Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Balqis Islamadina
"Latar Belakang: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan penurunan fungsi paru disertai gejala sesak, batuk dan produksi sputum. Otot inspirasi seringkali terlibat dan mengalami kelemahan serta kelelahan akibat adanya hiperinflasi. Kelemahan otot inspirasi sangat berperan pada kejadian sesak sehingga mengurangi kapasitas latihan pada pasien PPOK. Selain itu, Latihan penguatan otot inspirasi menggunakan Inspiratory Muscle Trainer (IMT) diketahui dapat meningkatkan kekuatan otot inspirasi, namun belum terdapat penelitian yang menilai efektifitasnya dalam meningkatkan kecepatan berjalan dengan uji jalan 4 meter pada pasien PPOK.
Tujuan: Untuk mengetahui efek latihan penguatan otot inspirasi dengan menggunakan IMT terhadap kecepatan berjalan menggunakan uji jalan 4 meter pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensional prospektif untuk menilai kecepatan berjalan pasien PPOK setelah pemberian program latihan dengan IMT selama 8 minggu. Subjek penelitian adalah pasien PPOK kelompok GOLD A hingga D yang berobat jalan ke Poliklinik Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan Departemen Rehabilitasi Medik. Latihan IMT dilakukan di rumah selama 8 minggu, dengan dosis awal 30% PImax yang ditingkatkan 10% setiap 2 minggu hingga mencapai 60% PImax. Nilai PImax, kecepatan berjalan dan sesak dengan skala BORG dinilai setiap 2 minggu.
Hasil: Dari total 13 subjek, hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan proporsi 92,3%. Nilai rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 64,92 (SB 8,713) tahun. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan dari 1,59 (SB 0,32) meter/detik hingga 1,74 (SB 0,49) meter/detik dan nilai PImax dari 58,50 (SB 19,70) cmH2O hingga 67,02 (SB 19,88) cmH2O setelah menjalani 8 minggu latihan IMT. Simpulan: Terdapat peningkatan yang secara klinis bermakna pada kekuatan otot inspirasi dan kecepatan berjalan pasien PPOK dengan uji jalan 4 meter setelah menjalani latihan penguatan otot inspirasi dengan Inspiratory Muscle Trainer selama 8 minggu. Latihan IMT dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada program rehabilitasi paru pasien PPOK.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a respiratory illness characterized by reduced pulmonary function that is accompanied by dyspneu, chronic cough and sputum production. The inspiratory muscles are frequently involved in the disease process due to hyperinflation., resulting in weakness and increased fatigability. Inspiratory muscle weakness has an important role in the manifestation of dyspneu, therefore reducing exercise tolerance in COPD patient. Strength training to inspiratory muscle has been shown to improve inspiratory muscle strength, however there has not been any literature measuring its effectiveness on gait speed using four meter lane in COPD patient.
Aim: To find the effect of inspiratory muscle strengthening using Inspiratory Muscle Trainer (IMT) on four meter gait speed in COPD patient.
Methods: This is a prospective interventional study to evaluate gait speed in COPD patient after undergoing IMT training for 8 weeks. The subjects in this study are patient with COPD GOLD A to D visiting the pulmonary clinics in the department of internal medicine and medical rehabilitation. IMT training was performed as a home program exercise for 8 weeks, with initial dose of 30% PImax and improved by 10% every 2 weeks, reaching to maximal dose of 60% PImax at the end of 8 weeks training. PImax, gait speed and dyspneu using BORG scale was measured every 2 weeks during follow up.
Result: From a total of 13 subjects, almost all subjects are male (92,3%) and mean age was 64,92 (SD±8,713) years. There was an increase of gait speed from 1,59 (SD±0,32) to 1,74 (SD±0,49) meter/second and PImax from 58,50 (SD±19,70) to 67,02 (SD±19,88) cmH2O after 8 weeks IMT training. However, there was no improvement in dyspneu symptoms from BORG scale assessment.
