Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68884 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajri Pitutur Jati
"Pemuda gay merupakan kelompok sosial yang rentan karena mengalami kekerasan secara mental maupun fisik di lingkungan sosialnya yang berdampak pada kesehatan psikologis yang rendah. Mekanisme mengatasi stres dilakukan sebagai respon secara kognitif maupun perilaku dalam merespon kejadian yang diluar kapasitas dan sumber individu. Masih sedikit studi sebelumnya bagaimana mekanisme mengatasi stres yang membahas dikalangan pemuda gay. Studi sebelumnya hanya membahas mengenai tema-tema umum strategi mengatasi stres dan sumber mengatasi stres yang dilakukan pemuda gay. Studi sebelumnya belum terlalu banyak membahas mengenai kompleksitas dari situasi yang berdampak pada strategi mengatasi stres. Padahal situasi menjadi penting karena memberikan atau membentuk sumber ndash; sumber yang tersedia bagi pemuda gay hingga berdampak pada strategi mengatasi stres. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana strategi mengatasi stres pemuda gay berserta kompleksitasnya untuk mengatasi stres. Studi ini melahirkan beberapa argumen. Pertama, terjadinya proliferasi stres dalam perkembangan kehidupan pemuda gay. Kedua, pemuda gay menggunakan banyak strategi dalam mengatasi stres yang dibagi menjadi dua strategi, problem-focused dan emotion-focused. Ketiga, konteks sosial membentuk sumber mengatasi stres. Keempat, internet mempunyai peran ganda dalam proses mengatasi stres pemuda gay. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara secara mendalam enam pemuda gay yang berusia 16-30 tahun untuk menggambarkan makna dan kompleksitas yang terkandung dalam tindakan mengatasi stres

Gay youth are vulnerable social groups due to mental and physical abuse in their social environment which affects low psychological health. The stress coping mechanism is performed in response to cognitive and behavioral responses to events beyond the capacity and individual sources. There are still few previous studies on how to deal with stress that addresses gay youth. Previous studies have only addressed the general themes of stress coping strategies and stress-tackling resources by gay youth. Previous studies have not discussed too much about the complexity of situations that impact on coping strategies. Though the situation is important because it provides or forms the resources available to gay youth to impact on coping strategies. Therefore, this study aims to explain how strategies to cope with gay youth stress and its complexity to cope with stress. This study spawned several arguments. First, the proliferation of stress in the development of gay youth life. Second, gay youth use many strategies in dealing with stress that is divided into two strategies, problem-focused and emotion-focused. Third, the social context forms the source of coping with stress. Fourth, the Internet has a dual role in the process of coping with gay youth stress. This study used a qualitative approach with in-depth interviews of six gay men aged 16-30 years to describe the meaning and complexity contained in the action to cope with stress."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adelviana Febi Christyanti
"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan stres dan coping yang dialami oleh ibu setelah anaknya coming out tentang orientasi seksualnya sebagai seorang gay. Teori stres dan coping yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stres dari Lazarus dan Folkman. Lazarus (1976) mengatakan bahwa apabila suatu keadaan atau situasi yang rumit tersebut pada akhirnya dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam serta melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya, maka situasi ini dinamakan stres. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Auberbach, 1998), strategi coping terbagi menjadi dua kategori yaitu coping terpusat masalah (problem-focused coping) dan coping terpusat emosi (emotion-focused coping). Masing-masing strategi coping dibedakan dalam 5 variasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak kandung gay yang telah coming out. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek, yang memiliki anak gay yang sudah coming out, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ketiga subjek menampilkan kedua strategi coping, yaitu coping terpusat masalah (problem-focused coping) dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, dan coping terpusat emosi (emotion-focused coping) yang ditampilkan dalam menghadapi emosi negati.
This research aims to describe stress and coping among mothers whose son openly admits (to his mother) that he is a homosexual. The theoretical orientation of this research is based on Lazarus and Folkman?s theory. According to this theory, when a stressful event occurs, people usually evaluate how much it threatens their well-being and judge their ability to deal with the consequences (Lazarus, 1976). There are two strategies of coping, problem-focused coping and emotion-focused coping (Lazarus & Folkman, on Auberbach, 1998). Those two major coping strategies further differentiate into ten minor coping styles, five minor styles for each major style.
