Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143816 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tesalonika
"Penulisan ini membahas mengenai proporsionalitas penghukuman dalam kasus korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan pelanggaran hak asasi berupa hak sosial dan ekonomimasyarakat. Sehingga korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukanpenanganan secara luar biasa pula. Penanganan yang diharapkan adalah hukuman yangdirasa adil. Dalam kasus korupsi, keadilan tersebut diharapkan dapat dirasakan olehmasyarakat karena pelaku korupsi telah merugikan negara dan dampak dari korupsidapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Untukdapat mendapatkan hukuman yang adil maka hukuman tersebut seharusnyaproporsional. Penulis mengambil data dari laporan yang dibuat ICW yangmenunjukkan bahwa penghukuman dalam kasus korupsi masih belum proporsionalkarena masih banyak terdapat disparitas pemidanaan. Penulis menggunakan dua konsepdalam menentukan hukuman yang proporsional yaitu faktor keseriusan kejahatan danfaktor individu pelaku. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukumanyang seharusnya diterapkan agar hukuman tersebut proporsional melalui dua konseptersebut dan masyarakat merasakan keadilan.

This writing discusses the proportionality of punishment on corruption cases inIndonesia. Corruption i a violation of human rights in the form of social and economicrights of society. Because of that, corruption is seen as a extraordinary crime thatrequires extraordinary handling as well. The expected treatment is a punishment that isfair. In the case of corruption, justice is expected to be perceived by the society becauseof the perpetrators of corruption have been detetrimental to the State and the impacts ofcorruption could be felt directly and or indirectly by the community. To be able to get afair punishment then the punishment should be proportionate. The author retrieve datafrom a report by ICW that shows the punishment on corruption cases is still notproportional because there are still many dsiparities in punishment. The author uses twoconcepts in determining the punishment that is proportional to the seriousness of crimeand individual factors of the perpetrator. This writing aims to find out how thepunishment should be applied so that the punishment is proportional through the twoconcepts and the public can feel justice through a proportional punishment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rodliyatun Mardliyyah
"Tindak pidana korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Karena itu selain didakwa dengan pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku tindak pidana korupsi juga didakwa dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan melakukan tindak pidana. Namun para pelaku dalam kasus yang sama dihukum dengan hukuman yang berbeda-beda.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya disparitas pemidanaan terhadap para pelaku turut serta melakukan (medeplegen) dalam putusan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, pertimbangan hakim dalam kasus, dan untuk mengetahui pengaruh pemisahan atau penggabungan berkas dakwaan terhadap beratnya hukuman para peserta tindak pidana. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder berupa studi dokumen dan wawancara dengan narasumber.
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa meskipun dilakukan secara bersama-sama, sangat dimungkinkan terjadi penghukuman yang berbeda di antara para peserta. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara didasarkan pada hukum yang berlaku, bersumber dari para Terdakwa sendiri, dan bergantung pada Majelis Hakim yang memutus perkara. Sementara tidak selalu penggabungan atau pemisahan berkas perkara punya pengaruh atau hubungan yang signifikan terhadap perbedaan penjatuhan sanksi pidana.

Corruption always involves more than one perpetrator. Therefore, not only charged with the Law on Corruption Eradication, perpetrators of corruption are also charged under Article 55 (1) Criminal Code (KUHP) regulating the inclusion of a criminal act. However, the perpetrators in the same case punished with different punishments.
This study aimed to determine the possible disparity of the sentencing for the perpetrators who take a direct part in the execution (medeplegen) corruption cases in Indonesia, consideration of the judge in the case, and to determine the effect of the separation or merger of the indictment against the severity of the punishment of the participant involved in criminal offense. Research conducted by the juridical-normative research methods using secondary data from the study documents and interviews with sources.
Based on the analysis in this study we concluded that although the criminal offense conducted jointly, it is possible that a different judgement occurs among each of the participants. Consideration of the judge in deciding the case based on the applicable law, derived from the defendant's own, and relies on the judges that deciding the case. Merging or splitting the case file does not always have influence or significant relationship to differences in criminal sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Prima Danu
"ABSTRAK
Penelitian ini fokus pada pola kerjasama interorganisasional KPK ? ICW dalam
agenda pemberantasan korupsi politik di Indonesia melalui pendekatan teori New
Institusionalisme Victor Nee. Pola kerjasama interorganisasional KPK ? ICW
terbangun karena adanya kesamaan visi dan konsen terhadap agenda pemberantasan
korupsi, serta interaksi antar aktor ? aktor anti korupsi KPK ? ICW. Pola kerjasama
interorganisasional KPK ? ICW menuai dukungan dan tantangan.Dukungan secara
moril maupun materil datang dari masyarakat sipil serta dunia internasional.