Conclusion: IMT training for 8 weeks resulted in clinical improvement of inspiratory muscle strength and 4 meter gait speed in moderate to very severe COPD patient. IMT training can be considered as an addition to pulmonary rehabilitation program in COPD patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listyani Herman
"Cedera medula spinalis (CMS) adalah kondisi cedera pada medula spinalis yang ditandai dengan gangguan pada komponen motorik, sensorik, serta otonom. Severitas gangguan yang terjadi sesuai dengan klasifikasi ASIA Impairment Scale (AIS) dan level neurologis. Salah satu gangguan yang biasa ditemui adalah kelemahan otot pernapasan. Kekuatan otot inspirasi digambarkan dengan nilai Maximal Inspiratory Pressure (MIP), diukur dengan manometer otot pernapasan (MicroRPM®), dan  ditingkatkan dengan latihan kekuatan otot inspirasi. Tesis ini disusun untuk mengetahui rerata MIP sebelum dan setelah latihan otot inspirasi menggunakan Threshold Inspiratory Muscle Trainer (threshold IMT®) pada pasien CMS fase kronis. Desain menggunakan studi intervensi one group pre and post-test. Sebelas orang penderita CMS AIS A-D dan level neurologis C5-T6 diberikan latihan otot inspirasi dengan beban sebesar 30% MIP yang disesuaikan berdasarkan pengukuran MIP setiap minggu. Latihan dengan durasi 30 menit/hari dan frekuensi 5 hari/minggu selama 6 minggu. Uji Wilcoxon digunakan untuk membandingkan data MIP sebelum dan setelah latihan selama 6 minggu. Nilai tengah MIP sebelum dan setelah latihan didapatkan sebesar 38 (30-85) cmH2O dan 85 (56-126) cmH2O dengan nilai p<0,05. Simpulan: terjadi peningkatan kekuatan otot inspirasi setelah latihan menggunakan threshold IMT pada pasien CMS fase kronis.

 


Spinal cord injury (SCI) is injury of the spinal cord characterized by disorders of the motor, sensory, and autonomic components. The severity depends on the ASIA Impairment Scale (AIS) classification and neurological level. The common problems is respiratory muscle weakness so sufferers tend to experience respiratory complications. Inspiratory muscle strength is illustrated by Maximal Inspiratory Pressure (MIP) value, measured using respiratory muscle manometer (MicroRPM®), and enhanced by inspiratory muscle strength training. This thesis is structured to determine the average MIP before and after inspiratory muscle training using Threshold Inspiratory Muscle Trainer (threshold IMT®) in chronic phase SCI patients. The study design used one group pre and post-test intervention study. Eleven people with SCI AIS A-D and neurological level C5-T6 were given inspiratory muscle training with load 30% MIP adjusted according to weekly MIP measurements. The duration is 30 minutes / day and  frequency is 5 days / week for 6 weeks. The Wilcoxon test was used to compare MIP data before and after exercise for 6 weeks. The median MIP before and after exercise was 38 (30-85) cmH2O and 85 (56-126) cmH2O with p <0.05. Conclusion: increase in inspiratory muscle strength after exercise using threshold IMT in chronic phase SCI.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunani
"ABSTRAK
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) merupakan prosedur pembedahan revaskularisasi yang digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan aliran darah ke jantung. Masalah paling umum yang timbul pada pasien pasca CABG adalah nyeri pasca CABG/Post CABG pain (PCP). Latihan peregangan otot pernafasan merupakan suatu latihan untuk memelihara dan mengembangkan fleksibilitas atau kelenturan otot pernafasan dan dapat mengurangi nyeri. Beberapa jenis latihan untuk mengurangi nyeri telah banyak diidentifikasi seperti latihan aerobik dan anaerobik, namun hanya sedikit penelitian yang telah mengkaji keefektifan latihan peregangan otot dan latihan nafas dalam pada pasien CABG khususnya terhadap nyeri. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi keefektifan latihan peregangan otot pernafasan terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca coronary artery bypass grafting di rumah sakit jantung dan pembuluh darah Harapan Kita Jakarta. Penelitian quasi experiment ini menggunakan sampel 30 responden, masing-masing 15 responden untuk kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah visual analog scale (VAS) dengan kombinasi numeric pain scale dengan skala 1-10. Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti dan data yang diperoleh dianalisa secara univariat, bivariat dan general linear model (GLM) menggunakan t test, anova, korelasi dan GLM repeated measures. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara tingkat nyeri sebelum dan sesudah latihan peregangan otot pernafasan pada kelompok intervensi dan kontrol (p=0.018, α=0.05). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi layanan keperawatan dan perkembangan ilmu keperawatan dalam menggunakan latihan peregangan otot sebagai salah satu terapi modalitas keperawatan untuk mengurangi nyeri. Direkomendasikan untuk penelitian lanjut tentang latihan ini pada pasien pasca bedah kardiotorak lainnya.

