Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192959 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufiq Prabowo
"Latar Belakang: Blok aksilaris dikatakan berhasil bila tidak hanya saraf ulnaris, medianus dan radialis saja yang dapat terblok, tetapi juga saraf muskulokutaneus. Ternyata saraf muskulokutaneus di regio fossa aksilaris sudah keluar dari selubung neurovaskular dan berada jauh dari arteri aksilaris, sehingga memerlukan blok terpisah bila menggunakan stimulator saraf. Perubahan posisi lengan dapat membuat susunan saraf di regio fossa aksilaris berubah, salah satunya jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris makin mendekat sehingga dapat memudahkan melakukan blok aksilaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh posisi lengan yang memberikan jarak optimal antara jarak saraf muskulokutaneus dengan arteri aksilaris di regio fossa aksilaris pada ras Melayu.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang pada orang dewasa ras Melayu yang berusia antara 18 hingga 60 tahun dengan rentang waktu dari Juli sampai dengan September 2018. Sebanyak 79 subjek penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Subjek penelitian akan diposisikan tidur terlentang dan ada tiga perubahan posisi lengan saat pengukuran yaitu: (1) posisi A (lengan abduksi 90° dan siku 0°), (2) posisi B (lengan abduksi 90° dan siku 90°) dan (3) posisi C (lengan abduksi dan lengan bawah fleksi dengan tangan menyentuh bagian belakang kepala). Pengukuran tiap perubahan posisi lengan dari jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris menggunakan pencitraan ultrasonografi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji repeated ANOVA.
Hasil: Perubahan posisi lengan secara signifikan dapat mengubah jarak saraf muskulokutaenus ke arteri aksilaris (p <0,001). Dari ketiga posisi lengan, posisi C adalah posisi lengan dengan jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris paling dekat dengan rerata 13,27±3,95 mm.
Simpulan: Posisi C menghasilkan jarak yang paling dekat antara saraf muskulokuteneus ke arteri aksilaris, namun jarak yang didapatkan bukan jarak optimal untuk melakukan blok aksilaris.

Background: Successful axillary block happens if not only the ulnar, median and radial nerve are blocked, but also the musculocutaneous nerve. Evidently, musculocutaneous nerve in axillary fossa is already out of the neurovascular sheath and far from the axillary artery. This condition requires a separate block when using a nerve stimulator. Varying arm positions can influence the nervous system in axillary fossa changing, which later makes the distance of the musculocutaneous nerve to the axillary arteries getting closer and much more easier to do the axillary block. This study aimed to determine which arm position give unsurpassed distance of musculocutaneous nerve to axillary artery in the axillary fossa of Malay race.
Method: This study was an observational study with a cross-sectional design to Malay race of the ages of 18 to 60 years old. It was conducted from July to September 2018. By using a consecutive sampling, a total of 79 volunteers were recruited. Each volunteer lied in supine with three changes of arm positions: (1) position A (abduction arm 90 ° and elbow 0 °), (2) position B (abduction arm 90 ° and elbow 90 °) and (3) position C (abduction arm and forearm flexion with hands touching the back of the head). Each changes of the arm positions was measured by using ultrasonography-guided. Then, the data obtained were analyzed by using repeated ANOVA.
Results: Significantly, varying of arm position can change the distance of musculocutaneous nerve to axillary artery (p <0.001). Among the three arm positions, position C is the finest position which give closest distance of the musculocutaneous nerve to the axillary artery for a mean of 13.27 ± 3.95 mm.
Conclusion: Position C is the closest distance of musculokutaenus nerve to axillary artery, but not the optimal distance to do axillary block."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Hirda
"Latar Belakang: Teknik blok saraf femoralis dengan menggunakan stimulator saraf merupakan teknik yang sering digunakan di Indonesia. Teknik ini memerlukan pemahaman tentang landmark anatomi yang baik. Terdapat perbedaan anatomi antara ras Melayu dengan ras Kaukasoid dan ras Mongoloid sehingga menyebabkan perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis yang menjadi landmark untuk blok saraf femoralis. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui pengaruh eksorotasi tungkai bawah terhadap jarak saraf femoralis dan arteri femoralis pada lipatan inguinalis dengan menggunakan panduan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.
