Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114828 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Salsabila Hartin
"ABSTRAK
Disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946 menambah daftar hukuman pokok dalam Pasal 10 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP dengan pidana tutupan. Pasal ini menghadirkan pilihan sanksi baru bagi Hakim untuk mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Sejarah mencatatkan pidana tutupan pernah dijatuhkan satu kali oleh Mahkamah Tentara Agung di Yogyakarta pada 1948. Setelah itu, pidana tutupan tidak pernah lagi sekalipun diterapkan di Indonesia, baik oleh badan peradilan umum maupun badan peradilan militer. Ketiadaan kriteria maksud yang patut dihormati menyebabkan ketidakjelasan ukuran objektif dalam penjatuhan pidana tutupan ini. Meskipun demikian, perumus Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana berpendapat bahwa pidana tutupan dibutuhkan keberadaannya dalam hukum pidana Indonesia. Skripsi ini berusaha menemukan pemaknaan maksud yang patut dihormati sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan dan RKUHP melalui analisis dari putusan pengadilan, dokumen-dokumen historis, serta dilengkapi dengan wawancara ke pihak-pihak terkait, di samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa di Jerman dan Jepang.

ABSTRACT
The enactment of Law Number 20 of 1946 has added pidana tutupan in the list of criminal sanction in Article 10 a of Penal Code. This article provides new sanction to sentence the criminal who has done the actions driven by honorable purpose with pidana tutupan. It is historically written that pidana tutupan has been sentenced once by Military Supreme Court in Yogyakarta on 1948. However, pidana tutupan has never been applied anymore in Indonesia, neither by general courts or the military courts. The absence of criteria to identify the honorable purpose has obscured its objectivity as a crime punishment. Nevertheless, the drafter of the New Penal Code argues that the existence of pidana tutupan is needed in Indonesian criminal law. This thesis aims to figure out the definition of honorable purpose in the Law Number 20 of 1946 about Tutupan Punishment and in the new draft of Indonesian Penal Code through analyzing court decision, historical records, and interview to related parties as to complement other data. In addition, this thesis also compared the concept of pidana tutupan with similar punishments in Germany and Japan."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernu Aulia Farhan
"Skripsi ini membahas mengenai urgensi kriminalisasi pemaksaan perkawinan dalam hukum pidana Indonesia. Termasuk didalamnya adalah membahas mengenai urgensi perlindungan korban kekerasan seksual khususnya pemaksaan perkawinan yang lebih optimal mengingat telah disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebetulnya terkait tindak pidana kekerasan seksual dapat ditemukan pengaturannya secara sektoral dan tersebar dalam beberapa undang-undang, seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Hak Azasi Manusia. Akan tetapi secara khusus, pembahasan dalam penelitian ini, yaitu pemaksaan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang dilaksanakan secara terpaksa melalui tekanan-tekanan tertentu yang menyebabkan tidak dapat dicapainya persetujuan yang sesungguhnya oleh salah satu atau kedua pasangan sebagaimana yang telah diatur dalam UU TPKS. Bahwa perlindungan yang optimal merupakan suatu keharusan melihat fakta seringkali perempuan terjebak dalam pusaran ketidakadilan dalam hal penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dalam koridor sistem peradilan pidana, baik dalam fase pra-penuntutan sampai dengan hasil vonis yang dijatuhkan yang tidak berpihak kepada korban. Bahwa dalam penilitian ini terungkap bahwa banyak sekali dampak-dampak destruktif yang dapat dihasilkan dari tindakan pemaksaan perkawinan. Dampak-dampak yang dimaksud dapat berupa dampak psikososial, kesehatan dan ekonomi pada korban. Sebagai instrumen pembantu penelitian ini akan dibandingkan juga regulasi berkaitan dengan pemaksaan perkawinan di Negara Inggis dan Jerman. Salah satu contoh yang dapat ditiru dalam perkembangan penanganan pemaksaan perkawinan di Indonesia adalah didirikannya lembaga pemerintah yang dapat menjadi garda terdepan perlindungan masyarakat terhadap kasus pemaksaan perkawinan seperti forced marriage unit (FMU) di Inggris dan sistem registrar di Jerman.

