Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157637 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riski Amalia
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai unsur rasisme dalam kebijakan imigrasi Australia. Muncul hipotesa bahwa kebijakan imigrasi yang dikeluarkan pemerintah Australia di tahun 1996 hingga 2007 dipengaruhi oleh unsur rasisme dari beberapa pihak. Di tahun 1996, muncul seorang politikus wanita Australia bernama Pauline Hanson, ia merupakan senator yang menyuarakan rasisme dan ingin kebangkitan White Australia Policy. Ia kemudian mendirikan partai bernama One Nation Party yang juga menyuarakan rasisme dalam kebijakan partainya. Pada masa itu Australia yang berada dibawah kepemimpinan Perdana Menteri John Howard turut menyebabkan nama John Howard dituduh sebagai politikus yang rasis karena kebijakan imigrasi yang dikeluarkan merupakan tanggung jawabnya. Penulisan skripsi ini menggunakan empat tahap metode sejarah untuk membuktikan bahwa terdapat unsur rasisme dalam kebijakan imigrasi Australia selama tahun 1996 hingga 2007 yang berasal dari pengaruh One Nation Party dan John Howard.

ABSTRACT
This Essay discusses about racism in the Australian Imigration Policy. There is a hypothesis that imigration policy issued by the Australian Government in 1996 to 2007 was influenced by racism from several parties. In 1996, an Australian female politician named Pauline Hanson as a senator, she have voiced racism and wanted the resurrection of the White Australia Policy. She then founded a party called One Nation Party which also voiced racism in their policy. At that time Australia was under the leadership of Prime Minister John Howard, this led John Howard accused of being a racist politician because the immigration policy that has been issued was his responsibility. This essay use four stages of historical method to prove that there is an element of racism in Australian Immigration Policy applied from 1996 to 2007 as a result ofOne Nation Party rsquo s influence and John Howard rsquo s policies. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Nathania Christabel
"Dalam sistem politik, persetujuan sering kali direkayasa dengan tujuan memenuhi
kepentingan grup semata. Kemudahan merekayasa ini membuat para politisi saling berlomba
untuk menggiring opini publik menggunakan teknik framing. Akan tetapi, framing sering
dinyatakan telah merusak salah satu fungsi jurnalis yaitu gatekeeping . Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis lebih jauh bagaimana framing digunakan dalam sistem politik demokrasi
Australia melalui contoh kasus John Howard, seorang perdana menteri Australia di era
1990-an.

In the political system, consent often gets manufactured. Therefore, politicians compete with
each other to tame and steer the public’s opinion with framing technique. However, the act of
framing is said to corrupt journalists’ function of gatekeeping. This paper aims to analyse
further how the case of framing played out in Australia’s democratic political system through
the case of John Howard, Australia’s prime minister back in the 1990s.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lukmanul Hakim Adhinegoro Payapo
"Tesis ini akan memfokuskan pada implikasi kebijakan suaka atau keimigrasian Perdana Menteri John Howard dan Tony Abbott yang berasal dari Partai Liberal di Australia terhadap Indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk memahami variabel dominan yang mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan suaka atau keimigrasian di Australia, kecenderungan umum perilaku politik keimigrasian di negeri kangguru tersebut, dan implikasinya terhadap hubungan bilateral dengan Indonesia dalam kurun waktu pemerintahan kedua Perdana Menteri diatas melalui beberapa kasus politik, yaitu Tampa (2001), Papua (2006), dan Operasi Kedaulatan Perbatasan (2013-sekarang). Berbicara masalah politik keimigrasian di Australia, terdapat beberapa variabel terkait masalah tersebut. Bob Birrell (2001), salah satu pakar terkemuka mengenai masalah politik keimigrasian di Australia mengatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) unsur utama yang harus diperhatikan, yaitu masalah kepentingan, masalah hak-hak migran dan masalah kekuasaan negara. Ketiganya merupakan variabel dominan yang dapat digunakan untuk memahami politik keimigrasian diAustralia. Isu keimigrasian di Australia sangat rentan terhadap masalah politisasi, khususnya kepentingan politik domestik di negara tersebut. Politik internasional merupakan kelanjutan dari politik domestik. Politik domestik menjadi latar belakang kebijakan luar negeri suatu negara. Salah satu aspek politik domestik yang sering terkait dengan kasus internasional adalah dinamika berupa pertarungan atau konflik politik. Penanganan kasus Tampa dan Papua oleh John Howard, maupun kasus kebijakan Operasi Kedaulatan Perbatasannya Tony Abbott adalah contoh konkrit hasil dinamika politik domestik Australia tersebut. Politik keimigrasian di Australia adalah kombinasi antara kepentingan politik domestik serta kepentingan Internasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian atau Migration Act 1958 dengan beberapa amandemen parsialnya. Selain itu, momentum pemilihan umum kiranya dapat menjadi faktor determinan dalam melihat konsistensi kepemimpinan liberal Howard atau Abbott dalam menerapkan kebijakan keimigrasian atau suaka melalui referensi beberapa kasus diatas, serta implikasinya terhadap Indonesia. Australia cenderung melihat lingkungan sekitarnya dengan mata orang asing, merasa superioritas dan melihat negara-tetangga di kawasannya dengan ketakutan dan kecurigaan. Sebaliknya negara-negara sekitarnya memandang Australia bertindak seperti kekuatan kolonial. Peningkatan hubungan baik dengan Indonesia sangat diperlukan karena pada dasarnya setiap negara saling membutuhkan meskipun dalam kondisi konflik.

