Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212435 dokumen yang sesuai dengan query
cover
LuLu Nafisah
"Kepatuhan terapi di Indonesia masih dibawah 80 dan dapat berdampak padapeningkatan kejadian infeksi protozoa usus, perkembangan AIDS yang lebih cepat,resistensi obat, kegagalan terapi, dan penularan virus kepada orang lain. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kepatuhan terapiARV pada ODHA di Klinik Yayasan Angsamerah dan Angsamerah Clinic DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif meliputi pengisian kuesioner dan interview dengan pasien yang menerima ARV dan tenaga kesehatan.Sampel ditentukan dengan menggunakan purposive sampling dan diperoleh sampelsejumlah 51 orang. Tingkat pendidikan dilihat berdasarkan lama sekolah dan tingkat kepatuhan dinilai dengan metode laporan diri, hitung jumlah sisa obat, dan viral load. Berdasarkan laporan diri 66,66 ODHA memiliki kepatuhan sedang, berdasarkanhitung jumlah sisa obat 78,43 ODHA memiliki sisa obat kurang dari 3 dosis, dan90,20 ODHA memiliki viral load yang tidak terdeteksi. Sebagian besar ODHA menempuh pendidikan selama >12 tahun 72,55 dan tingkat pendidikan terakhir tamat sarjana 64,71. Hasil analisis menunjukkan proporsi kepatuhan yang lebihtinggi sebesar 4,63 pada ODHA yang menempuh pendidikan >12 tahun dibandingkan dengan ODHA yang menempuh pendidikan le;12 tahun. Pendidikan yang tinggi berperan memfasilitasi kepatuhan ODHA dalam terapi ARV melalui berbagai mekanisme yaitu ODHA akan memiliki pengetahuan yang lebih baik, mampu memahami informasi dan rekomendasi dari dokter, memiliki daya ingat yang lebih baik, memiliki lebih banyak sumber daya ekonomi termasuk pendapatan yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebihaman dan lebih menjamin, dan sarana untuk tinggal di lingkungan yang lebih sehat yangmendukung kesehatan. Hambatan dalam terapi ARV diantaranya jadwal yang sibuk, sering berpergian, takut terungkap statusnya, informasi yang salah tentang ARV, dan penawaran obat selain ARV. Media KIE yang akurat, informatif, dan menarik, hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dan sistem atau alat pengingat jadwal minum obat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan terapi ARV pada ODHA.

