Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67720 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Putu Kokohana Arisutawan
"Latar belakang: Keadaan hipoksia hipobarik intermiten menyebabkan penurunan tekanan atmosfer sehingga terjadi penurunan tekanan partial oksigen. Salah satu respon fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoksia adalah melakukan angiogenesis. Penelitian ini untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi jumlah pembuluh darah otot rangka.
Metode: Penelitian ini adalah eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus), jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Setiap kelompok mendapat perlukan berbeda-beda yaitu dimasukkan ke chamber hipobarik sebanyak 1x, 2x, 3x 4x dan kelompok kontrol. Pajanan 1 kali merupakan pajanan hipoksia akut. Pajanan hipobarik dilakukan selama 5 menit dengan interval tujuh hari. Selanjutnya otot rangka semua tikus diambil sebagai untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Variabel yang dievaluasi adalah jumlah pembuluh darah otot rangka pada masing-masing kelompok coba.
Hasil: Keadaan hipoksia dicapai pada setiap kelompok uji. Saturasi dalam setiap ujicoba dibawah 60%. Perubahan perilaku akibat hipoksia di temukan pada semua uji coba. Rerata jumlah pembuluh darah otot rangka kelompok kontrol adalah 45,60 ± 7,96. Jumlah pembuluh darah pada kelompok satu dan dua dibawah kelompok kontrol (38,60 ± 3,44 dan 41,00 ± 6,44). Pada kelompok yang mendapat pajanan 3 dan 4 kali, jumlah pembuluh darah di atas kelompok kontrol (48,00 ± 5,87, dan 46,20 ± 8,29). Pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI terjadi peningkatan dibandingkan hipoksia akut. Pada uji Anova, tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik terhadap perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada semua kelompok.
Simpulan: Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI dibandingkan dengan hipoksia akut. Terdapat perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada hewan coba tikus Wistar, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.

Background: Hypoxia hypobaric intermittent condition may cause a decrease of atmospheric pressure that leads to a decrease in partial oxygen pressure. One of the body physiologic response to hypoxia are angiogenesis. This research aims to prove the effect of intermittent hypoxia hypobaric on histological changes of skeletal muscle
Methods: This research is an experimental in vivo study on 25 Wistar rats (Rattus norvegicus), male aged 40-60 days, with body weight of 220 grams that is divided into 5 groups, each group has 5 mice. Each of the group got different treatment : once, twice, thrice and four time exposed into hypobaric chamber and control group. Once time exposed is acute hypoxia. Hypobaric exposure were given for 5 minutes with interval of 7 days. Skeletal muscle of the mouse were taken to do histological examination beneath light microscopy Variable that should be evaluated are number of blood vessels in the skeletal muscle in each of the group.
Results: Hypoxia condition can be achieved in test group. Saturation in the test group are beneath 60%. Changes in behavior in hypoxic condition can be found in all test group. The average of all skeletal muscle in control groups are 45,60 ± 7,956. The number of skeletal muscle in group 1, 2 are beneath control group (38,60 ± 3,435 dan 41,00 ± 6,442). In the group that has been exposed three or four times, the number are higher compared to control groups (48,00 ± 5,874, dan 46,20 ± 8,289). Skeletal muscle vassels that have HHI occour increase compared to acute hypoxia. In ANOVA test group, we cannot find any statistically significant difference between the number of skeletal muscle between all groups.
