Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Felina
"Latar belakang: Gangguan fungsi ginjal pada tahap awal sangat jarang diketahui karena belum memunculkan tanda dan gejala. Saat gangguan fungsi ginjal berkembang progresif dan muncul penyakit ginjal terminal hingga hemodialisis akan menyebabkan status kesehatan jemaah haji menjadi risiko tinggi dan dapat menjadi tidak memenuhi syarat istithaah. Perlu dilakukan evaluasi lebih awal dengan mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal seperti obesitas sentral untuk mendapatkan upaya pencegahan dan intervensi yang lebih menguntungkan.
Tujuan: Mengetahui prevalensi gangguan fungsi ginjal dan hubungan obesitas sentral dengan gangguan gangguan fungsi ginjal pada jemaah haji penderita DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional terhadap 2.106 jemaah haji yang menderita DM tipe 2. Subyek diperoleh dari data sekunder Siskohatkes Shar'i Puskeshaji Kemenkes RI tahun 1438 H / 2017 M. Semua subyek dilakukan pemeriksaan kesehatan di puskesmas atau rumah sakit rujukan. Estimasi nilai LFG menggunakan persamaan CKD EPI untuk menentukan fungsi ginjal. Obesitas sentral ditentukan menggunakan indeks lemak visceral. Analisis menggunakan regresi logistik multivariat.
Hasil: Nilai rata-rata estimasi LFG 78,63 ml/menit/1,72 m2. Prevalensi gangguan fungsi ginjal pada jemaah haji yang menderita DM tipe 2 sebesar 39,55%. Prevalensi gangguan fungsi ginjal pada Jemaah haji penderita DM tipe 2 dengan obesitas sentral adalah 29,17%. Obesitas sentral berhubungan signifikan secara statistik dengan gangguan fungsi ginjal pada jemaah haji penderita DM tipe 2. Nilai adjusted OR sebesar 1,45 (95% CI 1,19-1,77).
Kesimpulan: Prevalensi gangguan fungsi ginjal pada jemaah haji yang menderita DM tipe 2 sebesar 39,55%. Obesitas sentral berhubungan secara signifikan dengan gangguan fungsi ginjal pada jemaah haji yang menderita DM tipe 2.

Background: Impaired renal function in the early stages often not raised signs and symptoms. End-stage renal disease with hemodialysis will cause Indonesian pilgrims in high risk health status and does not meet istithaah requirements. Early detection of risk factors such as central obesity might be directed to benefit prevention dan intervention.
Objective: to estimate the prevalence of renal function impairment in type 2 DM and the association of central obesity with renal function impairment among Indonesian pilgrim with type 2 DM based on Siskohatkes shar'i 1438 H / 2017 M.
Methods: This cross sectional studi consisted of 2.106 Indonesian pilgrims with type 2 DM. The data was obtained from Siskohatkes 2017 of Pilgrimage Health Center, Ministry of Health. The variable data analyzed were creatinin serum, anthropometric, age, gender, smoking, family history of end-stage renal disease, blood pressure, HDL, LDL, trigliserida and uric acid. Renal function impairment was defined according to Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI) equation to estimate Glomerulus Filtration Rate (eGFR). Central obesity was determined using visceral adiposity index (VAI). Multivariable logistic regression was used to analyze the association of central obesity and renal function impairment.
Result: The prevalence of renal function impairment in Indonesia pilgrim with type 2 DM was 39,55%. The mean of eGFR was 78,63 ml/min/1,72 m2. Central obesity was associated with renal function impairment (adjusted OR = 1,45; 95% CI 1,19-1,77).
Conclusion: The prevalence of renal function impairment in Indonesia pilgrim with type 2 DM was 39,55%. Central obesity was associated with renal function impairment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agil Bredly Musa
"Hingga saat ini, belum ada penanda biologis yang menggambarkan kondisi penyakit ginjal kronik (PGK) akibat diabetes melitus (DM) sejak dini. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rasio albumin kreatinin urin (Urine Albumin Creatinine Ratio, UACR) dengan laju filtrasi glomerulus yang diestimasi (estimated Glomerular Filtration Rate, eGFR) sebagai penanda gangguan fungsi ginjal pada pasien DM tipe 2 RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel urin dan serum diambil dari 18 subjek sehat dan 10 pasien DM tipe 2. Metode spektrofotometri digunakan untuk mengukur kadar albumin urin, kreatinin urin dan kreatinin serum. Data lain diperoleh dari kuesioner.