This thesis will focus on the policy implications of asylum or immigration Prime Minister John Howard and Tony Abbott from the Liberal Party in Australia against Indonesia. This research aims to understand the dominant variables that affect the process of formulation and implementation of asylum or immigration policies in Australia, general trend of political behavior immigration in the kangaroo country, and the implications for bilateral relations with the Indonesian government within both the Prime Minister on through several political cases, the Tampa (2001), Papua (2006), Operation Sovereignty and Border (2013-present). Talking about immigration politics in Australia, there are several variables related to the problem. Bob Birrell (2001), one of the leading experts on the issue of immigration politics in Australia said that there are at least three (3) main elements that must be considered, that is a matter of interest, issues of migrant rights and issues of state power. All three are the dominant variables that can be used to understand the politics of immigration in Australia's immigration Australia. The issues highly vulnerable to politicization, particularly domestic political interests in the country. International politics is a continuation of domestic politics. Domestic politics into the background of a country's foreign policy. One aspect that is often related to domestic politics with international cases is the dynamic form of battle or political conflict. Handling cases of Tampa and Papua by John Howard, as well as the case of Operation Sovereignty borders policy Tony Abbott is a concrete example of the results of the Australian domestic political dynamics. Immigration politics in Australia is a combination of domestic political interests and international interests outlined in the legislation on immigration or the Migration Act 1958 with some amendments partial. In addition, the momentum seems to be a general election determinant factor in seeing consistency Howard or Abbott's liberal leadership in implementing immigration or asylum policy by reference some cases above, and the implications for Indonesia. Australia tend to look at the surrounding environment with the eyes of strangers, feeling of superiority and see neighboring countries in the region with fear and suspicion. Instead surrounding states saw Australia acting like a colonial power. Improved relations with Indonesia are very necessary because basically every country need each other even in conditions of conflict."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kumila Addina
"Bagi Pemerintah Australia yang selama ini sangat bersahabat dengan Indonesia dan mendukung posisi Indonesia, kemenangan pro kemerdekaan dalam jajak pendapat 30 Agustus 1999 dengan perolehan 78,5 persen dan 21,5 persen untuk pro integrasi, merupakan awal dari era baru hubungan Australia, Indonesia dan Timor Timur Merdeka.
Pada 27 Januari 1999, kembali dunia dikejutkan oleh pernyataan Presiden Habibie menawarkan kepada rakyat Timor Timur untuk memilih status otonomi luas atau menolak yang berkonsekuensi berpisah dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Yang menarik, menurut Menteri Luar Negeri Ali Alatas, keputusan tersebut diambil berawal dari disposisi Presiden Habibie, menyusul surat dari Perdana Menteri Australia John Howard. Dalam suratnya PM Australia itu mengusulkan agar pemerintah Indonesia memberikan kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri. Antara "perubahan bersejarah" Pemerintah Australia terhadap masalah Timor Timur, dengan "perubahan bersejarah" Pemerintah Indonesia menyelesaikan * masalah Timor Timur sangat berdekatan waktunya.
