Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73553 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nor Alfisyahr
"ABSTRAK
Nama : Nor Alfisyahr Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis : Implementasi Aturan Hukum Terkait Penjatuhan Sanksi Tindak Pidana Memperniagakan Satwa Trenggiling Yang Dilindungi (Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1731/Pid.Sus/2015/Pn Mdn) Tesis ini membahas pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana perniagaan trenggiling sebagai satwa yang dilindungi, dikarenakan selama ini pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana perniagaan trenggiling jarang melibatkan korporasi sebagaimana perkara dalam Putusan Pengadilan pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 1731/Pid.Sus/2015/Pn Mdn tertanggal 17 September 2015 yang seharusnya tidak hanya menghukum pengurus korporasi, akan tetapi terhadap korporasi juga harus dihukum. Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris yaitu metode pendekatan dalam penelitian hukum dengan menggunakan data yang didapat langsung dari lapangan, atas suatu pendekatan yang berpangkal pada permasalahan mengenai hal yang bersifat yuridis serta kenyataan yang ada. Walaupun sifatnya yuridis empiris, penelitian tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta asas-asas hukum. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan, dalam tindak pidana perniagaan trenggiling, korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya sepanjang dalam fakta persidangan dapat dibuktikan keterlibatan korporasi. Apabila mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut, seharusnya korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya dikarenakan fakta persidangan menunjukan terdakwa (pengurus korporasi) bekerja untuk dan atas nama korporasi dalam kaitannya melakukan tindak pidana perniagaan trenggiling, sehingga berdasarkan teori/ajaran pertanggungjawaban korporasi yaitu pertanggungjawaban mutlak (strict liability) pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability), identifikasi (indentification) dan agresi (aggregation), tidak hanya terdakwa sebagai pengurus korporasi yang harus dimintakan pertanggungjawabannya, akan tetapi terdakwa bersama-sama korporasi wajib bertanggungjawab akibat tindak pidana perniagaan trenggiling yang telah dilakukannya. Kemudian, dari aspek keadilan, putusan pengadilan terlihat tidak adil dikarenakan hukuman/sanksi yang diterima oleh terdakwa hanya 1 (satu) tahun dan 5 (lima) bulan dengan denda Rp. 50.000.000,00, sedangkan apabila mengacu pada Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terhadap terdakwa sebagai pengurus korporasi dapat dihukum/diberikan sanksi maksimal 5 (lima) tahun penjara dengan denda maksimal Rp. 100.000.000,00,-. Sedangkan, apabila dapat melibatkan korporasi maka hukuman/sanksi yang dapat dijatuhkan yaitu pidana tambahan seperti penutupan korporasi atau pencabutan izin korporasi atau perampasan barang bergerak atau tidak bergerak milik korporasi. Selain itu, yang patut dipertanyakan adalah tidak diberlakukannya Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan, sedangkan diketahui tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah tindak pidana yang dapat merusak lingkungan dan merusak hutan, sehingga hukuman/ sanksi pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga).