Conclusion: An increasing in the number of skeletal muscle vessels that are experiencing HHI compared with acute hypoxia. There was a change in the number of skeletal muscle vessels in Wistar rats, but not statistically significant."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Daniel Rael Chandra
"Stenosis adalah penyempitan abnormal yang dapat menyerang arteri. Para peneliti menyatakan bahwa stenosis dipengaruhi oleh efek fluida non-Newtonian yaitu darah yang viskositasnya dipengaruhi oleh shear stress dinding pembuluh darah. Simulasi CFD dilakukan dengan software ANSYS Fluent Student dan dapat digunakan untuk menganalisis aliran di dalam arteri yang tersumbat pada kasus stenosis pada pembuluh darah yang berbentuk Y junction. Model viskositas yang dipakai untuk studi ini adalah model Carreau karena model ini dapat digunakan untuk berbagai rentang nilai shear rate dan model ini cukup umum digunakan untuk mensimulasikan aliran darah. Karena karakteristik aliran darah dipengaruhi oleh beberapa parameter, maka metode yang dapat digunakan adalah 2k faktorial. Variabel respon yang akan digunakan dalam percobaan adalah velocity, wall shear stress, velocity, dan oscillatory shear index dengan tiga faktor yaitu besar sudut, diameter inlet, dan diameter outlet. Skenario terbaik untuk mencegah terjadinya aterosklerosis adalah dengan memilih faktor desain percabangan level rendah diameter inlet level tinggi dan diameter outlet level rendah sehingga diperoleh variabel respon terbaik dengan nilai velocity yang tinggi, wall shear stress > 0,5, dan OSI < 0,2.

Stenosis is an abnormal narrowing that can attack the arteries. The researchers stated that stenosis is influenced by the effect of non-Newtonian fluids, namely blood whose viscosity is affected by shear stress on the walls of blood vessels. The CFD simulation was carried out with the ANSYS Fluent Student software and can be used to analyze the flow in a blocked artery in the case of stenosis in a Y-shaped vessel. The viscosity model used in this study is the Carreau model because this model can be used for a wide range of shear rate values and this model is quite commonly used to simulate blood flow. Because the characteristics of blood flow are influenced by several parameters, the method that can be used is 2k factorial. The response variables that will be used in the experiment are velocity, wall shear stress, velocity, and oscillatory shear index with three factors: angle size, inlet diameter, and outlet diameter. The best scenario to prevent atherosclerosis is to choose a low-level branching design factor, high-level inlet diameter and low-level outlet diameter so that the best response variable is obtained with a high velocity value, wall shear stress > 0.5, and OSI < 0.2."
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Rina
"Latarbelakang. Enhanced External Counterpulsation (EECP) dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat meningkatkan aliran darah perifer yang selanjutnya menimbulkan shear stress tinggi dan pada gilirannya mempengaruhi fungsi sel sel endotel yang berperan langsung didalam penurunan resistensi pembuluh darah, melalui peningkatan pembentukan substrat vasodilatasi NO (nitrogen monoksida). Secara teori peningkatan NO menginduksi terjadinya dilatasi pembuluh darah, dikenal sebagai flow mediated dilation (FMD). Sampai saat ini belum ada laporan tentang perubahan FMD pasca EECP. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan apakah FMD arteri brakhialis mengalami perubahan pada penderita PJK yang menjalani EECP. Metodologi. Dilakukan penelitian prospektif eksperimental dengan desain pra pasca pada 20 penderita PJK laki-laki, umur 42 - 71 th di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Semua penderita telah menjalani pemeriksaan angiografi koroner. Lima penderita dengan satu penyempitan pembuluh koroner utama (1-VD), 5 penderita dengan 2-VD, 9 penderita dengan 3-VD. Satu penderita dikeluarkan dari penelitian karena operasi tumor paru Seluruh penderita mendapat perlakuan EECP selama 1 jam sekali perhari selama 36 kali, minimal 5 kali seminggu. Pada semua penderita dilakukan pengukuran diameter arteri brakhialis memakai scan Duplex ultrasonografi perifer, sebelum dan sesudah perlakuan EECP. Untuk menilai FMD, diukur diameter (mm) baseline arteri dan saat hiperemia. FMD adalah persentase perubahan diameter akibat induksi peningkatan aliran darah. Analisa statistik Data disajikan dalam nilai rerata + SD. FMD pra dan pasca disajikan dalam satuan persen (%). Analisa perubahan variabel pra dan pasca EECP dilakukan dengan pair-t test. Nilai bermakna bila p<0,05.
