Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89499 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kintan Nadya Fadilla
"ABSTRAK
Hingga saat ini, terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum yang menelan banyak korban luka atau meninggal dunia selalu dinilai sebagai kesalahan sopir terlepas dari laik atau tidak laiknya kendaraan yang dikemudikan. Ketidaklaikan kendaraan seharusnya dapat memberikan bayangan akan suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Dengan menggunakan metode kualitatif dan menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, peraturan-peraturan lain yang terkait, serta doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, penelitian ini membuahkan hasil bahwa korporasi yang dalam hal ini adalah perusahaan angkutan umum, secara teoretis perusahaan angkutan umum dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum karena tidak laiknya kendaraan dan perbuatan pembiaran atas ketidaklaikan kendaraan yang dapat menimbulkan kecelakaan adalah suatu bentuk kesengajaan berkeinsyafan kemungkinan dolus eventualis . Akan tetapi sampai saat ini belum pernah ada korporasi yang dijadikan sebagai subjek tindak pidana lalu lintas dikarenakan sulitnya proses pembuktian unsur di dalam persidangan dan tidak ada keinginan untuk itu. Perlu sebuah dorongan dan kemauan untuk menjadikan perusahaan angkutan umum sebagai subjek tindak pidana lalu lintas agar tidak selalu sopir yang menjadi subjek tindak pidana lalu lintas meskipun sebenarnya tindak pidana lalu lintas terjadi karena tidak laiknya kendaraan.

ABSTRACT
Up until now, the occurrence of traffic accident involving public transportation which claimed many injured or died has always been regarded as a driver error regardless of the worthiness of the vehicle. Unworthy vehicle should be able to give an idea of a possible traffic accident. By using qualitative method and analyzing corporate criminal liability in the Law of the Republic of Indonesia Number 22 Year 2009, other related regulations, as well as doctrines of corporate criminal liability, this research led to the conclusion that corporation in this case is a public transportation company, theoretically, may criminally be liable for traffic accident involving public transportation because of the unworthy vehicle, and neglecting the unworthiness of the vehicle that could lead to accident is an intent in the form of dolus eventualis. However, until now, there has never been a corporation as a subject of a traffic crime due to the difficulty of proofing elements in the trial and there is no desire for it. It needs encouragement and willingness to make public transportation company as the subject of traffic crime so that it is not always the driver who will be the subject even though the traffic crime occurs due to the unworthiness of the vehicle."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariman Satria
"ABSTRACT
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku. "
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Verra Donna Rastyana Pritasari
"Korupsi telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan serta merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan. Sehingga untuk meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah bersama lembaga legislatif berupaya menyempurnakan peraturan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi serta membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun upaya yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mustahil dapat berjalan efektif bila tidak didukung dengan pengadilan yang independent dan kompeten untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi, sehingga dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam keberadaaanya, ternyata adanya pengadilan tindak pidana korupsi menimbulkan dualisme diantara pengadilan yang mengadili pelaku korupsi, yaitu antara pengadilan umum dan pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi. Padahal kedua pengadilan ini mengadili perbuatan orang yang samasama di dakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancaman pidana oleh undang-undang yang sama, namun dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi dan faktor yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam putusannya serta mencari upaya untuk mengurangi disparitas putusan hakim antara pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hakim pada pengadilan Umum terhadap tindak pidana korupsi. Carl hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi. Sistem peradilan di Indonesia yang menganut asas pembuktian menurut undangundang secara negatif, tidak dianutnya "the binding of precedent", multi tafsir darn pengaruh non yuridis seringkali menjadi penyebab disparitas putusan. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkannya adalah dengan znenyatukan pandangan, versi dan misi pada setiap hakim untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.