Sedangkan tantangan popular dikenal dengan istilah?Corruptor Fight Back?.
Terdapat dinamika diantara aparatur hukum negara, bahkan diantara KPK ? ICW
juga terdapatdinamika, walaupun mereka masih tetap konsisten sebagai aktor anti
korupsi

ABSTRACT
This study focuses on the pattern of interorganizational cooperation KPK - ICW in
the agenda of political corruption eradication in Indonesia by theoretical approaches
New institutionalism Victor Nee. Interorganizational cooperation pattern Commission
- ICW woke up because of the similarity of vision and concern about the anticorruption
agenda, as well as the interaction between actors of anti -corruption
between KPK - ICW. Interorganizational cooperation between KPK - ICW getting
support and challenge. Moral and material supporting come from the civil society and
the international community. In the other side the challenge popularly known by the
term "Corruptor Fight Back". There is a dynamic between the legal apparatus of the
state, even among KPK - ICW also found dynamics, although they still remain
consistent as anti -corruption actors"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galang Adhyaksa Pratama
"Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis dan mengkritisi mengenai perdagangan pengaruh dan urgensi kriminalisasinya. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah Salah satu norma yang diatur di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah perdagangan pengaruh atau trading in influence. Indonesia telah meratifikasi konvensi antikorupsi ini, tetapi masih belum diundangkan ke dalam hukum positif. Memperdagangkan pengaruh memiliki korelasi kuat dengan tindak pidana korupsi yang harus melibatkan tiga pihak (trilateral relationships), yakni pihak yang memiliki kepentingan, orang yang memiliki pengaruh atau akses terhadap kekuasaan, dan pejabat atau otoritas publik. Namun, dalam rumusan pasal UNCAC dan konvensi antikorupsi lain masih mengakomodasi bentuk bilateral relationship yang merupakan bentuk dalam tindak pidana suap. Dalam perdagangan pengaruh pejabat tidak perlu memperdagangkan pengaruhnya, cukup dilihat bahwa pejabat tersebut menyalahgunakan kewenangannya. Perdagangan pengaruh sulit untuk dilihat bentuknya dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena menganggap menggunakan pengaruh seseorang adalah hal yang wajar. Hal ini dapat terlihat dari praktik perdagangan pengaruh yang semakin marak terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Dalam praktiknya penuntut umum sering kali menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh, tetapi dalam pembuktiannya tidak semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Berbanding terbalik dengan unsur-unsur dalam Pasal 18 UNCAC yang mengakomodasi perbuatan perdagangan pengaruh. Agar pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan lebih baik dan maksimal pengaturan norma untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh harus menjadi prioritas utama agar segera dibentuk undang-undang atau peraturan mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif di Indonesia.

