Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144816 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Restu Anandya Palupi
"Isu pernikahan usia dini telah menjadi perhatian berbagai pihak berkaitan dengan implikasi yang ditimbulkannya. Salah satu upaya untuk mengurangi isu ini adalah melalui perubahan pengaturan batas minimum usia nikah bagi anak dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang dinilai telalu rendah. Kabupaten Gunungkidul, Provinsi D.I Yogyakarta memiliki Peraturan Bupati Gunungkidul No 36/2015 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak PPUA yang memperlihatkan dampak positif dengan berkurangnya kasus perkawinan anak di daerah tersebut. Berdasarkan hal ini, evaluasi terhadap kebijakan batas usia nikah ini melalui studi kasus Perbup Gunungkidul No 36/2015 tentang PPUA perlu dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi perbaikan kebijakan. Studi evaluasi kebijakan ini menggunakan desain penelitian case study dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Perbup PPUA memberikan pengaruh dalam menurunkan kejadian perkawinan usia anak di Gunungkidul. Perbup efektif sebagai jembatan dalam memediasi perbedaan standar usia nikah dan memetakan peran tiap instansi dalam komitmen mencegah perkawinan pada usia anak. Peran operasional oleh tiap instansi dan lembaga lain telah terpetakan dalam Rencana Aksi Daerah PPUA dan telah berjalan dengan cukup baik, namun efisiensi pembiayaan belum terlihat adanya plafon khusus mengenai PPUA dan seringkali mendompleng pembiayaan program lain di instansi. Adekuasi Perbup PPUA dari segi pembiayaan menunjukkan tren kurangnya dukungan pembiayaan oleh pemerintah daerah namun kerja sama lintas instansi mengalami peningkatan dengan meluas dan konsistennya peran berbagai instansi pasca Perbup diberlakukan. Ekuitas distribusi manfaat Perbup PPUA terlihat dari meratanya MoU maupun deklarasi PPUA yang dilakukan oleh setiap kecamatan secara masif di Kabupaten Gunungkidul di tahun 2017. Responsivitas Perbup PPUA cukup baik karena tidak mendapatkan banyak pertentangan dengan nilai yang ada di masyarakat. Perbup PPUA sepaket dengan keberhasilan yang terlihat memiliki eksternalitas yang positif dengan menularkan semangat bagi daerah lain untuk mencontoh langkah yang mereka lakukan.

Early age marriage has been a concerned issue by many parties regarding its caused implication. The effort to reduce this issue was by changing the rule on limit age of marriage for children as mentioned in Constitution No 1 1974 about Marriage which judged as too young. Gunungkidul District, S.R Yogyakarta Province has a Bupati Regulation of Gunungkidul No 36 2015 about Prevention of Child Marriage PCM which shown positive impacts on reducing the case of child marriage in the region. Hence, policy evaluation on limit age of marriage through a case study of Bupati Regulation of Gunungkidul No 36 2015 about PCM need to be done as a consideration to improve the policy. Case study design was used in this policy evaluation study with a qualitative approach. The result showed that Bupati Regulation about PCM affected on reducing the case of child marriage in Gunungkidul. Bupati Regulation about PCM effectively bridged the different age of marriage standards used by agencies and mapped each of their roles in a commitment to prevent the child marriage. Operational roles of the agencies were mapped in Local Action Plan on PCM and has been worked properly, but budgeting efficiency through establishing a distinctive ceiling for PCM has not been seen rather than unofficialy joined the other programs budgeting. Adequacy of Bupati Regulation about PCM revealed a low budget support from the district government but the cooperation between agencies arised by the expanding and consistent roles of the agencies after the policy applied. Equity of Bupati Regulation about PCM impacts rsquo distribution could be seen from the MoU and declaration of PCM which massively done by each sub district in Gunungkidul by 2017. Bupati Regulation about PCM had a good responsiveness as it did not contradict the value existed in the society. Positive externality of Bupati Regulation about PCM and its impacts was seen by affecting the spirit of the other regions to follow them."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Indah Rahmawati
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai ketentuan perkawinan secara khusus yang diwujudkan lewat Undang-Undang Perkawinan yang telah disahkan pada tahun 1974. Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, baik lahir maupun batin berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai batas usia minimal perkawinan untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 (sembilan belas) tahun. Perkawinan bukan merupakan bagian dari hukum perikatan, melainkan bagian dari hukum keluarga. Setiap orang yang akan menikah tetapi berumur kurang dari 19 (sembilan belas) tahun, harus membuat permohonan dispensasi perkawinan kepada Pengadilan. Malaysia merupakan salah satu negara yang juga mempunyai pengaturan mengenai perkawinan secara umum, yang dituangkan dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Tahun 1984 (Akta 303). Akta 303 memberikan batasan usia perkawinan untuk laki-laki apabila telah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, dan untuk perempuan apabila telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Malaysia juga mengenal tentang dispensasi perkawinan yang dikenal dengan sebutan discretion of judge (kewenangan hakim). Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Artikel ini akan menganalisis hukum perkawinan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan melakukan perbandingan dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia.

