualitative content analysis of comments that do not support women’s choice for childfree on the Instagram post of @linetoday. The writer identified several stigmatizing comments according to components of stigma by Link and Phelan (2001): labeling, stereotyping, separation, and discrimination. The result shows that this stigmatization is rooted from the construction of women's sexuality, patriarchy's sex/gender system, and heteronormativity. These patriarchy-derived constructions became the base of the emergence of the motherhood mandate. This mandate was internalized into social norms which strengthen its influence in society. The effect of that stigmatization is discrimination suffered by childfree women. Stigmatization of childfree-women is violence against women where they receive suffering, coercion, and deprivation of liberty because of their biological identity as women. Stigmatization as violence against women affects every woman by taking their sovereignty towards their body. In this case, stigma became a tool to perpetuate the power and control of men towards women and women's bodies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Beata Kurnia
"Penelitian-penelitian mengenai kekerasan terhadap perempuan dan shelter perempuan korban kekerasan telah banyak dilakukan, terutama dalam menggunakan perspektif antropologi. Dalam antropologi, kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan masih dianggap memiliki cakupan yang luas, karena penderitaan perempuan yang diakibatkan oleh faktor sosial dan budaya yang terjadi di masing-masing masyarakat. Ini kemudian berdampak juga kepada isu shelter perempuan korban kekerasan, dimana terdapat cakupan luas antara frontliner dan shelter dimana diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang berakar dari faktor sosial dan budaya yang sama di dalam masing-masing masyarakat. Ini menyebabkan batasan antara kekerasan, korban, frontliner, dan shelter mengalami pemudaran. Pada skripsi ini, penulis akan menyajikan bibliografi beranotasi dari tulisan-tulisan mengenai kekerasan terhadap perempuan dan shelter perempuan korban kekerasan. Penulis akan melihat dan mengkategorisasi tema-tema yang muncul di dalam tulisan-tulisan tersebut untuk memahami bagaimana isu kekerasan terhadap perempuan dan shelter untuk perempuan korban kekerasan dikaji dari perspektif antropologi.

Much research on violence against women and shelters for women victims of violence have been carried out, especially using an anthropological perspective. In anthropology, gender-based violence or violence against women is still considered to have a broad scope, because of the suffering of women caused by social and cultural factors that occur in each society. This then has an impact on the issue of shelters for women victims of violence, where there is wide coverage between frontliners and shelters which is caused by policies rooted in the same social and cultural factors in each community. This causes the boundaries between violence, victims, frontliners, and shelters to be blurred. In this thesis, the author will present an annotated bibliography of writings on violence against women and shelters for women victims of violence. The author will look at and categorize the themes that appear in these writings to understand how the issue of violence against women and shelter for women victims of violence are studied from an anthropological perspective."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahara Zulfikar
"Penelitian ini berisi tentang perlindungan perempuan korban KDRT pada masa pandemi Covid-19 dari disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh peningkatan angka kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT pada masa pandemi Covid-19. Keterbatasan ruang gerak serta menurunnya perekonomian menimbulkan frustasi bagi sebagian besar masyarakat yang dapat meningkatkan agresivitas. Perempuan sebagai kelompok rentan, memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi korban kekerasan. Sehingga, urgensi dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat upaya perlindungan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan perempuan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan pada Mei 2022 hingga Oktober 2022 melalui studi literatur dan wawancara semi terstuktur pada lima informan dari Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta dan Yayasan Pulih. Kelima informan tersebut dipilih menggunakan teknik purposive sampling sesuai dengan kriteria informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam melakukan upaya perlindungan perempuan korban KDRT pada masa pandemi Covid-19, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kebijakan ke berbagai lembaga pemerintah, melakukan layanan pengaduan dan rujukan serta melakukan Kampanye 16 HAKTP setiap tahunnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi program studi Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya dalam mata kuliah Perundang-undangan Sosial terkait dengan perlindungan sosial dan mata kuliah Kebijakan dan Perencanaan Sosial terkait dengan kebijakan sosial.