Hasilnya, nilai eGFR pasien DM (68,85 ± 15,36 (Cockroft); 73,94 ± 16,30 (CKD-EPI)) lebih rendah dibandingkan dengan subjek sehat (90,51 ± 15,69, p < 0,01 (Cockcroft); 91,13 ± 21,21, p < 0,05 (CKD-EPI)), sedangkan nilai UACR pasien DM (314,99 ± 494,92) lebih tinggi dibandingkan dengan subjek sehat (0,48 ± 0,75, p < 0,01). Namun, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara UACR dengan eGFR pasien DM.

Until now, no biological marker that describes the condition of chronic kidney disease (CKD) due to diabetes mellitus (DM) from the outset. This study aimed to determine the relationship between urine albumin creatinine ratio (UACR) with estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR) as a marker of renal dysfunction at type 2 diabetes mellitus patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Urine and serum samples taken from 18 healthy subjects and 10 type 2 diabetic patients. Spectrophotometric methods used to measure levels of urinary albumin, urinary creatinine and serum creatinine. Other data obtained from questionnaires.
Results, eGFR values were lower in DM patients (68.85 ± 15.36 (Cockroft); 73.94 ± 16.30 (CKD-EPI)) compared with healthy subjects (90.51 ± 15.69, p < 0.01 (Cockcroft); 91,13 ± 21,21, p < 0,05 (CKD-EPI)), while the value of UACR in DM patients (314.99 ± 494.92) was higher than healthy subjects (0.48 ± 0.75, p < 0.01). However, there was no significant correlation between UACR with eGFR of DM patients.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42858
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Made Dewi Susilawati
"Kriteria utama obesitas menurut WHO adalah IMT namun obesitas sentral lebih berhubungan dengan risiko kesehatan dibanding obesitas umum Tujuan penelitian untuk mendapatkan cut off point dari ketiga indikator dalam mendeteksi terjadinya DMT2. Juga untuk mengetahui hubungan obesitas dengan indikator IMT, LP dan rasio LP-TB dengan terjadinya DMT2 dan menentukan indikator mana yang lebih baik dari ketiganya. Desain Cross Sectional. menggunakan data sekunder. Analisis menggunakan regresi logistic dan metode ROC.
Hasil : prevalensi DMT2 9,1% dan prevalensi obesitas berkisar 38,37 % - 41,98 % Nilai cut off obesitas umum IMT ≥ 25,72 kg/m2, LP laki-laki ≥ 80,65 cm perempuan ≥ 80,85 cm dan LP-TB laki-laki ≥ 0,51 perempuan ≥ 0,55.
Kesimpulan : orang dengan obesitas meningkatkan risiko terjadinya DMT2 setelah dikontrol faktor umur. Karena hasil ketiga indikator tidak jauh berbeda, maka penggunaanya tergantung keputusan praktisi kesehatan itu sendiri.

The WHO's major obesity criteria is BMI but central obesity is more associated to health risks than general obesity. The objective of the research is to define the cut off points of the three measurements in detecting the occurrence of T2DM. It is also aimed to examine the relationship of obesity indicators (BMI, WC, and WHtR) with T2DM and determine the best indicator of them. Design of Cross Sectional employs secondary data. Analysis apply logistic model and ROC method.
The result: prevalence of type 2 DM is about 9.1%, and obesity prevalence is about 38.37 % to 41.98 %. The cut off values of BMI general obesity, male WC, female WC, male WHtR, and female WHtR are ≥ 25.72 kg/m2, ≥ 80.65 cm, ≥ 80.85 cm, ≥ 0.5, and ≥ 0,55 respectively.