Corruption influenced state life and destructed economic and society system in a large scale, hence, no longer it may be grouped as an ordinary crime but should be granted as an extraordinary crime. Presently, the conventional law enforcement to combat corruption had taken obstacles. So as to increase efforts for Combating of such corruption criminal act the government (executive) with legislative mutually, they had improved legislation to Combat corruption criminal act as well as to establish The Commission to Combat Corruption. Nevertheless, the efforts conducted by The' Commission to Combat Corruption, possibly, it may not be realized effectively, unless it will not be supported by competent and independent courts to try case of corruption criminal act, then it is established Corruption Courts had resulted in ambiguity among courts trying corruption actor(s), i.e, General and Special courts for trying corruption criminal Act. Indeed, those two institutions examining the same cases of corruption criminal act and threatened by imprisonment under legislation, but it had resulted in the different judgement. Both field and library researches had been conducted in order to know the opinion of judge is against corruption criminal Act and factor as basic considerations of judge regarding his/her judgement and seeking out the efforts for reducing disparity of judge's decision among court of corruption criminal act and general court in term of corruption criminal act. The result research indicated that there are disparities among judges' s opinion regarding corruption criminal act. Frequently, judiciary system of Indonesia based on the negativity evidentiary basic rule, not the binding of precedent, multi interpretations and non juridical impact had resulted in disparity of judgement. Hence, the efforts to be conducted for minimizing it is by unifying their opinion, vision and mission for each judge to put corruption as joint enemy."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Weriansyah
"Pandangan hakim terhadap status kewarganegaraan asing pada penjatuhan pidana dalam perkara peredaran gelap narkotika di Indonesia masih belum konsisten. Dalam beberapa putusan, status kewarganegaraan asing dicantumkan sebagai keadaan yang memberatkan sedangkan pada beberapa putusan lainnya status kewarganegaraan asing tersebut tidak dipertimbangkan sama sekali bahkan terdapat putusan yang menjadikan faktor tersebut sebagai alasan meringankan. Melalui metode penelitian yuridis normatif, dengan pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara terhadap beberapa hakim di Indonesia, penelitian ini berupaya menjelaskan persoalan mengenai relevansi status kewarganegaraan asing dalam penjatuhan pidana ditinjau dari 3 (tiga) aspek yakni falsafah penjatuhan pidana, pengaturan penjatuhan pidana dalam perkara peredaran gelap narkotika dan perbandingannya terhadap Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, serta pandangan hakim dari masing-masing ketiga negara tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status kewarganegaraan asing terdakwa dapat dijustifikasi melalui general deterrence theory walaupun justifikasi melalui teori tersebut terbilang lemah. Selanjutnya, ditinjau dari pengaturan penjatuhan pidana, kendati tidak ditemukan status kewarganegaraan asing sebagai faktor yang relevan dalam penjatuhan pidana dari ketiga negara di atas, hakim masih memiliki diskresi untuk menentukan sendiri faktor-faktor yang relevan menurutnya, sehingga masih terbuka kemungkinan untuk faktor kewarganegaraan asing dipertimbangkan. Terakhir, penelitian ini menemukan bahwa hakim di Belanda dan beberapa hakim di Indonesia menilai status kewarganegaraan asing tersebut relevan untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana dengan alasan general deterrence theory dan beberapa alasan yang bersifat politis. Spesifik di Belanda, status kewarganegaraan asing juga dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana karena terkait dengan adanya kendala eksekusi dalam beberapa jenis pidana tertentu. Namun, Amerika Serikat secara tegas menolak status kewarganegaraan asing untuk berpengaruh dalam penjatuhan pidana karena dipandang inkonstitusional.

The perspective of judges regarding foreign citizenship status in sentencing for drug trafficking cases in Indonesia remains inconsistent. In some decisions, the status of foreign citizenship is identified as an aggravating circumstance whereas in several other decisions it is not considered at all or may even be considered as a mitigating factor. Through normative juridical research method, which involves literature review and interviews with several judges in Indonesia, this research aims to elucidate the issue of the relevance of foreign citizenship status in criminal sentencing, considering three aspects: sentencing philosophies, the regulation of criminal sentencing in drug trafficking cases and a comparison with Indonesia, the Netherlands, and the United States, as well as the views of judges from each of the three countries. The research finding indicate that the defendant’s foreign citizenship status can be justified based on the general deterrence theory although the justification relatively weak. Furthermore, in terms of regulations on criminal sentencing, although foreign citizenship status is not recognized as a relevant factor in criminal sentencing from the three countries above, judges still have the discretion to determine the relevant factors themselves, so it is still possible for foreign citizenship factors to be considered. Finally, this study reveals that judges in the Netherlands and several judges in Indonesia considered the status of foreign citizenship relevant to be considered in sentencing for general deterrence theory and several political reasons. Particularly in the Netherlands, foreign citizenship status is also considered in sentencing due to execution constraints in certain types of punishment. However, the United States firmly rejects the notion that foreign citizenship status has an impact on criminal sentencing as it is deemed unconstitutional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Shofie