Indonesia is one of the countries that has specific marriage provisions which are realized through the Marriage Law which was passed in 1974. The Marriage Law defines marriage as a physical and mental bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy family, both physically and mentally based on God Almighty. The Marriage Law regulates the minimum age of marriage for men and women is 19 (nineteen) years. Marriage is not part of the law of engagement, but part of family law. Any person who wishes to marry but is less than 19 (nineteen) years of age, must make an application to the Court for dispensation of marriage. Malaysia is one of the countries that also has a general regulation on marriage, which is outlined in the Islamic Family Law Act 1984 (Act 303). Act 303 limits the age of marriage for men to 18 (eighteen) years of age, and for women to 16 (sixteen) years of age. Malaysia also recognizes marriage dispensation which is known as the discretion of judge. This research uses the normative juridical method, which is collected through a literature study. This article will analyze marriage law based on the applicable legislation and make a comparison of two countries, namely Indonesia and Malaysia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeyep Mulyana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai batas usia perkawinan Anak perempuan yang berimplikasi terhadap hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat hubungan antara perkawinan pada usia Anak dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yaitu praktik perkawinan anak merupakan usia dimana anak sedang dalam proses menempuh pendidikan/usia wajib belajar yang dijamin oleh Peraturan perundang-undangan, karena mayoritas kebijakan sekolah tidak akan menerima peserta didik dalam status sudah melakukan perkawinan dengan demikian anak tidak mendapatkan hak pendidikannya, oleh karena itu dengan ditolaknya uji materil terkait pendewasaan usia perkawinan anak dalam Putusan Perkara No 30-74/PUU-XII/2014 maka batas minimal usia perkawinan untuk perempuan tetap 16 Tahun dan tetap adanya pengaturan mengenai dispensasi untuk melakukan perkawinan dibawah usia 16 Tahun, dengan masih berlakunya ketentuan dimaksud, maka secara otomatis perkawinan pada usia anak tetap banyak dilakukan di masyarakat yang hal tersebut jelas berdampak dan berimplikasi juga terabaikannya hak anak untuk mendapatkan pendidikan
Dalam penelitian ini menyarankan perubahan terhadap ketentuan pengaturan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah yang mengatur bahwa setiap anak terlepas dari statusnya dia sudah menikah atau apapun itu tetap berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena pendidikan merupakan hak setiap anak yang wajib dipenuhi oleh Negara dan tentunya memperkuat sosialisasi dan penguatan kepada masyarakat secara masif sehingga terjadi dukungan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang akan mendukung dan memberi pemahaman kepada orang tua tentang dampak negatif melakukan perkawinan pada usia anak di daerah mereka masing-masing

ABSTRACT
The research showed that there is a relations between marriage at age Children with the right of children to education is the practice of child marriage is the age at which a child is in the process of education / compulsory school age are guaranteed by legislation, because the majority of the school's policy will not accept learners in marital status have done so children do not get the right education, therefore a refusal of judicial review related to the maturation of the marriage age children in the Decision on Case No. 30-74 / PUU-XII / 2014, the minimum age of marriage for women remain 16 Years and keep their arrangements regarding dispensation to perform marriages under the age of 16 years, with still stipulation in question, it is automatically age marriage still plenty to do in the community that it clearly had an effect and implication also the neglect of the rights of children to education
This study suggests amendments to arrangements in Article 7 Paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 on the marriage as well as a need for a policy of the government which provides that every child regardless of he's married or no it still has the right to get an education, because education is the right of every child that must be met by the State and certainly strengthen the dissemination and reinforcement to the public on a massive scale, causing the support of traditional leaders, religious leaders and community leaders who will support and understanding to parents about the negative effects do age marriage in their respective areas."
2016
T46101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Yudisthira
"Studi ini menggunakan metode Fuzzy Regression Discontinuity Design (FRDD) untuk mengevaluasi efektivitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dalam mengurangi pernikahan dini di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan usia minimal pernikahan dari 16 menjadi 19 tahun dapat mengurangi probabilitas pernikahan dini sebesar 15% hingga 28%. Namun, hasil tersebut hanya berlaku untuk populasi yang diteliti dan tidak dapat diterapkan secara universal. Izin khusus untuk pernikahan dan faktor budaya masih mempengaruhi tingginya angka pernikahan dini. Kendala implementasi kebijakan dan kompleksitas masalah juga menjadi hambatan dalam mengatasi pernikahan dini secara efektif. Diperlukan penelitian jangka panjang dan pemantauan untuk memahami secara menyeluruh dampak perubahan kebijakan dan mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan dalam masyarakat.

