Ditemukan 85552 dokumen yang sesuai dengan query
Putri Dewi Lestari
"
ABSTRAKHubungan percintaan antara laki-laki Belanda dan perempuan pribumi telah lama menjadi tema cerita dalam karya sastra. Di masa kolonial sejumlah penulis Peranakan Cina telah melakukannya. Salah seorang di antaranya adalah Juvenile Kuo. Ia menulis Harta yang Terpendem yang berkisah tentang hubungan percintaan seorang perempuan pribumi dengan laki-laki Belanda. Novel ini terbit di Batavia pada 1928. Di dalamnya terkandung kisah yang menunjukkan bagaimana perempuan pribumi di masa lalu dapat menjalin hubungan asmara dengan laki-laki Belanda. Penelitian ini mengkaji hubungan perempuan pribumi dengan laki-laki berkebangsaan Belanda yang dilukiskan dalam novel Harta yang Terpendem. Kajian dilakukan dengan pendekatan kritis, terutama untuk menunjukkan bagaimana relasi kuasa dilukiskan di dalam novel tersebut. Dari kajian yang dilakukan penulis diperoleh kesimpulan bahwa perempuan pribumi yang menjalin hubungan cinta dengan laki-laki Eropa dilukiskan sebagai pribadi yang lemah dan tidak berdaya, berada dalam subordinasi laki-laki yang cenderung menindas. Ia cenderung menerima apa pun keputusan laki-laki asing yang menjadi pasangannya sekalipun keputusan itu merugikan dirinya. Sebaliknya, laki-laki asing Eropa digambarkan sebagai pribadi yang lebih superior dan berkuasa daripada perempuan pribumi.
ABSTRACTThe romantic relationship between Dutch men and indigenous women has long since become a theme in literature. In the era of colonialism, writers of Chinese descent had incorporated such theme in their literary works. One example is Juvenile Kuo, who wrote Harta yang Terpendem, which tells the love story between an indigenous woman and a dutch man. The novel was published in Batavia in 1928. The book shows how indigenous women in the past engaged themsleves in an affair with Dutch men. This study examines the romantic relationship between indigenous women and Dutch men as illustrated in Harta yang Terpendem. This study is conducted using a critical approach so as to reveal how power relations are portrayed in the novel. This study concludes that indigenous women engaged in romantic relationship with European men are depicted as weak and powerless individuals who submit to the subordination and oppression of women to men. The women do not deny any decision made by their men significant others. On the contrary, the European men are portrayed as superior and powerful individuals compare to the indigenous women. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Annisa Himmatu Fitriana
"Penelitian ini merupakan sebuah telaah kritis terhadap pemikiran Michel Foucault dan Anthony Synnott mengenai kepemilikan tubuh individu. Melalui Foucault tubuh diartikan sebagai hal yang patuh terhadap relasi kuasa yang dicerminkan melalui berbagai pengawasan (panopticon) sehingga tidak ada ruang gerak untuk tubuh, sementara Anthony Synnott melihat tubuh sebagai bagian dari sosial yang tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial sehingga tubuh terbentuk sedemikian rupa dan menjadi tubuh sosial. Penelitian ini berusaha untuk menunjukkan benang merah yang berada di antara tubuh yang patuh dan tubuh sosial sehingga terlihat bahwa tubuh individu tidak bisa dimiliki karena berada di dalam relasi kuasa dan sosial.
This undergraduate thesis is a critical analysis of Michel Foucault and Anthony Synnott's theories about the possession of individual body. Based on Michel Foucault, the body is defined as a docile entity which enslaved by power relation that can be seen through some kind of surveillances called panopticon. In consequence, there is no free space for the body. Antony Synnott sees the body as part of social relation which cannot be separated from its construction. From this point the body is being constructed to be the body social. This undergraduate thesis is a serious effort to points out the general connection between the docile body and the social body which indicate that the possession of individual body cannot be attained, because the body is being placed under power and social relation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56180
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fine, Welcy
"Perempuan Minangkabau termasuk yang berada di Nagari Taeh Baruah salah satu nagari asli Minangkabau berada di bawah sistem matrilineal yang secara ideal mengatur posisi perempuan menjadi istimewa. Berbeda dengan perempuan yang berada di bawah sistem patrilineal, perempuan Minangkabau dianggap memiliki posisi dominan dan ideal dalam masyarakatnya, namun demikian sistem matrilineal tidak menjamin perempuan Minangkabau terlepas dari pengaruh kuasa yang berasal dari berbagai pihak. Salah satu kuasa yang terlihat adalah dari transformasi penutup kepala perempuan Minangkabau seiring dengan berubahnya rezim dan zaman. Perubahan ini tidak hanya terkait akan budaya berbusana namun juga terkait dengan berbagai kuasa yang mempengaruhi tatanan hidup masyarakat Nagari Taeh Baruah. Penelitian ini mengambil rentang waktu dari 1950an hingga 2017 dengan mengambil fokus di Nagari Taeh Baruah, sehingga ditemukan pola kuasa yang terjadi dari waktu ke waktu. Selain pola kuasa dalam penelitian ini juga ditemukan bagaimana cara masyarakat matrilineal Nagari Taeh Baruah dalam menegosiasi berbagai kuasa yang dilekatkan pada tubuh perempuan.