ABSTRACT
Name : Nor Alfisyahr Study Program: Natural Resources Law Title of Thesis : Implementation of Legal Rules Regarding the Elimination of Criminal Sanctions on the Operation of Protected Pangolin Animals (Based on the Medan District Court Decision Number 1731 / Pid.Sus / 2015 / Pn Mdn) This thesis discusses corporate responsibility in the crime of pangolin trade as a protected animal, because criminal responsibility for pangolin commercial crime has rarely involved corporations as is the case in the Medan District Court Decision No. 1731 / Pid.Sus / 2015 / Pn Mdn dated 17 September 2015 which should not only punish corporate administrators, but the corporation must also be punished. This research is in the form of empirical juridical research. The method of empirical juridical approach is the method of approach in legal research using data obtained directly from the field, on an approach that originates in problems concerning juridical matters and the existing reality. Although it is empirically juridical, research still refers to the prevailing laws and regulations and the principles of law. From the results of this study concluded that in criminal acts of pangolin trade, corporations can be held accountable as long as the facts of the trial can be proved by corporate involvement. When referring to the Medan District Court Decision, the corporation should be held liable because the facts of the trial show that the defendant (corporate management) works for and on behalf of the corporation in connection with committing pangolin commercial crime, so that based on the theory / teaching of corporate responsibility, namely absolute liability ) vicarious liability, identification and aggression, not only the defendant as a corporate administrator who must be held accountable, but the defendant together with the corporation must be responsible for the crime of the pangolin trade he has committed. Then, from the aspect of justice, the court's decision looks unfair because of the punishment / sanction received by the defendant for only 1 (one) year and 5 (five) months with a fine of Rp. 50,000,000.00, whereas if referring to Law Number 5 of 1960 concerning Conservation of Biological Resources and Ecosystems, the defendant as a corporation manager can be punished / given a maximum sentence of 5 (five) years imprisonment with a maximum fine of Rp. 100,000,000.00. Whereas, if it can involve corporations, penalties / sanctions that can be imposed are additional crimes such as corporate closure or revocation of corporate licenses or seizure of movable or immovable property belonging to the corporation. In addition, what should be questioned is that Law No. 32/2009 concerning Environmental Protection and Management is not put into effect or Law Number 18 of 2013 concerning Prevention and Eradication of Forest Destruction, while it is known that criminal acts committed by a defendant are criminal acts that can damage the environment. and damage the forest, so that the penalty / criminal sanction can be added 1/3 (one third). "
2018
T51878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Della Rizky Marsa Velesnika
"Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species 1973 (CITES), tetapi Indonesia belum mengimplementasikan aturan-aturan CITES secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya penyelundupan satwa di Indonesia, salah satunya adalah kasus dengan Putusan Nomor: 496 /Pid.Sus/2014/PN.Dps. yang akan dibahas dalam tesis ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan sering terjadinya kasus penyelundupan satwa di Indonesia, mengkaji langkah-langkah yang sebaiknya diambil Indonesia dalam mencegah terjadinya kembali kasus penyelundupan satwa yang dilindungi oleh CITES, dan menganalisis tindakan suatu negara ketika satwa hasil penyelundupan masuk ke negaranya. Faktor yang menyebabkan terjadinya penyelundupan satwa secara besar dikarenakan oleh faktor ekonomi dan ketidaktahuan masyarakat mengenai satwa yang dilindungi. Salah satu langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya penyelundupan satwa adalah mengadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan satwa yang ada di Indonesia serta dampak yang ditimbulkan.

Indonesia is known as one of many countries which has the highest biodiversity in the world. Although Indonesia has ratified the Convention on International Trade in Endangered Species in 1973 (CITES), but Indonesia does not implement CITES rules optimally. This is evidenced by wildlife smuggling in Indonesia, one of many cases is the case with Decision No. 496 /Pid.Sus/2014/PN.Dps. which will be discussed in this thesis. The aims of this study are to analyze the factors that cause frequent occurrence of smuggling cases of wildlife in Indonesia, review the steps that should be taken by Indonesia to prevent the recurrence of smuggling cases of protected species by CITES, and analyze the actions of countries when those animals entry to country. Factors that cause wildlife smuggling is an economic factor and the ignorance of the public regarding the protected animals. One of the appropriate measures to prevent the wildlife smuggling is the socialization and education to the public about the importance of wildlife protection in Indonesia and its impact.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Kesuma Adi
"Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Lebih dari 10-20 jenis tumbuhan dan satwa yang ada di dunia berada di wilayah Indonesia. Namun sekarang ini keberadaan sumber daya alam hayati dan ekosistem di Indonesia sedang terancam. Hal ini disebabkan beberapa factor yang salah satu diantaranya adalah banyaknya jumlah perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur bahwa perdagangan satwa liar dilindungi sebagai suatu tindak pidana. Indonesia yang meratifikasi CITES pada tahun 1978 juga harus mengikuti ketentuan CITES dalam mengatur dan mengupayakan perlindungan hukum terhadap perdagangan satwa liar dilindungi.