Conclusion: adjusted by age, obesity increases the risk of type 2 DM occurrence. Since there is no significantly different result, the use of obesity indicators depends on the health practitioner decisions.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masitah Sari Dewi
"Diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang cendrung mengalami peningkatan. Data IDF Atlas 2015 menyebutkan, Prevalensi DM di Indonesia menduduki urutan ke 7 didunia. Di Indonesia data Riskesdas menunjukkan peningkatan prevalensi diabetes melitus dari 5,7 2007 meningkat menjadi 6,9 2013. Obesitas sentral adalah prediktor yang kuat untuk terjadinya diabetes melitus tipe 2. Prevalensi obesitas sentral berdasarkan data Riskesdas 2007 sebesar 18,8 meningkat menjadi 26,6 Riskesdas, 2013 Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan obesitas sentral terhadap diabetes melitus tipe 2 pada penduduk usia ge; 18 tahun di wilayah peluncuran GERMAS tahun 2016. Desain penelitian studi cross sectional, Analisis menggunakan uji Regresi Logistic. Hasil analisis diperoleh proporsi diabetes melitus tipe 2 sebesar 6,1 dan obesitas sentral sebesar 68,9. Selain itu hasil multivariat menunjukkan hubungan obesitas sentral dengan diabetes melitus tipe 2 didapatkan nilai POR 3,296 95 CI 2,344-4,636 artinya penduduk dengan obesitas sentral memiliki peluang sebesar 3,296 kali 95 CI 2,344-4,636 mengalami diabetes melitus tipe 2 dibandingkan dengan penduduk yang tidak obesitas sentral setelah dikendalikan oleh aktifitas fisik dan hipertensi. Kesimpulan dan saran agar masyarakat rutin tiap bulan melakukan pemeriksaan kesehatan di POSBINDU PTM, untuk melakukan deteksi dini obesitas sentral dan pemeriksaan kadar glukosa darah guna menjaring kasus diabetes melitus tipe 2 sedini mungkin.

Diabetes mellitus is a non communicable disease that tends to increase. IDF Atlas 2015 data says, DM prevalence in Indonesia ranked 7th in the world. In Indonesia, Riskesdas data showed an increased prevalence of diabetes mellitus from 5.7 2007 increased to 6.9 2013. Central obesity is a strong predictor for the occurrence of type 2 diabetes mellitus. The prevalence of central obesity based on Riskesdas 2007 data of 18.8 increased to 26.6 Riskesdas, 2013 The objective of the study was to investigate the relationship of central obesity to type 2 diabetes mellitus in the population age ge 18 years in GERMAS launching area in 2016. Study design cross sectional study, Analysis using logistic regression test. The analysis results obtained proportion of type 2 diabetes mellitus by 6.1 and central obesity of 68.9. In addition, multivariate results showed that the association of central obesity with diabetes mellitus type 2 was found to be POR 3,296 95 CI 2,344 4,636 meaning that people with central obesity had a chance of 3,296 times 95 CI 2,344 4,636 had diabetes mellitus type 2 compared with non obese residents after being controlled by physical activity and hipertension. Conclusions and suggestions for routine public health checks in POSBINDU PTM, to perform early detection of central obesity and blood glucose examination to capture cases of type 2 diabetes mellitus as early as possible.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50279
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katuuk, Mario Esau
"Komplikasi kronis pada diabetes melitus berupa ulkus kaki diabetik dapat dicegah dengan melakukan perawatan kaki mandiri. Salah satu faktor yang berperan dalam perilaku perawatan kaki adalah efikasi diri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan perilaku perawatan kaki pada individu dengan diabetes melitus tipe 2 (DMT2).
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif observasional analitik dengan pendekatan crossectional, melibatkan 74 individu dengan DMT2. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner karakteristik demografi, Foot Care Confidence Scale, Nottingham Assessment of Functional Footcare, dan pengetahuan perawatan kaki.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang bermakna antara efikasi diri dengan perilaku perawatan kaki (r = 0.303; p = 0.009). Hasil analisis multivariat didapatkan efikasi diri menjadi prediktor terhadap perilaku perawatan kaki setelah dikontrol oleh pengetahuan dan tingkat pendidikan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah perlunya upaya untuk memperbaiki perilaku perawatan kaki pada individu dengan DMT2 dengan meningkatkan efikasi diri menggunakan sumber-sumber efikasi diri yang ada.

Chronic complications of type 2 diabetes mellitus such as diabetes foot ulcer could be prevented by performing foot self care. Self efficacy is the most important role in foot care.
