Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama.
Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.

ABSTRACT
Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour.
Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant.
Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risal Heru Nurcahyo
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan mula kerja analgesia epidural pada teknik "Loss of Resistance" antara NaCl0,9 % dengan lidokain 1 %.
Metode : Dilakukan uji secara acak tersamar ganda.Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat dan Instalasi Gawat Darurat RSL PN-Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus -November 2005.Hipotesis yang dibuat adalah penggunaan Lidokain 1 % pada epidural analgesia dengan teknik "LOR" memiliki mula kerja analgesi yang lebih cepat dibandingkan menggunakan NaCl 0,9 %.Sebanyak 92 pasien yang masuk kriteria inklusi dilakukan randomisasi dalam dua kelompok. Satu kelompok diberikan Lidokain 1 % sebanyak 5 ml dan kelompok lain diberikan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml dengan teknik "LOR" pada ruang epidural. Perubahan hambatan sensorik diukur dengan tes pinprick/skala Holmenss 3, perubahan hambatan motorik diukur dengan modifkasi skala bromage 2.
Hasil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi,hemodinamik,status ASA dan jenis operasi pada kedua kelompok.Kelompok Lidokain 1 % mempunyai mula kerja hambatan sensorik lebih cepat (rerata ) : 9,35 rnnt ± 3,9 vs 16,24 mnt t 4,8 , mula kerja hambatan motorik juga lebih cepat (med.) : 15,18 mnt (4,25-55,0) vs 24,20 mnt (8,18-75,00).
Simpulan : Pemakaian lidokain 1 % sebanyak 5 ml pada teknik "LOR" untuk analgesi epidural dapat mempercepat mula kerja sensorik dan motorik dari analgesi epidural.

Background : This study was designed to evaluate and compare the onset of epidural analgesia in "Loss Of Resistance " technique using Saline and Lidocaine I %
Methods : This was a prospective,randomized,doubleblinded study.This study was did in central operating room theatre and emergency unit RSUPN-CM at August - November 2005.We Hypothesized that using Lidocaine 1 % at epidural analgesia with "LOR" technique,has onset analgesia faster than using Saline. Ninety two patient was enrolled according to criteria of inclusion and randomized into 2 groups. One group received epidural analgesia with Lidocaine 1 % 5 mI and the other received Saline 5 ml with "LOR" technique in epidural space,before injection bupivacaine 0,5 % 15 ml via catheter epidural.Changing of sensory block was assessed by pinprick testlHolmenns scale 3, and motoric block was assessed by bromage score 2.
Result : There were no significant differences in demographic data,hemodynamic status,ASA status and type of procedure between groups.Lidocaine 1 % had faster onset (mean ) : 9,35 mnt ± 3,9 vs I 6,24 mnt ± 4,8. The onset of motoric block was faster too (med) : 15,18 mnt (4,25 - 55,0) vs 24,20 mnt (8,18 - 75,00)
Conclusion: Using Lidocaine 1 % 5 ml in epidural analgesia with "LOR" technique could accelerate the time onset on sensoric and motoric blockade of epidural analgesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cipta Suryadinata
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi meningkatkan morbiditas, komplikasi pulmonal dan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit. Teknik anestesia perioperatif dapat meningkatkan manajemen nyeri dan tingkat kepuasan pasien. Anestesia epidural dapat dikombinasikan dengan ajuvan untuk meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi analgesia, mengurangi kebutuhan opiod dan efek sampingnya. Morfin memberikan kualitas analgesia yang baik tapi berkaitan dengan sering munculnya efek samping. Deksametason merupakan glukokortikoid yang dapat digunakan sebagai ajuvan anestesia epidural. Penelitian ini mencoba mengetahui perbandingan efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 64 subyek dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen epidural bupivakain 0,125 12,5 mg deksametason 8 mg kelompok bupivakain-deksametason dan bupivakain 0,125 12,5 mg morfin 2 mg pascaoperasi kelompok bupivakain-morfin . Subyek kemudian mendapatkan anestesia umum tanpa pemberian regimen epidural intraoperatif. Sesaat sebelum operasi belum selesai subyek diberikan parasetamol 1 gr iv. PCA morfin pascaoperasi diberikan bila VAS >4. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan opioid, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan, rerata derajat nyeri dan efek samping analgesia epidural pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi.Hasil: Kebutuhan opioid 24 jam pascaoperasi, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan dan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil tidak berbeda bermakna dengan nilai p 0,701, 0,729, dan 0,817. Kejadian mual/muntah didapatkan pada kelompok bupivakain-morfin 1,6 .Simpulan: Penambahan ajuvan deksametason 8 mg memiliki efektivitas yang sama dengan penambahan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Dosis deksametason 8 mg tidak berkaitan dengan timbulnya efek samping.Kata Kunci: ekstremitas bawah, pascaoperasi, epidural, bupivakain, morfin, deksametason, nyeri

ABSTRACT
Background Post operative pain enhances morbidity, pulmonary complications and increases hospital length. The technique of perioperative anesthesia can improve pain management and patient satisfaction. Epidural anesthesia can be combined with adjuvants to improve the quality of analgesia, prolong the duration analgesia, reduce opioid requirements and side effects. Morphine provides good quality analgesia but it associated with adverse effects. Dexamethasone is a glucocorticoid that can be used as an adjuvant of epidural anesthesia. This study attempt to determine the effectiveness comparison of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg addition as adjuvants in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity.Methods In this double blinded randomized clinical trial, we evaluate the effectiveness of adjuvant addition of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity surgery. After obtaining permission from the ethic committee and informed consent, a total 64 subjects with consecutive sampling were randomly allocated to two groups to receive a total volume of 10 ml epidural plain bupivacaine 0,125 12,5 mg with either 8 mg dexamethasone in the bupicaine dexamethasone group or 2 mg morphine in bupivacaine morphine group. Subjects then receive general anesthesia without epidural regimen administration intraoperatively. Shortly before the end of operation subjects were given intravenous paracetamol 1 gr. Patient Controlled Analgesia PCA of morphine was given when Visual Analog Scale VAS 4. Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement, pain score and adverse effects in both group were recorded within the first 24 hours postoperatively.Result Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement and pain score between the two groups showed no significant difference with p value respectively 0.701, 0.729 and 0.817. The incidence of nausea vomiting was found in the bupivacaine morphine group 1,6 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg had the same effectiveness as morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12.5 mg epidural for post operative analgesia in the lower extremity surgery. Dosage of dexamethasone 8 mg was not associated with adverse events.Keywords lower extremity, post operative, epidural, bupivacaine, morphine, dexamethasone, pain "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Abdullah
"Latar belakang : Kelemahan anestesia epidural adalah mula kerja yang lebih lama. Berbagai upaya dicoba dilakukan untuk mempercepat mula kerja anestesia epidural. Salah satunya adalah penambahan fentanil ke dalam obat anestesia lokal. Penelitian ini melihat pengaruh penambahan fentanil 100µg pada anestesia epidural ropivakain 0,75% terhadap mula kerja blok sensorik dan blok motorik.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 28 subyek penelitian yang Akan menjalani anestesia epidural dengan ASA I-II dengan uji klinis tersamar ganda . Subyek penelitian dibagi dua kelompok. Kelompok A(fentanil) yaitu penambahan fentanil 100µg 2m1 dan kelompok B (kontrol) penambahan NaCl 0,9% 2 ml ke dalam ropivakain 0,75% 13 ml. Dilihat dan dicatat mula kerja blok sensorik dermatom setinggi T10, T8, T6, T5 dan T4 dengan tes Pinprick. Dan dilihat dan dicatat mula kerja blok motorik dengan skala Bromage 1 & 2. Perubahan hemodinamik dan efek samping infra operatif juga dilihat dan dicatat.