Skripsi ini mengambil studi kasus perdagangan ilegal Trenggiling sebagai satwa yang dilindungi. Sejak bulan Oktober 2016, Trenggiling telah dimasukkan dalam daftar Appendiks I CITES sehingga perdagangan dalam negeri maupun luar negeri adalah dilarang kecuali untuk tujuan non-komersil maupun keadaan luar biasa. Namun hingga saat ini perdagangan Trenggiling masih dapat ditemukan. Hal ini menunjukkan penegakan hukum dalam peraturan nasional masih belum dapat dilakukan secara optimal. Hal ini dapat terjadi karena masih banyak aparat penegak hukum yang belum menyadari dan mengerti secara penuh ancaman terhadap ekosistem ketika perdagangan satwa liar marak terjadi. Sehingga diperlukan perbaikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar ini.

Indonesia is a country which has high biodiversity.10 20 of plant and animal species in this world are exist in Indonesia. But nowadays the existence of natural resources and ecosystems in Indonesia are being threatened. Endangerment of their lives caused by several factor, one of which is the number of illegal wildlife trade in Indonesia which grows rapidly. Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems rules that trading protected species is a crime. Indonesia as a country who has ratified CITES in 1978 should follow the convention to sought the regulation which create the law to protect wildlife species.
This thesis will take case study of Pangolin Manis javanica illegal trade. Since October 2016, Pangolin has been put to the list of Appendix I CITES which means the trade of this species is prohibited except for non commercial purpose or extraordinary reasons. This shows that law enforcement against illegal wildlife trade as stipulated in Indonesia Law cannot be executed optimally. This can happen because many of the law enforcers do not fully understand the threats of wildlife illegal trade to the ecosystem destruction. So it is necessary to improve all factors that affect law enforcement against criminal acts such wildlife trade.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Daniela Lamandasa
"Akta notaris adalah akta autentik sehingga bersifat sempurna, artinya menjadi alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Hal ini membuat akta notaris mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Notaris harus melaksanakan tugas jabatannya dengan patuh dan setia pada Negara Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Jika tidak, maka dapat memberikan celah bagi pihak lain untuk menggunakan akta notaris sebagai sarana melakukan perbuatan pidana, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1276/Pid.B/2019/PN Mdn. Bertolak dari putusan tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah akibat hukum terhadap notaris yang aktanya digunakan untuk tindak pidana penipuan serta peran dan tanggung jawab notaris dalam pencegahan tindak pidana penipuan yang menggunakan akta notaris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat eksplanatoris dengan didukung oleh bahan hukum sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui metode studi kepustakaan. Selanjutnya hasil penelitian diolah dengan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakcermatan notaris dalam pembuatan akta dapat menimbulkan kerugian bagi pihak dalam perjanjian. Hal ini membuat notaris dapat dimintai pertanggungjawaban hukum baik secara Perdata, Pidana, Administratif maupun Kode Etik Notaris. Notaris seharusnya dapat melakukan tindakan preventif dengan mengidentifikasi maksud dan tujuan pihak yang menghadap kepadanya dan menilai apakah terdapat hal yang janggal dalam pembuatan akta yang dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari. Selain itu, notaris juga harus terus bersikap lebih hati-hati, cermat dan terus berpedoman pada UUJN, peraturan perundang-undangan lainnya serta Kode Etik Notaris.