This study aims to investigate the relationship between self efficacy and foot care behavior.
This study was observational analytic with cross-sectional approach, recruited 74 people with type 2 diabetes mellitus using consecutive sampling method. Data collection was done using demographic questionnaire, Foot Care Confidence Scale, Nottingham Assessment of Functional Foot-care and diabetic foot self care knowledge.
The result showed that there was a positive relationship between self efficacy and foot care behavior (r = 0.303; p = 0.009). Multivariate analysis showed that self efficacy became a strong predictor of foot self care behavior along with knowledge and educational level.
In conclusion, it is needed to improve foot self care in people with type 2 diabetes mellitus through increasing self efficacy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Syarifatul Anwar
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit penyebab 1,6 juta kematian di dunia, prevalensi diabetes melitus meningkat signifikan diseluruh dunia dan di Indonesia. Obesitas sentral memiliki peranan penting dalam patofisiologi diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi diabetes melitus tipe 2, obesitas sentral dan hubungan antara obesitas sentral terhadap diabetes melitus tipe 2 pada kelompok umur ge; 45 tahun. Desain studi yang digunakan adalah potong lintang dengan regresi logistik untuk analisis multivariat. Sumber data yang dianalisis merupakan data surveilans faktor risiko penyakit tidak menular tahun 2015. Ada 2127 responden yang memenuhi kriteria yang dapat dianalisis. Hasil analisis menunjukan bahwa prevalensi DM tipe 2 sebesar 12,5% dan prevalensi obesitas sentral sebesar 39,6 . Hubungan obesitas sentral terhadap diabetes melitus tipe 2 dengan POR 2,14 (95% CI 1,62-2,81) artinya responden dengan obesitas sentral berisiko 2,14 kali lebih besar untuk menderita DM tipe 2 dibanding responden yang tidak obesitas sentral. Upaya untuk mencegah peningkatan kasus diabetes melitus tipe 2 yaitu penyuluhan secara terus menerus kepada masyarakat terhadap faktor risiko obesitas sentral dengan cara konseling pada individu yang berisiko maupun pada kelompok obesitas sentral.

Relationship of Central Obesity to Type 2 Diabetes Mellitus In Ages Group ge 45 years Analysis of Non Communicable Disease Surveillance Data of Jakarta Capital City Special Region 2015 . Diabetes mellitus type 2 is the leading cause of 1.6 million deaths worldwide, the prevalence of diabetes mellitus is increasing significantly throughout the world and in Indonesia. Central obesity has an important role in the pathophysiology of type 2 diabetes mellitus. This study aims to determine the prevalence of type 2 diabetes mellitus, central obesity and the relationship between central obesity to type 2 diabetes mellitus in the age group ge 45 years. The study design used was cross section with logistic regression for multivariate analysis. The data sources analyzed are non communicable disease risk factor surveillance data in 2015. There are 2127 respondents who meet the criteria that can be analyzed. The results showed that the prevalence of type 2 diabetes was 12.5% and the prevalence of central obesity was 39.6 . The relationship of central obesity to type 2 diabetes mellitus with POR 2.14 (95% CI 1.62 2.81) that means respondents with central obesity are 2.14 times more likely to develop type 2 DM than non obese central respondents. Efforts to prevent the increase in cases of type 2 diabetes mellitus is continuous education to the public against risk factor central obesity by counseling individuals at risk and in the central obesity group."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48346
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmayanti
"Angka prevalensi diabetes melitus dari tahun ke tahun cendenmg meningkat. Data Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah pasien dan kematian diabetes melitus rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dad selumh penyakit endokrin. Tahun 2004 pasien rawat inap diabetes melitus 42.000 kasus CFR 7,9%; dan tahun 2006 meningkat menjadi 49.364 kasms CFR 8,42%. Dari 4 (cmpat) tipc diabetes melitus, maka diabetes melitus tipe 2 yang paling banyak. Prevalensi diabetes melitus tipc 2, tahun 1992 sebesar 5,69%, tahun 1993 meningkat menjadi 5,'7% dan tahun 2005 mcnjadi l4,7%. Penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan yang sangat serius, dimana komplikasinya menimbulkan angka kematian yang cukup tinggi, dan beban biaya kesehatan yang cukup mahal. Untuk itu diperlukan usaha untuk mencegahnya.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara obesitas sentral dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 setelah dikontrol variabel kovariat. Beberapa faktor kovariat yang diduga meningkatkan jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 antara Iain umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat menderita DM, aktivitas fisik, konsumsi serat, konsumsi lemak, pola makan, konsumsi alkohol, dan merokok. Desain penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol dengan jumlah responden 300 orang dimana masing-masing kasus dan kontrol sebanyak 150 responden. Analisis dilakukan secara bertahap mulai dan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis multivariat menggunakan analisis regresi Iogistik ganda.