This research is about protection of women victims of domestic violence during the Covid-19 pandemic from the Social Welfare Science discipline. This research is motivated by an increase in the number of cases of violence against women, especially domestic violence during the Covid-19 pandemic. Space limitations as well as economic decline cause frustration for the majority of society which can increase aggressiveness. Women as a vulnerable group, have a high potential to become victims of violence. Therefore, the urgency of doing this research is to see the social advocacy efforts made by the National Commission on Violence Against Women as a National Human Rights Institution in order to prevent and cope with violence against women as well as increasing the protection of women in Indonesia. This research is a qualitative research with descriptive research design. Data collection was carried out from May 2022 to October 2022 through literature studies and semi-structured interviews with five informants from the National Commission on Violence Against Women, LBH Apik Jakarta and Yayasan Pulih. The five informants were selected using a purposive sampling technique according to the informant critetia needed in this research. This research showed that in doing protection of women victims of domestic violence during the Covid-19 pandemic, the National Commission on Violence Against Women provide policy recommendations to various government institutions, carry out complaint and referral services as well as doing 16 HAKTP Campaign every year. The results of this research are expected to be able to contribute in Social Welfare Science study program especially in social law course related to social protection and social policy and planning courses related to social policies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Rizki Ramadhan
"Penelitian ini mengkaji Aliansi Laki-laki Baru ALB , gerakan pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dengan menggunakan metode etnografi, penelitian ini menunjukkan bahwa ALB sebagai gerakan sosial tidak dapat dipahami sebagai entitas yang homogen dan monolitik karena para partisipan gerakan yang terlibat dalam ALB dapat memiliki pemaknaan yang beragam atas kekerasan terhadap perempuan yang menjadi fokus gerakan. Lebih lanjut, penelitian ini menunjukkan bahwa produksi wacana yang dilakukan oleh ALB mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami sebagai tindakan resistensi pada patriarki dan maskulinitas hegemonik yang merupakan kekerasan kultural dan menjadi basis ideologis dari kekerasan terhadap perempuan.

This research examines Aliansi Laki laki Baru ALB as a movement of men's involvement towards the elimination of violence against women in Indonesia. Using ethnographic methods, this research shows that ALB as a social movement can not be understood as a homogeneous and monolithic entity due to the diversity of internalized meaning by movement's participants on violence against women. Furthermore, this research addresses discourse production that was conducted by ALB as an act of resistance to patriarchy and hegemonic masculinity. In this research, I argue that patriarchy and hegemonic masculinity was embodied in cultural violence that functions as ideological basis of violence against women."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S69118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusanne Pitaloka
"ABSTRAK
Selama bertahun-tahun, para wanita Inggris ditolak untuk menggunakan hak pilih dan memberikan suara untuk menentukan bagaimana negara mereka dijalankan. Mereka dipandang kurang mampu daripada pria untuk bertugas menjalankan negara. Film Suffragette 2015 yang disutradarai oleh Sarah Gavron bercerita tentang hak pilih perempuan di Inggris pada tahun 1911-1913 dan bagaimana wanita-wanita ini menderita dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Kampanye suffragette diperintahkan oleh dan bagi wanita yang mengharapkan tidak hanya pemungutan suara, tetapi juga amandemen sosial yang lebih luas yang akan mengakhiri standar ganda seksualitas serta peran awam perempuan dalam keluarga, pendidikan, dan pekerjaan. Makalah ini membahas hubungan antara kegilaan wanita dan legitimasi kekerasan terhadap militan suffragette. Konsep ldquo;kegilaan wanita rdquo; yang ditulis oleh Ussher 1991 dan artikel-artikel lain tentang kekerasan perempuan pada wanita adalah konsep yang digunakan untuk memahami bagaimana kegilaan wanita digunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap wanita-wanita anggota suffragette dan reaksi militan terhadap perlakuan yang diberikan kepada mereka. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa kegilaan digunakan sebagai label yang diberikan oleh Pemerintah Inggris untuk menekan tindakan wanita progresif, seperti militant suffragette, dengan menggunakan kekerasan dan penyiksaan. Studi ini memberikan kontribusi pada literatur yang belum pernah membahas tentang hubungan antara wanita suffragette dan label kegilaan , memberikan kerangka kerja untuk memahami penggunaan label kegilaan sebagai penyakit perempuan.