Hasil penelitian. Usia rerata 58,1±7,72 thn. Peningkatan FMD pra (4.57±7,72%) dan pasca EECP (5,96±5,49%) pada penderita PJK secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Uji statistik yang dilakukan pada 3 subkelompok VD dan 2 subkelompok umur (dibawah 60 th dan > 60 th), secara statistik tidak bermakna. Pada kelompok pra EECP (6 penderita) yang dengan kegagalan FMD (0%), pasca EECP terjadi peningkatan bermakna (p<0,05). Pada 2 penderita subkelompok usia lanjut (umur 60 th) FMD pasca EECP masih tetap menunjukkan penurunan, hal ini mungkin terjadi disfungsi endotel berat. Pembahasan. FMD adalah salah satu parameter untuk menilai perubahan biologis fungsi endotel pembuluh darah. Semakin tinggi respon FMD menunjukkan fungsi endotel semakin baik. Pada penelitian ini, FMD menunjukan peningkatan tidak bermakna, mungkin shear stress yang dihasilkan EECP secara mekano hemodinamik tidak cukup untuk merangsang pelepasan NO, walaupun D/S ratio yang optimal. Penderita dengan gangguan fungsi endotel berat, pelepasan NO kedalam darah sangat menurun, sehingga sehingga terjadi peningkatan rasio ET-1/NO atau terjadi pelepasan ET-1 dari smooth muscle cell (SMC) yang selanjutnya menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Peningkatan FMD pada penderita lelaki dengan PJK yang menjalani EECP secara statistik tidak bermakna.
2. Subkelompok penderita lelaki usia lanjut dengan PJK kemungkinan EECP menyebabkan kecendrungan penurunan FMD."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Arief Budiman
"Organofosfat adalah pestisida yang sering dipakai di Indonesia. Penggunaan Pestisida organofosfat yang tidak tepat dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru restriksi pada petani padi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas enzim asetilkolinesterase dalam sel darah merah, prevalensi gangguan fungsi paru pada petani padi, dan hubungan asetilkolinesterase dalam sel darah merah dengan gangguan fungsi paru.
Desain penelitian adalah potong lintang dengan besar sampel 61 orang petani padi yang terpajan organofosfat yang diambil dengan cara cluster random sampling. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2017 hingga Desember 2017 di Desa Padaasih, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolinesterase dalam sel darah merah, pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan foto thoraks. Variabel yang diteliti adalah usia, masa kerja, eksposure rate, IMT, kebiasaan merokok, persepsi pemakaian APD pernapasan, dan aktivitas enzim aseltilkolinesterase dalam sel darah merah.
Aktivitas AChE dalam sel darah merah dengan nilai tengah 2138.97 IU/l dengan nilai minimum 201.17 IU/l dan nilai maksimum 6979.35 IU/l. Prevalensi gangguan fungsi paru restriksi adalah 18%. Tidak terdapat variabel faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru restriksi.
Prevalensi gangguan fungsi paru restriksi cukup tinggi dan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas enzim asetilkolinesterase dalam sel darah merah dengan gangguan fungsi paru. Perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan berkala terutama bagi petani dengan gangguan fungsi paru.

Organophosphates are commonly used pesticides in Indonesia. The use of improper organophosphoric pesticides can lead to impaired lung function in rice farmers. The purpose of this study was to know the activity of acetylcholinesterase enzyme in red blood cells, the prevalence of impaired lung function in rice farmers, and the association of acetylcholinesterase in red blood cells with lung function.
The study design was cross sectional, 61 rice farmers who were exposed to organophosphates were taken by cluster random sampling. The study was conducted in October 2017 to December 2017 in Padaasih Village, Cibogo Sub-district, Subang District, West Java. Data collection was done by interview, examination of enzyme acetylcholinesterase in red blood cells, spirometry examination and examination of thoracic photo. The variables studied were age, years of work, exposure rate, BMI, smoking habit, perception of using respiratory PPE, and activity of aseltylcholinesterase in red blood cells.