ABSTRACT
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) is a revascularization surgery procedure which is done to repair and improve the blood circulation to heart. The most common problem encountered by patient during post CABG is Post CABG pain (PCP. Respiratory muscle stretching exercise is an exercise to maintain and develop flexibility of respiratory muscle and gon reduce pain. Some kinds of exercise to reduce pain have been identified such as aerobic and anaerobic exercises, though only a few researches which have studied the effectiveness of muscle stretching exercises and deep breathing for CABG patients especially towards pain. The purpose of this research is to identify the effectiveness of respiratory muscle stretching towards the decrease of pain on patients post coronary artery bypass grafting in Harapan Kita Cardiovascular Hospital Jakarta. This Quasi Experimental research used the sample of 30 respondents, each 15 respondent for intervention and control groups. Instrument used to measure pain is visual analog scale (VAS) by the combination of numeric pain scale at 1-10. Collection of the data was carried out by the researcher herself and the collected data was analyzed in univariate, bivariate, and general linear model (GLM) by using i test, anova, correlation and general linear model (GLM) repeated measures. The result of the research shows that there was a significant difference between the degree of pain before and after the respiratory muscle exercises on the intervention and control group (p=0.018, a 0.05). This research is expected to be beneficial for nursing service and development of nursing science in using muscle stretching exercises as one of the nursing modality therapy in reducing pain. It is also recommended for the further research about this kind of exercise for the other cardiothorac post surgery patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kelly Nagaruda
"Paparan terhadap polutan, terutama asap rokok merupakan penyebab peradangan saluran napas kronis pada PPOK. Pada penelitian sebelumnya, piroksikam terbukti menghambat aktivasi neutrofil dan mengurangi pelepasan anion superoksida dari neutrofil melalui ikatannya dengan formyl peptide receptor (FPR) secara in vitro. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis efek antagonis FPR1 piroksikam secara in vivo terhadap parameter hematologi dan red blood’s cell distribution width (RDW). Penelitian ini menggunakan mencit betina ddY. Mencit diinduksi dengan asap rokok selama delapan minggu. Mencit yang sudah mengalami PPOK dibagi menjadi enam kelompok. Kelompok negatif diberi CMC-Na 0,5% secara oral, kelompok positif diberikan inhalasi budesonid 0,002mg/20gBB mencit/hari, serta tiga kelompok variasi dosis piroksikam dengan D1 0,026mg/20gBB mencit/hari; D2 0,052mg/20gBB mencit/hari; dan D3 0,104mg/20gBB mencit/hari secara oral. Mencit diinduksi selama delapan minggu, lalu diberikan perlakuan selama 21 hari. Parameter yang dinilai adalah hematologi serta red blood cell’s distribution width (RDW) yang diukur menggunakan hematology analyzer. Dosis 0,026mg/20gBB dan 0,104mg/20gBB memiliki efek terhadap parameter hematologi. Dosis 0,026mg/20gBB, 0,052mg/20gBB, dan 0,104mg/20gBB dapat menurunkan RDW. Berdasarkan penelitian, piroksikam memiliki efek terhadap parameter hematologi dan dapat menurunkan red blood cell’s distribution width (RDW).