This thesis discusses the urgency of criminalizing the imposition of marriage in Indonesian criminal law. This study includes discussing the urgency of protecting victims of sexual violence, especially the victims of forced marriage considering the passage of Law No. 12 year 2022 of the Sexual Violence criminal Offence act (TPKS). Actually, related to the crime of sexual violence can be found on sectoral regulation and spread in several laws, such as the Domestic Violence Law, the Child Protection Law and the Human Rights Law. However, in particular, the discussion in this study, namely the coercion of marriage in question is a marriage that is carried out forcibly through certain pressures that cause the inability to reach true consent by one or both spouses as stipulated in the latest TPKS Law. Optimal victim protection is a must regarding the fact that women are often caught in a maelstrom of injustice in terms of handling cases of sexual violence in the corridors of the criminal justice system, both in the pre-prosecution phase and the results of sentences handed down that are not in favor of the victim. This study revealed that there are many destructive effects that can result from the act of coercion of marriage. These effects can be psychosocial, health and economic impacts on victims. As an auxiliary instrument, this research will also be compared with regulations related to the coercion of marriage in the UK and Germany. One example that can be imitated in the development of handling forced marriage in Indonesia is the establishment of government agencies that can be the frontline of public protection against cases of forced marriage such as forced marriage units (FMU) in the UK and the registrar system in Germany.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Hana Azizah
"Tindak pidana korupsi yang modusnya semakin berkembang hingga pengalihan hasil dari negara asal ke negara lain menjadi salah satu fokus utama munculnya kerjasama internasional yang kemudian melahirkan UNCAC. Melalui konvensi tersebut, dimuat 11 perbuatan yang dikriminalisasi sebagai korupsi, salah satunya Illicit Enrichment. Di samping definisinya yang sangat bervariasi di berbagai negara, ditemukan pula pendekatan pengaturan yang beragam, mulai dari pengaturan secara pidana, perdata, maupun administratif. Adapun penulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal atau kepustakaan dengen pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), yakni dengan negara Hong Kong yang mengatur Illicit Enrichment secara pidana dan Australia yang mengatur Illicit Enrichment secara perdata. Untuk menghasilkan rekomendasi pengaturan Illicit Enrichment, digunakan perbandingan berdasarkan karakteristik masing-masing pendekatan yang dipandang menjadi indikator penting dalam mengatur Illicit Enrichment, yakni ruang lingkup penerapan, pembalikan beban pembuktian, instrumen yang memicu investigasi, dan sanksi. Walaupun Indonesia saat ini belum mengadopsi Illicit Enrichment yang diamanatkan UNCAC, nyatanya aparat penegak hukum menggunakan mekanisme yang dikenal dalam Illicit Enrichment sebagaimana dalam penanganan perkara gratifikasi dan pencucian uang oleh Rafael Alun Trisambodo. Melalui tulisan ini, Penulis sangat menyarankan lembaga legislatif untuk mengadopsi Illicit Enrichment dalam RUU Perampasan Aset versi terbaru, atau bahkan dalam UU PTPK.

Corruption, whose modus operandi has evolved to the transfer of proceeds from the country of origin to other countries, has become one of the main focuses of the emergence of international cooperation which later gave birth to the UNCAC. Through this convention, 11 acts are criminalized as corruption, one of which is Illicit Enrichment. In addition to the definitions that vary widely in various countries, there are also various regulatory approaches, ranging from criminal, civil, and administrative arrangements. This paper uses a doctrinal research method with a conceptual approach and a comparative approach, namely with Hong Kong, which regulates Criminal Illicit Enrichment, and Australia, which regulates Civil Illicit Enrichment. To produce recommendations for regulating Illicit Enrichment, a comparison is made based on the characteristics of each approach that are considered to be important indicators in regulating Illicit Enrichment, namely the scope of application, reversal of the burden of proof, instruments that trigger investigations, and sanctions. Although Indonesia has not yet adopted Illicit Enrichment as mandated by UNCAC, law enforcement officers have in fact used mechanisms known in Illicit Enrichment as in the handling of graft and money laundering cases by Rafael Alun Trisambodo. Through this paper, the author strongly recommends the legislature to adopt Illicit Enrichment in the latest version of the RUU Perampasan Aset, or even in the UU PTPK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livi Elizabeth
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan menjelaskan bagaimana peraturan hukum hak atas pemulihan bagi perempuan yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual melalui skema Dana Bantuan Korban. Dana Bantuan