Therapeutic compliance in Indonesia was still below 80 and may resulted in increased incidence of protozoanal intestinal infection, faster AIDS progression, drug resistance, treatment failure, and transmission of the virus to others. This study was aimed toexplore the relationship between education levels with adherence to Antiretroviral Therapy ART in HIV positive people in the Angsamerah Foundation Clinic and Angsamerah Clinic, Jakarta. This study used quantitative and qualitative approachesincluding questionnaires and interviews with patients receiving ARVs and health workers. Sample was determined by using purposive sampling and obtained a sample of51 people. The level of education is categorized according to years of schooling and compliance rate is assessed by self report method, pill count, and viral load. Based onself report 66,66 of PLWHA have moderate adherence, based on drug counts 78.43 of PLWHA drugs have remaining less than 3 doses and 90.20 of PLWHA have undetectable viral load. Most of PLWHA are educated for 12 years 72.55 and the last education level is under graduate 64,71 . Results of the analysis showed a higher proportion of compliance by 4.63 among PLWHA who study 12 years comparedwith people with PLWHA who study le 12 years. Higher education played a role infacilitating PLWHA compliance in ART through various mechanisms ie PLWHA will have better knowledge, be able to understand information and recommendations fromdoctors, have better memory, have more economic resources including higher income,have safer and more secure work, and living in a healthier environment that supports health. Barriers in ART include busy schedules, frequent travel, fear of exposure,misinformation about ARVs, and offers of drugs other than ARVs. An accurate, informative, and interesting EIC media, a good relationships between physicians and patients, and reminder tools or systems to take medication are needed to maintain and improve ART adherence in people living with HIV."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Sari
"Tujuan: Mengetahui konsentrasi dari virus Epstein-Barr pada saliva dengan teknik Real-Time PCR pada RS Kramat 128 Jakarta dan korelasinya dengan terapi antiretroviral, Limfosit T CD4 dan viral load HIV.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan metode potong lintang. Data didapatkan dari pasien HIV yang berkunjung ke RS Kramat 128 pada periode bulan September-Oktober 2019 dengan kelompok kontrol pegawai RS Kramat pada periode tersebut. Seluruh subjek penelitian (77 subjek, 53 HIV dan 24 non-HIV sebagai kelompok kontrol) yang bersedia berpartisipasi diminta untuk mengisi kuesioner, diperiksa rongga mulutnya, serta dikumpulkan salivanya dalam kondisi terstimulasi dan tidak terstimulasi. Saliva yang terkumpul kemudian diekstraksi DNA nya dan dilakukan pemeriksaan real-time PCR dengan menggunakan diagnostik kit untuk EBV pada Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi FKUI RSCM.
Hasil: Konsentrasi virus Epstein-Barr pada saliva pasien HIV di RS Kramat 128 Jakarta secara statistik lebih tinggi daripada kelompok kontrol dengan median (min-maks) pada pasien HIV 13.950 (0-38.550.000) dan 680 (0-733.000) pada kelompok kontrol. Tipe antiretroviral memiliki korelasi rendah dengan konsentrasi EBV, namun penggunaan ART jangka panjang memiliki korelasi sedang dalam menurunkan konsentrasi EBV (korelasi negatif dengan r=0,295). Kenaikan jumlah EBV saliva pada pasien HIV secara signifikan memiliki korelasi sedang (korelasi positif dengan r=0,295), namun memiliki korelasi rendah dengan jumlah Limfosit T CD4.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi EBV pada pasien HIV dan kelompok kontrol. Penggunaan ART jangka panjang dan viral load HIV secara signifikan memiliki korelasi sedang dengan konsentrasi EBV pada saliva.

Objective: To reveal concentration of salivary Epstein-Barr Virus with real-time PCR Technique in Kramat 128 General Hospital HIV patient and its correlation with antiretroviral therapy, CD4 and HIV viral load.
Method: This is an analytic descriptive cross-sectional study on HIV outpatient of Kramat 128 General Hospital in September-Oktober 2019 and employees of Kramat 128 as control group. All subjects (77 subject, with 53 HIV positive respondent and 24 non-HIVcontrol) willing to participate were asked to fill out a questionnare, followed by oral examination and saliva colection in stimulated and unstimulated method. The collected saliva then extracted and EBV concentration were count by real-time PCR using an EBV diagnostic kit at Center for Research on Institute of Human Virology and Cancer Biology Universitas Indonesia.
Result: The concentrations of salivary EBV were significantly higher in HIV patients than non-HIV controls, with median (min-max) values in HIV patient 13.950 (0-38.550.000) and 680 (0-733.000) in non-HIV controls. The type of ART has low correlation with EBV concentrations, but long-term ART has medium correlation in reducing EBV concentrations (negative correlation with r=0,279). Increase amount of EBV in HIV patient were significantly has medium correlation with HIV viral load (positive correlation with r=0,295) but has low correlation with CD4 cell count.
Conclusion: There are significant differences of salivary EBV concentrations in HIV patients and control group. Long term ART and HIV viral load significantly has medium correlation with EBV concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurvika Widyaningrum
"Terapi antiretroviral mampu menekan replikasi HIV, mencegah morbilitas dan mortalitas. Kepatuhan pengobatan dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan terapi, mencegah resistensi obat antiretroviral dan risiko penularan HIVDR ditengah masyarakat. Efek samping obat antiretroviral umumnya terjadi pada 3 bulan pertama setelah inisiasi yang dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien di tahun pertama pengobatan antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efek samping obat antiretroviral lini pertama terhadap kepatuhan pengobatan pasien HIV/AIDS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2010-2015.
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif berbasis rumah sakit dimana sebanyak 376 naïve-patient HIV/AIDS dipilih sebagai sampel dan diamati selama 12 bulan setelah inisiasi ART. Kepatuhan pengobatan diukur dengan dua metode yaitu berdasarkan self report dan ketepatan waktu ambil obat. Data dianalisa dengan menggunakan cox proportional hazard regression dengan perangkat lunak STATA12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek samping obat ARV lini pertama berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat (RR12=1,45, 95% CI 1,009?2,021 dan RR34=0,85, 95% CI 0,564-1,273) namun tidak berpengaruh terhadap kepatuhan ambil obat (RR12=1,23, 95% CI 0,851-1,839 dan RR34=0,70, 95% CI 0,437-1,108).