Hasil pcnclitian menunjukkan hubungan yang signiiikan antara obesitas sentral dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 dimana obesitas sentral memiliki resiko untuk tcrkcna diabetes melitus tipe 2 sebesar 3,16 kali dibanding tanpa obesitas sentral, setelah dikcndalikan faktor riwayat DM dalam keluarga, aktiiitas fisik, dan kcbiasaan mcrokok.
Disarankan perlunya informasi mengenai faktor resiko diabetes melitus tipc 2 secara luas kepada masyarakat. Jika risiko DM dapat diketahui sedini mungkin, maka upaya pencegahan akan segera dapat dilakukan schingga prevalcnsi DM dapat ditekan.

Diabetes mellitus prevalence number of year goes to tend to increase. Health Depanmen data describes that the total of patient and diabetes melitus death, inpatient care and also outpatient care at hospital stays in the first range of all endocrine’s disease. On 2004 the diabetes melitus patient of inpatient care are 42,000 cases with CFR 7.9% and on 2006 become increase to 49,364 cases with CFR 8.42%. From 4 (four) diabetes melitus type, therefore diabetes melitus type 2 becomes most transmitted on patients. Diabetes melitus type 2 prevalence on 1992 as 5.69%, on 1993 increase becomes 5.7% and on 2005 becomes l4.7%. That disease was really serious health problem, where its complication caused high mortality and health charge which adequately expensive. For those reason required all effort to prevent it.
The purposed of this research to describes relationship among central obesity with diabetes melitus type 2 after controlled by covariate variable. Several preconceived covariate factor increases diabetes melitus type 2 patient for example age, gender, occupation, diabetes mellitus history, physical activity, Ebcr consumption, fat consumption, food habit, alcohol and smoking. This observational design utilize case control design with 300 person respondent where every cases and controls as 150 respondents. Analysis is performing in several phased from univariate analysis, bivariate, and multivariate analysis. Multivariate analysis using a multiple logistics regression.
The observational result indicated the significant relationship among central obesity and occurrence of diabetes melitus type 2 where central obesity has a risk and tend to strikes by diabetes mellitus type 2 as 3.16 times compared without central obesity, after controlled by diabetes mellitus history in family, physical activity and Smoking habitual.
Sugggested to publicized the sufficient and properly infomation conceming diabetes melitus type 2 to community. If diabetes melitus type 2 risk can be detected and known early, therefore prevention effort will be performed so diabetes melitus type 2 prevalence can be controlled.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34407
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Randy Angianto
"Latar Belakang: Pencapaian target glikemik pada pasien DM tipe2 yang masih rendah khususnya di Indonesia mengakibatkan berbagai komplikasi termasuk gangguan fungsi kognitif.. Padahal untuk menerapkan manajemen mandiri pada pasien DM, dibutuhkan fungsi kognitif yang kompleks. Pada berbagai penyakit kronis, fungsi kognitif khususnya domain memori yang buruk telah dihubungkan dengan ketidakpatuhan penggunaan obat. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan keduanya pada pasien DM tipe 2.
Tujuan: Mengetahui hubungan gangguan fungsi kognitif dengan ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien DM tipe 2
Metodologi: Desain studi ini adalah potong lintang terhadap 96 subjek penelitian dengan DM tipe 2 berusia >18 tahun di unit rawat jalan RSUD Tebet. Karakteristik demografi, parameter klinis, penilaian fungsi kognitif, dan kepatuhan penggunaan obat didokumentasikan secara lengkap. Penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina). Penilaian kepatuhan penggunaan obat dinilai menggunakan penghitungan pil. Studi ini menggunakan analisis distribusi frekuensi dan proporsi, analisis bivariat dengan uji Chi-Square.