"ABSTRAK
Fokus disertasi ini membahas pertanggung jawaban pidana korporasi dari sisi pengaturan dan praktiknya dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Sejak tahun 1955 sesudah berlakunya Undang-undang Tinclak Pidana Ekonomi 1955 (Undang-undang No 7/DRT/1955), hingga saat ini tidak satu pun korporasi dijatuhi pidana. Sementara itu Undang-undang Perlindungan Konsumen 1999 (Undang-undang No.8/ 1999) juga membebani pertanggungiawaban pidana kepada korporasi atas tindak pidana (laku pidana) perlindungan konsumen. Tetapi hal yang sama masih juga terjadi dalam masa rezim perlindungan konsumen. 36 kasus tindak pidana pcrlindungan konsumen telah dikaji dengan menggunakan desain penelitian normatif. Tidak ada korporasi yang dijatuhi pidana. Isu kontroversial tersebut tidak membuat peneliti kccewa. Argumentasi-argumentasi pengadilan terkait ke-36 kasus tersebut dicermati dengan teliti. Hasilnya, yaitu: bahwa sejumlah argumentasi memberi ruang yang Iebih luas bagi pertanggung jawaban pidana korporasi. Sehubungan dengan hal ini, pengadilan masih tetap berperan memberikan argumentasi hukum tentang teori pelaku fungsional dalam tindak pidana. Penjelasan teoritis ini berpijak pada pandangan bahwa mens rea (schuld) pelaku fisik dapat diatribusikan kepada pelaku fimgsional. Pada tahap-tahap selanjutnya mens rea (schuld) tersebut diatribusikan kepada korporasi dengan meuggunakan doktrin agregasi. Dengan pendekatan teoritis ini, korporasi dipertanggungiawahkan secara pidana. Hal ini tidak berarti bahwa penjatuhan sanksi seyogyanya selalu dilakukan pengadilan. Ketika pengadilan menerapkan undang-undang dalam suatu kasus, pengadilan mengkongkritkan norma norma umum menjadi norma individual. Teknik hukum pidana menentukan suatu perilaku (tindak pidana) dengan penjatuhan sanksi terhadap pelanggannya. Menurut pandangan hukum yang sanksionis jika seseorang tidak berperilaku sesuai dengan suatu larangan tertentu, konsekuensinya pengadilan seharusnya menjatuhkan sanksi, apakah pidana ataupun perdata. Preskripsi berupa sanksi tidak selalu dijatuhkan, tergantung pada kondisi-kondisi tertentu, dalam hal suatu perangkat paksaan seyogyanya diterapkan. Pengadilan seyogyanya menjatuhkan sanksi kepada korporasi, jika suatu tindak pidana (laku pidana) menguntungkan korporasi. Sehubungan dengan ini, peneliti mengusulkan agar teori corporate vicarious criminal liability seyogyanya diterapkan dalam rezim perlindungan konsumen.

ABSTRACT
The focus study of this dissertation is the laws and practices of corporate criminal liability concerning consumer protection law in Indonesia. Since 1955 until now after enactment ofthe Law on Economic Crimes 1955 (Law of Republic of Indonesia No. 7/DRT/1955; UU TPE l955), corporation has not been liable for economic crimes in Indonesia. Meanwhile The Law on Consumer Protection 1999 (The Law of Republic of Indonesia No.8/1999; LCP 1999) also provides that a corporation may be criminally liable for consumer offences. But the similar circumstances still have been repeated in the consumer protection regime. 36 cases related to consumer offences have been analyzed with a normative research design. No corporation was made a sentence at all in these cases. The controversial issue does not make the researcher unsuccessfully. The arguments of courts related these 36 cases were examined carefully. The result is that some of them give a wider space for corporate criminal liability. ln regard to this, judicial role still give some legal argumentations on theory of functional perpetrator in criminal acts. This theoretical explanation hold that physical perpetrators mens rea (schuld) can be attributed to functional perpetrator. ln the further steps, the mans rea can be attributed to corporation. It is based on aggregation theory. According to this theoretical approach, corporation may be held criminally responsible. it does not mean that decreeing a sanction should always be taken by judicial. When the judiciary applies the statutory in a litigated case. it concrctizes the general norms which constitutes an individual norm. The penal technique makes conduct (offences) the condition of sanctions to the delinquent. According to sanctionist view of law is that if a person does not comply with a certain prohibition, the consequence is that the courts ought to inflict a penalty, whether criminal or civil. Prescribing a sanction is not always inflicted, it depends on the certain conditions, in which a coercive measure ought to be applied. The court should order a sanction to a corporation, ifa criminal act benefits the corporation. In regard to this, the researcher suggest that the theory of corporate vicarious criminal liability should be adopted in consumer protection regime."