This investigation is conducted using qualitative approach. Interviews and observations are used to gather the data. There are three participants in this study, and each of them fit the characteristic of participants, which is they have a gay son that already coming out.
Result shows that every participants experience stress. Further, in their coping, they using both of the major coping strategies. Problem-focused coping consists of efforts to alter, deflect, or in some way manage the stressor itself through direct action, while emotion-focused coping was used to deal with negative emotions.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
David Abdullah
"Stres merupakan hal yang sering dijumpai oleh manusia dalam fase kehidupan. Setiap individu dapat mengalami stres, termasuk pada sopir angkot. Sopir angkot sering kali menghadapi situasi-situasi yang menyebabkan stres. Tujuan penelitian ini ialah untuk melihat hubungan antara tingkat stres dengan mekanisme koping pada sopir angkot. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan total responden 237 responden. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 54,9 sopir angkot memiliki tingkat stres yang rendah dan 45,1 lainnya memiliki tingkat stres yang tinggi. Selain itu, sebanyak 60,8 sopir angkot memiliki koping yang adaptif dan 39,2 lainnya memiliki koping yang maladaptif. Hasil analisa statistik menunjukan terdapat hubungan antara usia, status pernikahan, tekanan pekerjaan, dan tingkat stres dengan mekanisme koping sopir angkot p value < 0,05 . Peneliti merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk membuat sebuah program yang dapat meningkatkan kesehatan jiwa sopir angkot.

Stress is something that has seen frequently by human being in every phase of life. Every individual can experience stress, especially public transportation driver. Public transportation driver has faced frequently situations that can cause stress. The purpose in this research is to see the relation between stress level with coping mechanism upon public transportation driver. The research uses cross sectional design with respondent total is 237 respondents. Analysis used in this research is univariate and bivariate analysis.
From the result of the research it rsquo s got counted as 54,9 public transportation drivers have low stress level and 45,1 others have high stress level. Besides, counted as 60,8 public transportation drivers have adaptive coping and 39,2 others have mal adaptive coping. The result of statistic anylisis shows that there rsquo s relation between age, marriage status, job pressure, and stress level with coping mechanism of public transportation driver p value 0,05 . The research can be a reference for Government and Health Departement of Bogor City to make a program that can increase mental health of public transportation driver.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Routledge, 1995
306.76 Gay
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fajar
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Tantoso Djohan
"Sikap masyarakat terhadap homoseksualitas mengalami perubahan dari masa ke masa (Gadpaille, 1989; Nevid., Fichner-Rathus, & Rathus, 1995; Oetomo, 2001; dan Spencer, 2004). Pada masa Yunani, masyarakat cenderung bersikap positif terhadap homoseksualitas tetapi pada zaman Romawi,homoseksualitas dianggap sebagai dosa karena pengaruh hukum-hukum agama mengenai seksualitas. Pada saat sekarang ini, sikap masyarakat intelektual,khususnya psikiater, menjadi lebih positif dengan menyatakan homoseksualitas sebagai bukan gangguan. Akan tetapi, masyarakat cenderung bersikap negatif terhadap homoseksualitas. Bentuk-bentuk sikap negatif ini adalah dengan memberikan stigma-stigma bahwa homoseksualitas berhubungan dengan perilaku seksual yang menyimpang dan identitas homoseksual sebagai idcntls yang menyimpang dari identitas heteroseksual. Kaum homoseksual yang berada di Indonesia juga masih mengalami diskriminasi hak-hak asasinya dan bentuk kekerasan(Kenda1, 1998; Oetomo, 2001; “Masyarakat”, 2002; "Mereka", 2004).
Dengan adanya keadaan masyarakat yang bersikap negatif peneliti hendak mengetahui dan memperdalam bagaimana kaum homoseksual menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain khususnya dalam hubungan pertemanan hubungan pertemanan ini dipilih karena hubungan pertemanan adalah hubungan yang dibentuk berdasarkau pilihan seseorang atas orang-orang yang disukai dan orang-orang yang menyenangkan untuk diajak melakukan kegiatan bersama (Dwyer, 2000). Hal ini membedakan hubungan pertemanan dengan hubungan keluarga yang merupakan hubungan 'terberi', yang sudah ada dengan sendirinya sejak manusia lahir hingga mati.