A notarial deed is an authentic deed so that it is perfect, meaning it becomes the strongest and most complete evidence. This makes notary deeds have an important role in people's lives. Notaries must carry out their duties obediently and faithfully to the Republic of Indonesia, Pancasila, the 1945 Constitution, the Notary Position Act, and other laws and regulations. If not, then it can provide a loophole for other parties to use a notarial deed as a means of committing a criminal act, as stated in the Medan District Court Decision Number 1276/Pid.B/2019/PN Mdn. Starting from the decision, the problem raised in this thesis is the legal consequences of notaries whose deed is used for criminal acts of fraud and the role and responsibilities of a notary in preventing criminal acts of fraud using a notary deed. This study is an explanatory normative juridical study aided by secondary legal materials. Data collection is done through the literature study method. Furthermore, the research results are processed by qualitative methods. The results of this study indicate that the notary's inaccuracy in making the deed can cause harm to the parties to the agreement. This means that the notary can be held legally liable in civil, criminal, administrative, or notary code of ethics proceedings. Notaries should be able to take preventive action by identifying the intentions and objectives of the parties who appear before them and assessing whether there are odd things in the making of the deed that could cause disputes in the future. In addition, notaries must also continue to be more careful and continue to be guided by the UUJN, other laws and regulations, and the Notary Code of Ethics."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Rullya R.
"Tesis ini membahas mengenai notaris yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum yaitu korupsi pada saat ia tidak melaksanakan jabatan sebagai notaris yang berdampak kepada jabatannya sebagai pejabat umum serta menyerahkan protokol kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Majelis Pengawas Notaris. Rumusan masalah yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai akibat hukum atau sanksi yang dikenakan kepada notaris yang telah dijatuhkan pidana karena melakukan tindakan korupsi menurut UUJN dan dampak dari penyerahan protokol tanpa pemberitahuan kepada Majelis Pengawas Notaris dan grosse akta atau salinan akta jika dikeluarkan oleh pihak yang menerima protokol. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif.
Kemudian simpulan dari tesis ini adalah bahwa dengan adanya putusan pidana yang telah membuktikan bahwa notaris yang saat tidak melaksanakan jabatannya tersebut terlibat korupsi, maka notaris tersebut telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUJN yang mengakibatkan sanksi adminitratif yang dikenakan adalah sanksi yang paling berat yaitu pemberhentian dengan tidak hormat dan penyerahan protokol tersebut tidak sah serta jika grosse akta atau salinan akta dikeluarkan oleh pihak yang menerima protokol tersebut maka grosse akta atau salinan akta tidak sah karena tindakan penyerahan protokol sendiri juga tidak sah akibat tidak memenuhi ketentuan atau prosedur penyerahan protokol yang berlaku. Oleh karena itu, notaris harus mematuhi semua peraturan yang ada serta etika dan moral yang hidup dalam masyarakat baik saat menjalankan jabatan ataupun saat sedang tidak menjalankan jabatannya sebagai notaris dan Majelis Pengawas Notaris harus meningkatkan pengawasan terhadap notaris dalam wilayah kerjanya untuk menghindari hal demikian terulang kembali.

This thesis discuss about the notary who performs unlawful acts of corruption when he did not carry out a position of public notary that affects his position as a general official and submit his protocol to other party without the permission of the Notary Supervisory Board. The issues raised in this thesis are the legal consequences or sanctions imposed on the notary who has been imposed for criminal acts of corruption under the UUJN and the impact of the submission of the protocol without giving notification to the Notary Supervisory Board and grosse deed or a copy of the deed if issued by the party who receive the protocol. This thesis research is a normative juridical research, which is a legal research conducted by researching library materials. The research is analytical descriptive by using qualitative approach method.