Hasil : Mula kerja blok sensorik setinggi dermatom T10, T8, T6, T5 lebih cepat pada kelompok A (fentanil) dibanding kelompok B (kontrol) dengan p<0,001. Pencapaian blok sensorik setinggi dermatom T5 pada kelompok B (kontrol) hanya 85,7%. Pencapaian blok sensorik setinggi dermatom T4 hanya 14,3% pada kelompok A (fentanil) dan 21,4% pada kelompok B (kontrol), denganp>0,05. Mula kerja blok motorik dengan skala bromage 1&2 lebih cepat pada kelompok A (fentanil) dibanding kelompok B (kontrol), dengan p<0,001. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tekanan darah , laju nadi, laju nafas dan efek samping yang terjadi pada kedua kelompok selama penelitian.
Kesimpulan : Penambahan fentanil 100 µg pada anestesia epidural ropivakain 0,75% mempercepat mula kerja blok sensorik dan blok motorik.

Background : We wanted to know the effect offentanyl 100 pg added to ropivacain 0, 75% to the onset of motor and sensory block in epidural anesthesia.
Method : The study was done to 28 patients, ASR I II in a randomized double blind study. We randomly allocated them into two groups, the first group received fentanyl 100 pg and the second group received NaCl 0,9% added to ropivacaine 0,75% 13 ml. We observed the onset of sensory block to reach TI0, T8, T6, T5, and T4 by using pinprick test. The onset of motor block was observed using the bromage scale. We also took note of the hemodynamic changes and adverse effects that happened intro operative.
Result : The fentanyl group reach sensory block as high as T10, T8, and T6 faster than the control group. Only 85,7% patients in the control group can reach sensory block as high as T5. In both groups less than 25% patients can reach sensory block as high as T4. Motoric block was faster in the fentanyl group than the control group. We didn't notice any difference in homodynamic profile nor adverse effects found in the two groups.
Conclusion : The addition offentanyl 100 pg to ropivacaine 0,75% will speed up the onset of sensory and motor block in epidural anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Wahyudi Soamole
"Latar Belakang: Tatalaksana nyeri pascabedah pada pasien pascalaparoskopi nefrektomi merupakan salah satu kunci pemulihan dini pasien. Di RSUPN Cipto Mangunkusomo, hampir semua pasien donor ginjal pascabedah laparoskopi nefrektomi mendapatkan analgesia epidural kontinyu. Masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat, serta terdapatnya efek samping retensi urin pascaanalgesia epidural kontinyu, membuka kemungkinan untuk digunakannya teknik analgesia berbasis anestesia regional lain yang lebih baik. Blok tranversus abdominis plane dapat digunakan sebagai analgesia pascabedah abdomen, aman digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi koagulasi dan tidak menyebabkan terjadinya retensi urin dibandingkan dengan teknik blok neuraksial. Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis terkendali tidak tersamar tunggal, dengan populasi semua pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi pada bulan Mei-Oktober 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 25 subyek pada dua kelompok diambil dengan metode consecutive sampling. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui efek analgesia penambahan deksametason 8 mg pada blok TAP tiga titik, rata-rata derajat nyeri gerak dan kebutuhan morfin pascabedah pada kedua kelompok dengan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon.Hasil: Uji Mann-Whitney rata-rata nyeri diam tidak berbeda signifikan p 0,066-0,716 . Uji Mann-Whitney Kebutuhan PCA morfin pada 24 jam pascabedah tidak berbeda signifikan p 0,072-0,200 . Perubahan derajat nyeri pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,002 dan 0,020 . Kebutuhan morfin pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,023 . Saat pertama menggunakan tambahan morfin dan awal mobilisasi pascabedah tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu 58.01 .Simpulan: Penambahan deksametason 8 mg tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik pada blok TAP tiga titik dibanding epidural kontinyu. Jumlah penggunaan morfin, saat pertama membutuhkan tambahan morfin, rata-rata derajat nyeri gerak dan awal mobilisasi pascabedah tidak berbeda signifikan pada blok TAP tiga titik dengan epidural kontinyu. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu.