Exposure to pollutants, especially cigarette smoke, is a cause of chronic airway inflammation in COPD. In a previous study, piroxicam was found to inhibit neutrophil activation and reduce the release of superoxide anion from neutrophils by binding to formyl peptide receptor (FPR) in vitro. This study was conducted to analyze the effect of the FPR1 antagonist piroxicam in vivo on hematological parameters and red blood's cell distribution width (RDW). This study used female DDY mice. Mice were induced with cigarette smoke for eight weeks. COPD Mice were divided into six groups. The negative group was given CMC-Na 0,5% orally, the positive group was given inhaled budesonide 0,002mg/20gBW mice/day, and the three variation dose groups of piroxicam with D1 0.026mg/20gBW mice/day; D2 0,052mg/20gBW mice/day; and D3 0,104mg/20gBW mice/day orally. Mice were induced for eight weeks, then given treatment for 21 days. The parameters assessed were hematology and red blood cell's distribution width (RDW) which was measured using a hematology analyzer. Doses 0.026mg/20gBW and 0.104mg/20gBW of piroxicam affect hematological parameters. Doses 0.026mg/20gBW, 0.052mg/20gBW, and 0.104mg/20gBW of piroxicam are able to reduce RDW. The results showed that piroxicam affects hematological parameters and reduces red blood cell’s distribution width (RDW).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Melania Muda
"Latar belakang: Pramugari merupakan salah satu pekerjaan yang sering terpapar stresor ergonomik sehingga sangat rentan terkena gejala gangguan muskuloskeletal. Salah satu cara untuk mengatasi keluhan muskuloskeletal adalah dengan peregangan otot. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat prevalensi gangguan muskuloskeletal dan pengaruh program latihan peregangan selama 2 mingggu menggunakan video peregangan Kemenkes RI terhadap perubahan intensitas nyeri gangguan muskuloskeletal pada pramugari pesawat komersil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakanre -post study dengan instrumen Nordic Musculoskeletal Questionnaire dan Visual Analog Scale<.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 92 %  pramugari (n = 75) mengalami gangguan muskuloskeletal pada setidaknya 1 area tubuh dalam 12 bulan terakhir. 34 responden dijadikan sebagai subjek penelitian. Skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh sebelum intervensi sebesar median 34 (29-84) dengan intensitas nyeri sebesar median 6 (2-9) masing-masing menjadi median 32 (28 - 67) dan  median 3 (0-9) setelah intervensi.
Kesimpulan: Didapatkan adanya perubahan yang bermakna pada skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh yang bermakna pada skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh (p < 0,001) serta intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi latihan peregangan (p < 0,001).

Background: Flight attendant (FA) is a job that often exposed to ergonomic stressors so they are very susceptible to symptoms of musculoskeletal disorders. One of the ways to overcome musculoskeletal complaints is to stretching. The aim of this study was to examine the prevalence of musculoskeletal disorders and the effect of a 2-week stretching exercise program using the Indonesian Ministry of Health's stretching video on changes in the intensity of musculoskeletal pain in FA on commercial aircraft in Indonesia.
Methods: This is a pre-post study with Nordic Musculoskeletal Questionnaire and Visual Analog Scale as instruments.
Results: The results showed that 92% of the FA (n=75) had musculoskeletal disorders in at least 1 area of the body in the last 12 months. 34 respondents were used as subjects. The complaint level score in 28 body areas before the intervention was a median of 34 (29-84) with pain intensity of a median of 6 (2-9) became a median of 32 (28-67) and a median of 3 (0-9) after the intervention, respectively.
