Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya Barat sebagai suatu peradaban baru yang lebih maju sebagai fenomena global yang memengaruhi dan mengubah tatanan peradaban dan geopolitik dunia. Konsep sekuler Ali Abd ar-Raziq dan Soekarno merupakan produk dari fenomena tersebut. Studi ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan: pertama, bagaimana latar belakang faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pemikiran Negara Sekuler Ali Abd ar-Raziq di Mesir serta pemikiran Negara Pancasila Soekarno di Indonesia; kedua, Bagaimana kedua konsep pemikiran tersebut? dan ketiga, bagaimana perbandingan pemikiran-pemikiran tersebut. Penelitian ini menggunakan teori Negara Sekuler, Negara Pancasila. Sosialisasi Politik dan Perbandingan Politik. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif-analitis dengan memakai studi kepustakaan.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut disebabkan perbedaan latar belakang, pendidikan, dan wawasan keagamaan. Soekarno adalah seorang politisi, negarawan, dan nasionalis radikal, sedangkan Ali Abd ar-Raziq adalah seorang ulama, akademisi, dengan wawasan Islam yang luas dan modern. Keduanya ingin memisahkan Islam dan Negara, namun tujuan mereka berbeda. Ali Abd Ar-Raziq lebih cenderung ingin memurnikan Islam dari politik yang dianggapnya kotor, sedangkan Soekarno ingin me’muda’kan agama dan menempatkannya di tempat yang mulia. Persamaan kedua pemikiran tersebut disebabkan oleh kondisi politik global. Pada saat itu, terjadi kolonialisme Barat yang menyebarkan pemikiran dan gagasan sekularisme. Di Timur Tengah, politik regional dipengaruhi oleh melemahnya Turki Usmani dan penjajahan Barat. Di Indonesia, politik regional dipengaruhi oleh bangkitnya nasionalisme negara-negara Asia terhadap kekuasaan kulit putih.
Kesimpulannya, secara nasional kondisi politik yang terjadi di Mesir dan Indonesia menjadi sebab utama munculnya gagasan Negara Sekuler dari Ali Abd ar-Raziq dan Negara Pancasila dari Soekarno. Munculnya ide sekuler di Indonesia didorong dan dipengaruhi oleh semangat ingin merdeka dari penjajahan Belanda dan kaum ulama yang berpikiran terbelakang. Gagasan sekuler Ali Abd ar-Raziq di Mesir muncul sebagai reaksi untuk mencegah keinginan Raja Fu’ad menjadi khalifah di Mesir. Soekarno memandang hubungan negara dan agama Islam harus dipisahkan. Ia bermaksud membawa Indonesia agar lebih maju seperti bangsa Eropa, sedangkan Ali Abd ar-Raziq memandang bahwa Islam harus dipisahkan dari unsur-unsur negara secara yuridis. Menurutnya, khilafah tidak mempunyai legitimasi dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun Ijma karena hal tersebut bukan merupakan institusi agama.
This study is based on the advancement and rise of Western civilization, a global phenomenon that affected and transformed the world’s civilization and geopolitics. It produced Both Ali Abd ar-Raziq’s and Soekarno’s secular concepts of the State.
This research aims to answer the following questions: First, what are the internal and external factors that affected Ali Abd ar-Raziq-s concept of the Secular State in Egypt and Soekarno concept of the Pancasila State? Second, what are the two concepts of the State? Third, what are the similarities and differences between the two concepts? This study uses the Secular State theory, the Pancasila State theory, the Political Socialization theory, and the Political Comparison theory. The method used is descriptive-analytical and the information are gathered through literary review.
The principal finding of this research reveals that the differences between the two is caused because of a difference in background, education, and religious knowledge. Soekarno was a politician, statesman, and radical nationalist. Ali Abd ar-Raziq was a religious scholar, as well as an individual with a broader and more modern Islamic knowledge. Although both aimed to separate Islam and the State, they had a different motivation. Ali Abd Ar-Raziq wanted to cleanse Islam from politics, while Soekarno wanted to renew Islam and place it in a noble position. The similarities between the two concept lies in the global political condition at the time. During that period, Western colonization had spread secularism. While in a regional scope, the political condition was affected by the weakening of the Ottoman Dinasty in the Middle East and secularism. The political condition in Indonesia was influenced by the rise of nationalism in Asian countries towards colonization.
Conclusively, the political condition in Egypt and Indonesia is the catalyst of Ali Abd ar-Raziq and Soekarno’s conceopt of the State. In Indonesia, secularism were highly influenced by the fervor to be from Dutch colonization and religious leaders with outdated thoughts and beliefs. While in Egypt, secularism was a reaction towards King Fuad’s desire to be a Caliphate in Egypt. Soekarno opined that religion and the state must be separated, while Ali Abd ar-Raziq believed that Islam has to be separated from the State in legal terms because the Al-Qur’an, Hadits, and Ijma does not give a caliph legitimacy to rule a State as it is not a religious institution.