This study utilizes the Fuzzy Regression Discontinuity Design (FRDD) method to evaluate the effectiveness of Law Number 16 of 2019 in reducing child marriages in Indonesia. The research demonstrates that increasing the minimum marriage age from 16 to 19 years can reduce the probability of child marriages by 15% to 28%. However, these findings are specific to the studied population and cannot be universally applied. Special marriage permissions and cultural factors still influence high rates of child marriages. Challenges in policy implementation and the complexity of the issue also hinder effective efforts to address child marriages. Long-term research and monitoring are necessary to comprehensively understand the impact of policy changes and promote sustainable behavioral changes within society."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurika Pastika
"Proses kebijakan merupakan suatu proses interaksi sosial yang didorong dan dipengaruhi oleh karakteristik para aktor yang terlibat, antara lain: motivasi, informasi, dan kekuaatan. Karakteristik dari para aktor yang terlibat tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi satu sama lain, sehingga memunculkan suatu bentuk interaksi konteksual. Interaksi kontekstual tersebut yang pada akhirnya menentukan keberhasilan dari suatu kebijakan. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengenai interaksi kontekstual yang dihasilkan oleh hubungan dari karakteristik-karektiristik utama para aktor yang terlibat dalam implementasi suatu kebijakan. Pemaparan terhadap hal tersebut dilakukan melalui kasus implementasi kebijakan sanitasi melalui kampanye No Toilet No Bride yang diterapkan di Haryana, India sejak tahun 2005 hingga tahun 2012. Dengan menggunakan metode penelitian berupa metode kualitatif serta alat analisis berupa teori Contextual Interaction, penilitian ini berusaha memaparkan bahwa hubungan antara karakteristik-karakteristik utama antara pemerintah dengan penduduk perempuan serta penduduk laki-laki di Haryana telah memunculkan dua bentuk interaksi kontekstual, yakni; kerja sama aktif dan kerja sama paksa. Kedua jenis interaksi kontekstual tersebut rupanya telah mendorong terwujudnya keberhasilan dari implementasi kampanye No Toilet No Bride yang dapat dilihat dari meningkatnya jumlah toilet pribadi yang telah dibangun oleh masyarakat Haryana sejak tahun 2005 hingga 2012.

Policy implementation is a process of social interactions among the actors involved: motivation: information; and power. The characteristics of the actors are interdependent and result in contextual interactions, which in the end decide whether or not a policy is successful. This research aims to explain the contextual interactions resulted from the characteristics of the actors involved in policy implementation. In doing so, it examines the implementation of the sanitation policy that was campaigned through the No Toilet No Bride government campaign in Haryana, India from 2005 to 2012. Combined with a qualitative method, this research uses the Contextual Interaction theory as a way to explain how the relation between the characteristics among the government, the female population, and male population in Haryana has resulted in two forms of contextual interactions: active cooperation and forced cooperation. The findings of this research indicate that both forms of contextual interactions have, in fact, played a part in the success of the No Toilet No Bride government campaign that can be seen in the increasing number of private toilets built in Haryana from 2005 to 2012.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Putri Wulandari
"Studi ini berusaha untuk mencari tahu bagaimana kebijakan pembangunan fasilitas pendidikan terbesar di Indonesia, kebijakan SD INPRES program, yang diikuti oleh generasi pertama dapat memberikan manfaat kepada anaknya atau generasi keduanya dalam bentuk usia menikah pertama sebagai proksi dari manfaat non-tunai dari pengembalian pendidikan. Dengan menggunakan IFLS 4 dan 5 dan juga data dari Duflo, studi ini mengaplikasikan different in different model untuk menganalisis manfaat orang tua dari SD INPRES program dapat mempengaruhi preferensi anaknya dalam bentuk tambahan rata-rata usia menikah. Interaksi antara kelompok grup berdasarkan tahun lahir dan jumlah sekolah yang dibangun berdasarkan lokasi lahir orang tua digunakan untuk menentukan apakah masing-masing orang tua menerima manfaat dari adanya program. Hasil estimasi menemukan bahwa tidak ada cukup bukti bahwa orang tua yang mendapat manfaat dari SD INPRES program mempunyai dampak kepada anaknya dalam bentuk tambahan usia menikah. Lebih lanjut lagi, lokasi spesifik dari pelaksanaan program dapat mempengaruhi hasil tingkat signifikansi dari model regresi.