Kepentingan Australia dalam penyelesaian masalah Timor Timur merupakan bentuk implementasi dari kepentingan nasional. Menggunakan teori Howard Lentner mengenai politik luar negeri dan teori kepentingan nasional thesis ini akan berusaha untuk dapat memberikan jawaban hal-hal yang mendcrong pemerintahan Australia dan keterkaitan faktor-faktor lainnya (eksternat dan internal) dalam proses jajak pendapat di Timor Timur serta mengetahui kepentingan Pemerintah Australia dalam proses jajak pendapat di Timor Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah desknptif analisis melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengandalkan data dan informasi yang dianggap relevan.
Hasilnya adalah keterlibatan Australia dalam penyelesaian masalah Timor Timur dilandasi oleh kepentingan nasionalnya, sehingga terjadi perubahan kebijakan politik luar negerinya. Hal tersebut sebagai upaya Australia dalam beradaptasi terhadap perubahan di tingkat domestik dan intemasional yang kemudian disesuaikan dengan batas-batas yang masih dapat diterima oleh bangsa itu sendiri demi kelangsungan hidup bangsa."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T223
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Fatia Lastika Sari
"Penulisan tesis ini dikembangkan guna menunjukkan dinamika dalam kebijakan luar negeri Australia dalam konteks migrasi di sekitar tahun 2000-an, oleh karena latar belakang sejarah kebijakan imigrasi Australia yang panjang sejak awal pembentukannya sebagai negara federal. Dianggap sebagai "jimat keberuntungan" bagi John Howard dalam Pemilu Federal 2001, Solusi Pasifik diperkenalkan pada akhir September 2001 sebagai kebijakan imigrasi baru yang dirancang oleh Pemerintah Australia di bawah instruksi Howard sebagai Perdana Menteri Australia dari Partai Liberal, dan dipertanyakan keabsahannya. Kebijakan ini merupakan ekstraksi dari RUU Perlindungan Perbatasan dan Amandemen UU Migrasi Australia untuk menjadi jalan keluar bagi permasalahan migrasi dan populasi Australia setelah Insiden Tampa, yang membuat hubungan diplomatik antara Australia dengan Indonesia dan Norwegia merenggang. Persoalan ini kemudian membuka permasalahan lain, seperti kewajiban penerimaan Australia dan isu kemanusiaan terkait pembukaan pusat detensi luar benua di Republik Nauru dan Pulau Manus, Papua Nugini. Beberapa penelitian terdahulu menempatkan kebijakan ini sebagai bentuk kemunduran dari program Multikultural Australia, penyimpangan dari Konvensi Pengungsi 1951 yang digagas PBB, serta pemborosan yang dilakukan pemerintah saat itu. Meski demikian, kebijakan ini mendapatkan momen kelahiran kembalinya pada masa Julia Gillard dan Tony Abbott memerintah sebagai Perdana Menteri pada masing- masing masanya. Melalui metode historiografi, pendekatan sejarah diplomasi, dan teori strukturasi Anthony Giddens, Solusi Pasifik diteliti guna menemukan penjelasan obyektif dari sudut pandang yang berbeda, untuk pada akhirnya memunculkan persepsi baru terkait persoalan keimigrasian di Australia tersebut, yaitu bagaimana perubahan kebijakan imigrasi Australia disebabkan oleh faktor- faktor lain di luar rasisme.