Abstract Background Postoperative pain management in laparoscopic nephrectomy is one key to early recovery. At RSUPN Cipto Mangunkusomo, almost all postoperative laparoscopic donor nephrectomy patients acquire continuous epidural analgesia. High percentage of patients with severe degree of pain and presence of postoperative urinary retention related to continuous epidural opens the possibility of better use of other regional anesthesia analgesia techniques. Tranversus abdominis plane block can be used as postoperative analgesia in abdominal surgery, safe in patients with impaired coagulation function and does not cause urinary retention compared with neuraxial block technique. Methods Randomized control trial in all kidney donor patients undergoing laparoscopic donor nephrectomy in RSUPN Cipto Mangunkusomo during May October 2017. Consecutive sampling and random allocation was done to put 25 patients in each TAP block and Continuous Epidural group. Statistical analysis was performed to determine the effect of adding 8 mg of dexamethasone in three point TAP block on degree of pain at rest and with movement and postoperative morphine requirements using Mann Whitney, Friedman and post hoc Wilcoxon test. Results Mann Whitney test showed no significant difference in pain at rest p 0,066 0,716 and 24 hours postoperative morphine requirements p 0,072 0,200 between two groups. Friedman and post hoc Wilcoxon test showed a significant difference in degree of pain p 0,002 and 0,020 and morphine requirement p 0,023 in TAP block group. There is no difference in time to first dose of morphine rescue and early postoperative mobilization. There is higher incidence of postoperative urinary retention in continuous epidural group 58.01 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg on three point TAP block did not provide better analgesia than continuous epidural. The amount of morphine requirement, time to first dose of morphine rescue, degree of pain at rest and with movement and early postoperative mobilization did not differ significantly between two groups. The frequency of postoperative urinary retention is higher with continuous epidural."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Penggunaan propofol semakin populer untuk sedasi selama tindakan endoskopi saluran cerna. Selain dengan bolus berkala, akhir-akhir ini telah tersedia pemberian propofol teknik target-controlled infusion (TCI). Teknik tersebut mungkin lebih menguntungkan karena dosisnya lebih efisien, efek samping yang lebih rendah dan waktu pulih yang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keluaran antara pemberian propofol teknik bolus berkala dengan TCI pada tindakan endoskopi saluran cerna. Keluaran yang diteliti adalah dosis total propofol, konsumsi permenit, biaya total, efek samping dan waktu pulih.
METODE: Lima puluh pasien (bolus, n=25, TCI, n=25), ASA I-III, usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dirandomisasi untuk mendapatkan sedasi dengan pemberian propofol bolus berkala (IB) atau target-controlled infusion (TCI) setelah dipremedikasi fentanil 1 µg/kgBB. Pasien kelompok bolus mendapatkan dosis propofol awal 1mg/kgBB dan tambahan 0.3 mg/kgBB hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pasien kelompok TCI menggunakan aplikasi rumusan Scnider dan mendapatkan dosis konsentrasi effect-site (Ce) 3 µg/ml yang kemudian dinaikkan atau diturunkan 0.5 µg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pemantauan dilakukan pada tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dosis propofol, kedalaman sedasi dan waktu pulih.
HASIL: Durasi tindakan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0.718). Dosis total propofol, konsumsi permenit dan biaya total lebih besar pada kelompok TCI (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Pada kedua kelompok hipotensi, desaturasi dan waktu pulih tidak berbeda bermakna (p=0.248, p=0.609, p=0,33).
SIMPULAN: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian propofol teknik bolus berkala lebih efisien pada dosis total, konsumsi permenit dan biaya total dibandingkan TCI. Angka kejadian hipotensi dan desaturasi serta waktu pulih sebanding pada kedua kelompok.

Propofol has become increasingly popular for sedation during gastrointestinal endoscopic procedure. Beside intermittent bolus, recently targetcontrolled infusion (TCI ) technic has become available for administration of propofol. It has been suggested that these device may offer advantages by efficient doses, lower side effect and faster recovery time. This study aims to compare the outcome of propofol administration technic via intermittent bolus and TCI in gastrointestinal endoscopic procedures. The outcomes investigated were propofol total dose and minute consumption, total cost, side effect and recovery time.