Hasil: Terdapat 69,8% subjek penelitian dengan gangguan fungsi kognitif dengan faktor tingkat pendidikan sebagai faktor yang mempengaruhi. Analisa mendapatkan kejadian penurunan fungsi domain memori 96,9%;, eksekutif 78%, visuospasial 78%; atensi 30%; bahasa 26%; dan orientasi 4,2%. Ketidakpatuhan penggunaan obat didapatkan pada 26% subjek penelitian. Analisa bivariat tidak menunjukkan adanya hubungan antara gangguan fungsi kognitif dengan ketidakpatuhan penggunaan obat (OR 0,757 95% CI [0,280-2,051] p=0,58).
Kesimpulan: Gangguan fungsi kognitif didapatkan pada 69,8% pasien DM tipe 2, dan ketidakpatuhan ditemukan pada 26% pasien. Tidak ada hubungan yang didapatkan antara gangguan fungsi kognitif dengan ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien DM tipe 2

Background: Poor glycemic control in Type 2 Diabetes Mellitus patients, especially in Indonesia, results in a variety of complications including a cognitive impairment. In fact, to implement self-management in DM patients, intact cognitive function is necessary. In a variety of chronic diseases, cognitive impairment, especially the memory domain has been associated with medication nonadherence. Nonetheless, no studies have looked for the relationship between the two in type 2 DM patients
Objective: This study aims to determine the relationship of cognitive impairment with medication nonadherence in type 2 DM patients.
Methodology: The design of this study was cross-sectional with 96 study subjects with type 2 DM, > 18 years old in the outpatient unit at RSUD Tebet. Demographic characteristics, clinical parameters, cognitive function assessment, and medication adherence use were fully documented. Cognitive function assessed with the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina). Medication adherence was assessed using pill count. This study uses the analysis of frequency and proportions distribution, and bivariate analysis with the Chi-Square test.
Results: There were 69.8% of the research subjects with cognitive impairment with education level as an associated factor. Analysis of the occurrence of impairment of the function of memory domain 96.9%; executive 78%, visuospatial 78%; attention 30%; language 26%; and 4.2% orientation. Oraal medication nonadherence was found in 26% of the study subjects. Bivariate analysis did not show an association between cognitive impairment and medication nonadherence (OR 0.757 95% CI [0.280-2.051] p=0.58).
Conclusion: Cognitive impairment was found in 69.8% Type 2 DM patients, and medication nonadherence was found in 26% patients. Cognitive impairment was not associated with medication nonadherence in type 2 DM patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tumalun, Victor Larry Eduard
"Latar Belakang: Insidensi dan prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DMT2) terus meningkat. Penurunan imunitas yang terjadi pada DMT2 dapat meningkatkan risiko infeksi. Kontrol gula darah yang baik bermanfaat dalam pengendalian infeksi dan pencegahan komplikasi makro dan mikrovaskuler tetapi penelitian yang melibatkan pasien DMT2 usia lanjut masih belum konklusif. Serial kasus ini dilakukan untuk melihat efektivitas kontrol gula darah terhadap kesintasan pasien DMT2 yang dirawat di rumah sakit, dan untuk implementasi tatalaksana nutrisi sesuai kebutuhan dan kondisi klinis pasien.
Metode: Pasien pada serial kasus ini berusia antara 47 ? 65 tahun. Penyulit infeksi pada keempat pasien ini yaitu gangren diabetikum, selulitis, dan sepsis dengan infeksi paru dan infeksi saluran kemih. Tatalaksana nutrisi pasien dilakukan sesuai dengan rekomendasi American Diabetes Association dan Therapeutic Lifestyle Changes disesuaikan dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Perhitungan kebutuhan nutrisi menggunakan rekomendasi untuk perawatan pasien sakit kritis bagi pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU), dan menggunakan perhitungan dengan formula Harris-Benedict bagi yang dirawat di ruangan dengan faktor stres sesuai derajat hipermetabolisme pasien. Pasien dipantau selama 7 ? 11 hari. Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga selama perawatan dan saat akan pulang.