Korban merupakan sebuah bentuk kompensasi dari negara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual apabila pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi dalam bentuk restitusi. Restitusi atau ganti rugi dalam bentuk uang yang diberikan oleh pelaku kepada
korban merupakan sebuah upaya untuk memulihkan hak korban tetapi tak serta merta korban bisa dapatkan. Dengan menggunakan Feminist Legal Method yang melihat pada pengalaman perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual, maka penelitian
ini akan memakai empat putusan tindak pidana kekerasan seksual terkait restitusi. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana korban perempuan sebagai korban seringkali semata-mata hanya dianggap sebagai saksi untuk mendakwa korban bukan sebagai korban dari perlakuan pelaku. Penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana peran hukum di Indonesia terhadap pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan implikasi dari adanya Dana Bantuan Korban di Indonesia. Lebih lanjut,
penelitian juga dilakukan dengan menelaah serangkaian peraturan perundang-undangan dan wawancara dengan para narasumber terkait Dana Bantuan Korban untuk memperoleh data-data. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan skema Dana Bantuan Korban yang sejalan dengan Feminist Legal Theory sebagai hasil perjuangan hak perempuan dan
reformasi hukum bagi perempuan. Oleh sebab itu, dengan adanya Dana Bantuan Korban diharapkan dapat membantu para korban perempuan yang seringkali tidak bisa mendapatkan hak atas pemulihan.

This research was conducted with the aim of providing an understanding of and explaining how the law regulates the right to recovery for women who are victims of crimes of sexual violence through the Victim Trust Fund scheme. The Victim Trust Fund
is a form of compensation from the state for victims of crimes of sexual violence if the perpetrators are unable to provide compensation in the form of restitution. Restitution or compensation in the form of money given by the perpetrator to the victim is an attempt to restore the victim's rights, but the victim does not necessarily get it. By using the feminist legal method, which looks at the experiences of women as victims of sexual violence, this research will use four decisions for sexual violence crimes related to restitution. This research also shows how female victims are often only seen as witnesses to indict victims, not as victims of the perpetrator's treatment. This research will also analyze the role of the law in Indonesia in fulfilling the rights of victims of sexual violence and the implications of the existence of a Victim Trust Fund in Indonesia. Furthermore, research was also carried out by examining a series of laws and regulations and conducting interviews with sources related to The Victim Trust Fund to obtain data. In addition, this
research also shows that The Victim Trust Fund scheme is in line with feminist legal theory as a result of the struggle for women's rights and legal reforms for women. Therefore, with the existence of The Victim Trust Fund, it is hoped that it can help female victims, who often unable get their right to recovery.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galang Adhyaksa Pratama
"Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis dan mengkritisi mengenai perdagangan pengaruh dan urgensi kriminalisasinya. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah Salah satu norma yang diatur di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah perdagangan pengaruh atau trading in influence. Indonesia telah meratifikasi konvensi antikorupsi ini, tetapi masih belum diundangkan ke dalam hukum positif. Memperdagangkan pengaruh memiliki korelasi kuat dengan tindak pidana korupsi yang harus melibatkan tiga pihak (trilateral relationships), yakni pihak yang memiliki kepentingan, orang yang memiliki pengaruh atau akses terhadap kekuasaan, dan pejabat atau otoritas publik. Namun, dalam rumusan pasal UNCAC dan konvensi antikorupsi lain masih mengakomodasi bentuk bilateral relationship yang merupakan bentuk dalam tindak pidana suap. Dalam perdagangan pengaruh pejabat tidak perlu memperdagangkan pengaruhnya, cukup dilihat bahwa pejabat tersebut menyalahgunakan kewenangannya. Perdagangan pengaruh sulit untuk dilihat bentuknya dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena menganggap menggunakan pengaruh seseorang adalah hal yang wajar. Hal ini dapat terlihat dari praktik perdagangan pengaruh yang semakin marak terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Dalam praktiknya penuntut umum sering kali menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh, tetapi dalam pembuktiannya tidak semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Berbanding terbalik dengan unsur-unsur dalam Pasal 18 UNCAC yang mengakomodasi perbuatan perdagangan pengaruh. Agar pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan lebih baik dan maksimal pengaturan norma untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh harus menjadi prioritas utama agar segera dibentuk undang-undang atau peraturan mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif di Indonesia.