AChE activity in red blood cells with a median value of 2138.97 IU/l with a minimum value of 201.17 IU/l and a maximum value of 6979.35 IU/l. The prevalence of restrictive lung function is 18%. There were no risk factors that had significant association with restrictive lung function.
The prevalence of restrictive lung function impairment is quite high and the activity of acetylcholinesterase in red blood cells with restrictive lung function has no significant association. Periodic health checks are necessary, especially for farmers with restrictive lung function."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John Christian
"Saat hipoksia, tubuh memproduksi radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Radikal bebas, salah satunya, dapat menyerang protein sehingga menghasilkan dikarbonil. Namun, terdapat mekanisme adaptasi tubuh yang mungkin diinduksi hipoksia hipobarik intermiten, termasuk antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat dilihat, salah satunya dengan penurunan produksi dikarbonil. Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental dengan melibatkan 25 ekor tikus yang dibagi ke dalam 5 kelompok, yakni kelompok Hipoksia Hipobarik Intermiten (HHI) 7 kali, kelompok HHI 14 kali, kelompok HHI 21 kali, kelompok HHI 28 kali, dan kelompok kontrol. Terjadi fluktuasi kadar dikarbonil dan dapat terlihat tren perubahan kadar dikarbonil antara kelompok-kelompok perlakuan walaupun hasil uji statistik tidak memiliki perbedaan signifikan. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dari kadar dikarbonil pada jaringan hati tikus di kelompok yang diberikan perlakuan hipoksia hipobarik intermiten dengan kelompok kontrol sehingga hipotesis “jumlah paparan hipoksia hipobarik intermiten yang berbeda mengakibatkan perbedaan kadar dikarbonil yang bermakna pada jaringan hati tikus” dan adanya efek perlindungan HHI terhadap radikal bebas tidak terbukti.

During hypoxia, the body produces free radicals which are harmful to the body. Free radicals can attack proteins to produce dicarbonyl. However, there are body adaptation mechanisms that may be induced by intermittent hypobaric hypoxia, including antioxidants that protect the body from free radicals and can be seen, one of which is by decreasing dicarbonyl production. This study was conducted using an experimental design involving 25 rats which were divided into 5 groups, namely the Intermittent Hypobaric Hypoxia (HHI) group 7 times, the HHI group 14 times, the HHI group 21 times, the HHI group 28 times, and the control group. Fluctuations in dicarbonyl levels occurred and a trend of changes in dicarbonyl levels could be seen between the treatment groups, although the results of the statistical tests did not have a significant difference. The results showed that there was no significant difference in dicarbonyl levels in rat liver tissue in the group that was given intermittent hypobaric hypoxia treatment with the control group so that the hypothesis "different amounts of intermittent hypobaric hypoxia exposure resulted in significant differences in dicarbonyl levels in rat liver tissue" and there was an effect HHI's protection against free radicals is not proven."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabela Andhika Paramita
"Banyak penduduk yang tinggal di dataran tinggi mengalami keadaan hipobarik hipoksia intermiten IHH . Kondisi tersebut bahkan diciptakan sedemikian rupa untuk pelatihan pilot, atlit dan pendaki gunung. Dalam percobaan ini, akan dilihat apakah efek perlindungan IHH dimediasi oleh enzim glutathione peroksidase GPX . Sampel percobaan adalah ginjal tikus Sprague-Dawley sehat usia 2 bulan dengan berat 200-250 g. Perlakuan IHH diterapkan dengan menggunakan Hypobaric Chamber tipe I yang dapat mengondisikan tekanan udara seperti pada ketinggian 35,000 1 menit ; 30,000 3 menit ; 25,000 5 menit ; dan 18,000 30 menit kaki. Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol, kelompok hipobarik-hipoksia, dan kelompok hipobarik-hipoksia intermiten 1x, 2x, dan 3x dengan jumlah tikus masing-masing 3 ekor/kelompok. Aktivitas spesifik GPX diukur menggunakan metode RANDOX dan RANSEL. Analisa statistik ANOVA-one way menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok P>0.05 walaupun aktivitas spesifik GPX ginjal tikus pada kelompok dengan perlakuan hipobarik hipoksia lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan terjadi karena aktivitas antioksidan lain. Kesimpulan penelitian penerapan IHH tidak mempengaruhi aktivitas GPX pada ginjal tikus.