The conclusion of this thesis is the notary has violated the provisions in Article 12 and Article 13 UUJN which resulted in administrative sanctions imposed which is dismiss unrespectedly and the submission of the protocol is invalid and if the grosse deed or copy of the deed is issued by the party who accept the protocol then the grosse deed or copy of the deed is not valid because the protocol submitting action itself was also invalid due to the protocol submission rules or procedures are not fulfilled. Therefore, a notary must comply with all existing rules, ethics and morals that live in the community either while performing a position or not performing his/her position as a notary and the Supervisory Board of Notary must increase the supervision of the notary in its territory to avoid such things from happening again.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jesslyn Joevy
"Suatu akta yang dibuat secara notariil seharusnya ditandatangani oleh para pihak di hadapan Notaris. Hal ini supaya akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat sebagai akta autentik sehingga memberikan perlindungan hukum yang maksimal serta kepastian hukum bagi pihak terkait. Namun pada praktiknya, sebagaimana tercermin dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 663/Pdt.G/2019/PN Mdn juncto Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 395/PDT/2020/PT Mdn, ditemukan penandatanganan akta perbankan yang dibuat secara notariil tanpa kehadiran Notaris. Dengan mengacu pada putusan tersebut, penelitian ini pada pokoknya membahas tentang keberlakuan akta perjanjian kredit perbankan notariil yang tidak ditandatangani di hadapan Notaris, konstruksi hukum dari standar baku prosedur pembuatan perjanjian kredit oleh pihak bank ditinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), serta implikasi pembatalan Hak Tanggungan terhadap perjanjian kredit. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diangkat adalah metode penelitian yuridis normatif dengan tipe eksplanatoris dan evaluatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa akta perjanjian kredit perbankan notariil yang tidak ditandatangani di hadapan Notaris tetap berlaku dan mengikat para pihak terkait. Keberlakuan perjanjian kredit perbankan ditentukan oleh pemenuhan syarat keabsahan perjanjian kredit perbankan sebagaimana diatur undang-undang. Adapun standar baku prosedur pembuatan perjanjian kredit oleh pihak bank harus mengikuti syarat dan tata cara pembuatan akta berdasarkan UUJN. Selanjutnya, pembatalan Hak Tanggungan tidak berimplikasi terhadap keberlakuan perjanjian kredit yang mendasarinya karena keberlakuan perjanjian kredit tidak bergantung pada perjanjian lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, saran yang disampaikan adalah perlu diadakan sosialisasi supaya masyarakat memahami tata cara pembuatan akta notariil. Notaris dapat menyediakan surat pernyataan bahwa klien tidak akan menggugat dan/atau menuntut Notaris sehubungan dengan kebenaran akta. Namun dalam menjalankan jabatannya, Notaris tetap wajib berpedoman pada UUJN dan Kode Etik Notaris. Ikatan Notaris Indonesia juga harus berperan aktif dalam menegakkan ketentuan UUJN dan Kote Etik Notaris. Sehubungan dengan Hak Tanggungan, Notaris/PPAT harus mengecek objek Hak Tanggungan dengan teliti dan hati-hati.

A notarial deed must be signed by the parties in the presence of the Notary. This shall be done for a notarial deed to obtain perfect and binding evidentiary power as an authentic deed to provide maximum legal protection and legal certainty for the relevant parties. However, in practice, as reflected in the Medan District Court Decision Number 663/Pdt.G/2019/PN Mdn in conjunction with the Medan High Court Decision Number 395/PDT/2020/PT Mdn, the signing of bank-related deed is conducted without the presence of a Notary. With reference to the forementioned court decisions, this thesis primarily discusses the enforceability of a notarial deed of banking credit agreement which is not signed before a Notary, the legal construction of standard credit procedures provided by the bank pursuant to Notary Law, and the implication of Mortgage cancellation on credit agreement. The research method used herein is a normative juridical research method with explanatory and evaluative typologies. The results show that the notarial deed of banking credit agreement that is not signed before the Notary remains valid and binding towards the parties.The validity of a banking credit