Dalam hubungan pertemanan, usaha aktif seseorang ditampakkan dalam membentuk hubungan pertemanan. Hubungan pertemanan menjadi penting untuk diteliti karena hubungan pertemanan umum dimiliki seseorang dibandingkan dengan hubungan romantis. Papalia, Olds, dan Feldman (1998) juga menyatakan bahwa hubungan pertemanan yang baik lebih stabil daripada hubungan pernikahan. hubungan pertemanan pada kaum homoseksual menarik untuk diteliti karena penelitian-penelitian pada kaum homoseksual yang pernah dilakukan di Indonesia belum menyinggung permasalahan ini sebagai tema utama. Permasalahan yang kerap diangkat adalah identitas homoseksual. Maka, penelitian ini hendak menjawab perttanyaan bagaimanakah hubungan pertemanan pada kaum homoseksual?
Pendalaman pertanyaan ini adalah dalam bentuk-bentuk hublmgan pertemanan yang dibentuk, proses pertemanan, serta manfaat pertemanan bagi kaum homoseksual. Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian ekploratif dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif terhadap dua orang gay. Teknik yang digunakan untuk pengambilan data adalah wawancara mendalam. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan cara analisis isi.
Dari data, diketahui bahwa kedua subyek memiliki orientasi homoseksual pada skala 5 mengikuti skala Kinsey dkk. Kedua subyek memiliki ketertarikan seksual terhadap orang-orang yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya,keterlibalan seksual dengan seseorang atau lebih yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan dirinya, dan telah mengidentifikasikan diri sebagai gay. Bentuk hubungan homoseksual berbeda di antara kedua subyek penelitian. Pada A,bentuk hubungan adalah pasangan terbuka sedangkan pada Y, bentuk hubungan adalah pasangan tertutup.
Dari basil penlitian dapat disimpulkan bahwa hubungan pertemanan yang dibentuk adalah hubungan pertemanan seksual dan hubungan pertemanan dekat. Kesamaan oricntasi seksual dan adanya reward menentukan terbentuknya pertemanan. Maka., teman dekat adalah sesama gay. Kedua subyek tidak pemah memiliki ketertarikan seksual, dan tidak berkeinginan untuk menjalin hubungan seksual dengan teman dekatnya ini. Perteman dekat dengan kaum heteroseksual juga dapat terbentuk bila adanya penerimaan dari teman terhadap homoseksualitas subyek, baik teman tersebut mengetahui atau tidak mengetahui homoseksualitas subyek. Usaha mempertahankan pertemanan adalah dengan mengadakau pertemuan-pertemuan yang bermakna bersama teman-temannya, bersikap terbuka, dan memaafkan atau memaklumi kesalahan-kesalahan temannya Hubungan pertemanan casual yang dijalin oleh subyek membuat subyek memiliki teman untuk bersenang-senang atau beraktivitas bersama. Hubungan pertemanan dekat memenuhi kebutuhan akan intimasi, integrasi sosial,pengasuhan, dan bantuan.
Saran-saran yang diberikan adalah untuk menjalin hubmmgan dengan kaum homoseks, masyarakat perlu mcnunjukkan penerimaan tcrhadap kaum homoseks. Di samping itu, kaum homoseks disarankan untuk berinteraksi di dalam komunitasnya dan membentuk pertemanan-pertemanan dekat yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan perhatian dan bantuan kapan pun ia memerlukannya karena pertemanan dekat dapat memenuhi kebutnhan subyek akan intimasi, integrasi sosial, pengasuhan, dan bantuan. Untuk penelitian selanjutnya, akan menarik bila dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai hubungan pertemanan gay dengan pria homoseksual, masalah agama dan pernikahan pada kaum homoseksual. Terakhir, karena adanya keterbatasan dalam reliabilitas, validitas, dan generalisasi penelitian, peneliti menyarankan agar hasil penelitian ini tidak diberlakukan secara umum kepada semua kaum homoseksual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ratna Devitasari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Gloria Natalia
"Masalah homoseksual adalah masalah yang tidak pernah ada habis- habisnya. Setiap saat masalah ini selalu menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan menimbulkan perdebatan yang seru. Para ahli sibuk mencari sebab-sebabnya mengapa seseorang menjadi homoseksual. Apakah penyebabnya nature atau nurture? Sebagian ahli berpendapat, jika penyebabnya adalah nurture, berarti pasti bisa ?disembuhkan?. Sebaliknya, jika penyebabnya adalah nature, berarti pasti ada saudara lainnya, dari ayah atau ibu yang juga homoseksual. Sebagian konselor dan terapis juga yakinbahwa penyebabnya adalah nurture, sehingga dalam menangani klien homoseksual, mereka mendorong para homo tersebut untuk ?kembali ke jalan yang benar?.