Conclusion: The stretching exercise program showed significant changes in the complaint level scores in 28 body areas (p<0.001) and pain intensity before and after the stretching exercise intervention (p<0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Yunda Setyowati
"Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara akibat dari kombinasi dua penyakit pernapasan, yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa piroksikam mengikat reseptor formil peptida-1 (FPR-1) untuk menghambat aktivasi neutrofil dan mengurangi pelepasan anion superoksida dari neutrofil yang diinduksi N-Formil-L-metionin-L-leusil-L-fenilalanin (fMLF) secara in vitro. Pada penelitian ini, dilakukan eksperimen secara in vivo pada antagonis FPR-1 yaitu piroksikam terhadap histologi paru. Penelitian ini menggunakan mencit betina DDY yang dibagi menjadi 6 kelompok: kontrol dan kontrol negatif yang diberikan CMC Na 0,5% secara oral, kontrol positif diberikan inhalasi budesonid 1mg/kg BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis piroksikam 0,026mg/20gBB mencit/hari; 0,052mg/20gBB mencit/hari; 0,104mg/20gBB mencit/hari secara oral. Mencit dipaparkan asap rokok (6 batang rokok/hari selama 8 minggu), kemudian diobati baik dengan piroksikam atau budesonid selama 3 minggu. Dalam studi histologi, dilakukan pewarnaan Periodic acid–Schiff (PAS) dan masson’s trichrome. Berdasarkan penelitian, Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada penebalan dinding bronkus (p<0,05). Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada jumlah sel goblet (p<0,05). Dosis 0,104mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada proporsi fibrosis (p<0,05). Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas anti-inflamasi piroksikam dapat dikaitkan dengan penurunan penebalan dinding bronkus, jumlah sel goblet, dan proporsi fibrosis.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is given by the symptoms of airway limitation of two respiratory disease, chronic bronchitis and emphysema. On the previous experiment found that piroxicam binds to formyl peptide receptor-1 (FPR-1) to inhibit neutrophil activation and reduce superoxide anion that released from neutrophil induced by N-Formyl-L-methionyl-L-leucyl-L-phenylalanine (fMLF) with in vitro method. In this study, in vivo experiments were conducted on the FPR-1 antagonist piroxicam on lung histology. This experiment is done by using female DDY mice, divided into 6 different groups: control and negative control were given CMC Na 0,5% orally, positive control was given 1mg/kg BW/day of budesonide inhalation, and three variation dose groups of piroxicam 0,026mg/20gBW mice/day; 0,052mg/20gBW mice/day; 0,104mg/20gBW mice/day orally. Mouse were exposed to CS (6 cigarettes/day for 8 weeks), then treated with piroxicam either budesonide for 3 weeks. In lung histological studies, Masson’s trichrome and Periodic acid–Schiff (PAS) staining were performed. Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced bronchial wall thickening (p<0,05). Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced number of goblet cells (p<0,05). Doses 0,104mg/20gBW piroxicam significantly reduced fibrosis proportion (p<0,05). Based on this result, the anti-inflammation activity of piroxicam may be attributed to the reduction of bronchial wall thickening, number of goblet cells, and fibrosis proportion."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leleulya, Marlond Rainol
"Gangguan fungsi seksual dapat terjadi pada laki-laki di segala usia, suku dan latar belakang budaya. Diperkirakan lebih dari 152 juta laki-laki di dunia menderita disfungsi ereksi pada tahun 1995 dan jumlahnya terus meningkat sehingga diperkirakan akan mencapai 322 juta di tahun 2025. Pengetahuan tentang fisiologi, patofisiologi fungsi seksual laki-laki dan melode diagnostik serta pengobatan dalam 3 dekade terakhir mengalami kemajuan bermakna. Keterlibatan fisiologi, sifat dan elemen-elemen yang terlibat dalam respons seksual normal dan aktiviti fungsional struktur penis telah berhasil diketahui. Mekanisme pasti komponen sistem saraf yang terlibat dalam proses ereksi jugs telah dapat dimengerti. Dalam bidang patofisiologi perkiraan kontribusi relatif faktor psi kogenik dan organik diketahui menjadi penyebab disfungsi ereksi pada laki-laki serta banyak faktor risiko yang menjadi penyebab disfungsi ereksi berhasil diidentifikasi. Pemeriksaan fisis dan laboratorium berkembang dengan pesat dengan berbagai pemeriksaan psikometri, hormonal, vaskular dan neurotogis.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan. Diperkirakan 14 juta orang menderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 1991, meningkat 41,5 % dibandingkan tahun 1982 sedangkan mortalitinya menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian terbanyak yakni 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9 % dari tahun 1979 sampai 1991. Laki-laki dan perempuan mempunyai angka mortaliti yang sama sebelum usia 55 tahun sedangkan laki-laki usia 70 tahun angka kematian meningkat dua kali dari perempuan. Studi pada 12 negara di Asia Pasifik oleh Chronic Obstructive Pulmonary Disease Working Group mendapatkan prevalens PPOK bervariasi mulai dari 3,5% di Hong Kong dan 6,7% di Vietnam sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalens PPOK akan meningkat pada tahun 2020 dari peringkat 12 ke 5 penyebab penyakit tersering di seluruh dunia.