agreement is dependable upon the fulfillment of the requirements for the validity of a bank credit agreement as stipulated by law. The standard procedure for entering into credit agreements provided by the bank must comply with the terms and procedures regulated in the Notary Law. Furthermore, Mortgage cancellation does not affect the enforceability of its underlying credit agreement as its enforceability is not determined by other agreements. Based on the results, it is advisable to conduct socialization for the public to understand the procedures for making a notarial deed. The Notary may provide a statement letter which states that the parties will not sue the Notary in relation to the validity of the deed. Nonetheless, the Notary must always comply with the Notary Law and Code of Ethics in carrying out his/her duties. The Indonesian Notary Association must also play an active role in enforcing the Notary Law and Code of Ethics. In relation to Mortgage, Notary/PPAT must meticulously and carefully check the object of Mortgage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnoni
"Perilaku sopan santun menjadi hal mendasar yang dibutuhkan dalam aktivitas sosial masyarakat, termasuk di dalam persidangan. Mengenai pemaknaan kesopanan di persidangan sendiri tidak ada pemaknaan yang sama. Meskipun tidak ada pemaknaan yang sama mengenai definisi dari kesopanan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan keadaan yang meringankan. Namun secara umum, sikap sopan terdakwa di persidangan lebih menekankan pada penghargaan terhadap tata tertib persidangan. Beberapa putusan pengadilan ada yang menggunakan sikap sopan terdakwa sebagai faktor yang meringankan pidana. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara khusus menyebutkan bahwa sikap sopan dapat menjadi dasar pertimbangan yang meringankan, beberapa putusan pengadilan telah menganggap sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai keadaan yang meringankan pidana. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, karena ada anggapan bahwa hanya dengan bersikap sopan di persidangan dapat memperingan hukuman, hal tersebut dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat. Peraturan mengenai keharusan untuk bersikap sopan di persidangan diatur oleh Mahkamah Agung melalui protokol persidangan dan keamanan dalam lingkungan pengadilan. Dimana setiap orang yang berada di ruang sidang diwajibkan untuk menunjukkan sikap hormat terhadap peradilan, yang didalamnya termasuk untuk bersikap. Namun, mengenai apakah kesopanan terdakwa di persidangan dapat dipertimbangkan sebagai hal yang akan memperingan hukuman secara khusus tidak ada aturan yang mengatur bahwa sikap sopan terdakwa di persidangan dapat memperingan hukuman. Penentuan mengenai lamanya pidana penjara tidak diatur dengan kalkulasi yang baku, tetapi didalamnya hakim memiliki kebebasan untuk menentukan lamanya penghukuman. Pertimbangan hakim dalam menentukan penghukuman dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk didalamnya sikap terdakwa di persidangan. Namun, penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai faktor yang meringankan pidana dapat bervariasi antara putusan yang satu dengan putusan yang lain. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan dalam penjatuhan hukuman.

Polite behavior is a fundamental requirement in social activities within the community, including in the judicial process. However, there is no universal interpretation of courtroom decorum. Although there is no consensus on the precise definition of defendant's courtesy in court as mitigating circumstances, generally the behavior of defendants' courtesies emphasizes respect for courtroom decorum. Several court decisions have used the polite behavior of the defendant as a mitigating factor in sentencing. Even though there is no specific provision stating that politeness can be used as a basis for mitigating sentences, several court decisions considered the polite behavior of the defendant in court as a mitigating measure. However, this remains a matter of debate in society, as some people believe that simply behaving politely in court does not necessarily lead to a reduced sentence, which they consider unfair. The obligation of individuals to show respectful behavior in court is regulated by the Supreme Court through courtroom and security protocols. However, as to whether the modesty of the defendant in court can be specifically considered as a mitigating factor, there is no rule that