Depok: 2010
D1106
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hamzah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Aryadi
"Berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik gencar memberitakan tentang terjadinya kejahatan dengan variasi jenisnya, peningkatan kuantitas dan kualitasnya, modus operandinya, korban maupun jumlah kerugiannya. Data kejahatan yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti kepolisian, kejahatan dan pengadilanpun setiap tahun mengalami peningkatan. Kompas tanggal 23 Januari. 1990 memberitakan bahwa antara tanggal 20 Oktober sampai 19 November 1989 telah terjadi. 1.893 kasus kamtibmas, sedangkan.antara tanggal 20 November sampai 19 Desember 1989 telah terjadi 2.205 kasus, yang berarti naik 312 kasus atau 16,98 %.
Dari 10 jenis peristiwa kamtibmas, 7 jenis mengalami kenaikan yakni:
1. pembunuhan naik 11 kasus (20 %);
2. pencurian dengan pemberatan naik 199 kasus (26 %);
3. pencurian dengan kekerasan naik 31 kasus (15,19 %);
4. pencurian kendaraan bermotor naik 123 kasus atau naik 30,98 %;
5. perkosaan naik 12 kasus (57,14 %);
6. kejahatan (penyalahgunaan) narkotika naik 6 kasus atau naik 300 %;
7. kejahatan mata uang palsu naik 6 kasus (75 %).
Selain 7 jenis peristiwa kamtibmas di atas, diketahui juga bahwa diberbagai kota di Indonesia terjadi kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus seperLi korupsi, subversi, tindak pidana ekonomi, delik pers, dan sebagainya yang juga mengalami kenaikan dan berakibat timbulnya banyak kerugian. Anton Tahah mengemukakan data korupsi pada Harian Kompas tanggal 19 September 1991 beserta jumlah kerugian negara. Sebagai pembanding pada 5 tahun (1977 - 1981) terjadi 1.325 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 137.500 juta; 5 tahun berikutnya (1982 - 1985) terjadi. 4.985 korupsi; tahun 1989 kerugian korupsi mencapai Rp 260 milyar, dan pada tahun 1990 kerugiannya mencapai Rp 1 trilyun. Berdasarkan data dari Kejaksaan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1988 sampai tahun 1990 terjadi 12 kasus korupsi dengan kerugian Rp 1.363.494.506,95,00 Kerugian tersebut sangat mengerikan, dan kalau tidak segera dicari terapinya, sangat menggoyahkan sendi-sendi perekonomian nasional."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
"Kesalahan dan Penanggungiawaban Pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktek hukum belum terdapat kesamaan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain, kerapkali terdapat perbedaan dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Hal ini dapat saja bersumber dari adanya kecenderungan melihat penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana semata-mata sebagai bagian dari tugas hakim daiam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kecederungan demikian, juga terlihat dari minimnya ketentuan peraturan pemndang-undangan pidana mengenai hal itu. Undang-undang pidana umumnya hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana beserta ancaman pidana bagi pembuatnya. Pada sisi tain, hai ini membuka kemungkinan para akademisi memberi kontribusi teoretis mengenai hal ini.
Pada tahun 1955 Prof. Moejatno, SH mengemukakan pandangannya mengenai tindak pidana dan pertanggungiawaban pidana. Dalam lirteratur teori ini dikena! dengan ajaran dualistis, yang dalam disertasi ini disebut dengan Teori Pemisanan Undak Pidana dan Peftanggungjawaban Pidana.
Teori ini menempatkan masalah pertanggungjawaban pidana terpisah dari masalah tindak pidana, sehingga dapat dipandang sebagai koreksi atas ajaran monistis yang memandang kesalahan semata-mata sebagai unsur subyektif tindak pidana. Selain itu, teori ini telah menjadi fundamen dasar penyusunan Rancangan KUHP, sehingga sangat bemilai strategis dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan teori ini umumnya tidak diterapkan, sekalipun harus diakui terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dipandang sejalan dengan teori tersebut. Hal ini menyebabkan elaborasi Iebih iauh tentang pola penentuan kesalahan dan penanggung-jawaban pidana berdasar pada teori dualistis, sangat diperlukan guna menunjang praktek peradilan ketika KUHP baru diberlakukan.