This study aims to examine how the largest Indonesian schools construction program in 1974, the SD INPRES program, experienced by first generation can give benefits to their children or their second generation in forms of age of first marriage as a proxy of non-cash benefit of return of education. Using IFLS 4 and 5 data and Duflo’s data, this study applies the different in different model to analyze if first generation benefited from the SD INPRES program can affect their children preference with an increasing average age of first marriage. Interaction of young cohort based on parent year of birth and number of schools constructed based on parent location of birth are used to decide if each of the parents can benefited from the program or not. The main finding suggests that there is no significance evidence that parent benefits from the SD INPRES program has an effect to a higher preference on children age of marriage. Furthermore, any specific location can leads to a significance findings in the regression model."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustino Crisna
"Dispensasi perkawinan dini dapat artikan sebagai izin kawin yang diputuskan oleh pengadilan kepada pemohon kedua belah pihak yang belum menginjak usia Sembilan belas tahun melangsungkan pernikahan. Wewenang untuk pengadilan memberi dispensasi ada didalam pasal 7 angka 2 Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan. Studi kualitatif ini bertujuan menemukan dan menganalisis rasionalitas pemberian dispensasi perkawinan usia anak serta efektivitas pengendalian sosial guna pencegahan perkawinan usia anak. Penelitian ini melibatkan 1 informan perempuan yang mengajukan dispensasi perkawinan 1 narasumber dari orang tua yang mengajukan dispensasi perkawinan, dan 2 narasumber terkait dari lembaga pemerintah (Pengadilan Agama Kab. Ponorogo dan Pemda Kab. Ponorogo). Yang dilakukan ialah wawancara langsung yang selanjutnya dianalisis melalui teori kriminologi. Kedua teori kriminologi tersebut memandang perkawinan usia anak menjadi akibat dari gejala perilaku menyimpang yang timbul di masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak tepatnya rasionalitas dalam pemberian dispensasi serta minimnya pengendalian sosial di pedesaan, peneliti memprioritaskan terlaksananya transformasi pembelajaran dari tingkat usia paling rendah dan sosialisasi secara merata mengenai regulasi serta penyuluhan di berbagai level kebijakan.

Early marriage dispensation can be defined as marriage permission, ruled by Court to be given to applicants on both parties, not having reached the age of 19 years when they get married. The Court Authority for this dispensation is in accordance with Law Number 1 of 1974 concerning marriages Article 7 (2). The qualitative study aimed to find and analyse the rationality in giving early marriage dispensation and the effectiveness of social control in order to prevent early marriage. The research involved a girl proposing marriage dispensation, source person from the girl’ s parent, and two source persons from government agencies (The Islamic Court of Ponorogo Regency and The Local Government of Ponorogo Regency). It covered direct interview, which then was analysed by criminology theory. Both theories considered that early marriage gave impacts on deviant behaviour in the society. The research results showed inappropriate rationality in early marriage dispensation and minimal social control as well in rural areas. The researcher prioritized the implementation of learning transformation from the lowest level of age, socialization evenly about regulation, and counselling at various policy levels."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Arika Wati
"Skripsi ini membahas tentang pencapaian program Pendawaan Usia Perkawinan (PUP) yang dilaksanakan oleh BKKBN dengan menganalisis data SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007. Perkawinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi TFR. Dengan umur kawin yang lebih muda maka akan memperpanjang masa melahirkan pada perempuan. Angka perkawinan usia dini di Indonesia masih tinggi. Sehingga dengan angka perkawinan usia yang tinggi juga menyebabkan tingginya TFR di Indonesia.
Tujuan studi ini adalah untuk mempelajari pola, perbedaan pada umur kawin pertama wanita di Indonesia berdasarkan hasil SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007. Metode yang digunakan adalah dengan analisis deskriptif dengan objek penelitian wanita pernah kawin berumur 15-49 tahun di Indonesia.
Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah lebih dari 50 % wanita pernah kawin di Indonesia menikah di bawah usia 20 tahun. wanita yang mempunyai median umur kawin pertama rendah adalah wanita yang bertempat tinggal di pedesaan, beragama Islam, tidak sekolah danbekerja di bidang pertanian dan mempunyai status ekonomi di kuintil terendah.
Berdasarkan program PUP yang dilaksanakan oleh BKKBN, cakupan program melalui kegiatan BKR maupun PIK Remaja masih belum terjangkau di semua wilayah, hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa hanya 28% remaja yang mengetahui tentang program PIK-Remaja. Hal ini mengindikasikan bahwa program tersebut masih kurang disosialisakan kepada remaja Indonesia.