In this paper, the author will analyze and criticize the trading of influence and the urgency of criminalization. One of the norms regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) is trading in influence. Indonesia has ratified this anti-corruption convention, but it has not yet been enacted into positive law. Trading in influence has a strong correlation with corruption which must involve three parties (trilateral relationships), namely parties with interests, people with influence or access to power, and officials or public authorities. However, the formulation of the UNCAC article and other anti-corruption conventions still accommodates the form of a bilateral relationship which is a form of bribery. In trading the influence of an official, it is not necessary to trade his influence, it is sufficient to see that the official is abusing his authority. Trading in influence is difficult to see in its form and is deeply rooted in Indonesian society because it is considered normal to use someone's influence. This can be seen from the practice of trading in influence which is increasingly prevalent and is carried out by people who have power. In practice, public prosecutors often use Article 11 of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption in conjunction with Article 55 paragraph (1) in conjunction with Article 64 paragraph (1) to ensnare the perpetrators of influence trading, but in proving not all elements in the article are legally and convincingly fulfilled. In contrast to the elements in Article 18 UNCAC which accommodates acts of trading in influence. For the eradication of criminal acts of corruption to run better and optimally, regulation of norms to ensnare influence trading actors must be a top priority so that laws or regulations are immediately formed regarding acts of trading in influence in positive law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuna Farhan
"Korupsi sistemik merupakan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini ditunjukan dari Laporan Transparency International tahun 2005 mengenai Corruption Perception Index yang menempatkan Negara Indonesia pada rangking 134 dan 158 negara yang di survey. Korupsi sistemik yang melanda birokrasi dad berbagai instansi di struktur pemerintahan. Walaupun, telah banyak peraturan perundangundangan anti korupsi yang telah diterapkan, namun persoalan korupsi ini tidak kunjung usai. Bahkan, Komisi Pemilihan Urnum, sebagai lembaga pengawal dan instrumen demokrasi yang menentukan kualitas kepemimpinan negara ini dan berasal dari unsur kalangan independen, juga tidak terlepas dan "virus" korupsi. Dalam konteks seperti ini, upaya pemberantasan korupsi belum menampakan hasil nyata dan masih dilihat sebagai upaya elitis penegak hukum dan belum melibatkan peran serta masyarakat sipil. Sebagai kejahatan luar biasa, cara-cara luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi, dengan melibatkan elemen masyarakat sipil seperti LSM, merupakan salah satu altematif ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi yang diintrodusir oleh pemerintah.
Berangkat dari permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran peran dan pengalaman koalisi LSM dalam pengungkapan kasus korupsi KPU, strategi dan bentuk advokasi yang dilakukan, pola hubungan anggota Koalisi LSM, hasil dan dampak yang dicapai serta faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan gerakannya. Pada akhimya, penelitian ini mengajukan tawaran solusi untuk peningkatan peran serta LSM dalam pemberantasan korupsi, dan tawaran kebijakan agar kasus korupsi KPU tidak terulang, berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi selama penelitian. Dalam konteks ini, penelitian peran Koalisi LSM dalam pemberantasan korupsi dengan studi kasus korupsi KPU mempergunakan pendekatan kualitatif. Sementara kerangka teori yang dipergunakan meliputi teori civil society diantaranya dan Toqueville, Habemas dan Putnam, LSM dan korupsi dari Alatas dan Klitgaard.
Korupsi di KPU merupakan gambaran korupsi sistemik yang berada di birokrasi, karena melibatkan aktor dari instansi lain seperti Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Para pengusaha yang melakukaan pengadaan barang dan jasa di KPU. Kalangan KPU yang dikenal sebagai akademisi tidak terlepas dari jerat korupsi sistemik yang disebabkan iemahnya mekanisme pengawasan atau kelembagaan di KPU, kebijakan penganggaran yang tidak aplikatif diterapkan dalam proyek politik Pemilu yang menelan anggaran besar, dan sistem pengadaan barang dan jasa yang memberika kondisi atau mendorong terjadinya korupsi di lembaga ini. Pada akhimya, menimbulkan modus-modus korupsi seperti mark-up dalam pengadaan logistik Pemilu, suap untuk melakukan pencairan anggaran maupun pemeriksaan, dan aliran dana "kick -back" yang berasal dari pengusaha ke sejumiah oknum di KPU.
Peran Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas yang terdiri dari 5 LSM ini (FITRA, FORMAPPI, LBH Jakarta, IPW dan KIPP Indonesia) masih belum mampu untuk membedah secara mendalam korupsi sistemik yang terjadi di KPU. Laporan dugaan korupsi KPU yang disusun Koalisi LSM masih sebatas pengungkapan kasus korupsi yang muncul ke permukaan dan belum menunjukan secara nyata terjadinya korupsi di KPU. Namun demikian, Laporan Koalisi LSM ini, merupakan bukti awal bagi KPK untuk mengungkap kasus korupsi ini lebih jauh. Dalam advokasi-advokasi yang dilakukannya, Koalisi LSM mempergunakan kontrol ekstemal melalui pembentukan opini publik di media massa dalam bentuk diskusi publik dan kofrensi pers dan mempergunakan mekanisme kenegaraan yang ada dengan melakukan tekanan-tekanan kepada DPR, KPK dan BPK untuk menindakianjuti laporannya. Gerakan Koalisi LSM ini dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru karena tidak lagi mengandalkan massa. Pola hubungan internal koalisi dengan kepemimpinan kolektif dan mekanisme pengambilan keputusan secara bersama, menumbuhkan adanya solidaritas, kepercayaan dan etika berjaringan yang dipahami bersama.