Berdasarkan teori ini kesalahan dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam praktek. Misalnya, atas dasar apa penentuan kesalahan terdakwa, jika Penuntut Umum hanya berkewajiban membuktikan rumusan tindak pidana yang didalamnya tidak memuat unsur kesalahan. Apabila tidak mendapat pengaturan lebih Ianjut, balk dalam hukum pidana materil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), maka penentuan kesaiahan dan pertanggungjawaban pidana cenderung ke arah feit materiel. Hal ini terakhlr ini merupakan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang telah ditinggalkan sejak Water en Melk Arrest Hoge-Raad 1916. Dengan kata lain, hal ini akan membuat pertanggungjawaban pidana cenderung dilakukan secara strict liability, yang oleh sementara kalangan dipandang sebagai pertanggungjawaban tanpa -kesalahan (liabiiity without fault). Dalam disertasi ini dikemukakan konsepsi tentang 'penentuan kesalahan dan pertangungjawaban pidana berdasar teori dualistis, tgnpa terjebak pada kecendengan menerapkannya sebagai fait material atau strict Bability.
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungiawaban Pidana yang menjadi fundamen penyusunan Rancangan' KUHP belum sepenuhnya terimplementasi dalam berbagai ketenluanhya. Sejauh mengenal perumusan tindak pidana hal ini hanya mempengaruhi dikeluarkannya kesengajaan dari rumusan tindak pidana. Sementara kealpaan tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. Hal ini pun akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Tldak terbuktinya kealpaan yang menjadi bagian rumusan tindak pidana menyebabkan terdakwa dibabaskan. Sebaliknya, jika dipandang tidak terdapat kesengajaan ketika melakukan tindak pidana, maka terdakwa akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baik kesengajaan maupun kealpaan keduanya bentuk-bentuk kesalahan, sehingga kurang tepat jika tidak terdapatnya hal ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Disertasi ini mengemukakan konsepsi yang clengan itu perbedaan sebagaimana tersebut di atas dapat dihindari.

Fault and criminal liability still leaving some problems. For example, in practical law there is no similarity pattern of deciding the criminal fault and criminal liability yet. We often find that a verdict of a court is different with another court even they handled the same cases, it is usually often causes by the diherences in determined the defendant fault and criminal liability. lt could be caused by the inclination of some opinions said that the determination of the fault and criminal liability is part of the judges job in diagnose, judging and deciding a case. We can also say that the inclination caused bythe minimum regulations of the crime legislations. In generai the criminal legislations are only deciding the crime that is Stated as a crimutal act and the punishment for the doer. ln the other hand it opens the possibility for the academician to contribute their theoretical knowledge for this case.
In 1955, Prof. Moejatno, SH made an opinion about criminal act and criminal liability. ln a literature, this theory is known as the dualistic theory and it is called as the separation theory of criminal act and criminal liabihty in this dissertation. This theory placed the criminal liability problem (mens rea) separate from the criminal act problem (actus reus), so that we can see it as the correction of the monistrc theory that say that fault is part of the physiological element of criminal act. Beside that, this theory has become the basic concept of the Bill of Criminal Code for it would become strategic value in the Indonesian law development. However; result of the research this dissertation shows that this theory isn't always used, even though there are some court decisions used it. lt causes a further elaboration ofthe pattern of criminal act and criminal liability based on the dualistic theory that is very important to support the practical law when it is issued to the public.
Based on this theory, fault is not a part of criminal act. And it can causes problems in the law practice. For example, there will be a question about the basic determination of defendants fault, if the General Prosecutor only has an obligation to proof an criminal act concept that isn't consist of fault. lf there isn't any further regulation, neither in the substantive criminal law (Criminal Code) or procedure criminal law (Criminal Code Procedure), then the determination between fault and criminal liability will disposed to the feit materiel doctrine. And this is the pattern of the determination of fault and criminal liability that had been left since Water en Melk Arrest Hoge Read 1916. ln the other word, it can be said that the pattern can make the criminal liability disposed done by strict liability. The last one by some authors as a pattem the determination of criminal liability without fault. This dissertation tells a conception ofthe determination of fault and criminal liability based on dualistic theory without trapped on the leaning on using it as feit materiel doctrine or strict liability.
The separation theory of criminal act and criminal liability that is used as the basic concept Bill of Criminal Code isn't fully implemented on some stipulations. As far as we know, this theoiyis only affected to the issued of the intention out a part of criminal act concept. In the mean time, faults still become a part ofthe criminal-ect concept, and it is become a- problem in the real practice. The unproven of intention that is a part of criminal act will release (ontslaag van -alle rechtvenrolging) 'the defendant. On the other hand, if a defendant seems to be had negligence in done the cnrninal act the law will let him free (vrijspraak). Both of intention and negligence are faults, so that it wouldn?t be appropriate if the unexcitable of them make different consequences. This dissertation tells about a conception that will show us if we can avoid the differences mentioned.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
Jakarta: Kencana, 2010
346.066 MUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>