In this paper, the author will analyze and criticize the trading of influence and the urgency of criminalization. One of the norms regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) is trading in influence. Indonesia has ratified this anti-corruption convention, but it has not yet been enacted into positive law. Trading in influence has a strong correlation with corruption which must involve three parties (trilateral relationships), namely parties with interests, people with influence or access to power, and officials or public authorities. However, the formulation of the UNCAC article and other anti-corruption conventions still accommodates the form of a bilateral relationship which is a form of bribery. In trading the influence of an official, it is not necessary to trade his influence, it is sufficient to see that the official is abusing his authority. Trading in influence is difficult to see in its form and is deeply rooted in Indonesian society because it is considered normal to use someone's influence. This can be seen from the practice of trading in influence which is increasingly prevalent and is carried out by people who have power. In practice, public prosecutors often use Article 11 of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption in conjunction with Article 55 paragraph (1) in conjunction with Article 64 paragraph (1) to ensnare the perpetrators of influence trading, but in proving not all elements in the article are legally and convincingly fulfilled. In contrast to the elements in Article 18 UNCAC which accommodates acts of trading in influence. For the eradication of criminal acts of corruption to run better and optimally, regulation of norms to ensnare influence trading actors must be a top priority so that laws or regulations are immediately formed regarding acts of trading in influence in positive law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Jacob
"Tesis ini membahas mengenai pentingnya penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) dalam UUJN, dimana saat ini banyak terjadi akta otentik yang dibuat oleh Notaris dipersoalkan di Pengadilan, atau Notaris tersebut dipanggil melalui MPD untuk dijadikan saksi, bahkan tidak sedikit Notaris yang digugat atau dituntut di muka Pengadilan. Penyebab permasalahan tersebut bisa timbul akibat kesalahan baik karena kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa), ataupun karena peraturan perundang-undangan yang tidak tegas, juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh pihak lain. Apabila dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris terbukti melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan dalam UUJN, maka Notaris tersebut hanya mendapatkan sanksi berupa sanksi perdata dan sanksi administratif. Dari sanksi-sanksi dalam UUJN tersebut dipercaya tidak dapat membuat efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, bahkan yang cukup ironi pada sanksi tersebut ada sanksi pemberhentian dengan hormat, sehingga terkesan seorang Notaris yang apabila secara sah dan terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran masih mendapatkan penghormatan untuk diberhentikan dari suatu jabatannya. Dengan ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN maka pengaturan mengenai sanksi terhadap Notaris menjadi kurang sempurna, karena tidak adanya sanksi yang tegas dan jelas akan tindakan-tindakan yang dikategorikan tindak pidana khusus yang hanya dapat dilakukan oleh Notaris, yang kenyataannya belum ada satupun peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut. Hasil penelitian ini menyarankan untuk dilakukan penyempurnaan peraturan mengenai sanksi dalam UUJN sebagai salah satu cara untuk mengklasifikasikan dan membatasi tindakan-tindakan Notaris menyangkut tindak pidana yaitu dengan merumuskan Tindak Pidana Notaris (TPN) dan sanksi pidananya.

This thesis discusses the importance of the implementation of the Crime of Notaries (TPN) in UUJN, which is currently a lot happening authentic deed of Notary questioned in court, or notary is called upon by the MPD to be witnesses, not even a little notary sued or prosecuted in advance court. Causes of these problems may arise due to errors either due to deliberate (dolus) and negligence (culpa), or because the laws are not strict, it can also arise indirectly in the case made by the other party. If in doing his job a Notary proven guilty or violates the UUJN, the notary is only sanctioned by civil penalties and administrative sanctions. Of sanctions in UUJN is believed can not create a deterrent effect for Notaries who make mistakes or violations, even considerable irony in the dismissal sanction sanction exists with respect, giving the impression of a notary legally and if proven guilty or breach still get honor to be dismissed from the office. In the absence of criminal sanctions in UUJN the setting of sanctions against the Notary be less than perfect, in the absence of a firm and clear sanctions for measures specifically categorized as a crime that can only be done by a notary, the fact that no single rule governing the matter them. The results of this study do suggest to improve the regulation of the UUJN sanctions as a way to classify and restrict the actions involve criminal Notary is to formulate Crime Notary (TPN) and criminal sanctions."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T33042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chapra, M. Umer (Muhammad Umer), 1933-
Jakarta: Gema Insani Press, 2000
297.633 CHA it
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Savara Umaira Hanasia
"Penelitian ini bertujuan menjawab tiga permasalahan yakni pertama, bagaimana pengaturan sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP dibandingkan dengan konsep plea bargaining ditinjau dari asas non self-incrimination, bagaimana pengaturan plea bargain di Malaysia dan Amerika Serikat, sehingga dapat menjawab pula bagaimana sebaiknya pengaturan Jalur Khusus di RKUHAP yang mengdaptasi konsep plea bargain yang telah lama dilaksanakan oleh Malaysia dan Amerika Serikat. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan konseptual dan perbandingan. Tulisan ini hendak memberikan legal problem solving atas permasalahan penumpukan perkara pidana di Indonesia, yakni dengan
menerapkan plea bargaining system dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia melalui RKUHAP dengan mencoba menggabungkan nilai-nilai hukum yang telah diatur dalam sistem hukum Common Law. Penelitian ini menyimpulkan, pertama, di Amerika Serikat, konsep pengakuan bersalah (plead of guilty) yang dikenal dengan lembaga plea bargaining.