Padahal permasalahannya tidak sesederhana itu. Sumber masalahnya adalah homoseksual tidak bisa menerima bahwa minat seksual mereka adalah sesame jenis, bukan lain jenis. Nilai-nilai yang ditanamkan sejak lahir pada seorang anak, sebagian besar tidak memperkenalkan adanya perilaku homoseksual. Yang mereka ketahui dan yang mereka lihat di lingkungan mereka adalah perilaku heteroseksual. Setelah mereka sendiri menyadari bahwa mereka lebih menyukai sesama jenis daripada lawan jenis, timbullah rasa bersalah, penolakan terhadap diri sendiri, yang makin lama makin menggganggu (Plummer, 1992). Dengan menolak perasaan mereka sendin, berarti mereka menolak diri sendiri. Jadi mereka berperang dengan perasaan mereka sendiri.
Kaum homo terdiri dari wanita, yang biasa disebut lesbian, dan pria, yang biasa disebut gay. Skripsi ini akan meneliti pria homoseksual, jelasnya adalah proses coming out yang terjadi pada mereka.
Gay terbagi menjadi 4 kategori besar (Plummer, 1992). Kategori pertama adalah mereka yang bisa menekan rasa tersebut hingga akhir hayat mereka, mereka membangun rumah tangga dengan seorang wanita. Kategori kedua adalah mereka yang bertahun-tahun memerangi perasaannya sendiri, hingga berumah tangga dan punya anak, yang kemudian akhirnya runtuh pertahanannya di penghujung usianya, mereka akhirnya coming out pada usia dewasa tua. Kategori ketiga adalah mereka yang hidup di dua dunia. Di satu pihak, mereka menjadi suami yang baik, di Iain pihak mereka tetap mempunyai teman sesama jenis, di mana mereka bisa agak mengurangi beban perasaan yang menekan. Kategori terakhir adalah homoseksual yang tidak mau berpura-pura mencintai wanita, bahkan di antara mereka ada yang berani hidup berpasangan dengan sesama pria. Oleh karena itu, mereka hidup melajang seumur hidup mereka.
Penelitian ini adalah tentang gay lajang yang berani coming out. Artinya mereka berani menunjukkan kepada sejumlah orang orientasi seksual mereka yang berbeda. Mengapa coming out penting untuk diteliti?
Tanpa coming out pun, homoseksual sudah ditolak oleh masyarakat. Jadi, pasti ada sesuatu yang ?mendorong? gay memilih untuk berterus terang daripada tetap menyembunyikan orientasi seksual yang sesungguhnya. Untuk sampai kepada coming out, ada tahap-tahap yang dilalui. Beberapa ahli mengulas teori- teori mereka mengenai tahap-tahap coming out-nya gay. Peneliti memilih salah satunya, yaitu teori Coleman (dalam Paul, dkk., 1982), yang paling lengkap menguraikan karakteristlk-karakteristik pada masing-masing tahap yang dilalui oleh gay sebelum coming out. Untuk Iebih melengkapi teori Coleman, peneliti juga menggunakan teori-teori Iainnya, yaitu Davies (dalam Plummer, dkk., 1992) dan Cass (dalam Paul, dkk, 1982).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan wawancara dan observasi, agar dapat tergali proses-proses yang dialami oleh para subjek. Wawancara dengan bertatap muka dilakukan dua kali untuk masing-masing subjek, dilanjutkan dengan beberapa kali wawancara melalui telepon. Wawancara secara mendalam dilakukan kepada 4 gay, namun yang digunakan oleh peneliti sebagai data untuk skripsi ini hanya 3 gay, karena wawancara terhadap salah satu subjek tidak bisa diulang disebabkan oleh keterbatasan waktu subjek tersebut.
