Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 225575 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Human Rights Support Facilities (HRSF), 2009
323 HUM b (1);323 HUM b (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Irwinda Vanya
"Skripsi ini membahas mengenai implementasi sistem pertahanan rakyat semesta dalam peraturan perundang-undangan pasca amandemen Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan mengenai keikutseraan warga negara pasca amandemen pasal 30 Undang-undang Dasar 1945 terdapat dalam Undang-undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Peraturan Presiden No.7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, dan Buku Putih Pertahanan Indonesa. Prinsip hak asasi manusia yang terkait dengan keikutsertaan warga negara dalam sistem pertahanan terdapat dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Melalui penelusuran terhadap peraturan-peraturan tersebut dapat dikatuhui bahwa konsep keikutsertaan warga negara dalam sistem pertahanan rakyat semesta pasca amandemen hanya berkutat pada tataran wacana yang bersifat umum tidak dapat diwujudkan dalam praktik sehingga prinsip-prinsip hak asasi manusia belum diterapkan secara maksimal.
This thesis talk's about the implementation of Indonesia's total people defence system in Laws and regulation after the amandement of Article 30 Undang- Undang Dasar 1945 (The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia). The Regulation about the implementation of Indonesia's total people defence system in Laws and regulation after the amandement of Article 30 Undang-Undang Dasar 1945 (The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia) can be found in Undang-undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (State Defense Law), Peraturan Presiden No.7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, and Buku Putih Pertahanan Indonesa (Indonesia's Defense White Book). Human rights principles which are related into implementation of Indonesia's total people defence system in Laws and regulation after the amandement of Article 30 Undang-Undang Dasar 1945 (The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia) can be found in International Covenant on Civil and Political Rights. This research result The rights of citizen to participate in Indonesia Total People Defense System are generally concept in Indonesia Law and cannot be used for practical purpose, therefore this conditions make human rights principles has not been implemented in a best way."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S58
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Evrin Halomoan
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. Meskipun para pelaku telah diadili, namun hasil akhirnya adalah tidak ada kepastian pemberian hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban. Penyelesaian kasuskasus Pelanggaran HAM Berat khususnya dalam peristiwa tanjung priok 1984 cenderung berpijak pada model hukum positif yang kaku dan kurang memperhatikan kepentingan korban, padahal aparatur hukum sejatinya dapat menggunakan kacamata hukum lain demi terwujudnya keadilan substansif.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara terhadap narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis ini.

Gross violation of human rights is an extraordinary crime resulting in both physical and material losses of victims. It is often that the victim doesn't get protection and fulfillment of the rights guaranteed in the legislation. The problems raised in this thesis is How the protection for the victims of gross human rights violations, particularly in the case of human rights violations of Tanjung Priok 1984. Although the perpetrators were sentenced, but the there is no certainty of grant of rights regarding the reparations, such as compensation, restitution or rehabilitation to victims or families of the victims. The adjudication of human rights violations cases, especially on Tanjung Priok 1984 likely rests on the rigid positive law model and put less attention to the interests of victims, where legal apparatus can actually use the other 'legal spectacles' for the realization of substantive justice.
The expected outcome of this study is that the government can review the existing implementation mechanisms associated with the solution of gross human rights violations cases because experience shows the adjudication of gross human rights violations through court will often ignore the victim's rights in obtaining justice. Thus, it is expected that the Government will be more serious and intended to solves all the past gross human rights violations with more emphasis on the importance of the interests of victims.The method used in this study is a normative juridical with collection techniques of legal studies literature related to the victim's right of gross human rights violations in Indonesia, and reinforced by conducting interviews with sources. The data were based on literature review will be analyzed using this analysis.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman AK
"Penegakan Hukum Pelanggaran HAM berat di Indonesia terdiri dari mekanisme yudisial dan non yudisial. Pelanggaran HAM berat di Paniai memberikan ancaman diskursus pengetahuan HAM dewasa ini. Terlebih implikasi Penegakan Hukum HAM terfokus pada para korban yang tidak terpenuhi haknya. Konsep keadilan reparasi merupakan rangkaian dari konsep keadilan transisi yang dirancang untuk menjawab pertanggungjawaban negara kepada korban Pelanggaran HAM berat yang tercantum dalam hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode hukum penelitian doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak reparasi atas korban banyak mengalami dialektik transisi kebijakan di berbagai rezim, khususnya di rezim dewasa ini yang menekankan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial sehingga terdapat ketidaksesuaian antara konsep keadilan reparasi maupun keadilan transisional dalam penerapannya di Indonesia saat ini. Oleh karena demikian, perlu adanya rekonsiliasi dari negara sehingga pemenuhan hak reparasi bagi korban pelanggaran HAM di Paniai maupun masa lampau dapat terealisasikan secara maksimal sesuai dengan kajian komprehensif HAM.

The enforcement of gross human rights violations in Indonesia consists of judicial and non-judicial mechanisms. Gross human rights violations in Paniai pose a threat to the current human rights discourse. Moreover, the implications of human rights law enforcement are focused on victims whose rights are not fulfilled. The concept of reparative justice is part of the broader concept of transitional justice, designed to address state accountability to victims of gross human rights violations, as stipulated in national and international law. This research uses doctrinal legal research methods with legislative and conceptual approaches. The results of this study show that the reparation rights for victims has undergone a dialectic of policy transitions across various regimes, particularly in the current regime, which emphasizes the resolution of past gross human rights violations through non-judicial mechanisms. This results in discrepancies between the concepts of reparative justice and transitional justice in their implementation in Indonesia today. Therefore, reconciliation from the state is necessary so that the fulfillment of the right to reparations for victims of human rights violations in Paniai and the past can be maximized in accordance with a comprehensive human rights review."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Issues on murder case of Munir, an Indonesian human rights activist died on the flight from Jakarta to Amsterdam on September 7, 2004."