Minangkabau women, including those who live in Nagari Taeh Baruah, one of the native Minangkabau nagari, lived under a matrilineal system which ideally regulates the position of women to be special. According to Minangkabau custom, rules governing the position of women are considered ideal where the culture of Islamic patriarchy meets the culture of Minangkabau matriarchy. However, in reality Minangkabau women in Nagari Taeh Baruah remain subject to the ambient powers government regulation, among other things. This can be seen from how women in Nagari Taeh Baruah have been subjected to regulations on how to wear head covering along with the changing regime and era. This change is not only related to the culture of dress, but also related to various powers that influence the living arangements of the people of Nagari Taeh Baruah. This study took a span of time from 1950s to 2017 by focusing on Nagari Taeh Baruah, so that a pattern of power occurred from time to time. In addition to the pattern of power in this study also found how matrilineal community in negotiating various powers attached to the female body."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T49965
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Awang Ruswandi
"Studi ini berupaya melihat bagaimana hubungan kerja sama antara media lokal dan pemerintah lokal. Secara lebih spesifik penelitian ini ingin melihat apakah kerja sama tersebut mengganggu kebebasan pers dari media lokal dalam memberitakan isu-isu terkait aktivitas dan kebijakan pemerintah lokal. Riset ini didasari latar belakang banyaknya kerja sama yang dibuat oleh pemerintah lokal dengan media lokal dalam hal pemberitaan aktivitas-aktivitas pemerintah lokal pada era otonomi/desentralisasi pemerintahan daerah. Studi ini bertujuan untuk mengkaji kebebasan pers lokal yang memiliki hubungan kerja sama dengan pemerintah lokal. Penelitian ini menggunakan teori ekonomi politik komunikasi dari Mosco dengan fokus melihat komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Konsep-konsep lain yang digunakan untuk menganalisis data adalah media capture, strategi dan taktik finansial pemerintah dalam mendominasi media, serta model hierarki pengaruh. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Media yang dipilih adalah media daring lokal di Jawa Barat, yaitu Media Jabar 1 dan Media Jabar 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media lokal yang bekerja sama dengan pemerintah lokal telah menggeser fungsi media yang tadinya sepenuhnya untuk ruang publik, sekarang sebagian ruang itu digunakan untuk corong pemerintah. Media dijadikan telah menjadi alat tukar yang ditransaksikan dengan pemerintah lokal. Akibatnya ruang-ruang untuk melayani publik di media semakin berkurang atau menyempit, karena sebagian ruang itu digunakan untuk suara pemerintah lokal. Lebih jauh lagi media lokal sudah kehilangan fungsi sebagai alat kontrol bagi pemerintah, juga kehilangan fungsi penyedia informasi alternatif untuk mengimbangi suara pemerintah di tengah publik. Jadi, ada relasi kuasa yang timpang antara pemerintah lokal terhadap media lokal. Implikasinya adalah media lokal tidak dapat menjalankan kebebasan pers dengan baik. Padahal media yang bebas adalah salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan desentralisasi demokratis.