Di tingkat eksternal, dalam melakukan advokasinya Koalisi LSM dihadapi oleh isu sebagai gerakan yang berupaya menggagalkan Pemilu dan tuntutan pencemaran nama baik. Ditingkat internal, data-data yang dilaporkan Koalisi LSM belum menunjukan bukti yang kuat terjadinya korupsi di KPU, besaran dugaan korupsi yang berubah-ubah dan kesulitan mengkases data serta slat bukti. Meskipun demikian, pengungkapan kasus korupsi KPU merupakan tonggak titik terang upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kasus korupsi KPU sebagai kasus terbesar pertama yang ditangani KPK, menjadikan lembaga ini memperoleh kepercayaan publik ditengah kebuntuan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, penguatan pecan LSM dalam pemberantasan korupsi, dengan visi yang jelas menjadi penting untuk diperhatikan.
Ke depan untuk mencegah terjadinya korupsi di KPU dan meminimaiisir terjadinya korupsi sistemik di lembaga lain, perlu dilakukan penguatan sistem pengawasan kelembagaan KPU dengan meningkatkan posisi dan kewenagan Panwaslu, pembenahan dalam sistem penganggaran dengan menerapkan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEFIMedium Term Expenditure Framework), dan reformasi dalam pengadaan barang dan jasa publik, seperti pembentukan badan indpenden. Sementara untuk LSM-LSM anti korupsi perlu melakukan konsolidasi untuk tidak sekedar mengungkap kasus korupsi melainkan juga mendorong adanya kondisi, instrumen dan kebijakan yang anti korupsi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghali, A.
"Penelitian ini bermula dari latar belakang permasalahan korupsi yang
melibatkan penyelenggara negara di Indonesia yang tidak kunjung habisnya. Hal
ini kemudian dibentuknya lembaga antikorupsi yang mempunyai wewewang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan komisi antikorupsi di Indonesia yang mempunyai tugas,
fungsi, dan wewenang yang sangat strategis dalam memberantas korupsi.
Penelitian ini membahas mengenai penggunaan penyadapan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi,
khususnya penyuapan dan pemerasan. Posisi Komisi Pemberantasan korupsi
cukup strategis terlihat pada penggunaan penyadapan yang sah secara hukum
dalam mengungkap kasus korupsi, khususnya kasus penyuapan dan pemerasan.
Penggunaan penyadapan telah menjerat banyak pelaku tindak pidana
korupsi. Penelitian ini juga ditujukan untuk melihat manfaat dan kendala selama
penggunaan penyadapan yang dilakukan oleh KPK sehingga dapat
menggambarkan secara keseluruhan dari penggunaan penyadapan dalam
mengungkap kasus penyuapan dan pemerasan yang melibatkan penyelenggara
negara.
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa KPK menyadari
penyadapan melalui telepon tidak cukup. Banyak kendala selama penggunaan
penyadapan selama ini disebabkan oleh, yaitu kendala personel KPK yang sedikit
dibandingkan kasus yang sedang ditangani, dibutuhkan aturan hukum dan
insfrastruktur yang memadai dalam hal menunjang tata cara teknis penyadapan,
khususnya penyadapan yang berbasis layanan data internet.

Abstract
This research started from a background of corruption involving state
administrators in Indonesia that never end. It is then, forming anti-corruption
agencies which have lawful interception and recording conversations. Indonesia?s
Corruption Eradication Commission (KPK) is an anti-corruption commission
which has the duties, functions, and authority are very strategic in eradicating
corruption.
This research discusses the use of lawful interception Indonesia?s Corruption
Eradication Commission (KPK) in exposing corruption cases, especially bribery
and extortion. Indonesia's Corruption Eradication Commission (KPK) position is
strategic at the use of lawful interception in exposing corruption cases, especially
bribery and extortion.
The use of lawful interception has trapped many corruptors. The study also aimed
to see the benefits and constraints of lawful interception conducted by the KPK,
so that it can describes the use of it in exposing bribery and extortion cases
involving state administrators.
The results of this research is KPK aware of intercepts telephone is not enough.