This thesis is meant to redefine the dynamics of Australia's foreign policy in terms of migration circa 2000, for Australia had a long historical background of its migration policy. Dubbed as the "lucky charm" for the Howard Government in 2001 Federal Election, Pacific Solution was introduced in late September 2001 as the new immigration policy made by Australian government under the instruction of Prime Minister John Howard from the Liberal Party of Australia and was questioned for its veracity. This policy is an extraction from the Border Protection Bill and Migration Amendment Act to sort the population and migration issues out after the incident of M.V. Tampa, known as Tampa Affair, which put Australia's diplomatic ties with both Norway and Indonesia on strain. These issues then unfold several other problems, such as Australia's sole responsibility toward the migrants in the region, and humanitarian issues in the offshore detention centers, abroad in the Republic of Nauru and Manus Island of Papua New Guinea. Some past research find it as a setback from the Multicultural Australia program, at cross-purposes with the 1951 UN's Refugees Convention, as well as being an expensive and controversial act of the "Government of the Day". However, the policy had its moment of rebirth during Julia Gillard's time of service as the PM, and even during Tony Abbott's administration. Through the lens of historian, with the method of historiography and Anthony Giddens' theory of structuration, Pacific Solution is discussed in the mean of extracting objective explanation from another point of view to eventually mark the new perception toward the issue, which then conclude that the cause of the shift in Australia's immigration policy was multifactor, rather than mere racism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T50668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7300
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Dea Marshantina
"Peningkatan jumlah pencari suaka memicu respon serius dari pemerintah Australia dalam bentuk implementasi kebijakan. Serangkaian kebijakan imigrasi diusung oleh Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal-Nasional tentunya memiliki corak serta perbedaan tersendiri dalam implementasinya. Penelitian ini membahas mengenai perbedaan dalam implementasi kebijakan imigrasi antara kedua partai besar Australia. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menggunakan konsep Multiculturalism yang dikemukakan oleh Charles Taylor untuk menjelaskan perbedaan ideologi yang mendasari perbedaan kebijakan serta konsep National Interest oleh Hans J. Morgenthau untuk menjelaskan bagaimana kebijakan imigrasi digunakan sebagai alat pertahanan guna melindungi kepentingan nasional Australia. Penelitian ini menemukan bahwa Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal-Nasional memiliki arah gerak partai yang berbeda akibat latar belakang ideologinya. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pendekatan masing-masing partai terhadap pembentukan sebuah kebijakan.

The increase in the number of asylum seekers triggered a serious response from the Australian government in the form of policy implementation. A series of immigration policies promoted by the Labor Party and the Liberal-National Coalition Party certainly have their own style and differences in their implementation. This study discusses the differences in the implementation of immigration policies between the two major Australian parties. With a qualitative approach, this study will use the concept of Multiculturalism put forward by Charles Taylor to explain ideological differences and the concept of National Interest by Hans J. Morgenthau to explain how immigration policy is used to protect Australia's national interests. This study found that the Labor Party and the Liberal-National Coalition Party have different directions of movement due to their ideological backgrounds. This then influences the approach of each party towards the formation of a policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Uki Suharsi
"Kebijakan Australia yang menolak masuknya Kapal Motor Tampa berbendera Norwegia yang membawa ratusan orang yang terdampar di perairan dekat wilayah Australia pada tahun 2001 telah menimbulkan berbagai kritikan dari dalam dan luar negeri. Peristiwa yang lebih dikenal dengan "Kasus Tampa" tersebut telah menimbulkan kritik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional mengenai kebijakan Australia yang dianggap telah mengabaikan aspek kemanusiaan. Kasus tersebut menarik untuk dikaji, terutama untuk melihat adanya hubungan antara kebijakan Australia mengenai migrasi ilegal pada masa pemerintahan PM. John Howard pada tahun 1996-2001, dengan tekanan internasional dan tekanan domestik. Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah pendekatan pluralisme, khususnya untuk menjelaskan hubungan antara tekanan internasional dan tekanan domestik dengan kebijakan luar negeri Australia dalam masalah imigran gelap. Kebijakan Australia mengenai migrasi ilegal merupakan kebijakan yang ditujukan kepada negara asal dan negara transit imigran gelap. Selain itu kebijakan tersebut merupakan respon terhadap kecenderungan masuknya imigran gelap ke Australia yang memanfaatkan kebijakan Australia mengenai pemberian suaka politik.
Teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara tekanan internasional dan tekanan domestik terhadap kebijakan luar negeri suatu negara adalah teori Howard H. Lemtner mengenai foreign and domestic determinants on foreign policy. Tekanan masyarakat merupakan salah satu faktor domestik panting, yang dalam konsep domestic determinants dari Howard K. Lemtner dapat dikategorikan sebagai unstable determinant dari suatu kebijakan luar negeri. Dalam kategori ini, maka peranan faktor domestik tersebut hanya bersifat sementara, berlaku pada situasi dan kondisi tertentu, dan didukung oleh faktor eksternal yang sejalan. Faktor eksternal yang turut mendukung pengaruh tekanan domestik tersebut adalah adanya tekanan masyarakat internasional yang kuat pada saat yang bersamaan, yang menuduh Australia telah melanggar tanggung jawab internasional sesuai dengan Konvensi mengenai pengungsi. Kemampuan Howard memanfaatkan momentum pemilihan umum telah memberikan kontribusi bagi terbentuknya kebijakan Australia mengenai migrasi ilegal. Perubahan kebijakan Australia mengenai migrasi ilegal pada masa pemerintahan Howard mempunyai kaitan dengan tekanan internasional dan tekanan publik Australia terhadap pemerintab. Dengan mengambil kebijakan yang tegas dalam mencegah dan menghalau imigran gelap, maka Howard mempunyai peluang untuk meningkatkan kredibilitasnya sebagai figur pemimpin yang mampu melindungi kepentingan nasional dan kedaulatan Australia, sehingga mendorong Howard dalam memenangkan pemilihan umum 2001."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Alimin
Yogyakarta: KLIK R, 2004
297.6 ANT a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Tirsannya Rickmansyah
"Australia menjadi salah satu negara dengan kebijakan yang keras terhadap para imigran gelap dan pencari suaka setelah terjadi peningkatan pada kelompok imigran yang berdatangan setiap tahunnya. Kedatangan Pencari Suaka dianggap menjadi ancaman bagi negara Australia. Sehingga adanya kehadiran imigran menjadi isu politik yang diciptakan oleh Calon Perdana Menteri yang mencalonkan dirinya dalam Pemilihan. Terpilihnya John Howard, dengan Ideologi Nasionalisme, membuat sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan warga Australia dari tindak kriminal. Kebijakan Pacific Solution yang dikeluarkan oleh John Howard adalah upaya Pemerintah Australia dengan mendistribusikan pencari suaka ke negara-negara Pasifik seperti Nauru dan Manus. Hal tersebut menarik, sebab di satu sisi Australia yang meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Teks Protokol 1967, namun membentuk kebijakan publik yang membenturkan hak pencari suaka di negaranya. Penelitian ini menggunakan metode penulisan kualitatif dengan kerangka teoritis yang digunakan dalam membantu menjawab permasalahan penelitian, teori tersebut antara lain Policy Cycle dengan tahapannya: Agenda Setting, Policy Formulation and Decision Making, Implementation, Evaluation and Termination dan Kepentingan Nasional. Fokus utama yang dilihat dalam penulisan penelitian ini adalah kepentingan keamanan nasional Australia dan proses pembentukan kebijakan Pacific Solution. Kerangka teori yang dibahas pada penelitian ini yakni tahapan Formulasi Kebijakan guna mempelajari, memahami, dan menganalisa formulasi Kebijakan Pacific Solution. Penelitian ini akan menjelaskan faktor - faktor terhadap formulasi kebijakan Pacific Solution. Bahwasanya kebijakan tersebut mendapat dukungan penuh baik dari pemerintahan maupun masyarakat.

Australia is a country with strict policies against illegal immigrants and asylum seekers after the increasing amount of immigrant groups every year. The Asylum Seeker arrival is considered as a thread to the Australian State. That is why the immigrants arrival has become a political issue created by the Prime Minister Candidates who have nominated themselves in the elections. The elected John Howard, with his Nationalism Ideology, created a policy that aimed to be a safeguard towards Australia 39;s security and welfare from the criminal acts. The Pacific Solution Policy issued by John Howard has become an effort by the Australian Government to divert the immigration flow of asylum seekers by accommodating asylum seekers in Pacific Countries, such as Nauru and Manus. This is interesting, because in the other hand Australia ratified the 1951 Geneva Convention and the 1967 Protocol Text, but they made the public policy that against the asylum seekers rsquo; right. The method used in this research is qualitative research approach and data collecting technique and using theoretical framework that is used to answer the research problems is the Policy Cycle Theory, with the following stages: Agenda Setting, Policy Formulation and Decision Making, Implementation, Evaluation and Termination and National Interest with using qualitative methods. The main focus of this research is the importance of Australia 39;s national security and the policy-making process of Pacific Solution Policy. The Conceptual Framework discussed in this research is the Policy Formulation Stage to learn, to understand, and to analyze the formulation of the Pacific Solution Policy. This research will explain the policy formulation factors in the Pacific Solution Policy. That the policy is fully supported by government and society."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>