This study investigates the relationship between local media and local government, with a particular focus on whether such cooperation interferes with the freedom of local media in reporting issues related to local government activities and policies. This research stems from the background of numerous collaborations between local governments and local media in reporting local government activities in the era of autonomy and decentralization. The study aims to examine the press freedom of local media that maintain cooperative relationships with local governments. The theoretical framework of this research is based on Mosco's political economy of communication, emphasizing commodification, spatialization, and structuration. Moreover, it used other concepts to analyze the data include media capture, government financial strategies and tactics in dominating media, and the hierarchy of influences model, as well. A qualitative case study approach is employed, focusing on two local online media outlets in West Java: Media Jabar 1 and Media Jabar 2. The findings reveal that local media collaborating with local governments have shifted their role from solely serving the public sphere to partially acting as government mouthpieces. Media has become a transactional medium, exchanged for local government funds. Consequently, the space dedicated to serving the public in the media has been diminished, as part of it is used to propagate the local government's voice. Furthermore, local media have lost their function as government watchdogs and as providers of alternative information to balance government narratives within the public sphere. This results in an unequal power relationship between local governments and local media, hindering the proper exercise of media freedom. Ultimately, the presence of free media is a crucial indicator of successful democratic decentralization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Cornelia Limiawan
"Pembahasan dalam penelitian ini adalah akibat yang ditimbulkan jika proses jual beli dilakukan dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas yang diikuti dengan Kuasa Jual yang mana pemberi kuasa jual telah meninggal dan objek jual beli dinyatakan milik salah satu pasangan berdasarkan Akta Van De Pot yang dilakukan di hadapan notaris dan tidak diketahui mantan istri. Pembeli sendiri telah membayarkan sejumlah uang yang nominalnya berbeda dengan yang tertulis di Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB). Masalah ini dianalisis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Berdasarkan studi dokumen terhadap data sekunder, dengan menggunakan pendekatan kualitatif terlihat bahwa PPAT memliki tanggung jawab terhadap dilaksanakanya AJB. Termasuk diantaranya adalah melaksanakan AJB sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dan harus memperhatikan apakah subjek merupakan sepenuhnya pihak yang berwenang dari objek itu sendiri. Termasuk manfaat Van De Pot dalam harta bersama dan apakah pemberi kuasa jual harus hidup saat akta jual beli dilaksanakan serta kewenangan yang dimiliki penerima kuasa jual. Seperti halnya disebutkan dalam Kode Etik PPAT memiliki kewenangan membuat akta autentik yang memiliki kekuatan sempurna di hadapan pengadilan sehingga harus diperhatikan asepek formal dan materil. Pengadilan mendasarkan bahwa tidak dipenuhi Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat objektif perjanjian Hasil putusan Pengadilan Nomor 221/Pdt.G/2019 menyatakan bahwa Akta Jual Beli beserta turutannya dinyatakan batal demi hukum sehingga dinyatakan tidak pernah terjadi, pembeli sebagai pihak yang dirugikan juga termasuk melakukan itikad tidak baik namun PPAT sendiri tidak diberikan teguran/sanksi dari hakim.
The discussion in this study is the consequences if the buying and selling process is carried out with a Full Sale and Purchase Binding Agreement followed by a Sales Authorization in which the selling power of attorney has died and the object of sale and purchase is declared to belong to one of the spouses based on the Van De Pot Deed made before a notary and ex-wife unknown. The buyer himself has paid an amount of money whose nominal is different from that written in the Sale and Purchase Deed (hereinafter referred to as AJB). This problem was analyzed using normative juridical research methods. Based on the document study of secondary data, using a qualitative approach, it was concluded that PPAT has responsibility for the implementation of AJB. This includes carrying out AJB in accordance with applicable regulations and paying attention to whether the subject is fully the authorized party of the object itself. Including the benefits of Van De Pot in joint assets and whether the seller of the power of attorney must be alive when the sale and purchase deed is executed and the authority of the selling power of attorney. As stated in the Code of Ethics, PPAT has the authority to make an authentic deed that has perfect power before the court so that formal and material aspects must be considered. The court based that Article 1320 of the Civil Code regarding the objective conditions of the agreement was not fulfilled. The results of the Court's decision Number 221/Pdt.G/2019 stated that the Sale and Purchase Deed and its accompanying elements were declared null and void so that it was declared that it had never happened, the buyer as the aggrieved party also included committing the act of not acting in good faith. good but PPAT itself was not given a warning/sanction from the judge."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
F.X. Irwan Tanamas
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1982
S16663
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yufita Sudjinto
2010
T28510
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Devi Fortuna Utomo
"Tugas karya akhir ini mengkaji studi kasus mengenai aktor perempuan sebagai female suicide bomber (perempuan pelaku bom bunuh diri) di Indonesia, dengan menyorot pada motivasi dan pengalaman individu mereka sebagai bagian dari jaringan teroris. Terdapat beberapa pergeseran keterlibatan perempuan dalam kejahatan teror di Indonesia dalam kelompok ekstremis kekerasan dari pendukung ke inisiator, dan kemudian menjadi pelaku. Mereka tidak menikmati kedudukan yang sama dengan laki-laki, mengingat nilai-nilai patriarki yang masih membumikan jaringan pro Islamic States (IS). Meskipun telah terjadi pergeseran keterlibatan perempuan Indonesia dalam kejahatan teror, namun perempuan yang menjadi female suicide bomber (perempuan pelaku bom bunuh diri) adalah korban dari struktur sosial/masyarakat patriarkal dalam jaringan internasional kejahatan teror. Dalam jaringan kejahatan ini, perempuan tetaplah objek kontrol laki-laki. Metode penulisan yang digunakan adalah dengan cara melakukan analisis teks data sekunder, yang berasal dari putusan pengadilan, laporan, buku, dan artikel jurnal tentang fenomena tiga perempuan yang terlibat dalam aksi female suicide bombing di Indonesia. Analisis dalam tulisan ini menggunakan secondary data analysis, radical feminism, dan critical victimology. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa pergeseran keterlibatan perempuan dalam kejahatan teror bukanlah merupakan ekspresi atau wujud dari agensi perempuan yang dihormati sebagai subjek atas tubuhnya sendiri, melainkan masih menjadi objek kontrol laki-laki atas agenda masyarakat patriarkal.