Koitus merupakan proses alamiah dan dibutuhkan manusia. Penyakit kronik selain mengganggu kemampuan menikmati hidup jugs mengganggu fungsi seksual. Disfungsi ereksi yang terjadi berkisar dari gangguan kecii sampai bencana bagi keluarga. Hudoyo dkk. menemukan disfungsi ereksi pada penderita PPOK mencapai 62,5%. Selama ini layanan medis dalam penanganan penderita PPOK terbatas pada keluhan-keluhan penderita yang berhubungan dengan sesak napas, faktor-faktor penyulit dan komplikasinya sedangkan masalah psikososial kurang mendapat perhatian. Walaupun masalah psikososial secara langsung tidak mempengaruhi angka harapan hidup, tetapi kondisi ini sangat mempengaruhi kualiti hidup penderita beserta pasangannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhela Amelia Nugroho
"Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru-paru kronis progresif yang menyebabkan sesak napas dan mengancam nyawa. PPOK tidak dapat diobati, namun gejalanya dapat ditangani dan mengurangi risiko kematian. PPOK merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia, yang menyebabkan sebanyak 3,17 juta kematian secara global pada tahun 2015 dan diestimasikan akan menjadi penyakit tiga teratas yang menyebabkan kematian di seluruh dunia pada tahun 2030. PPOK juga merupakan salah satu penyebab kematian utama semua kelompok usia di Indonesia pada tahun 2014 dengan persentase sebesar 4,9%. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, salah satunya adalah pencemaran udara partikulat. DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah dengan udara tercemar di Indonesia dengan Jakarta Pusat sebagai kota yang memiliki jumlah parameter kritikal PM2.5 dan PM10 terbanyak dibandingkan dengan kota Jakarta lainnya. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas udara ambien (PM2.5 dan PM10), Faktor Individu, dan Faktor Meteorologi dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Jakarta Pusat tahun 2018-2020. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi berdasarkan waktu (time trend). Hasil studi menunjukkan adanya korelasi yang lemah dengan pola positif antara konsentrasi PM2.5, PM10, dan suhu udara dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= 0,172, r= 0,056, r= 0,147). Hubungan korelasi yang lemah dengan pola negatif antara kelembaban udara dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= - 0,248). Hubungan korelasi yang kuat dengan pola positif antara usia ≤ 44 tahun dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= 0,534, r= 0,738). Hubungan korelasi yang kuat atau sempurna dengan pola positif antara usia 45-59 tahun, usia > 59 tahun, dan jenis kelamin laki-laki dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= 0,882, r= 0,958, r= 0,897). Pada penelitian ini hanya ditemukan hubungan yang signifikan antara usia ≤ 44 tahun (p= 0,001), usia 45-59 tahun (p= 0,000), usia >59 tahun (p= 0,000), jenis kelamin laki-laki (p= 0,000), dan jenis kelamin perempuan (p= 0,000) dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a progressive chronic lung disease that causes shortness of breath and is life threatening. COPD cannot be treated, but symptoms can be managed and reduce the risk of death. COPD is one of the leading causes of death worldwide, causing 3.17 million deaths globally in 2015 and it is estimated that it will become the top three disease causing death worldwide by 2030. COPD is also one of the leading causes of death for all age group in Indonesia in 2014 with a percentage of 4.9%. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) can be influenced by various risk factors, one of which is particulate matter. DKI Jakarta is one of the areas with air pollution in Indonesia with Central Jakarta as the city that has the highest PM2.5 and PM10 pollution compared to other Jakarta administrative cities. In general, this study aims to determine the correlation between ambient air quality (PM2.5 and PM10), Individual Factors, and Meteorological Factors with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) in Central Jakarta in 2018-2020. This research uses an ecological study design based on time (time trend). The results of the study show a weak correlation with