Metode: Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang akan menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 30 subjek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Februari 2016. Ultrasonografi dua dimensi digunakan untuk mendapatkan gambaran saraf femoralis pada empat posisi dari kedua tungkai bawah yaitu: eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o . Data yang diperoleh adalah jarak saraf ke arteri dan jarak saraf ke kulit. Dengan menggunakan SPSS 20 dilakukan uji Anova untuk melihat perbedaan jarak saraf femolis ke arteri femoralis pada keadaan berbagai sudut eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o dan uji t melihat perbedaan jarak saraf femolis ke arteri femoralis antara kaki kanan dan kaki kiri. Analisis post hoc dengan uji Bonferroni juga dilakukan untuk melihat perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis yang signifikan antar derajat eksorotasi tungkai bawah pada kaki kanan dan kaki kiri.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna jarak saraf femoralis dan arteri femoralis pada ras Melayu di Indonesia antara berbagai derajat eksorotasi 0o, 15o, 30o dan 45o pada kaki kanan maupun kaki kiri dengan nilai p < 0,001. Tidak ada perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis pada kaki kanan maupun kaki kiri antara semua derajat eksorotasi. Tidak ada perbedaan bermakna jarak saraf femoralis ke kulit antara eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o.
Simpulan: Terdapat pengaruh eksorotasi tungkai bawah terhadap jarak saraf femoralis dan arteri femoralis di lipatan inguinalis pada ras Melayu di Indonesia yaitu semakin besar sudut eksorotasi tungkai bawah semakin jauh jarak saraf femoralis ke arteri femoralis.

Background: Femoral nerve block with nerve stimulation guidance technique is a technique that has been widely practiced in Indonesia. A good anatomical landmark is a requirement to have a succesfull femoral nerve block. There are anatomical differences between the Malay race with Caucasian and Mongoloid race, causing a different position of the femoral nerve from the femoral artery which is the landmarks for femoral nerve block. The objective of this study is to know the effect of the lower extremity exorotation to the distance between the femoral nerve and the femoral artery on the inguinal crease using ultrasound guidance in Indonesia Malay race.
Methods: This study was an observational with cross sectional design in patients undergoing elective surgery at Surgical Center Installation Cipto Mangunkusumo. This study has been approved by FKUI-RSCM Research Ethical Committee Jakarta. A total of 30 obtained by consecutive sampling in February 2016. Two-dimensional ultrasonographic images of the femoral nerve were obtained using an ultrasound unit in the inguinal crease, for four positions of the bilateral lower extremities: 0°, 15°, 30°and 45° exorotation of each extremity. The following assessments were made in each position: nerve to artery distance and nerve to skin distance . By using SPSS 20 do Anova test to see the difference between the nerve femoralis into the femoral artery in the exorotation state of various angles below 0 °, 15 °, 30 ° and 45o .T test see the difference within nerve femoralis into the femoral artery of the right side and left side.
Results: There are significant differences within the femoral nerve and femoral artery between various degrees exorotation 0o, 15o, 30o and 45o on the right and the left with p <0.001. There is no difference within the femoral nerve into the femoral artery on the right and left in all degrees of exorotation. There is no significant difference in the distance between the femoral nerve to the skin of the lower extremity exorotation 0o, 15o, 30o and 45o.
Conclusion: There is effect of the lower extremity exorotation to the distance between the femoral nerve and the femoral artery on the inguinal crease in Indonesia Malay Race. The greater degrees of lower extremity exorotation make the futher distance the femoral nerve into the femoral artery."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stesy Natassa
"Latar Belakang: Penanda anatomi yang dipakai pada anestesia spinal adalah ruang sela tulang belakang setinggi L4-L5. Letak ruang sela tulang L4-L5 selama ini dianggap tepat berada pada garis Tuffier yang merupakan garis khayal transversal yang menghubungkan kedua krista iliaka. Letaknya sangat bervariasi karena pengaruh beberapa faktor seperti adanya perbedaan ras, jenis kelamin, usia, dan faktor antropometrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan panduan ultrasonografi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani anestesia spinal di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Februari-Mei 2017 setelah mendapatkan izin dari komite etik. Sebanyak 93 subjek diambil dengan metode consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan uji Mann Withney dan uji Pearson, kemudian dilakukan analisis multivariat dengan metode regresi linier berganda untuk memperoleh formula prediksi jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu.
Hasil: Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier adalah -2.59 1.58 cm. Analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tinggi badan dan jenis kelamin terhadap jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak yang diperoleh pada penelitian ini adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm.
Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelamin dan tinggi badan terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak antara ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada subjek ras Melayu dewasa adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm . Kata kunci: garis Tuffier ndash; ras Melayu dewasa-ruang sela tulang belakang L4-L5 ndash; Ultrasonografi

Background The anatomical marker used in spinal anesthesia is L4 L5 interspace. The L4 L5 interspace is thought to be right on the Tuffier`s line which connects the two highest point on the iliac crest. The location of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line varies greatly due to the influence of several factors such as differences in race, sex, age, and anthropometric factors. This study aimid to examine the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance of L4 L5 interspace from Tuffier`s line among Malay race patients using ultrasound guidance at Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods This was an observational analytic study with cross sectional design. Following assessment the ethics committee, patients undergoing spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital in February May 2017 were admitted in the study.. A total of 93 subjects were included by using the consecutive sampling method. Statistical analysis was performed to find the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance L4 L5 interspace from Tuffier`s line using Mann Withney and Pearson test. Additionally, multivariate analysis with multiple linear regression method was used to obtain the prediction formula of the distance between L4 L5 interspace to the Tuffier`s line on the Malay race.
Result This study generated that the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier line is 2.59 1.58 cm. Correlation analysis showed a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace and the Tuffier`s line. The distance prediction formula obtained in this study is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm.
Conclusion There was a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line. The distance prediction formula between L4 L5 interspace and Tuffier`s line on adult Malay race subject is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm . Keywords adult Malay race L4 L5 interspace Tuffier`s line Ultrasonography.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Hardi Utama
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pungsi arteri femoralis yang tidak disengaja pada saat
kanulasi vena femoralis memiliki insiden yang cukup tinggi(20-50%).
Penambahan fleksi lutut pada posisi abduksi-eksorotasi(posisi kodok)
meningkatkan luas lintang vena femoralis. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh posisi kodok, posisi abduksi-eksorotasi dan posisi
anatomis terhadap jarak antara arteri dan vena femoralis.
Metode. Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan
rancangan potong lintang pada satu kelompok dengan pengukuran
berulang. Jarak arteri-vena, dan lebar sisa vena diukur pada tiga posisi
berbeda, masing-masing sebanyak dua kali. Pertama gambar diambil
pada semua pasien oleh satu operator dan mesin ultrasonografi yang
sama. Setelah itu dilakukan pengukuran pada gambar dengan fitur
kaliper pada mesin ultrasonografi oleh operator yang berbeda.
Hasil. Penambahan jarak arteri-vena femoralis yang terbesar tampak
pada perubahan posisi dari posisi anatomis ke posisi kodok (2.7 mm
(95%CI: 2.2-3.2 mm), diikuti dengan perubahan dari posisi anatomis ke
posisi abduksi-eksorotasi (2.1 mm (95%CI: 1.7-2.5mm).
Simpulan. Jarak antara arteri dan vena femoralis pada posisi kodok
lebih besar dibandingkan kedua posisi lainnya.

ABSTRACT
Background: The incidence of unintentional arterial puncture during
cannulation of femoral vein was high(20-50%). The addition of knee
flexion to abcudtion-exorotation position(frog position) have been shown to increase the cross sectional area of femoral vein. The purpose
of this study is to compare the distance between femoral artery and vein in frog position, abduction-exorotation position and anatomical
position.
Method:. This study is an analytical observational study with cross
sectional design within one grup with repeated measurement. The
distance between artery and vein was measured in three position. The
measurement was taken twice for each position. First picture was taken
by one operator and one ultrasonography for all patient. Then another
operator measured the distances with caliper feature on the ultrasonograph.
Result: The artery-vein distance in frog position(7.26 +0.69 mm) was
greater than in abduction-exorotaion position(6.65 +0.94 mm) and
anatomical position(4.53 +1.99 mm). The difference of the artery-vein
distance between frog and anatomical position was 2.7mm(95%CI: 2.2-
2.3 mm).