This final work examines case studies of female actors as female suicide bombers in Indonesia, highlighting their individual motivations and experiences as part of a terrorist network. There have been several shifts in women's involvement in terror crimes in Indonesia in violent extremist groups from supporters to initiators and then perpetrators. They do not enjoy the same position as men, given the patriarchal values that still ground the pro-Islamic States (IS) network. Although there has been a shift in the involvement of Indonesian women in terror crimes, women who become female suicide bombers are victims of patriarchal social/societal structures in the international network of terror crimes. In this crime network, women remain the object of male control. The method of writing used is by analyzing secondary data, derived from court rulings, reports, books, and journal articles on about the phenomenon of three women involved in the action of female suicide bombing in Indonesia. The analysis in this paper uses secondary data analysis, radical feminism, and critical victimology. From the results of the analysis, it was found that the shift in women's involvement in terror crimes is not an expression or manifestation of a female agency that is respected as a subject of its own body, but instead still an object of male control over the agenda of patriarchal society."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Sitompul, Muhari B.
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sutrisno
"
ABSTRAKSetelah jatuhnya rezim Orde Baru negara berupaya menempatkan Polri pada posisi yang sesuai dengan tuntutan demokrasi. Perubahan struktural-normatif tersebut merupakan konfigurasi baru relasi kuasa di sepanjang sejarah Polri. Faktanya hasil independensi kepolisian ternyata masyarakat memandang kinerja Polri ini masih jauh dari harapan. Penelitian ini berusaha menggali relasi kekuasaan Polri dengan organisasi masyarakat sipil dalam konfigurasi baru itu. Bagaimana, setelah sejumlah perubahan struktural itu, Polri memainkan peran relasi kekuasaanya dengan organisasi masyarakat sipil. Pembacaan relasi kuasa Polri dengan organisasi masyarakat sipil ini bertumpu pada data yang dipublikiasi media massa, selain wawancara medalam dan dokumen.
Hasilnya, kepolisian tidak lagi menggunakan (dimensi) koersif dalam relasinya dengan organisasi kritis masyarakat sipil sebagaimana era Orde Baru. Media cukup bebas, tetapi tak ada jaminan keamanan atas kebebasanya; relasi Polri yang semakin merenggang dengan komunitas universitas bukan saja menyebabkan institusi ini mengisolasi diri ruang diskusi penyegaran akademik, alih-alih cenderung terjebak dalam ideologisasi keilmuan; cenderung bekeja parsial (justru) karena terlalu berorientasi melindungi citra. Kepolisian tak serta merta mempunyai legitimasi di kalangan stake holders-nya, walaupun tindakannya selalu mempunyai basis legalitas. Legitimasi menyangkut persyaratan ?kemasuk-akalan? tindakan normativ pada derajat universal, bukan pada ?lokalitas? legal. Sementara, independensi kepolisian yang diperolehnya dalam deretan perubahan struktural di atas menampilkan wajah institusi raksasa yang ?imun?. Kondisi ini menjadi persoalan bagi sebuah sistem demokrasi yang mengharuskan adanya asosiasi yang saling berkordinasi (imperative coordination association).
ABSTRACTThe structural change after falling New Order in 1998 has became a new configuration of power relation between police and society in Indonesia. The state aimed at police institution to be compatible in democratic structure post 1998. In this at research, power relation between police and society in the new structure is seen how the process was, and of course how the culture play behind the process. At the beginning, it is important to know the impact of police is independence for its work and its power relation with society. The research is based on data which has been published by any media, in-deep interview, and some documents.The result, police did not use a such of coercive (or force) any more in an articulation of his power relation with critical civil social organizations in post 1998. Mass media and civil society organization have its freedom, but they have not guarantee for their security. The relationship between police and university had taken the distant since 2004, its mean that police institution handles the source of definition of reality. In the other realm, the police do all out for getting (good) image in society, then the consequence is that police work on partiality. Its mean that police is not working base on the truth and humanity but image. Police has also legitimation problem although his action based on legal formal, at least on his ration. Legitimation refers to condition of ?logical?- normative action in universal level. For the time being, police independency -- at the structural change --reflects the face as an immune institution. This condition becomes the problem in democratic system that each elements of social relation should be coordinated (imperative coordination association)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1353
UI - Disertasi Open Universitas Indonesia Library