METHODS: Fifty patients (bolus, n= 25, TCI, n=25), ASA physical status I-III, aged 18- 65 years, BMI 18-30 kg/m2 were randomly assigned to receive intermittent bolus administration (IB) or target-controlled infusion (TCI) of propofol sedation after premedication 1 µg/kgBB of fentanyl. Patients in the bolus grup received an initial propofol dose 1 mg/kgBB and additional 0.3 mg/kgBB until IOC value 45-60 is reached. Patients in the TCI group received initial concentration effect-site (Ce) 3 µg/ml using Schnider pharmacokinetic model, and then either increased or decreased 0.5 µg/ml until IOC value 45-60 is reached. Vital signs, oxygen saturation, propofol dose, sedation deepth and the recovery time were evaluated.
RESULTS: Procedure duration time between two groups were not significantly different (p=0.718). Propofol total dose and minute consumption and total cost are higher in TCI group (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Hypotension, desaturation and recovery time were not significantly different (p=0.248, p=0.609, p=0,33) in both groups.
CONCLUSION: Our result suggest that IB technic was more efficient for total dose, minute consumption and total cost than TCI. Hypotension, desaturation and recovery time profiles were comparable between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prediksi kedalaman rongga epidural pada pediatrik untuk
menghindari komplikasi tertusuknya dura. Rumus Bosenberg 1 mm/kgbb
merupakan rumus yang sering digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga
epidural (loss of resistance) pada pasien pediatrik pada ras Kaukasia. Terdapat
perbedaan anatomi antara ras Asia dan Kaukasia, sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah rumus Bosenberg 1 mm/kgbb tepat digunakan untuk
menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu dan
faktor apa saja yang berhubungan untuk menentukan kedalaman rongga epidural.
Metode : Penelitian ini adalah uji Bland Altman dan analisis regresi dengan
pengambilan data dari rekam medis pasien pediatrik ras Melayu yang menjalani
tindakan anestesia epidural pada bulan Januari 2011-Juli 2015 di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Sebanyak 67 subjek yang menjalani tindakan anestesia epidural.
Data yang diolah berupa usia, berat badan, tinggi badan dan loss of resistance
(LOR). Dengan menggunakan SPSS 22, dilakukan uji Bland Altman terhadap
LOR aktual dan LOR yang didapat berdasarkan rumus Bosenberg. Analisis
regresi linear digunakan pada variabel usia, berat badan dan tinggi badan untuk
menentukan hubungan antara ketiga variabel ini terhadap LOR.
Hasil : Empat belas subjek dikeluarkan dalam penelitian karena data tidak
lengkap dan terdapat kriteria ekslusi pada subjek. Tersisa 53 subjek yang masuk
dalam penelitian ini. Uji Bland Altman menghasilkan rentang nilai limit of
agreement -4,41 sampai 3,15. Nilai ini mempunyai rentang yang cukup lebar dari
nilai limit of agreement yang diharapkan (-1,25 dan 1,25). Pada analisis bivariat
diperoleh korelasi sangat kuat terhadap usia (r= 0,809), berat badan (r=0,966), dan
tinggi badan (r=0,906). Analisis regresi linear menghasilkan tiga persamaan dari
tiap-tiap variabel dengan nilai R
2
tertinggi adalah berat badan (92,7%) diikuti
tinggi badan (75,9%) dan usia (57%).
Simpulan: Rumus 1 mm/kgbb tidak tepat digunakan untuk menentukan jarak
kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Terdapat hubungan antara usia, berat badan, dan tinggi badan terhadap jarak kulit ke rongga epidural.

ABSTRACT
Background : Skin-epidural distance prediction on pediatric patient undergoing
procedure is necessary to prevent complication. Bosenberg prediction formula of
1 mm/kg of body weight is widely used in Caucasian pediatric patient. However,
there is anatomical variation between Caucasian and Asian which created question
on the accuracy of Bosenberg prediction formula if used on Malayan pediatric
population and factors related to skin-epidural distance in these population.
Methods : This study use cross-sectional design in which the data from medical
record was used to collect information about age, weight, height and skin-epidural
distance from pediatric (loss of resistance) patient undergoing epidural procedure.