Many obstacles during this policy, due to the lack of personnel in KPK, it takes
the rule of law and adequate infrastructure in terms of technical procedures to
support lawful interception especially internet-based data services."
2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meidisyah
"Korupsi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan hasil dari interaksi banyak faktor. Praktik korupsi menimbulkan kerugian dan memperlambat proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Pengadaan publik adalah salah satu aktivitas pemerintah yang rentan terhadap korupsi.
Penelitian ini bertujuan untuk merancang model sistem dinamis yang memberikan gambaran interaksi faktor dan umpan balik yang mempengaruhi praktik korupsi di pengadaan publik serta menambahkan faktor pencegahan ke dalam model sistem dinamis baru dalam rangka pencegahan korupsi. Pengumpulan data awal dilakukan dengan menggunakan metode information retrieval & extraction berbasis web (web scrapping) serta named entity recognition (NER) yang menghasilkan basis data kasus korupsi di Indonesia sebagai dasar untuk menetukan sektor pemerintahan dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap praktik korupsi.
Model kebijakan terdiri dari skenario 1,2 dan 3 yaitu integrasi dokumen antara aplikasi SPSE dengan kemeterian/ lembaga/ direktorat, pengawasan melalui S.M.A.R.T (Self-Monitoring, Analysis, and Reporting Technology) dan mendesain hukum organisasi pengadaan proyek konstruksi yang berstruktur lebih horizontal. Dari 3 skenario kebijakan tersebut, skenario 1 integrasi dokumen antara aplikasi SPSE dengan kemeterian/ lembaga/ direktorat model terpilih menjadi solusi pengurangan korupsi di pengadaan barang/jasa proyek konstruksi. Solusi ini menghasilkan perhitungan jumlah kasus korupsi per tahun terkecil dan pemberantasan korupsi per tahun terbanyak dalam peniliain tingkat korupsi pengadaan barang/jasa proyek konstruksi di Indonesia.

Corruption is not only caused by one factor but is the result of the interaction of many factors. Corruption practices cause losses and slow down the process of economic recovery in Indonesia. Public procurement is one of the government activities that is vulnerable to corruption.
This study aims to design a dynamic system model that provides an overview of the interaction of factors and feedback that affect corrupt practices in public procurement as well as adding prevention factors to the new dynamic system model in order to prevent corruption. Preliminary data collection is done using web-based information retrieval & extraction (web scrapping) and named entity recognition (NER) methods which produce a database of corruption cases in Indonesia as a basis for determining government sectors with high levels of vulnerability to corrupt practices.
The policy model consists of scenarios 1,2 and 3, which are integration documents between the SPSE application and the ministries / institutions / directorates, supervision through S.M.A.R.T (Self-Monitoring, Analysis, and Reporting Technology) and designing procurement projects that have a more horizontal structure. Of the 3 policy scenarios, scenario 1 documents integration between the SPSE application and the selected model / agency / directorate model is the solution in implementing corruption in the procurement of construction project goods / services. This solution results in the calculation of the number of corruption per year and the most eradication corruption per year in assessing the level of corruption in the procurement of goods / services for construction projects in Indonesia.Corruption is not only caused by one factor but is the result of the interaction of many factors. Corruption practices cause losses and slow down the process of economic recovery in Indonesia. Public procurement is one of the government activities that is vulnerable to corruption.
This study aims to design a dynamic system model that provides an overview of the interaction of factors and feedback that affect corrupt practices in public procurement as well as adding prevention factors to the new dynamic system model in order to prevent corruption. Preliminary data collection is done using web-based information retrieval & extraction (web scrapping) and named entity recognition (NER) methods which produce a database of corruption cases in Indonesia as a basis for determining government sectors with high levels of vulnerability to corrupt practices.
The policy model consists of scenarios 1,2 and 3, which are integration documents between the SPSE application and the ministries / institutions / directorates, supervision through S.M.A.R.T (Self-Monitoring, Analysis, and Reporting Technology) and designing procurement projects that have a more horizontal structure. Of the 3 policy scenarios, scenario 1 documents integration between the SPSE application and the selected model / agency / directorate model is the solution in implementing corruption in the procurement of construction project goods / services. This solution results in the calculation of the number of corruption per year and the most eradication corruption per year in assessing the level of corruption in the procurement of goods / services for construction projects in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Bayu Aji
"Sejak lama, korupsi telah menyerang kehidupan negera dan terus menyebar ke berbagai bidang. Untuk itu perlu penegakan hukum yang tegas dan dapat memberantas kejahatan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pemiskinan koruptor sebagai langkah alternatif dalam penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dari penelitian ini berasal dari buku-buku serta berita di media. Data-data tersebut kemudian dianalisa untuk melihat upaya pemiskinan koruptor dalam penegakan hukum kasus korupsi. Dari penelitian ini menemukan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi belum tegas dan masih lemah dalam menangani kejahatan ini. Pemiskinan koruptor dapat menjadi solusi yang baik dan menguntukan bagi negara.