a positive pattern between concentrations of PM2.5, PM10, and air temperature with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r= 0.172, r= 0.056, r= 0.147). Weak correlation with a negative pattern between relative humidity and the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r= - 0.248). a strong correlation with a positive pattern between the age of ≤ 44 years and female with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r = 0.534, r = 0.738). a strong or perfect correlation with a positive pattern between the age of 45-59 years, age > 59 years, and male with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r = 0.882, r = 0.958, r = 0.897). In this study age ≤ 44 years (p = 0.001), age 45-59 years (p = 0.000), age >59 years (p = 0.000), male (p = 0.000), and female (p= 0.000) were significantly correlated with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franky Indra Wijaya
"Latar Belakang: Angka mortalitas penyakit kritis menurun di seluruh dunia, namun pasien yang selamat mengalami disabilitas fungsional yang signifikan akibat penghancuran otot. Kelemahan otot yang terjadi pada pasien ICU (Intensive Care Unit) ini disebut sebagai ICU-AW (Intensive Care Unit Acquired Weakness). Penilaian tebal otot diafragma telah dipakai untuk memprediksi usaha napas dan penggunaan ventilator. Pennation angle merupakan pola susunan serat otot dalam hubungannya dengan aksis otot yang berfungsi sebagai penghasil kekuatan otot.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan perubahan pennation angle otot rektus femoris yang berhubungan terhadap perubahan tebal otot diafragma.
Metode: Sebanyak 34 subjek penelitian yang dirawat di Intensive Care Unit dengan menggunakan ventilasi mekanik, dilakukan penghitungan tebal otot diafragma dan pennation angle otot rektus femoris hari pertama hingga hari kelima perawatan menggunakan ultrasonografi. Kemudian dihitung rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dan perubahan tebal otot diafragma serta dilakukan analisa korelasi.
Hasil: Tidak terdapat korelasi antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dengan rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga kelima (R = 0,041 - 0,211, p = 0,231 - 0,816). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari pertama (R = -0,615 hingga -0,777, p = 0,001). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima (R = 0,471 - 0,728, p = 0,001 - 0,005). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga kelima dengan tebal otot diafragma hari pertama (R = -0,538 hingga -0,710, p = 0,001).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dengan rasio perubahan tebal otot diafragma. Terdapat korelasi negatif antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga hari kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari pertama. Terdapat korelasi positif antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan
pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima. Terdapat korelasi negatif antara rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga hari kelima dengan tebal otot diafragma hari pertama.

Background: Critical disease mortality rates decline worldwide, but survivors experience significant functional disability due to muscle destruction. Muscle weakness that occurs in ICU patients is referred to as ICU-AW. Assessment of diaphragm muscle thickness has been used to predict breathing effort and ventilator use. Pennation angle is a pattern of muscle fibers in relation to muscular axis that functions as a muscle strength.
Purpose: Determine the changing ratio in pennation angle of the rectus femoris muscle which is associated with changing ratio of diaphragm muscle thickness.
Methods: 34 research subjects who were admitted to the Intensive Care Unit using mechanical ventilation, thickness of diaphragm muscle and pennation angle of the rectus femoris muscle were measured on the first day until the fifth day of treatment using ultrasonography. Then the changing ratio of diaphragm muscle thickness and the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle were calculated on the second to the fifth day then the correlation analysis were done.