Antiretroviral therapy suppresses HIV replication, preventing morbidity and mortality. Adherence to antiretroviral therapy is needed to achieve successful treatment, prevent resistance to antiretroviral drugs and the risk of transmission of HIVDR in the community. The side effects of antiretroviral drugs generally occur in the first 3 months after initiation that could affect adherence in the first year of antiretroviral treatment. The aim of this study analyzed the effect of first-line antiretroviral side effect and adherence of HIV/AIDS patients in RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso period 2010 until 2015.
This study is hospital based retrospective cohort. A total of 376 HIV/AIDS naïve-patient had been selected as samples. Adherence was measured by two methods, based on self report and drug pick-up. Data was analyzed using cox proportional hazard regression with STATA12 software. Based on self report, HIV/AIDS patients who experience first-line ARV drugs side effect significantly associated with non-adherent (RR12=1.45, 95% CI 1.009 to 2.021 and RR34=0.85, 95% CI 0.564 to 1.273). Based on drug pick up, patients who experience first-line ARV drugs side effect not significantly associated with non-adherent (RR12=1.25, 95% CI 0.851 to 1.839 and RR34=0.70, 95% CI 0.437 to 1.108).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Nurul Hanifa
"

Latar Belakang. Kualitas tidur buruk merupakan salah satu komorbiditas yang sering terjadi pada pasien dengan HIV. Secara khusus, populasi pasien dengan HIV lebih rentan untuk memiliki kualitas tidur yang buruk yang diakibatkan oleh berbagai faktor yaitu efek samping terapi antiretroviral, psikososial,dan gangguan imunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kualitas tidur buruk pada pasien dengan HIV dalam terapi antiretroviral (ARV) dan faktor-faktor yang berhubungan.

Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada September 2016 sampai Februari 2017. Kriteria inklusi adalah pasien dengan HIV dewasa yang mengkonsumsi terapi antiretroviral selama minimal 12 bulan. Kualitas tidur ditentukan dengan kuesioner Pittsburgh sleep quality index (PSQI) yang terdiri dari 9 pertanyaan, dengan skor >5 menunjukkan kualitas tidur buruk. Risiko tinggi obstructive sleep apnea (OSA), excessive daytime sleepiness (EDS), dan depresi diperiksa dengan kuesioner Berlin, Epworth sleepiness scale (ESS) and Hamilton depression rating scale (HDRS).

Hasil. Sembilan puluh empat subjek dalam penelitian, berusia antara 20 hingga 59 tahun, sebagian besar subjek 72,3 % adalah laki-laki, 80,9% subjek memiliki viral load terakhir tidak terdeteksi dan 84,9% subjek hitung sel limfosit CD4+ terakhir >200 sel/m3. Didapatkan proporsi kualitas tidur buruk 53,2% subjek, risiko tinggi OSA 8,5% dan EDS 9,6%. Pada analisis univariat, risiko tinggi OSA dan depresi merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk. Depresi merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada analisis mulitavirat (OR 4.4; IK 95% 1.7-11.4). Sedangkan, faktor lain seperti demografi, status imunologi dan virologi tidak berhubungan secara signifikan dengan kualitas tidur.