Discusion: The frog position provided the greatest distance between
femoral artery and vein"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadli Rokyama
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan kateter vena sentral yang semakin banyak seiring meningkatnya mutu pelayanan kesehatan di kamar operasi dan ruang rawat intensif membuat risiko komplikasi juga semakin meningkat. Ultrasonografi direkomendasikan untuk menurunkan insiden komplikasi kanulasi vena jugularis interna. Namun, keterbatasan akses dan ketersedian ultrasonografi membuat metode penanda anatomi masih diminati walaupun insiden komplikasi mencapai 19 Merrer, 2011 , sehingga posisi yang tepat diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi. Rotasi kepala pada sudut tertentu mempengaruhi posisi vena jugularis interna dan arteri karotis. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional denga rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 34 subyek diambil dengan metode consecutive sampling pada bulan Oktober 2016. Jarak dan rasio overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid diukur dengan menggunakan ultrasonografi dua dimensi pada sudut rotasi kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o. Data diolah menggunakan program SPSS 21. Uji Anova digunakan untuk melihat hubungan jarak vena dan rasio overlapping jugularis interna terhadap arteri karotis dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid pada ras Melayu di Indonesia pada sudut rotasi kepala kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o p < 0,001 . Terdapat hubungan antara berat badan dan tinggi badan terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis. Tidak Terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia dan Indeks Massa Tubuh IMT terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis.Simpulan: Terdapat pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Kata kunci: rotasi kepala kontra lateral, jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis, ras Melayu ABSTRACT Background The use of central venous catheters are widely increasing as well as improvement of health care quality in the operating theather and the intensive care unit. Complication incidences also increasing too. Ultrasound is recommended to decrease complication of internal jugular vein cannulation. However, limited access and availability to ultrasound makes anatomical landmark methods still in demand even though the incidence of complications was 19 Merrer, 2011 , exact position is expected to reduce the incidence of complications. Certain head rotation the position of the internal jugular vein and carotid artery. This study aims the effect of contra lateral head rotation to distance and overlapping of internal jugular vein and carotid artery at cricoid cartilage level by ultrasound guidance on the Malay race in Indonesia. Methods This study was analytical observational with cross sectional design in patients undergone elective surgery at Central Surgery Unit RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. After getting approval from ethics committee and informed consent, 34 subjects were taken with consecutive sampling method in October 2016. Distance and overlapping ratio the internal jugular vein to carotid artery at cricoid level was measured using two dimensional ultrasound in contra lateral head rotation angle of 0o, 30o, 45o, 60o. The data were processed using SPSS 21. Anova test used to view the relationships within the vein and internal jugular overlapping ratio of the carotid artery followed by post hoc Tukey test. Results There were significant differences on distance and overlapping of the internal jugular vein and carotid artery at cricoid level on the Malay race in Indonesia at contra lateral head rotation angle 0o, 30o, 45o, 60o p "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55670
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
"Latar belakang : Teknik blok popliteal menggunakan stimulator saraf masih menjadi pilihan di Indonesia. Keberhasilan blok meningkat jika pengetahuan dan pemahaman landmark anatomi baik. Landmark anatomi berupa jarak titik pereabangan saraf skiatik terhadap lipatan fossa popliteal dan kedalaman titik tersebut dari kulit. Perbedaan landmark anatomi dapat terjadi karena perbedaan ras akibat perbedaan ukuran tulang panjang dan massa otot. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kelamin, usia, dan data antropometri terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia dengan menggunakan panduan ultrasonografi. Metode : Penelitian bersifat analitik observasional dengan raneangan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Januari-April 2017 setelah medapatkan izin dari komite etik. Usaha meneari gambaran pereabangan saraf skiatik pada tungkai kanan dan kiri menggunakan ultrasonografi dua dimensi dilakukan pada 107 pasien yang akan menjalani operasi bedah tereneana di Instalasi Bedah Terpadu. Data yang diperoleh dianalisis melalui SPSS untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara jenis kelamin, usia tinggi badan, berat badan dan IMT terhadap landmark blok popliteal serta memperoleh formula prediksi landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia. Hasil : Pada penelitian ini diperoleh hubungan bermakna jenis kelamin, tinggi badan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke lipatan fossa popliteal dan hubungan bermakna berat badan, IMT terhadap jarak pereabangan saraf skiatik pada permukaan kulit dengan nilai p <0.005. Tinggi badan dorninan berpengaruh terhadap jarak pereabangan saraf skiatik dari lipatan fossa popliteal (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) sedangkan berat badan dominan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke permukaan kulit (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). Formula prediksi jarak pereabangan skiatik dari lipatan fossa popliteal (em) pada tungkai kanan - 12.548 + 0.133 x (Tb dalam em) dan tungkai kiri -6.549 + 0.091 x (Tb dalam em) + 0.63 x Jenis Kelamin. Formula prediksi jarak pereabangan skiatik ke kulit pada tungkai kanan 0.277 + 0.288 x (BB dalam kg) dan tungkai kiri 0.319 + 0.028 x (BB dalam kg) Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelarnin dan data antropometrik terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia.