Many people live in high altitude experiencing a condition called intermittent hypobaric hypoxia IHH . Some people even create IHH condition as an exercise for pilot, athletes, and mountaineers. In this experiment, we wanted to see whether the protective effect of IHH is mediated through glutathione peroxidase GPX enzyme. The experiment rsquo s sample is 2 months old healthy Sprague Dawley rat rsquo s kidney weighing 200 250 g. Intermittent hypobaric hypoxia treatment is done by using Hypobaric Chamber type I that can mimic air pressure at certain altitudes 35,000 1 minute 30,000 3 minutes 25,000 5 minutes and 18,000 30 minutes feet. The rats were divided into five treatment groups such as control group, hypobaric hypoxia group, and intermittent hypobaric hypoxia 1x, 2x, and 3x groups with each group consisting of 3 rats. The specific activity of GPX was measured using RANDOX and RANSEL methods. Statistical analysis of one way ANOVA did not show significant difference between the groups P 0.05 even though specific activities of renal GPX of rats exposed to hypobaric hypoxia were higher compared to the control group. This may be caused by the other antioxidants rsquo activities. In conclusion, the IHH treatment did not affect GPX activity in rat rsquo s kidney."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70354
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurbowo Ardi
"ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ginanjar
"Latar Belakang : Peningkatan resistensi vaskular paru (RVP) pasien stenosis mitral (SM) disebabkan oleh proses reaktif hipertensi pulmoner (HP) sehingga mempengaruhi luaran klinis pascabedah katup mitral. Endotelin-1 (ET-1) sebagai mediator vasoaktif berperan penting pada HP reaktif. Belum ada penelitian yang menghubungkan kadar ET-1 vena pulmoner (VP) dengan RVP.
Tujuan Penelitian : Menilai korelasi kadar ET-1 VP terhadap RVP sebelum dan sesudah pembedahan katup mitral pada pasien SM dengan HP.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 28 pasien SM berat dengan HP sedang dan berat yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan April hingga November 2014. Dilakukan analisa statistik untuk mencari korelasi antara kadar ET-1 VP dengan RVP sebelum dan sesudah pembedahan katup mitral.
Hasil Penelitian : Terdapat korelasi antara kadar ET-1 VP dengan RVP prabedah (r=0,49, p=0,008), sedangkan dengan RVP pascabedah tidak berkorelasi bermakna (r=0,204, p=0,32). Analisa regresi linear antara kadar ET-1 VP dengan RVP prabedah setelah disesuaikan dengan variabel perancu hipertensi, diabetes melitus tipe 2, fibrilasi atrial, penggunaan penyakat beta dan diuretik didapatkan r=0,5 koefisien β 1,04 dengan interval kepercayaan (IK) 95% (0,401-1,691) p=0,003, sedangkan dengan RVP pascabedah setelah disesuaikan dengan variabel perancu hipertensi, penghambat ACE/ARB, penyakat beta, vasodilator, waktu cross clamp didapatkan r=-0,08 koefisien β -0,2 dengan IK 95 % (-0,99-0,5) p=0,5.
Kesimpulan : Terdapat korelasi positif bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar ET-1 VP dengan RVP prabedah, Peningkatan kadar ET-1 VP sebesar 1 pg/ml, akan meningkatkan RVP prabedah sebasar 1,04 WU. Kadar ET-1 VP tidak memiliki korelasi bermakna terhadap RVP pascabedah.