Kesimpulan. Kualitas tidur buruk sering terjadi pada pasien dengan HIV dalam terapi antiretroviral. OSA dan depresi merupakan faktor yang harus diwaspadai pada pasien HIV dengan kualitas tidur buruk. Oleh karena itu, skrining kualitas tidur, depresi dan OSAharus dilakukan secara rutin pada pasien dengan HIV.


Background: Poor quality of sleep is one of the common comorbidities in HIV patients. Patients with HIV are particularly vulnerable to poor sleep quality due to multiple factors, including antiretroviral side effects, psychosocial, and immune dysfunction. The aim of this study is to determine the proportion of poor quality of sleep in HIV patients on antiretroviral therapy (ART) and associated factors.

Materials and Method: This was a cross sectional study in Cipto Mangunkusumo Hospital during September 2016 to February 2017. Inclusion criteria were HIV adult patients on ART for minimum of 12 months. Quality of sleep was determine based on 9 items self-administered questionnaire Pittsburgh sleep quality index (PSQI), with score >5 represents poor sleep quality. High risk of obstructive sleep apnea (OSA), excessive daytime sleepiness (EDS) and depression were assessed by Berlin questionnaire, Epworth sleepiness scale (ESS) and Hamilton depression rating scale (HDRS), respectively.

Results: Among 94 subjects, age ranging from 20-59 years old, 72.3% were male, 80.9% had current viral load undetected and 84.9% had current CD4+ lymphocyte >200 cells/m3. Proportion of poor sleep quality, high risk of OSA and EDS were 53.2%, 8.5% and 9.6%, respectively. High risk of OSA and depression were associated with poor sleep quality on univariate analysis. However, depression was the only factor that associated with poor sleep quality (OR 4.4; 95% CI 1.7-11.4) on multivariate analysis. Other factors such as demographic, immunology and virology status were not significantly associated with sleep quality.

Conclusion: Poor sleep quality is common among HIV patients on ART. Obstructive Sleep Apnea and depression were factors that should be aware of in HIV patient with poor sleep quality. Therefore, screening of sleep quality, depression and OSA should be performed routinely on HIV patients.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Intan Qolbiyah
"Infeksi Virus Human Immunodeficiency mungkin memiliki dampak psikososial pada penderitanya. Penyakit ini menciptakan stigma, yang membuat orang dengan HIV / AIDS (ODHA) cenderung menutupi status HIV mereka di masyarakat. Ketakutan ditolak dan diperlakukan secara berbeda membuat ODHA menyembunyikan perlakuan mereka. Jenis perilaku dapat mengganggu pengobatan mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan kepatuhan dengan obat yang seharusnya 95% -100% dari dosis obat yang diberikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengungkapan status HIV dan stigma dengan kepatuhan pengobatan antiretroviral. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional pada 112 Odha di RSKO Jakarta dan Puskesmas Pasar Rebo. Instrumen yang digunakan termasuk Skala Singkat Pengungkapan HIV untuk menilai pengungkapan status HIV, Skala Stigma HIV Berger untuk menilai stigma, dan Skala Kepatuhan Pengobatan Morisky (item MMAS 4) untuk menilai kepatuhan ARV.
Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan chi-square dan menunjukkan tidak ada hubungan antara pengungkapan status HIV dengan kepatuhan menggunakan ARV, (nilai p = 1.000; α = 0,05) dan tidak ada hubungan antara stigma dan kepatuhan ARV (nilai p = 0,849 ; α = 0,05). Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk layanan perawatan kesehatan agar lebih memperhatikan kepatuhan pengobatan pasien mereka dan memberikan dukungan kepada mereka untuk meningkatkan pengobatan mereka. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan studi orientasi seksual terlebih dahulu.