Background : Popliteal nerve block with nerve stimulator remains as peripheral nerve block of choice in Indonesia. The successfulness of such block increases with better knowledge of anatomical landmark is the distance between the point of sciatic nerve to the popliteal fossa crease. The anatomical landmark might differ between races due to different bone length and mucle mass. This study aimed to observe the influence between races, age, and anthropometric data to the landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia by using ultrasonography guidance. Methods : This was an observational analytic study with cross-sectional design. This study was held ini Cipto Mangunkusumo Hospital from January-April 2017 following approval from ethical committee. An attempt to find the sciatic nerve branch on the left and right limb by using ultrasonography was done in I 07 patients undergoing surgery. Data was analysed by using SPSS to observe the relationship between age, sex, body weight and height, and BMI to such landmark Result : This study generated that sex and body height had strong association with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease. Strong association was also observed between body weight and BMI to such distance. Body height was associated with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) while body weight was associated with the distance of sciatic nerve branch to skin surface (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (em) in right limb was -12.548 + 0.133 x (body height in em) and in left limb was -6.549 + 0.091 x (body height in em) + 0.63 x age. The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the skin surface (em) in the right limb was 0.277 + 0.288 x (body weight in kg) and in left limb was 0.319 + 0.028 x (body weight in kg) Conclusion: Sex and anthropometric data were associated with the anatomical landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2017
T58309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Nuraeni
"Arteri etmoidalis anterior (AEA) adalah landmark penting pada tindakan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.Tomografi komputer dapat mengidentifikasi landmark AEA yang dapat membantu dokter bedah untuk menemukannya.
Tujuan penelitian: untuk mencari hubungan adanya pneumatisasi supraorbita dan konfigurasi fosa olfaktorius dengan posisi AEA menggantung di bawah basis kranii serta untuk mengetahui proporsi variasi posisi anatomi AEA terhadap basis kranii.
Metode penelitian: retrospektif terdiri dari 552 CT kepala tanpa kontras teknik MPR yang terbagi dalam 4 kelompok, masing-masing 138 sampel.
Hasil penelitian: pneumatisasi supraorbita (OR= 106 (IK95%: 49,06 - 230,61)) dan fosa olfaktorius tipe dalam (OR= 2,55 (IK95%: 1,51 - 4,31)) merupakan faktor risiko adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii,dengan model formula probabilitas AEA menggantung = 1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x pneumatisasi supraorbita - 0.936 x tipe fosa olfaktorius)}. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii sebanyak 62% dan posisi AEA tepat setinggi basis kranii sebanyak 38%.
Kesimpulan: Pneumatisasi supraorbita dan fosa olfaktorius tipe dalam meningkatkan kemungkinan adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii dengan pneumatisasi supraorbita merupakan faktor risiko dominan dibandingkan fosa olfaktorius. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii lebih banyak dibandingkan posisi AEA tepat setinggi basis kranii.

The anterior ethmoidal artery (AEA) is an important landmark for FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery). CT scan can identify landmark AEA to help the ENT surgeons find the AEA.
Aim: to correlate the presence of supraorbital pneumatization and olfactory fossa with the free AEA under the skull base, and to get proportion of AEA variations from the skull base.
Material and methods: Retrospective review of 552 paranasal sinus and head CT scans with Multi Planar Reformattion (MPR) technique that consists of 4 group.
Result: Supraorbita pneumatization (Odds Ratio = 106 (CI95%: 49,06 to 230,61)) dan deep olfactory fossa (Odds Ratio = 2.55 (CI95%: 1,51 to 4,31)) are the risk factors for the presence of the free AEA under the skull base, with probability formula of the free AEA =1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x supraorbita pneumatization - 0.936 x configuration of olfactory fossa)}. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is 62% and the proportion of the AEAs that course in the skull base is 38%.
Conclussion : Supraorbita pneumatization and the deep olfactory fossa increase probability of the free AEAs that course under the skull base where supraorbita pneumatization is the dominan risk factor compare to olfactory fossa. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is more than the AEAs that course in just the skull base.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roniza Basri
"Latar belakang: Skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD) banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi kemampuan memprediksi kesulitan visualisasi laring (DVL) dari prediktor preoperatif baru yaitu rasio lingkar leher (NC) terhadap jarak tiromental TMD dibandingkan dengan skor Mallampati dan jarak tiromental.
Metode: Sebanyak dua ratus tujuh belas pasien yang menjalani anestesia umum untuk bedah elektif dievaluasi dengan menggunakan skor Mallampati, TMD dan rasio NC/TMD. Dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan nafas adalah skor Mallampati III dan IV, < 6,5 cm, ≥ 5. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan dan dibandingkan nilai area dibawah kurva (AUC), sensitifitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan nafas.