Plea bargainning dapat menjadi sebuah instrumen penyelesaian perkara yang lebih efektif dana efisien. Jalur Khusus di RKUHAP sedikit banyaknya mengadopsi nilai yang dikandung oleh konsep plea bargaining, walaupun tidak sepenuhnya menyerap konsep terkait. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa Jalur Khusus di RKUHAP, yakni dalam Pasal 199 RKUHAP,
masih terdapat beberapa permasalahan, salah satunya seperti kurangnya rincian mengenai aturan dan syaratnya. Dengan kekurangan atau permasalahan pengaturan Jalur Khusus di RKUHAP tersebut dapat berakibat pada kemungkinan adanya tahapan yang tidak sempurna sehingga muncul pula kemungkinan pelanggaran hak asasi dalam proses pidana tersebut

This study aims to answer three problems: first, how is the the regulation of Jalur Khusus system in the RKUHAP compared to the concept of plea bargaining in terms of the principle of non-self-incrimination, how is the arrangement of plea bargain in Malaysia and the United States of Amerika, so that it can also answer what is the best way to arrange Jalur Khusus system in the RKUHAP which adapts the concept of plea bargain which has long been implemented by Malaysia and the United States of America.The research method used is juridical normative with a conceptual approach and comparison method. This paper intends to provide legal problem solving for the accumulation of criminal cases in Indonesia, namely by implementing a plea bargaining system in reforming the criminal justice system in Indonesia through the RKUHAP by trying to incorporate legal values that have been regulated in the Common Law legal system. This research concludes, firstly, in the United States, the concept of plea bargaining is known as plea bargaining. Plea bargaining can be a more effective and
efficient case settlement instrument. Jalur Khusus in RKUHAP more or less adopts the values contained in the concept of plea bargaining, although it does not fully absorb related concepts. The results of this study found that Jalur Khusus in the RKUHAP, namely in Article 199 RKUHAP, there are still several problems, one of which is the lack of details regarding the
rules and conditions. With deficiencies or problems with the regulation of Jalur Khusus in the RKUHAP, it can result in the possibility of incomplete stages so that there is also the possibility of human rights violations in the criminal process.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gede Krishna Siwananda
"Penelitian ini menganalisis perbandingan konsep perampasan aset yang diatur dalam hukum positif di Indonesia dengan konsep perampasan aset menurut Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana, serta urgensi instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture di Indonesia dengan melakukan studi kasus terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Pinangki Sirna Malasari. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Perampasan Aset merupakan upaya paksa negara yang didasarkan atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap guna pengambilan kekuasaan dan/atau kepemilikan suatu aset tindak pidana tanpa penghukuman kepada pelakunya. Rezim Perampasan Aset di Indonesia masih menekankan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan sebelum dapat merampas aset hasil kejahatan dari pelakunya, di mana pendekatan seperti ini disebut perampasan aset secara in personam. Perampasan aset secara in personam terbukti seringkali menemui kendala, sehingga Jaksa tidak dapat secara cepat merampas aset tindak pidana. Salah satu kasus yang terbukti menimbulkan kerugian keuangan negara adalah kasus mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam Putusan Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. Aset hasil kejahatan yang berhasil dirampas dari Pinangki Sirna Malasari tidak sebanding dengan jumlah aset yang berhasil ia peroleh dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan pendekatan perampasan aset secara Non-Conviction Based Asset Forfeiture melalui pengesahan RUU Tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana menjadi Undang-Undang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa RUU tersebut terbukti efektif jika digunakan sebagai dasar hukum dalam merampas aset hasil kejahatan dari Pinangki Sirna Malasari.