Human Immunodeficiency Virus Infection may have a psychosocial impact on the sufferer. This disease creates a stigma, which makes people with HIV / AIDS (PLWHA) tend to cover their HIV status in the community. Fear of being rejected and treated differently makes PLHIV conceal their treatment. This type of behavior can interfere with their treatment, so they do not get compliance with drugs that should be 95% -100% of the drug dose given.
This study aims to determine the relationship between disclosure of HIV status and stigma with adherence to antiretroviral treatment. This study used a cross-sectional design for 112 people living with HIV in RSKO Jakarta and Pasar Rebo Health Center. Instruments used included the HIV Disclosure Brief Scale to assess HIV status disclosure, the Berger HIV Stigma Scale to assess stigma, and the Morisky Treatment Compliance Scale (MMAS 4 item) to assess ARV compliance.
The results of this study were analyzed using chi-square and showed no relationship between disclosure of HIV status with adherence using ARVs (p value = 1,000; α = 0.05) and no relationship between stigma and ARV compliance (p value = 0.849; α = 0.05). This research is expected to be useful for health care services to pay more attention to the treatment compliance of their patients and provide support to them to improve their treatment. Suggestions for further research is to conduct a sexual orientation study first.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rizal
"Sampai saat ini, belum ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV tetapi ada pengobatan yang bisa memperlambat perkembangan HIV dalam tubuh yang disebut Antiretroviral Treatment. Perkembangan HIV secara in vivo dapat dimodelkan ke dalam sistem persamaan diferensial biasa menggunakan pendekatan deterministik. Pada tesis ini dibentuklah model matematika untuk dinamika virus HIV di dalam tubuh dengan adanya intervensi Antiretroviral Treatment dan memperhitungkan pengaruh Apoptosis pada sel-T. Analisis sistem dinamik pada model untuk menentukan kestabilan dari titik keseimbangan bebas infeksi dan titik keseimbangan endemik menggunakan kriteria Routh-Hurwitz. Simulasi numerik menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel-T sehat (T) dan perkembangan jumlah virus HIV (V) di dalam tubuh dapat dihambat dengan signifikan jika pengobatan ART diberikan setiap hari secara teratur dan pemilihan nilai parameter Apoptosis (A) berada pada interval [0,1 ; 0,5].

Until now, there is no medicine to cure HIV infection, but there is a treatment that can slow the progression of HIV in the body called Antiretroviral Treatment. The development of HIV, when evaluated in vivo can be modeled into a system of ordinary differential equations using a deterministic approach. In this paper, be formed a mathematical model for the dynamics of HIV in the body with the intervention of Antiretroviral Treatment and take into account the influence of Apoptosis on T-cells. The dynamic system analysis of the model to determine the stability of the infectious free equilibrium point and the endemic equilibrium point uses the Routh-Hurwitz criterion. Numerical simulations show that a decrease in the number of healthy T-cells (T) and the proliferation of HIV virus (V) in the body can be significantly impeded if ART treatment is administered daily on a regular basis and the selection of Apoptosis (A) parameter values is at interval [0.1 ; 0.5]."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T49943
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiqomah
"Kepatuhan terapi ARV adalah hal terpenting bagi penderita HIV agar keberhasilan manajemen terapi dapat tercapai, dimana dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya sosiodemografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan), tingkat pengetahuan HIV, dan pengetahuan ARV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV pada penderita HIV/AIDS. Menggunakan cross sectional, analisa data menggunakan uji chi-square, pada 90 responden penderita HIV yang mengkonsumsi ARV di Kota Depok.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV diantaranya Usia (p: 0,000 , α: 0,05), Tingkat pendidikan (p: 0,000 , α: 0,05), Pengetahuan HIV (p: 0,000 , α: 0,05), dan Pengetahuan ARV (p: 0,006 , α: 0,05). Sementara jenis kelamin (p: 0,729 , α: 0,05),dan Pekerjaan (p: 0,119 , α: 0,05) tidak berhubungan.