the courtesy of the defendant in court can reduce the sentence. Determination of the length of imprisonment is not regulated by a fixed calculation, but at the discretion of the judge. The judge's consideration in determining the sentence is influenced by various factors, including the behavior of the accused in court. However, the use of the defendant's polite behavior in court as a mitigating measure may vary between decisions of different courts. In this study, the authors analyze the use of the defendant's polite behavior in court as a consideration in sentencing. Although there are no normative rules governing this, courtroom practice shows that the polite behavior of the accused in court can be considered a mitigating factor in sentencing. However, based on the findings of this study, the researcher concludes that "polite behavior of the accused in court" is not treated as a condition that automatically reduces criminal penalties, considering that behaving politely in court is an obligation for everyone present in the courtroom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasmi Nindita
"Zakat merupakan ibadah wajib umat Islam yang penyelesaian sengketanya adalah di peradilan agama. Namun, penegakan sanksi pidana terhadap perkara zakat belum ditemukan implementasinya pada putusan peradilan agama melainkan ada pada putusan peradilan umum yang tugas dan fungsinya adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata. Penulisan mengenai penegakan sanksi pidana ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, yaitu mengkaji peraturan dalam perundangan nasional beserta penerapannya ditambah analisis keputusan lembaga peradilan menggunakan teori integratif keislaman. Analisis dari putusan terhadap obyek perkara berupa harta zakat yang dikorupsi dan kajian peraturan yang terkait pengelolaan zakat, menunjukan peluang adanya kesempatan pemidanaan atas perkara zakat untuk diselesaikan di peradilan agama. Peluang ini dapat terlihat pada Pasal 2 UU Nomor 3 tahun 2006, yaitu dihilangkannya kata ‘perdata’ dari perundangan sebelumnya. Selain itu, hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa wewenang peradilan umum dapat dikecualikan dengan adanya wewenang peradilan lain yang diatur khusus dalam UU. Komitmen bersama antara lembaga leglisatif, eksekutif, dan yudikatif, menjadi tantangan untuk merealisasikan peluang diselesaikannya penegakan sanksi pidana mengenai pengelolaan zakat di peradilan agama.

Zakat is a mandatory form of worship according to the Islamic practice which its dispute settlement is conducted in the Islamic court. However, the enforcement of criminal sanctions related to zakat cases has not been found in Islamic court decisions rather in general court decisions whose duties and functions are to examine, decide, and resolve criminal and civil cases. This thesis writing regarding to the enforcement of criminal sanctions is carried out using the normative juridical method, which examines regulations in national legislation and their application as well as analyses the decisions of judicial institutions using Islamic integrative theory. The analysis of the verdict on the object of the case in the form of corrupted zakat assets and review of regulations related to zakat management, shows that there is an opportunity for the punishment of zakat cases to be resolved in the Islamic court. This opportunity can be seen in Article 2 of Law Number 3 of 2006, namely the removal of the word “civil” from the previous legislation. In addition, this is related to the provision that states the powers of the general court can be exempted by the existence of other judicial powers that are specifically regulated in law. Building joint commitment between the legislative, executive, and judicial institutions serve as a major challenge in order to realize the opportunity to resolve the enforcement of criminal sanctions regarding the management of zakat in Islamic courts.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Sintong Agum Gumelar