Result: There was no correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle with the changing ratio of diaphragm muscle thickness on the second to the fifth day (R = 0.041 - 0.211, p = 0.231 - 0.816). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with pennation angle of the rectus femoris muscle on the first day (R = -0,615 to -0,777, p = 0.001). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day (R = 0.471 - 0.728, p = 0.001 - 0.005). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of diaphragm muscle thickness of the second to the fifth day with the diaphragm muscle thickness on the first day (R = -0,538 to -0,710, p = 0.001).
Conclusion: There is no correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle with the changing ratio of diaphragm muscle thickness. There is a negative correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with the first day of pennation angle of the rectus femoris muscle. There is a positive correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with the rectus femoris muscle pennation angle on the second to the fifth day. There is a negative correlation between the diaphragm thickness changes on the second to the fifth day with the thickness of the diaphragm muscle on the first day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Rahayuningtyas
"ABSTRAK
Nama : Dwi Kartika RahayuningtyasProgram Studi : Magister Ilmu KeperawatanJudul : Pengaruh Paket Intervensi Keperawatan terhadap Sesak Napas dan Toleransi Latihan pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis StabilPembimbing : Tuti Herawati, S.Kp.,M.N dan Agung Waluyo, S.Kp.,M.Sc.,Ph.D Sesak menyebabkan pasien penyakit paru obstruktif kronis membatasi aktivitas sehingga terjadi penurunan toleransi latihan. Evaluasi pemberian bronkodilator, minum air hangat, latihan pernapasan diafragma, dan latihan batuk efektif belum dijadikan dalam satu paket intervensi keperawatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh paket intervensi keperawatan terhadap sesak napas dan toleransi latihan pada pasien penyakit paru obstruktif kronis stabil. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain quasi eksperimen dengan pre test and post test nonequivalent control group. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu Jakarta. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling dengan 40 responden. Pengukuran menggunakan skala sesak napas modifikasi Borg dan tes 6 menit berjalan. Hasil perhitungan pooled t test menunjukkan ada pengaruh signifikan paket intervensi keperawatan terhadap penurunan skala sesak napas dengan p value 0,019 dan peningkatan toleransi latihan dengan p value 0,026. Penelitian ini merekomendasikan paket intervensi keperawatan sebagai paket intervensi mandiri keperawatan untuk mengurangi sesak napas dan meningkatkan toleransi latihan. Kata kunci :Sesak napas, toleransi latihan, paket intervensi keperawatan, penyakit paru obstruktif kronis.
ABSTRACT
Name Dwi Kartika RahayuningtyasStudy Program Master of Nursing Specialization in Medical Surgical NursingTitle The Effect of Nursing Intervention Package to Breathlessness and Exercise Tolerance on Patient with stable Chronic Obstructive Pulmonary DiseaseCounsellor Tuti Herawati, S.Kp.,M.N and Agung Waluyo, S.Kp.,M.Sc.,Ph.D Breathlessness causes the patients of chronic obstructive pulmonary disease limiting their activity so the exercise tolerance decreasing. Evaluation of bronchodilator administration, warm water drinking, diaphragm breathing exercise, and effective cough exercise, have not made into one nursing intervention package yet. This study aim rsquo s to know the effect of nursing intervention package to breathlessness and exercise tolerance among with stable chronic obstructive pulmonary disease patients. This study used quantitative study method with quasy experiment design with pre test and post test non equivalent control group. This study required 40 respondent using consecutive sampling technique in Pasar Minggu General Hospital, Jakarta. The effectiveness of nursing intervention package was measured by Borg Modification Breathlessness Scale dan 6 minutes walking test. There is significant effect of nursing intervention package to the decreasing of breathlessness scale with p value 0,019 and increasing of exercise tolerance with p value 0,026. This study recommends nursing intervention package as independent nursing intervention. Keywords Breathlessness, exercise tolerance, nursing intervention package, chronic obstructive pulmonary disease. "
2018
T50580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>