Background : The increased of Pulmonary Vascular Resistance (PVR) in mitral stenosis (MS) patient occurs in reactive pulmonary hypertension, and it affects clinical outcome after mitral valve surgery. Endothelin-1 (ET-1) as vasoconstrictive agent have important role in reactive pulmonary hypertension so far there is no study that corelate pulmonary vein (PV) ET-1 with PVR in MS.
Objectives : To study the correlation of PV ET-1 level with PVR measured by echo before and after mitral valve surgery in patient MS with pulmonary hypertension.
Methods : Twenty eight MS patients with moderate and severe pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery at National Cardiovascular Centre Harapan Kita from April to November 2014. Statistical analysis was done to see the correlation of PV ET-1 level with PVR before and after mitral valve surgery. Blood sample was taken from VP in the operating room and analyzed with Quantikine® ELISA ET-1 Immunoassay. PVR was measured by PVR-AMS formula by echocardiography.
Result : There was a correlation between PV ET-1 and PVR pre surgery (r=0,49, p=0,008), whereas, there was no significant correlation with PVR post surgery (r=0,204, p=0,32). Linear regression analysis was performed, PV ET-1 and PVR pre surgery were adjusted to confounding variables hypertension, diabetes mellitus, atrial fibilation, use of beta blocker and diuretic; r=0,5 β coefisien level 1,04 with confidance interval (CI) 95 % (0,401-1,691), p=0,003. PVR post surgery was adjusted to confounding variables hypertension, dislipidemia, use of ACE-I/ARB, beta blocker, vasodilator, cross clamp time, r=-0,08 β coefisien level -0,2 with CI 95 % (-0,99-0,5), p=0,5.
Conclusion : There was a moderate positive correlation between PV ET-1 with PVR pre surgery, the increased of PV ET-1 level 1 pg/ml, would increase PVR level 1,04 WU. There was no significant correlation between PV ET-1 with PVR post surgery.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Harmelia
"Hipoksia adalah keadaan yang menjadi penyebab penting terjadinya cedera sel dan kematian sel. Hal ini disebabkan karena pada keadaan hipoksia terjadi penurunan oksigen yang mengakibatkan kerusakan sel akibat deplesi ATP. Sel otot rangka yang mengalami hipoksia mengalihkan jalur glikolisis aerob ke glikolisis anaerob. Perolehan ATP pada glikolisis anaerob sangat tidak efisien, sehingga mempengaruhi pembentukan kreatin fosfat sebagai sumber energi otot rangka yang lain. Enzim kreatin kinase mengkatalisis reaksi perubahan kreatin fosfat menjadi kreatin secara reversibel, kreatin bebas yang tidak terikat lagi oleh fosfat secara spontan akan didegradasi menjadi kreatinin dan diekskresi melalui urin. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran aktivitas spesifik enzim kreatin kinase dan kadar kreatinin pada otot rangka tikus dengan kondisi normoksia dan hipoksia. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus sp Strain Sprague Dawley). Kondisi hipoksia dilakukan dengan cara memasukkan tikus ke dalam hypoxia chamber yang dialiri campuran gas oksigen 10% dan nitrogen 90%. Tikus dibagi dalam 6 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I adalah kelompok kontrol tanpa perlakuan hipoksia (normoksia), sedangkan kelompok II, III, IV, V dan VI dengan perlakuan yaitu dipaparkan pada keadaan hipoksia selama 1 hari untuk kelompok II, 3 hari untuk kelompok III, 5 hari untuk kelompok IV, 7 hari untuk kelompok V dan 14 hari untuk kelompok VI. Aktivitas spesifik CK diukur secara spektrofotmetri menggunakan kit CK NAC (Creatine kinase N-acetyl-L- cysteine) (Randox®), sedangkan kadar kreatinin diukur menggunakan metode Folin. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara aktivitas spesifik kreatin kinase otot rangka tikus normoksia dengan hipoksia. Pada kelompok tikus hipoksia 1 hari, hipoksia 3 hari , 5 hari, 7 hari, dan 14 hari aktivitas spesifik CK menunjukkan perbedaan yang bermakna dibanding dengan kelompok kontrol (p < 0.05). Kadar kreatinin otot rangka tikus juga menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara tikus kelompok kontrol dengan kelompok hipoksia 14 hari (p<0.05).