Hasil: Dalam pemantauan, tiga pasien menunjukkan perbaikan klinis, toleransi asupan, dan laboratorium, dan dapat dipulangkan, sedangkan satu pasien meninggal dunia.
Kesimpulan: Kontrol gula darah, asupan nutrisi yang adekuat, dan edukasi yang sesuai, dapat meningkatkan kesintasan pasien DMT2 dengan penyulit infeksi yang dirawat di rumah sakit.

Background: The incidence and prevalence of type 2 diabetes mellitus (T2DM) is increasing. Immune disfunction in T2DM patient may increase the risk of infection. The appropriate blood glucose control has a benefit in infection control and macro and microvascular complication prevention. The Studies of glycaemic control included older patients did not find convincing evidence. The aim of this case series is to assess the association between glycaemic control and clinical outcome of hospitalized T2DM patient with comorbid infection, and to provide appropriate nutrition therapy based on individual nutrition needs.
Method: Patients in this case series were between 47 - 65 years old. There of those patients were diagnosed T2DM with comorbid gangrenous diabeticum, cellulitis, and sepsis with lung infection and urinary tract infection. Two patients need intensive care in ICU, and another patients in the ward. Two patients received nutrition therapy as critically ill condition, and the rest as American Diabetic Association recommendation, with basal calorie requirement were calculated using Harris-Benedict formula and stress factor suitable for metabolic changes. Monitoring was done for 7 - 11 days. Education was done for the patient and family during hospitalization and discharge planning.
Results: Three patients showed the improvement of clinical conditions, intake tolerance, and laboratory results, whatever one patient was pass away.
Conclusion: Glycaemic control, adequate nutrition intake, and intensive education, may improve survival rate in hospitalized T2DM patient with infection as comorbid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Rachman
"Obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan di Puskesmas Indonesia adalah metformin atau kombinasi metformin dan sulfonilurea. Studi tentang metformin telah menunjukkan berbagai dampak penurunan kognitif pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, sedangkan sulfonilurea telah terbukti mengurangi dampak ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dampak metformin dan metformin-sulfonilurea pada fungsi kognitif dan menentukan faktor apa yang mempengaruhinya. Studi potong lintang ini dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu dengan melibatkan 142 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengonsumsi metformin atau metformin-sulfonilurea selama >6 bulan dan usia >36 tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan kuesioner Montreal Cognitive Assessment versi bahasa Indonesia. Efek dari metformin dan metformin-sulfonylurea pada penurunan kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, bahkan setelah mengontrol kovariat (aOR = 1,096; 95% CI =  13.008px;">0,523–2,297; nilai-p = 0,808). Analisis multivariat menunjukkan usia (OR = 4,131; 95% CI = 1,271–13,428; nilai-p = 0,018) dan pendidikan (OR = 2,746; 95% CI = 1.196–6.305; nilai-p = 0,017) mempengaruhi fungsi kognitif. Pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih tua cenderung menyebabkan penurunan kognitif, tenaga kesehatan didorong untuk bekerja sama dengan ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi faktor risiko fungsi kognitif ini.

The most prescribed antidiabetic drugs in Indonesian primary health care are metformin or a combination of metformin and sulfonylurea. Studies on metformin have shown various impacts on cognitive decline in patients with type 2 diabetes mellitus, whereas sulfonylurea has been shown to reduce this impact. This study aimed to compare the impacts of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive function and determine what factors affected it. This crosssectional study was conducted at Pasar Minggu Primary Health Care involving 142 type 2 diabetes mellitus patients taking metformin or metformin-sulfonylurea for >6 months and aged >36 years. Cognitive function was assessed using the validated Montreal Cognitive Assessment Indonesian version. The effects of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive decline showed no significant difference, even after controlling for covariates (aOR = 1.096; 95% CI = 0.523–2.297; p-value = 0.808). Multivariate analysis showed age (OR = 4.131; 95% CI = 1.271–13.428; p-value = 0.018) and education (OR = 2.746; 95% CI = 1.196–6.305; p-value = 0.017) affected cognitive function. Since a lower education and older age are likely to cause cognitive decline, health professionals are encouraged to work with public health experts to address these risk factors for cognitive function."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>