"International Monetary Fund (IMF) sebagai lembaga keuangan internasional mengimplementasikan kebijakan liberalisme bagi negara yang membutuhkan dana pinjaman. Pada tahun 2016 setelah negosiasi panjang dan banyaknya penolakan dari masyarakat, Pemerintah Mesir pada akhirnya melakukan kesepakatan dengan IMF. Kesepakatan ini merupakan kesepakatan pertama setelah terjadinya revolusi di Mesir pada tahun 2011, yang juga dinilai akibat dari penerapan kebijakan IMF. Masyarakat Mesir merasa bahwa kebijakan yang ditetapkan IMF tidak membawa kesejahteraan secara merata. Pengaruh IMF atas penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi ini kemudian menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan untukĀ menganalisis latar belakang dan pengaruh IMF terhadap perkembangan liberalisasi ekonomi di Mesir dan menjelaskan bagaimana Mesir mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkan IMF. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori neoliberal institusional yang dikembangkan oleh Robert Owen Keohane dan dielaborasikan dengan konsep interdependensi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kesepakatan negosiasi antara IMF dan Mesir pada tahun 2016 adalah karena perekonomian Mesir dalam keadaan yang terus terpuruk. Dan kesepakatan Program yang telah disepakati dengan IMF sebagai organisasi internasional membawa pengaruh untuk Mesir baik secara moneter, fiskal dan struktural.
International Monetary Fund (IMF) as an international financial institution implements a liberalism policy for countries that need loan funds. In 2016 after lengthy negotiations and numerous rejections from the public, the Egyptian Government finally made an agreement with the IMF. This agreement is the first agreement after the revolution in Egypt in 2011, which was also assessed as a result of implementing IMF policies. Egyptian society feels that the policies set by the IMF did not bring prosperity evenly. The influence of the IMF on the implementation of economic liberalization policies then becomes an interesting thing to study. This study aims to analyze the background and influence of the IMF on the development of economic liberalization in Egypt and explain how Egypt implements the policies set by the IMF. This research is a qualitative research with a descriptive analytical approach. The theory that will be used in this research is the institutional neoliberal theory developed by Robert Owen Keohane and elaborated with the concept of interdependence. This research concludes that the negotiation agreement between the IMF and Egypt in 2016 is because the Egyptian economy is in a state of decline. And the program agreement that was agreed with the IMF as an international organization had an influence on Egypt both in monetary, fiscal and structural terms.
"
Perkembangan media sosial yang pesat dalam beberapa dekade terakhir telah membangkitkan sejumlah industri tentang potensi media baru ini sebagai alat pemasaran.Tak terkecuali untuk industri sepakbola, yang menjadi olahraga paling populer di dunia. Asosiasi sepakbola di seluruh dunia menyadari bahwa penggunaan media sosial adalah masa depan dalam hal meningkatkan dan memperluas bisnis mereka, apakah ini untuk tujuan pemasaran atau sebagai media untuk berkomunikasi langsung dengan penggemar mereka. Tidak seperti industri lain, pendukung adalah pemangku kepentingan eksternal yang sebenarnya dari unit organisasi asosiasi sepakbola. Pendukung bukan hanya "pelanggan" yang akan membeli tiket musiman dan barang dagangan tim; suporter adalah perwujudan dari "pemegang saham" yang memiliki beberapa saham dan memainkan peran dalam pengambilan keputusan di sebuah asosiasi sepakbola. Meskipun Asosiasi Sepakbola Indonesia (PSSI) memiliki jaringan sosial, ada perbedaan dalam bagaimana media sosial digunakan secara efektif atau tidak., temuan menunjukkan bahwa asosiasi sepakbola nasional yang terkenal tidak selalu menggunakan potensi komersial ini seefektif mungkin untuk "melibatkan" basis penggemar mereka.
Rapid development of social media in last few decades has awakened a number of industries about the potential of this new media as a marketing tool. No exception for football industry, which became the most popular sport in the world. Football association across the world are realizing that the use of social media is the future in terms of improving and expanding their business, whether this is for marketing purposes or as a medium for directly communicating with their fans. Unlike other industries, supporters are actual external stakeholders of a unit of football association organization. Supporters not just "customers" who will buy season tickets and team merchandise; suporter is the embodiment of “shareholder" owning some shares and playing a role in decision-making at a football association. Although the Indonesian Football Association (PSSI) has social networks, there are differences in how social media is used effectively or not. However, the findings indicate that well-known nation-wide football association do not always use this commercial potential as effectively as they might to “engage” their fan base.
"