Dari wawancara, peneliti memperoleh gambaran yang lengkap mengenai proses coming out di mana ada tahap-tahap yang dilalui oleh masing-masing gay. Dalam setiap tahap, ada karakteristik-karakteristik yang sama pada semua subjek. Dalam proses coming out tersebut, tampak kapan subjek-subjek penelitian mulai tertarik pada sesama jenis, dan sampai pada tahap manakah subjek sewaktu diwawancarai oleh peneliti.
Proses perkembangan 2 subjek sudah sampai pada Tahap Integrasi, yaitu tahap kelima dan terakhir, tetapi salah satunya mundur ke Tahap Coming Out, tahap yang kedua. Satu subjek lagi sampai pada Tahap Eksplorasi, yaitu tahap ketiga. Bagi 2 subjek, ada yang bisa dibanggakan berkaitan dengan homo-seksualitas mereka, sedangkan bagi subjek satunya lagi, tidak ada yang bisa dibanggakan.
Dalam melewati tahap-tahap dalam proses coming out tersebut, ketiga subjek penelitian terus berusaha untuk mencintai seorang wanita. Namun, salah satu subjek akhirnya berhenti berusaha, karena tidak mau membohongi diri sendiri. Ketiga subjek pada akhirnya memilih untuk berumah tangga kelak dan bukan hidup melajang sampai akhir hayat mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2965
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rah Madya Handaya
"Dalam kehidupan komunitas gay, terdapat berbagai gaya hidup yang di antaranya adalah Close Couple, Open Couple dan Functional dimana masingmasing mempunyai ciri dan permasalahan khnsns (Bell dan Weinberg, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Menurut McWhirter dan Mattison (1984), kaum gay, seperti juga kaum heteroseksual, menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dalam mempertahankan hubungan dengan pasangan. Namun demikian, seringkali pasangan tersebut tidak mampu untuk mengidentifikasi permasalahan utama sehingga mereka tidak mendapatkan solusi dan hubunganpun berakhir. Untuk mengatasi hal tersebut, pasangan yang memiliki masalah dapat meminta bantuan kepada psikolog, dimana seorang psikolog biasanya akan memberikan konseling dan menggunakan alat bantu berupa tes psikologi, checklist dan inventori untuk dapat memahami permasalahan secara lebih baik dan memberikan penanganan yang tepat.
Salah satu alat bantu yang dapat dipergunakan oleh psikolog untuk mendiagnosa permasalahan dalam suatu hubungan adalah inventori yang disebut Dyadic Adjustment Scale (DAS). Inventori ini disusun oleh Graham B. Spanier pada tahun 1976 dan terbagi atas 4 sub-skala, yaitu dyadic satisfaction, dyadic cohesion, dyadic consensus, dan ajfectional expression, serta terdiri dari 32 buah item yang memberikan penilaian terhadap kualitas suatu hubungan antar pasangan yang dapat mempengaruhi kepuasan dalam hubimgan yang dimiliki.
Di Amerika, DAS tel^ dipergunakan dalam berbagai penelitian mengenai pasangan gay, seperti untuk hubungan antara pasangan gay yang menjadi orangtua (Johnson, 2001), kekerasan dalam hubungan pasangan gay (Busby,1996) dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia, sampai saat ini, peneliti belum menemukan adanya penelitian yang menggunakan Dyadic Adjustment Scale pada pasangan gay.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil uji coba DAS pada pasangan gay dan memberikan usulan rancangan mengenai modifikasi yang diperlukan terhadap DAS agar lebih sesuai bila diberikan pada komnnitas gay di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan memberikan DAS dan selanjutnya melakukan wawancara terhadap subjek mengenai gambaran kehidupan mereka dan mengenai DAS. Kriteria subjek adalah pasangan gay, telah menjalani hubungan minimal 1 tahun, bemsia 20-40 tahun, pendidikan minimal SMA dan tinggal di Jakarta.
Hasil dari penelitian mengenai hasil uji coba DAS adalah semua subjek menganggap pemberian DAS pada pasangan gay memberikan hal positif, namun dirasakan perlu untuk menambahkan beberapa item baru pada setiap sub-skala agar lebih dapat menggambarkan komunitas gay di Indonesia. Selain itu, DAS dianggap lebih sesuai untuk diberikan pada pasangan gay yang telah tinggal bersama.