For a long time, corruption has attacked the life of state and was spreading to multiple area. To extirpate this crime needs a strict law enforcement. The purpose of this research are to explain about corruptor impoverishment as an alternative law enforcement towards the corruption case in Indonesia. This research is using qualitative approach with collected data from books and news in mass media. The data is analized to see the effort of the impoverishment corruptor as an effort of law enforcement towards corruption in Indonesia. The result from this research showed that law enforcement in Indonesia is still not strict and weak in handling corruption. Impoverishment corruptor can become a good solution and benefit the state."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45608
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
"Dalam hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi, telah terjadi terobosan baru dimana perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara "formil" ("wederwettelijk") mengalami pergeseran, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara "materiel" yang meliputi setiap pembuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Perubahan arti menjadi "wederrechtelijk", khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana ini (ederrechtelijk) mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian secara luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Pembaharuan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 2 ayat 1 maupun Penjelasan pasalnya berkaitan antara penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiel dengan arrest Cohen-Lindenbaum. Semula dalam hukum pidana, ajaran perbuatan melawan hukum materiel dibatasi penggunaannya melalui fungsi Negatif sebagai alasan peniadaan pidana, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran Asas Legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang dalam hukum pidana.
Perkembangan multi-tipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif/tercela dan merugikan Masayarakat/Negara dalam skala yang sangat besar seringkali tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi pidananya, sehingga pelaku dapat bertindak secara bebas dengan berlindung dibalik Asas Legalitas. Dari aspek /pendekatan sejrah pembentukan undang-undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan legislatif, terdapatlah kecenderungan pergeseran kearah fungsi positif dari perbuatan melawan hukum materil, dengan kriteria yang tegas dan limitatif serta kasuistis, yaitu apabila perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu. Tentunya unsur melawan hukum materiel melalui fungsi positif ini diartikan dalam konteks komprehensif secara menyeluruh terhadap unsur-unsur lainnya dalam suatu delik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
D660
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaliful Azhar
"[Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh temuan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap tingkat korupsi serta pengaruh tingkat korupsi dan tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap jumlah temuan audit pada Kementerian/Lembaga di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data panel dengan sampel 24 Kementerian/Lembaga yang terindikasi terdapat korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama periode tahun 2010-2013. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa jumlah temuan audit berpengaruh positif terhadap tingkat korupsi dan tingkat keparahan korupsi juga berpengaruh positif terhadap jumlah temuan audit.Tindak lanjut hasil pemeriksaan terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Hal ini menunjukan bahwa hasil audit dapat digunakan sebagai deteksi awal terjadinya tindakan korupsi di Kementerian/Lembaga dan juga keparahan tingkat korupsi dapat mengindikasikan banyaknya temuan audit di instansi tersebut. Selain itu, upaya dalam melakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi auditor secara signifikan dapat menurunkan tingkat korupsi.

, The purpose of this research is to analyze the influence of findings and follow-up audit results to level of corruption and the influence of level of corruption and follow-up audit result to the number of audit findings in the ministry / Agency in Indonesia. This research uses panel data with a sample of 24 Ministries / Agency in Indonesia indicates that there is corruption handled by the Corruption Eradication Commission (KPK) over the period 2010-2013. Results of this research showed that the number of audit findings has a positive influence on the level of corruption and the degree of severity of corruption is also positively related to the audit findings. And follow-up audit results has negative influence on the level of corruption. Results of this research showed that audit result can be used as an early detection of the occurrence of acts of corruption in the Ministry / Agency and also the severity of corruption levels can indicate the number of audit findings in the institution. In addition, efforts to make improvements in accordance with the auditor's recommendations can significantly lower the level of corruption]"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S59195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>