Hypoxia is a condition that causing cell injury and cell mortality. It is because of decreased oxygen that makes cell damaged due to the ATP depletion. A hypoxia in skeletal muscle shift aerobe glycolysis way into anaerobe glycolysis. ATP’s amount in anaerobe gylcolysis is inefficient. That condition influence phosphate creatine formation as an energy source for another skeletal muscle. Creatine kinase enzyme catalyze changing creatine phosphate reaction become creatinine in reversible, free creatine which isn’t tied by phosphate will be scattered as a creatinine and excreted with urine. Measuring activity of creatine kinase specific enzyme and creatinine degree on mouse skeletal muscle with normoxia and hypoxia condition conducted in this research. Experimental animal used was a mouse (Rattus sp Strain Sprague Dawley). Put the mouse into the hypoxia chamber which flowed by mixing 10% oxygen gas and 90% nitrogen gas conducted in order to know hypoxia condition. Mouse divided into 6 groups experimental, there are group I is a group with no hypoxia treatment (normoxia), whereas group II, III, IV, V and VI with a hypoxia treatment. Group II with 1 day hypoxia treatment, group III with 3 days hypoxia treatment, group IV with 5 days hypoxia treatment, group V with 7 days hypoxia treatment, and group VI with 14 days hypoxia treatment. Activity of CK specific measured on spectrophotometry using kit CK NAC (Creatine kinase N-acetyl-L-cysteine) (Randox®), while creatinin degree measured with Folin metode. The result shows there are differences between creatine kinase specific normoxia and hypoxia in skletal muscle mouse. In group II, III, IV, V and VI shows significant differences compared group I (p < 0.05). skeletal muscle mouse creatinine degree also shows significant differences between group I and group VI (p < 0.05).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdulrosyid
"Latar Belakang: Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya. Salah satu dari fungsi yang mungkin akan terganggu adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus mampu melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat. Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketingggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras calon penerbang. Disain penelitian adalah Kuasi Eksperimen Pre dan Post Test menggunakan ruang udara bertekanan rendah. Jumlah responden yang diteliti adalah 101 orang yang merupakan total sampel dari calon penerbang PLP-Curug yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA).
Hasil: Ditemukan adanya perbedaan bermakna pada uji t berpasangan (paired A), dimana variabel Sa02, Nadi dan Sensitivitas kontras pada "Ground Level" dan "FL180" dimana p 0,05. Dengan analisis multivariat ditemukan adanya perbedaan bermakna (p ? 0,05) pada variabel Sant yang merupakan faktor penentu utama terhadap penurunan sensitivitas kontras.
Kesimpulan: Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras, namun penurunan kemampuan penglihatan sensitivitas kontras ini masih dalam batas normal. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya pengaruh hipoksia terhadap penglihatan sensitivitas kontras.

Pilots needed a good vision on their work because of visual malfunction will cause fatality. Hypoxia influence several aspects of visual function. Sensitivity contrast is one major aspect which influence by hypoxia. Pilots have to identify a target fast and accurately. This research would identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity. The design of this study was a quasi experiment, a pre and post test 18.000 ft in a hypobaric chamber. The sample was 101 respondents carried out of total civil pilot candidates from PLP Curug.
Results: A t-test analysis showed that there was significant differences (p < 0,05) among variables Sa02 , Pulse rate and contrast sensitivity. Multivariate regression analysis showed that there was significant differences (p < 0,05) between Sa02 to decreasing of contrast sensitivity. Nevertheless the decrease was still in the range of normal value of sensitivity contrast.
Conclusions: This study concluded that hypoxia at simulated altitude 18.000 ft caused decreasing of contrast sensitivity, although the decreasing was still normal. Further research are needed to continue exploring the influence of hypoxia on contrast sensitivity.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>