Hasil penelitian mengenai usulan modifikasi DAS adalah penambahan item-item pada setiap sub-skala, yaitu sebagai berikut, terhadap sub-skala efyadic consensus^ item yang ditambahkan adalah mengenai kesepakatan dalam mengekspresikan kasih sayang di tempat umum, kesepakatan mengenai pola hubungan, kesepakatan mengenai pembagian peran, kesepakatan dalam pengaturan tempat tinggal, kesepakatan dalam pandangan hidup yang berhubungan dengan coming-out, kesepakatan dalam tingkat keseriusan hubungan, kesepakatan mengenai kegiatan seksual selain dengan pasangan, kesepakatan dalam cara mengekspresikan kasih sayang, kesepakatan mengenai cara berhubungan seksual dan firekuensi melakukan kegiatan seksual.
Terhadap sub-skala dyadic satisfaction, hasilnya adalah penambahan item mengenai frekuensi timbul keraguan terhadap rasa cinta dari pasangzin, frekuensi dari timbulnya perasaan bahwa akan ditinggalkan oleh pasangan, mengekspresikan kasih sayang secara fisik di tempat umum, dan perasaan nyaman atau tidak bila pasangan menunjukkan kasih sayang secara fisik di tempat umum, rasa cemburu, dilibatkannya teman-teman dalam penyelesaian masalah, kejujuran, frekuensi dikecewakan oleh pasangan, frekuensi timbulnya perasaan telah mengecewakan pasangan, frekuensi pemyataan rasa cinta secara verbal dan frekuensi timbulnya perasaan bukan sebagai orang yang terpenting bagi pasangan.
Terhadap sub-skala dyadic cohesion, item-item yang ada sudah cukup untuk mewakili karakteristik pasangan gay, namun masih perlu ditambahkan satu item, yaitu yang mengukur mengenai frekuensi dari dilakukannya pembicaraan mengenai hal-hal selain tentang hubungan dan kegiatan sehari-hari.
Terhadap sub-skala affectional expression, hasilnya adalah penambahan item mengenai pemberian berbagai alasan untuk tidak berhubungan seksual, menunjukkan rasa cinta secara fisik dan secara verbal, kepuasan terhadap peran dalam hubungan seksual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T38025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khairunnisa Nasril
"ABSTRAK
Penelitian ini mengenai mekanisme coping pada perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual eksibisionis. Subjek penelitian berjumlah sepuluh orang perempuan dengan rentang usia 21 hingga 25 tahun. Dalam penelitian ini ditentukan sejumlah karakteristik bagi subjek penelitian yaitu perempuan yang mempunyai pengalaman menjadi korban pelecehan seksual eksibisionis. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk memahami pengalaman pelecehan seksual eksibisionis yang terjadi pada perempuan dan bagaimana mekanisme coping yang dilakukan korban. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan teknik wawancara mendalam melalui tiga kali pertemuan dan observasi sebagai teknik pendukung. Untuk membantu proses pengumpulan data, maka penelitian ini dilengkapi dengan pedoman wawancaradan alat perekam.
Ditemukan bahwa semua subjek penelitian melakukan coping dalam mengatasi permasalahannya. Diawali dengan penyembuhan luka trauma menggunakan Emotion Focused Coping atau Religius Coping, kemudian memikirkan tindakan yang harus dilakukan dengan Problem Focused Coping. Lalu diketahui bahwa semua subjek penelitian juga melakukan upaya pencegahan kejahatan dengan menggunakan strategi Target Hardening.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru kepada masyarakat luas dalam memahami pelecehan seksual eksibisionis dan dampaknya terhadap korban.

ABSTRACT
he purpose of this study is to see the coping mechanism that women victims have after exhibitionist sexual harassment. Data are collected from ten women in the age of 21 to 25 years old. This study determine some characteristics of the subject; it is being harassed by exhibitionist. The aim of this study is to understand the women victims of exhibitionist experience and how the coping mechanism being done. This study is a qualitative research using descriptive study. Data were collected by using three interviews and observations as supporting data. Data collection was equipped by interview guide and a recorder.
See interviews and observations as supporting data. Data collection was equipped by interview guide and a recorder.
This study found that all subjek penelitiants do coping in dealing with their problems. It is started by healing the trauma by doing emotion focused coping or religious coping, followed but problem focused coping. This study also found that all subjek penelitiants do some precautions act by using target hardening strategy.
The aim of this research is to give society new understanding about exhibitionist sexual harassment and its consequences for the victims.
"
2016
S65281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>