"Beberapa dekade terakhir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendapatkan sorotan dari publik. Berbagai isu berkembang terkait bidang perpajakan, diantaranya yaitu mengenai pemberlakuan Tax Amnesty> (pengampunan/penghapusan denda pajak), terjadinya pengemplangan pajak oleh para pengusaha, hingga gaya hidup para pegawai pajak. Hal ini memicu penurunan kepercayaan warga negara yang membayarkan sejumlah pajak kepada negara terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kurangnya pengawasan dan banyak celah hukum dalam regulasi perpajakan di negara Republik Indonesia menjadi penyebab seseorang berani melakukan tindak pidana perpajakan. Salah satu kasus yang ditemukan yaitu putusan Mahkamah Agung No. 2632 K/ Pid.Sus/2020 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi No. 109/ Pid.Sus/2019/ PT. YYK. Dalam hal ini CV. Prima Alam Sejahtera telah mendapat putusan hakim yang menyatakan bahwa telah melakukan tindak pidana sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 39 (1a) dan (1c) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam hal ini yang bertanggungjawab atas tindakan berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh korporasi yaitu sekutu Comanditer dan sekutu Komplementer. Hal ini sesuai dengan teori pertanggungjawaban pidana yaitu strict liability. Menurut beberapa literatur, bahwa CV. Prima Alam Sejahtera dapat dikenakan dengan Pasal 263 KUHP dan Pasal 264 KUHP mengenai tindak pidana pemalsuan dokumen. Hal ini bersesuaian dengan teori Samenloop Van Strafbare Feiten, yang artinya bahwa seseorang dapat melakukan beberapa tindak pidana dalam satu waktu, namun hanya dijatuhkan hukuman terberat atas tindak pidana yang dilakukannya. Oleh sebab itu, hakim memilih menjatuhkan hukuman pemidanaan sesuai dengan Pasal 39 (1a) dan (1c) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Untuk melihat pengenaan sanksi pidana dan sanksi denda yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana perpajakan, maka dilakukan penulusuran melalui website Mahkamah Agung terhadap beberapa putusan tindak pidana perpajakan. Berikut beberapa putusan terkait tindak pidana korporasi (perpajakan) diantaranya yaitu Putusan Mahakamah Agung No. 2632 K/Pid.Sus/2020, Putusan Mahkamah Agung No. 2486 K/Pid.Sus/2018, Putusan Mahkamah Agung No. 4147 K/Pid.sus/2019,  Putusan Mahkamah Agung No. 1609 K/Pid.Sus/2018, dan Putusan Mahkamah Agung No. 2619 K/ Pid.Sus/2015.

In the last few decades, the Directorate General of Taxes (DGT) has received scrutiny from the public. Various issues are developing related to the field of taxation, including regarding the implementation of Tax Amnesty (forgiveness/removal of tax fines), the occurrence of tax evasion by entrepreneurs, to the lifestyle of tax officials. This has triggered a decline in the confidence of citizens who pay a number of taxes to the state towards the Directorate General of Taxes (DGT). The low level of supervision and the many legal violations in tax regulations in the Republic of Indonesia are the reasons why someone dares to commit a tax crime. One of the cases found was the Supreme Court decision No. 2632 K/Pid. Sus/2020 Jo. High Court Decision No. 109/Pid. Sus/ 2019/PT. YYK. In this case CV. Prima Alam Sejahtera has received a judge's decision stating that it has committed a crime in accordance with what is stated in Article 39 (1a) and (1c) of Law Number 6 of 1983 concerning General Provisions and Tax Procedures. In this case those responsible for actions in the form of policies issued by the corporation are the Limited partners and Complementary partners. This is in accordance with the theory of criminal liability, namely strict liability. According to some literature, that CV. Prima Alam Sejahtera can be charged with Article 263 of the Criminal Code and Article 264 of the Criminal Code regarding the crime of forging documents. This is consistent with the theory of Samenloop Van Strafbare Feiten, which means that a person can commit several crimes at one time, but only be subject to the heaviest penalties for the crimes he commits. Therefore, the judge chose to impose a criminal sentence in accordance with Article 39 (1a) and (1c) of Law Number 6 of 1983 concerning General Provisions and Tax Procedures. To see the imposition of criminal sanctions and fines used by judges in deciding tax criminal cases, a search was carried out through the Supreme Court website for several decisions on tax crimes. The following are several decisions related to corporate crime (taxation), including the Supreme Court Decision No. 2632 K/Pid.Sus/2020, Supreme Court Decision No. 2486 K/Pid.Sus/2018, Supreme Court Decision No. 4147 K/Pid.sus/2019, Supreme Court Decision No. 1609 K/Pid.Sus/2018, and Supreme Court Decision No. 2619 K/Pid. Sus/2015."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Wijoyo Soepandji
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22199
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>