This research analyzes the comparison of the concept of asset confiscation regulated in positive law in Indonesia with the concept of asset confiscation according to the Draft Law on Confiscation of Assets Related to Criminal Acts, as well as the urgency of the instrument of asset confiscation without punishment or Non-Conviction Based Asset Forfeiture in Indonesia by conducting a study case regarding criminal acts of corruption and criminal acts of money laundering committed by Pinangki Sirna Malasari. This research was prepared using doctrinal research methods. Asset confiscation is a state coercive measure based on a court decision that has permanent legal force to take power and/or ownership of a criminal asset without punishing the perpetrator. The Asset Confiscation regime in Indonesia still emphasizes punishing criminals before they can confiscate the assets resulting from crime from the perpetrators, where this approach is called in personam asset confiscation. It has been proven that confiscation of assets in personam often encounters obstacles, so that prosecutors cannot quickly confiscate criminal assets. One of the cases proven to have caused state financial losses was the case of former Prosecutor Pinangki Sirna Malasari in Decision Number 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. The criminal assets that were confiscated from Pinangki Sirna Malasari were not comparable to the amount of assets he managed to obtain from criminal acts of corruption and money laundering. The results of this research indicate that Indonesia needs a Non-Conviction Based Asset Forfeiture approach to confiscation of assets through the ratification of the Bill Concerning Confiscation of Assets Related to Criminal Acts into law. This research also shows that the bill has proven effective if used as a legal basis for confiscating assets resulting from crime from Pinangki Sirna Malasari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shyfa Ayu Aqilla
"Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan insentif pajak di Ibu Kota Nusantara melalui Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2023 yang bertujuan untuk menarik investasi. Namun, komitmen Indonesia terhadap pilar dua OECD Global Minimum Tax (GMT) menimbulkan tantangan terhadap efektivitas insentif ini, terutama insentif pajak penghasilan, di bawah skema tarif pajak minimum global 15%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi, tantangan, dan keberlanjutan kebijakan insentif pajak penghasilan di Ibu Kota Nusantara dalam perspektif pilar dua OECD. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data dari studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insentif pajak di Ibu Kota Nusantara penting diterapkan untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor di tengah isu politik Indonesia 2024. Selain itu, terdapat tantangan dalam penerapan insentif pajak ini, terutama terkait kompleksitas kebijakan dan keterlibatan para pemangku kepentingan. Kebijakan insentif pajak juga tetap akan diterapkan sambil menunggu perkembangan dan peraturan resmi terkait GMT di Indonesia. Pemerintah juga mempertimbangkan untuk mendesain ulang insentif pajak setelah penerapan resmi GMT dengan bentuk seperti Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) dan Marketable Transferable Tax Credit (MTTC).

The Indonesian government has introduced tax incentives in the Capital City of Nusantara through Government Regulation No. 12 of 2023 aimed at attracting investment. However, Indonesia's commitment to OECD Pillar Two Global Minimum Tax (GMT) poses challenges to the effectiveness of these incentives, especially income tax incentives, under the global minimum tax rate scheme of 15%. This study aims to analyze the urgency, challenges, and 2 sustainability of income tax incentive policies in the Capital City of Nusantara following Indonesia's commitment to OECD Pillar Two. This research employs a qualitative descriptive method with data collection techniques from literature studies and field research through indepth interviews with relevant parties. The results of the study indicate that tax incentives in the Capital City of Nusantara are crucially applied to provide legal certainty to potential investors amidst the political issues in Indonesia in 2024. Additionally, there are challenges in implementing these tax incentives, particularly concerning policy complexity and stakeholder involvement. Tax incentive policies will continue to be implemented while awaiting developments and official regulations related to GMT in Indonesia. The government also considers redesigning tax incentives after the official implementation of GMT, with the possibility of introducing forms such as Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) and Marketable Transferable Tax Credit (MTTC)."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>