The adherence towards ARV therapy plays the most important role for HIV infected patients in order to achieve successful management of therapy, which various factors are presumed to affect such as sociodemographic factors (age, sex, education, and occupation), knowledge HIV and ARV. This research is conducted to find out the factors, which are affecting the obedience of the HIV infected people toward ARV therapy. The criss sectional design is used in the research, to analyze data , the author uses chi-square consecutive sampling and total samples from 90 correspondents, HIV infected patients who are currently consuming ARV in Depok.
The result of the research condusted in this thesis shows factors associated with adherence toward ARV therapy among age (p: 0,000 , α: 0,05), education (p: 0,000 , α: 0,05), knowledge HIV (p: 0,000 , α: 0,05), and knowledge ARV (p: 0,006 , α: 0,05). While sex (p: 0,729 , α: 0,05), and occupation (p: 0,119 , α: 0,05) are not associated.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63230
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Indah Setyawati
"Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kondisi medis kronis yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat ditekan virusnya dengan terapi obat Antiretroviral (ARV) . Obat ini harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan 95% agar virus dapat ditekan dengan optimal. Akan tetapi banyak faktor yang memengaruhi kepatuhan pengobatan ini, salah satunya yaitu adanya perceived stigma, adanya kekhawatiran bahwa dirinya mendapatkan stigma dari lingkungan. Berbagai penelitian selanjutnya menjelaskan bahwa perceived stigma ini membuat mereka menjadi tertutup dan tidak mendapatkan akses dukungan sosial yang dibutuhkan, sehingga perceived social support menjadi menurun, dan selanjutnya berpengaruh pada pembentukan self-efficacy, faktor intrapersonal yang krusial untuk mendorong kepatuhan pengobatan. Melihat bahwa stigma HIV masih sangat kuat di masyarakat, maka penelitian ini penting untuk dilakukan, untuk melihat bagaimana perceived stigma berpengaruh pada kepatuhan pengobatan ARV, dengan menguji peran perceived social support dan self-efficacy sebagai mediator. Terdapat 100 ODHIV dari Jabodetabek yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Data diperoleh melalui kuesioner daring lalu dianalisis menggunakan analisis serial mediation. Hasilnya menunjukkan bahwa perceived social support dan self-efficacy tidak memberikan indirect effect dalam hubungan antara perceived stigma dan kepatuhan pengobatan ARV ketika dilakukan serial mediation, dan ditemukan bahwa self-efficacy secara konsisten memprediksi kepatuhan pengobatan ARV. Hasil penelitian dan limitasi dari penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian diskusi penelitian

Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection is a chronic medical condition that cannot be cured, but the virus can be suppressed with antiretroviral therapy (ARV). ARV must be taken for life with an adherence level of 95% to make the virus suppressed optimally. However, many factors influence adherence to this treatment, one of which is the perceived stigma. Previous studies found that perceived stigma became a barrier to disclosure and does not get adequate social support needed, so that perceived social support decreases, and then affects the development of self-efficacy, the crucial intrapersonal factor to medication adherence. Based on the phenomena that HIV stigma is still very strong in society, this research is important to do, to see how perceived stigma affects ARV medication adherence, by examining the role of perceived social support and self-efficacy as mediators. There were 100 PLHIV from Jabodetabek who participated in this study. Data obtained through online questionnaires and then analyzed using serial mediation analysis. The results showed that perceived social support and self-efficacy did not provide a significant indirect effect in the relationship between perceived stigma and adherence to ARV through serial mediation, and self-efficacy was found to consistently predicted ARV treatment adherence. The research results and limitations of this study will be discussed further in the research discussion section"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraidah
"Remaja merupakan masa peralihan dari anak anak menuju dewasa terjadi perubahan fisik, kognitif, psikososial dan psikoseksual yang menyenangkan sekaligus menakutkan bagi remaja. Karakteristik remaja yang sudah mulai mandiri mampu mengambil keputusan dalam hidupnya, demikian halnya dengan keputusan untuk tetap patuh minum ARV yang tentunya dengan didukung oleh teman dan keluarga serta petugas Kesehatan. Kepatuhan dalam pengobatan ARV menjadi tantangan dalam pengobatan ARV, karena minum ARV dilakukan seumur hidup sehingga bisa menimbulkan rasa jenuh dan bosan dalam menjalankan terapi ARV. Tujuan penelitian ini adalah mengekplorasi secara mendalam pengalaman remaja dalam mempertahankan kepatuhan ARV. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan appreciative inquiry yang teridiri dari tahap discovery, dream, design dan destiny. Adapun tahapan AI yang digunakan peneliti hanya tahap discovery dan dream. Analisis yang digunakan menggunakan analisis tematik. Penelitian ini mengungkap pengalaman 10 partisipan remaja yang patuh mengikuti terapi ARV sehingga kondisi badannya tetap sehat dan dapat hidup normal. Ada tujuh tema yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu menjalankan kehidupan, hidup normal, menghidupkan alarm minum obat, ingin sehat, minum obat harus tepat waktu, takut menghadapi stigma serta adanya semangat dan harapan. Pelayanan kesehatan diharapkan dapat memperhatikan kondisi psikosial remaja dengan HIV selain kondisi fisik dan pengobatan ARVnya.
Adolescence is a transition from childhood to adulthood. There are physical, cognitive, psychosocial, and psychosexual changes that are both fun and frightening for adolescents. Characteristics of adolescents who have started to be independent can make decisions in their lives, as well as the decision to remain adherence in taking ARVs which of course is supported by friends and family as well as health workers. Adherence with antiretroviral treatment becomes a challenge in the treatment of antiretroviral because taking antiretroviral therapy is done for life so that it can cause boredom in running antiretroviral therapy. The purpose of this study is to explore indepth the experiences of adolescents in maintaining ARV adherence. This research is qualitative research with an appreciative inquiry approach that consists of the stages of discovery, dream, design, and destiny. The AI stages used by researchers are only the discovery and dream stages. The analysis used uses thematic analysis. This study reveals the experiences of 10 adolescent participants who adhered to ARV therapy so that their body condition remained healthy and could live a normal life. There are seven themes found in this study, namely running a life, living a normal life, turning on the alarm to take medication, the reason for taking medication, taking medicine must be on time, fear of facing stigma and the spirit and hope. It is hoped that health services can pay attention to the psychological condition of adolescents with HIV in addition to their physical condition and ARV treatment."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauziyah Hasani
"Terapi Antiretroviral (ARV) merupakan revolusi dalam pengobatan pasien HIV/AIDS. Beberapa faktor prognosis yang diketahui mempengaruhi kesintasan hidup pasien terapi ARV adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, stadium klinis, status fungsional, kadar CD4 awal, cara penularan HIV, infeksi oportunistik, jenis ARV yang digunakan, dan kepatuhan minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor prognosis yang mempengaruhi kesintasan hidup pasien terapi ARV di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta tahun 2007-2017. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien terapi ARV di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien terapi ARV berusia dewasa yang naïve ARV di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta pada tahun 2007-2017 sebanyak 812 pasien. Penelitian ini menemukan probabilitas kesintasan pasien terapi ARV selama 11 tahun pengamatan adalah sebesar 66,5%. Hasil analisis dengan Extended Cox menunjukkan bahwa faktor prognosis yang paling signifikan mempengaruhi kesintasan pasien terapi ARV adalah infeksi oportunistik, dimana pasien yang mempunyai infeksi oportunistik memiliki risiko kematian 9,5 kali dibandingkan yang tidak memiliki infeksi oportunistik.

Antiretroviral therapy (ARV) is a revolution in the treatment of HIV/AIDS patients. Some prognosis factors that are known to affect the survival of ARV patients are age, gender, education level, marital status, clinical stage, functional status, initial CD4 level, transmission of HIV, opportunistic infections, type of ARV used, and adherence. This study aims to determine prognosis factors that influence the survival of ARV therapy patients at the Central Army Hospital (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta in 2007-2017. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data on ARV therapy patients at Gatot Soebroto Hospital in Jakarta. The study sample was a naive ARV patient at the Gatot Soebroto Hospital in Jakarta in 2007-2017 as much as 812 patients. This study found the probability of survival of antiretroviral therapy patients during the 10 years of observation was 66.5%. The results of the analysis with Extended Cox show that the most significant prognosis factor affecting the survival of ARV therapy patients is opportunistic infections, where patients who have opportunistic infections have a risk of death 9.5 times compared to those who do not have opportunistic infections."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>