Hasil: Kesulitan untuk memvisualisasi laring ditemukan pada 20 (9,7%) pasien. Area dibawah curve (AUC) rasio NC/TMD (96,2%) lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (64%) dan TMD (83%).
Kesimpulan: Akurasi rasio NC/TMD lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati dan TMD.

Background: Mallampati score and thyromental distance (TMC) has widely use to identify potentially difficult laringoscopies preoperative, however it's predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from new preoperative airway predictors neck circumference ratio to thyromental distance (NC/TMD) compare to Mallampati score and thyromental distance.
Methods: Two hundred and seventeen consecutive patients undergoing general anesthesia for elective surgery were evaluated using the Mallampati score, TMD, NC/TMD ratio and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati score III and IV; ≤ 6,5 cm; ≥ 5. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grade III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictors were determined and compared.
Result: Difficult to visualize the larynx was found in 20 (9,7%) patients. The AUC of NC/TMD ratio (96,2%) is better tcompared to TMD (83%) and much better if compared to Mallampati score (64%).
Conclusion: NC/TMD ratio had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than Mallampati score and TMD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Wahyudi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kami mengevaluasi kegunaan dari pemeriksaan rasio jarak
hiomental (HMDR,hyomental distance ratio), yang didefinisikan sebagai rasio
dari jarak hiomental (HMD,hyomental distance) posisi kepala ekstensi maksimal
dengan posisi kepala netral, dalam memprediksi kesulitan visualisasi laring pada
pasien-pasien normal, yang dilakukan pemeriksaan prediktor-prediktor jalan
napas praoperasi dengan skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD,
tyhyromental distance) sebagai pembanding.
Metode Penelitian : Praoperasi, kami menilai empat prediktor jalan napas pada
169 orang dewasa yang menjalani anestesi umum. Pelaku laringoskopi adalah
residen anestesiologi minimal tahun ke 2, dan menilai skor Cormack-Lehane(CL)
yang dimodifikasi. Sulit visualisasi laring (DVL,difficult visualization of the
larynx) didefinisikan sebagai CL derajat 3 atau 4. Titik potong optimal (The cutoff
point) untuk setiap tes ditentukan pada titik maksimal daerah di bawah
kurva dalam kurva ROC (Receiver Operating Characteristic). Skor Mallampati
dengan derajat ≥ 3 sebagai prediktor DVL. Untuk TMD ≤ 65 mm dianggap
sebagai prediktor DVL.
Hasil : Didapatkan 21 (12,4%) orang pasien dengan sulit visualisasi laring(DVL).
HMDR memiliki hubungan yang bermakna terkait dengan DVL. HMDR dengan
titik potong optimal 1,2 memiliki akurasi diagnostik yang lebih besar (dengan area
di bawah kurva 0.694), dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0,05), dan
HMDR sendiri menunjukkan validitas diagnostik yang lebih besar (sensitivitas,
61,9%, spesifisitas, 69,6%) dibandingkan dengan prediktor lainnya.
Kesimpulan :HMDR dengan ambang batas uji 1,2 adalah prediktor klinis handal
dalam memprediksi kesulitan dalam visualisasi laring.

ABSTRACT
Background: We evaluated the usefulness of the hyomental distance (HMD) ratio
(HMDR), defined as the ratio of the HMD at the extreme of the head extension to
that in the neutral position, in predicting difficult visualization of the larynx
(DVL) in apparently normal patients, by examining the following preoperative
airway predictors: the modified Mallampati test, HMD in the
neutral position, HMD and thyromental distance at the extreme of head extension
and HMDR.
Methods : Preoperatively, we assessed the four airway predictors in 169 adult
patients undergoing general anesthesia. A second years resident, performed all of
the direct laryngoscopies and graded the views using the modified Cormack and
Lehane scale. DVL was defined as a Grade 3 or 4 view. The optimal cutoff points
for each test were determined at the maximal point of the area under the curve in
the receiver operating characteristic curve. For the modified Mallampati test,
Class ≥ 3 was predefined as a predictor of DVL. And thyromental distance (TMD)
≤ 65 mm was predefined as a predictor of DVL.
Results : The larynx was difficult to visualize in 21 (12,4%) patients. The HMDR
with the optimal cutoff point of 1.2 had greater diagnostic accuracy (area under
the curve of 0.694), with significantly related to DVL (P <0.05), and it alone
showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity, 61,9%; specificity,
69,6%) than any other predictor.
Conclusions : The HMDR with a test threshold of 1.2 is a clinically reliable
predictor of DVL."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>