ABSTRACT
For years, British women were denied a vote and a say in how their country was run. They are seen as less capable as men to actually be in charge for running the country. The film Suffragette 2015 directed by Sarah Gavron tells a story about women rsquo s suffrage in the United Kingdom in 1911 1913 and how these women were suffering in fighting for their rights. The suffragette campaign was commanded by and for women who expected not only the vote, but also broader social amendments that would end the double standard of sexuality as well as women 39 s subservient roles in the family, education, and employment. This paper discusses the relation between the ldquo women rsquo s madness rdquo and the legitimation of violence towards the suffrage militants. Ussher rsquo s 1991 concept of women rsquo s madness and other articles on violence on women are the concepts used in understanding how women rsquo s madness is used to legitimize violence against suffragette women and the militant rsquo s reaction towards the treatment. Research finding reveals that the madness is used as a label given by the British Government to suppress the action of progressive women, such as the Suffrage militants, by using violence and torture. This study contributes to the scarce literature on the relation between the suffragette women and the label ldquo madness rdquo , providing a framework for understanding the use of the label ldquo madness rdquo as a female malady. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Herna Wangsadijaya
"Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan bahwa terdapat gender based hate speech dalam materi penampilan stand up comedy komika Ge Pamungkas selama ia mengikuti kompetisi Stand Up Comedy Indonesia Season 2 yang diselenggarakan oleh stasiun televisi swasta Kompas TV Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan analisis wacana terhadap transkrip dari 16 video penampilan Ge Pamungkas selama ia menjalani kompetisi Analisis terhadap video penampilan Ge Pamungkas tersebut menggunakan pemikiran Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul Forms of Talk serta Judith Butler dalam buku berjudul Excitable Speech A Politics of The Performative dan Gender Trouble Feminism and The Subversion of Identity juga pemikiran femnisme radikal dalam buku Rosemarie Tong dalam bukunya berjudul Feminist Thought
Hasil dari penelitian ini adalah Ge Pamungkas melakukan gender based hate speech yang ia sisipkan pada materi stand up comedy nya dan menyalurkannya kepada para penonton yang mana hal tersebut dapat merugikan perempuan Gender based hate speech yang disalurkan Ge Pamungkas melalui penampilan stand up comedy nya juga semakin melanggengkan kebudayaan patriarki dalam masyarakat yang selalu mengobjektifikasi serta mengopresi perempuan Ge pamungkas menggunakan komedi lelucon sebagai kamuflasenya dalam melakukan gender based hate speech tersebut Melalui komedi lelucon penonton lebih mudah untuk menyerap segala informasi penuh kebencian terhadap perempuan yang disampaikan oleh Ge Pamungkas

The purpose of this research is to show that Ge Pamungkas has brought a gender based hate speech on his stand up comedy's bits while he was competing in Stand Up Comedy Indonesia Season 2 held by Kompas TV This research uses a qualitative method by doing a discourse analysis for transcripts of all the Ge Pamungkas'sixteen videos The analysis uses Erving Goffman's thoughts from his book called Forms of Talks the idea of Judith Butler from her two books Excitable Speech A Politics of The Performative and Gender Trouble Feminism and The Subversion of Identity and also Rosemarie Tong's thought from her book Femnist Thought
The result of this research shows that Ge Pamungkas was doing a gender based hate speech through his stand up comedy's bits then delivered it to his audience which is harmful to women Gender based hate speech that Ge delivered through his stand up comedy's performance also perpetuate a patriarchal culture in society where women always being oppressed and objectified He used comedy or jokes as the camouflage so he could perform the gender based hate speech freely Through comedy or jokes it was easily for audiences to understand all of the hateful information about gender issues Ge has brought
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvira Azzahra
"Karya akhir ini disusun untuk menganalisis penyebarluasan anti-feminisme di media sosial sebagai bentuk gendered hate online dan kekerasan terhadap perempuan. Penulisan karya akhir ini menggunakan analisis wacana kritis feminis oleh Lazar terhadap 11 cuitan akun Twitter @txtdarifeminis. Dengan menggunakan konsep gendered hate online, kekerasan terhadap perempuan, dan teori analisis wacana kritis feminis, karya akhir ini membuktikan bahwa cuitan akun Twitter @txtdarifeminis melakukan gendered hate online dan kekerasan terhadap perempuan. Gendered hate online dalam unggahan akun ini mulai dari tindakan yang mengandung sifat misoginistik dan seksis (shaming, labeling, stereotip gender, rape culture, dan victim blaming) sampai pada penyebaran gagasan yang salah tentang feminisme. Sedangkan, kekerasan terhadap perempuan dalam karya akhir ini terbagi dalam dua bentuk, yaitu kekerasan simbolik dan ancaman kekerasan fisik.