This study discusses the achievements of Maturation age of Marriage (PUP) held by BKKBN by analyzing the data IDHS, 1997, 2002-2003 and 2007. Marriage is one of the factors that may effect the TFR. With a younger age of marriage then it would prolong women give birth. Number of early marriages in Indonesia is still high. So with a high rate of child marriage also led to high TFR in Indonesia.
The purpose of this study is to learn the pattern, the difference in age at first marriage of women in Indonesia based on Indonesia Demographic and Health Survey 1997, 2002-2003 and 2007. The method of research is descriptive analysis. Women which marriage between 15-49 years old in Indonesia are the object of this research.
The findings generated from this study is more than 50% of women ever married in Indonesia were married under 20years of age. women with a median age at first marriage are lowest residing women in rural areas, are Muslims, not school and work in agriculture and conomic status are the lowest quintile or the poorest.
Based on the PUP program implemented by the BKKBN, the program not cover all areas yet, there’s only 28% of adolescents who know about the PIK R program. This indicates that the program is still lessin socialization to Indonesian youth.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S46369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faiz Faisal
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengaturan batas usia dewasa dalam sistem hukum Indonesia menurut Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Administrasi Negara serta pengaruh penetapan batas usia dewasa dalam administrasi kependudukan dihadapkan pada masalah kewarganegaraan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pengaturan batas usia dewasa dalam sistem hukum Indonesia berbeda-beda. Perbedaan tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia. Pembatasan hak pilih anak kewarganegaraan ganda yang berindikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlu penyelarasan batas usia dewasa di dalam sistem hukum, khususnya peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Administrasi Negara.

ABSTRACT
This thesis is to describe and analyze determination of adult age limit on Indonesia legal system according to the Civil Law, Criminal Law, Constitutional Law, Islamic Law, Customary Law and Administrative Law as well as the effect of the determination of adult age limit on the population administration faced with the problem of citizenship. Based on the results of research shows that determination of adult age limit on Indonesian legal system is different. Such differences lead to legal uncertainty which has negative implications on the law enforcement in Indonesia. Restrictions on voting rights of child who has dual citizenship which indicate the violation of human rights. Therefore, it is necessary harmonization of the adult age in the law system, especially legislation in the field of Administrative Law."
2017
T47227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Caroline
"Skripsi ini membahas mengenai proses adopsi kebijakan dari Kecamatan Gedangsari yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Adopsi kebijakan dilakukan sebagai langkah pencegahan perkawinan pada usia anak di Kabupaten Gunungkidul. Sebelum disahkannya revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tahun 2019, belum ada solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menangani angka perkawinan pada usia anak. Perkawinan anak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, tidak terkecuali di Kabupaten Gunungkidul. Di tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengesahkan sebuah Peraturan Bupati yang mengatur tentang pencegahan perkawinan pada usia anak. Melalui Peraturan Bupati tersebut, angka perkawinan anak di Kabupaten Gunungkidul dapat ditekan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah policy diffusion, mencakup pembahasan tentang mekanisme, aktor, faktor, dan institusionalisasi jender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penerbitan Peraturan Bupati Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak melalui difusi kebijakan, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah menerapkan gender-aware policy

This thesis discusses the policy adoption process from Gedangsari Subdistrict conducted by the Government of Gunungkidul Regency. Adoption of the policy was carried out as a step in completing marriages among children in Gunungkidul Regency. Before the ratification of the revision of UU No. 1 Tahun 1974 concerning Marriage in 2019, there was no solution offered by the government to reduce child marriage rates. Child marriages occur in various regions in Indonesia, including in Gunungkidul Regency. In 2015, the Government of Gunungkidul Regency passed the Regents Regulations governing disputes at the age of children. Through the Regent's Regulation, the child marriage rate in Gunungkidul Regency can be reduced. This study uses qualitative research methods, through in-depth interviews. Theory used in this research is policy diffusion, discussing about mechanisms, actors, factors, and gender institutionalization. The result of the study shows that by the Regents Regulations on the Prevention of Marriage for Early Childhood through diffusion policy, the Government of Gunungkidul Regency has implemented a gender aware policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>