Jakarta: Kontras, 2006
323.3 Bun
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2011
323KOMK001
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Indonesia mengalami pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 meninggalkan permasalahan krusial terkait pelanggaran HAM berat. Tuntutan masyarakat terutama pihak korban dan keluarganya terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat masih terus disuarakan sampai saat ini. Guna menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemerintah bersama DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya antara tahun 2002-2004 Pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc yang tujuannya untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat kasus Timor Timur pasca jajak pendapat dan kasus Tanjung Priok. Masyarakat terutama korban dan keluarganya belum merasakan jawaban atas hasil Pengadilan HAM ad-hoc dimaksud berkenaan dengan tuntutan yang selama ini dilakukan. Hal ini karena proses yudisial tersebut tidak memberikan nilai-nilai keadilan, dan tidak berpihak kepada korban. Pendekatan yudisial hanya menyelesaikan aspek hukumnya saja, dan hanya berorientasi kepada pelaku. Sementara pelanggaran HAM berat mengandung dimensi politik, psikologis, dan sosial yang sangat kompleks, yang dialami oleh korban beserta keluarganya.
Sistem hukum Indonesia disamping mengenal penyelesaian sengketa secara yudisial, juga mengenal alternatif penyelesaian sengketa secara non-yudisial. Salah satu pendekatan ekstrayudisial untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat yang dikenal oleh masyarakat internasional adalah rekonsiliasi. Pendekatan rekonsiliasi meskipun tidak menjamin terwujudnya rasa keadilan bagi semua pihak, akan tetapi lebih dari 20 negara yang sukses menerapkan rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Afrika Selatan (1995), Chili (1990-1992), Guatemala (1995), Meksiko (1992), dan El Savador (1992-1994). Pemerintah bersama DPR melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi membentuk lembaga rekonsiliasi yang diberi nama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Belum lagi Komisi ini memilih dan menatapkan anggotanya, UU KKR yang menjadi payung hukum pelaksanaan rekonsiliasi di Indonesia diuji materil terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menyatakan bahwa UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian kelembagaan yang sudah terbentuk dengan sendirinya dibubarkan, dan rekonsiliasi sebagai pendekatan ekstrayudisial belum pernah dilakukan di Indonesia.
Rekonsiliasi merupakan bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum yang bersifat ekstrayudisial. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum, yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu: substance, structure, dan legal culture. Penulis memanfaatkan ketiga komponen tersebut sebagai kerangka kerja analisis untuk membahas urgensi rekonsiliasi di Indonesia. Implementasinya dilakukan dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan praktik rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Chili. Komponen substance, dipergunakan untuk mengetahui apa urgensi pengaturan rekonsiliasi terkait dengan transitional justice, tanggung jawab dan kewajiban negara, serta politik hukum. Komponen structure, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme rekonsiliasi terkait dengan bentuk, struktur, dan mandat kelembagaan yang diperlukan guna mendukung rekonsiliasi. Komponen legal culture, dipergunakan untuk mengetahui bagaimana praktik pengaturan dan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Indonesia experienced authoritarian rule for 32 years. Orde Baru regime ended in 1988 left the crucial issues related to serious human rights violations. Public, especially the victims and their families demanded the Government to resolve the serious human rights violations in a fair and dignified. Finally, the Government and the Parliament has established the Law No. 26 Year 2000 on Human Rights Court. The Government has established a Human Rights Court ad-hoc which aim to examine and rule on cases of serious human rights violations cases in East Timor after the referendum and the Tanjung Priok case conducted between the years 2002-2004. Public, especially victims and their families, did not receive a fair response to the human rights court ad-hoc. The judicial process did not give the value of justice, and not to side with the victim. The judicial approach simply completing the legal aspects, and oriented to the perpetrator. On the other hand, human rights violations contains aspects of political, psychological, and social problems are complex. Indonesia imposed a judicial and extrajudicial approach in resolving a dispute. The international community recognize reconciliation as alternative dispute resolution. Reconciliation in principle does not guarantee justice, but nearly 20 countries in the world to apply this method to solve the problem of serious human rights violations of the past, such as: South Africa (1995), Chile (1990-1992), Guatemala (1995), Mexico (1992), and El Salvador (1992-1994).
Government and Parliament enacting Law No. 27 Year 2004 on the Truth and Reconciliation Commission. This law established the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia. Constitutional Court conduct a judicial review Law No. 27 Year 2004 on the 1945 National Constitution. Decision of the Court stated that the Law No. 27 Year 2004 does not have binding legal force. Thus, the institution that has been formed by itself had been disbanded. Moreover, the reconciliation as extrajudicial approach has never been done in Indonesia. Reconciliation is an integral part of law enforcement that is extrajudicial. Lawrence M. Friedman's said that the success of law enforcement always requires three components functioning legal system, namely substance, structure, and legal culture.
I use these three components as an analytical framework to discuss the urgency of reconciliation in Indonesia. Its implementation is done by comparing the arrangements, mechanisms, and practices of reconciliation in South Africa and Chile. Substance, is used to identify whether an urgency of reconciliation arrangements associated with transitional justice, responsibility and state obligation, and legal politic. Structure is utilized to identify the reconciliation mechanism related to the shape, structure, and institutional mandate to reconciliation. Legal culture is employed to identify a practice of arrangements and mechanism that inline to the demands of reconciliation in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>