This paper discusses the analysis of the widespread of anti-feminism on social media as gendered hate online and violence against women. This paper uses feminist critical discourse analysis technique and data were collected from 11 tweets of Twitter account, @txtdarifeminis. This paper uses the concept of gendered hate online, violence against women, and the theory of feminist critical discourse analysis. This paper proves that tweets from account @txtdarifeminis did gendered hate online and violence against women. Gendered hate online on these tweets included actions that contained misogynistic and sexsism (such as shaming, labeling, gender stereotype, rape culture, and victim blaming) to disseminated false idea of feminism. Violence against women in this paper divided into symbolic violence and physical violence threat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Antika
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas mengenai pembentukan Forum Pengada Layanan FPL sebagai perwujudan politik tubuh dalam perpolitikan Indonesia. FPL adalah jaringan organisasi nasional yang memayungi 115 NGO yang bergerak dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kondisi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia kondisinya sudah semakin mengkhawatirkan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan feminis yang mencoba untuk menjawab pertanyaan penelitian Mengapa FPL sebagai perwujudan politik tubuh dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat terbentuk? Penelitian ini menggunakan Konsep Politik Tubuh, Konsep Jaringan Feminis, dan Konsep Peran NGO. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa FPL dapat terbentuk dikarenakan tiga faktor, yakni pertama karena adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan; kedua, adanya peningkatan kebutuhan Komnas Perempuan akan lembaga operasional yang dapat berperan sebagai mitra, pengada layanan, dan katalis; ketiga, adanya kesediaan NGO menjadi anggota FPL. Dapat disimpulkan bahwa FPL dapat terbentuk karena adanya ketiga faktor tersebut. FPL merupakan jaringan yang dapat berperan sebagai mitra, pengada layanan, dan katalis. Karakteristik FPL juga merupakan jaringan feminis yang menjadikan FPL sebagai satu-satunya jaringan nasional terbesar dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Hadirnya FPL dilihat sebagai perwujudan politik tubuh karena menyuarakan kekerasan terhadap perempuan sebagai permasalahan politik di ranah publik yang dahulu dianggap sebagai permasalahan personal. FPL dibentuk sebagai gerakan bersama yang berupaya mencari solusi kolektif akan permasalahan bersama ini.

ABSTRACT
This thesis discusses the establishment of Service Provider Forum FPL as the embodiment of political body in Indonesian politics. FPL is a network of national organizations that oversees 115 NGOs engaged in the elimination of violence against women. The condition of violence against women in Indonesia has become worrisome. This research is a qualitative research with feminist approach which try to answer the research question Why FPL as the embodiment of body politics in the effort of eliminating violence against women can be formed This study uses the Concept of Political Body, NGO Role Concept, and Feminist Network Concept. The results of this study prove that FPL can be formed due to three factors, namely first because of an increase in cases of violence against women secondly, there is an increasing need for Komnas Perempuan for operational institutions that can serve as partners, service providers and catalysts third, the willingness of NGOs to become FPL members. It can be concluded that FPL can be formed due to the existence of all three factors. FPL is a network that can act as partners, service providers, and catalysts. FPL Characteristics is also a feminist network that makes FPL the single largest national network in eliminating violence against women in Indonesia. The presence of FPL is seen as a manifestation of the body politics because it voiced violence against women as a political problem in the public sphere that was once regarded as a personal matter. The FPL was formed as a joint movement that seeks to find a collective solution to this common problem. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>