SPSS 22 was used to perform statistical calculation on this set of data. Accuracy
of Bosenberg formula was analysed using Bland-Altman test in which the skinepidural
distance measured using loss of resistance (LOR) compared with
prediction from Bosenberg formula. Linear regression analysis was used to
identify predictor variable for skin-epidural distance.
Result : 67 subject was recruited for the study in which 14 was not included in
analysis because the exclusion criteria. Bland-altman test reveal limit of
agreement between -4,41 and 3.15 which is significantly larger than the expected
limit of agreement (-1,25 to 1.25). There is strong corelation between age, weight
and height to skin-epidural distance. The regression model derived from weight
variable have the strongest power to predict skin-epidural distance (R
value for
weight, height and age based model is 92.7%, 75.9% and 57% respectively.
Conclusion : The Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is not
accurate to predict skin-epidural distance in Malayan pediatric population. There
is relationship between age, height, and weight to skin-epidural distance in Malayan pediatric patient. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cluny Martina Mangkuayu
"Atresia Ani merupakan salah satu kelainan bawaan terbanyak di Indonesia yang membutuhkan penanganan berkelanjutan tergantung pada jenis kelainan anatomisnya. Banyaknya tahapan operasi yang dijalani pada kasus atresia ani ini memberikan pengalaman nyeri pada bayi termasuk salah satunya adalah operasi pembuatan anus atau PSARP.
Tujuan karya ilmiah ini untuk menganalisis efektivitas manajemen nyeri nonfarmakologi pemberian ASI langsung untuk mengurangi nyeri pada bayi.
Metode yang digunakan dalam karya ilmiah ini yaitu studi kasus dengan satu pasien kelolaan yang diberikan intervensi manajemen nyeri nonfarmakologi pemberian ASI langsung saat dilakukan perawatan luka PSARP.
Hasil intervensi ini berupa penurunan skala nyeri FLACC pada pasien dan kondisi pasien lebih tenang. Terkait hal ini petugas kesehatan di ruang bedah perlu mendukung orang tua untuk secara efektif memberikan ASI langsung kepada bayi untuk mengurangi nyeri.

Atresia Ani is one of the most common congenital abnormalities in Indonesia requiring continuous treatment depending on the type of anatomical abnormality. The many stages of surgery performed in this case of atresia ani provide experience of pain in infants including the operation of the anal PSARP.
The study aimed to analyze the effectiveness of non-pharmacological pain management of direct breast feeding to reduce pain in infants.
This paper used case study approach on one patients which being intervented by direct breastfeeding when PSARP wound care was performed for 4 days long.
The result of the intervention was the reduction of pain evaluated by FLACC score and the patients looks more comfortable. The intervention is recommended to be applied by health care workers in surgery ward in supporting parents to effectively breastfeed directly to reduce pain.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Murniati
"Nyeri adalah keluhan yang dirasakan karena adanya tindakan operasi. Manajemen nyeri yang tidak adekuat dapat menimbulkan kondisi tidak nyaman dan dapat berdampak terhadap tidak kooperatifnya anak terhadap petugas kesehatan. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang efektivitas terapi bermain terhadap nyeri pada anak usia prasekolah post uretroplasty. Nyeri yang Terapi bermain merupakan salah satu intervensi untuk meminimalkan hal tersebut. Hasil dari penerapan terapi bermain yang telah dilakukan selama 3 hari terbukti efektif dalam menurunkan nyeri dan membuat anak menjadi lebih kooperatif terhadap petugas kesehatan. Penulis berharap, Rumah Sakit dapat mengembangkan program terapi bermain sesuai tumbuh kembang anak untuk meningkatkan efektivitas manajemen nyeri.

Pain is a common complaint that rises within post surgery. Inadequate pain management might lead to uncomfortable condition and impact such as children is uncooperative to health care team. This scientific work aims to provide an overview of the effectiveness of play therapy to overcome anxiety in preschool age children, post uretroplasty. Play therapy is one of the interventions to minimize it. The result of play therapy intervention that has been done for 3 days proved it is effective in reducing anxiety and treat children to more cooperative with health care team. The researcher suggests that play therapy program from the hospital for increasing the effectivity of anxiety management.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>