Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150442 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benedictus Krisna
"ABSTRAK
Jenazah untuk pendidikan anatomi kedokteran (kadaver) umumnya diawetkan dengan formalin untuk mencegah proses pembusukan selama rentang waktu penggunaannya. Namun, karena formalin merupakan pengawet yang poten, tanpa netralisasi, setelah dikebumikan, kadaver akan sulit diuraikan sehingga berpotensi menjadi polutan. Larutan amonium karbonat telah diketahui dapat menetralkan larutan formalin, tetapi belum pernah dilaporkan apakah amonium karbonat dapat digunakan untuk menetralkan formalin dalam tubuh kadaver sehingga jasad dapat mengalami dekomposisi sempurna. Oleh karena itu, dilakukan percobaan dengan hewan coba mencit (Mus musculus) untuk mengetahui apakah berbagai organ mencit berformalin dapat dinetralkan dengan amonium karbonat dan mengalami dekomposisi setara dengan organ-organ mencit tanpa formalin. Pada penelitian eksperimental ini mencit (n=18) dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tidak diawetkan (tanpa formalin; n=6), diawetkan dengan formalin (konsentrasi awal 10%, konsentrasi lanjut 4%; n=6), dan diawetkan formalin lalu dinetralkan dengan amonium karbonat (konsentrasi 25%; n=6). Agar menyerupai proses pemakaman pada manusia, sebelum dikebumikan mencit beserta organnya dimandikan dengan air dan dibungkus kain kafan. Pengamatan proses dekomposisi, yaitu skor tahapan dekomposisi dan persentase penurunan berat organ (usus, hati, otot, jantung, paru, dan otak) dilakukan setiap minggu. Dari total enam minggu pengamatan, diketahui bahwa skor tahapan dekomposisi dan persentase penurunan berat organ-organ mencit kelompok amonium karbonat lebih besar dari kelompok formalin, tetapi lebih kecil dari kelompok tanpa formalin. Disimpulkan bahwa penetralan berbagai organ mencit berformalin dengan 25% amonium karbonat mampu meningkatkan proses dekomposisi organ-organ tersebut, walaupun belum setara dengan jasad mencit tanpa formalin (tanpa diawetkan).

ABSTRACT
Corpse for medical anatomy education (cadaver) is generally preserved by formalin to prevent the decay process during the period of its use. However, because formalin is a potent preservative, without neutralization, after being buried, cadavers will be difficult to decompose and potentially become pollutants. Ammoniumcarbonate solutions have been known to neutralize formalin solutions, but it has never beenreported whether ammoniumcarbonate can be used to neutralize formalin in cadaveric bodies so that the body can experience perfect decomposition. Therefore, experiments with mice (Mus musculus) were conducted to determine whether the organ of formalin mice can be neutralized with ammoniumcarbonate and experience decomposition equivalent to the organs of mice without formalin. In this experimental study mice (n = 18) were divided into three groups, namely not preserved (without formalin n = 6), preserved with formalin (initial concentration 10%, following concentration 4%; n = 6), and preserved formalin then neutralized with ammoniumcarbonate (25% concentration; n = 6). In order to resemble the process of funeral in humans, before being buried miceswith their organs are bathed with water and wrapped in kafan cloth. Observation of the decomposition process, which is decomposition stage score and weight loss percentageof organs(intestine, liver, muscle, heart, lung, and brain) is carried out every week. From a total of six weeks ofobservation, it was found that the decomposition stage scores and the weight losspercentage of the ammoniumcarbonate group were greater than the formalin group, but smaller than the formalin-free group. It was concluded that neutralizing the organs of formalin mice with 25% ammoniumcarbonate was able to improve the decomposition process of those organs, although not equivalent to the organsof mice without formalin (without preserving)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Jordan Nehemiah Fiady
"Formalin adalah zat yang umum digunakan untuk mengawetkan jenazah dalam pendidikan kedokteran Mayat (mayat) yang diawetkan dengan formalin tidak mudah terurai sehingga dapat menimbulkan masalah antara lain mencemari tanah jika dikubur. Sebagai tindakan preventif, hal itu perlu dilakukan proses penetralan formaldehida pada mayat sebelum dimakamkan. Natrium bisulfit diketahui mampu menetralkan formaldehida dalam cairan limbah. Namun, belum saatnya
diketahui apakah natrium bisulfit mampu menetralkan formaldehida dalam jaringan. Untuk mengetahui apakah natrium bisulfit dapat menetralkan formaldehida dalam jaringan dan meningkatkan proses dekomposisi, studi telah dilakukan percobaan menggunakan tikus percobaan (Mus musculus, n = 18). Ada tiga kelompok mencit pada penelitian ini yaitu: tanpa pengawetan (n = 6, kelompok kontrol), dengan pengawetan formalin tanpa netralisasi (n = 6, kelompok formalin, konsentrasi primer 10% - konsentrasi sekunder 4%) dengan pengawetan dan netralisasi natrium bisulfit (n = 6, gugus natrium bisulfit, konsentrasi 12%). Tikus tersebut kemudian dikubur dan diamati setiap satu minggu selama enam minggu. Hasil observasi menunjukkan tidak ada perbedaan skor dekomposisi kelompok formalin dengan kelompok natrium bisulfit sedangkan kelompok kontrol mengalami dekomposisi lengkap seperti yang diperkirakan. Hasil ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit belum mampu menetralkan formalin jaringan tikus dan meningkatkan proses dekomposisi tikus yang diawetkan dengan formalin.

Formalin is a substance commonly used to preserve internal bodies medical education. The corpse (cadaver) preserved with formalin was not easily decomposed so that it can cause problems, among others pollutes the soil if it is buried. As a preventive measure, it needs to be done the process of neutralizing formaldehyde in cadavers before burial. Sodium bisulfite known to be able to neutralize formaldehyde in waste fluids. However, not yet it is known whether sodium bisulfite is able to neutralize formaldehyde in tissues. To find out whether sodium bisulfite can neutralize formaldehyde in network and improve its decomposition process, studies have been carried out experimental using experimental mice (Mus musculus, n = 18). There are three groups of mice in this study, namely: without preservation (n = 6, control group), with formalin preservation without neutralization (n = 6, group formalin, primary concentration 10% - secondary concentration 4%) with preservation and neutralization of sodium bisulfite (n = 6, sodium bisulfite group, concentration 12%). The mice were then buried and observed every one week for six weeks. The observation results showed that there was no difference in the decomposition score the formalin group with the sodium bisulfite group while the control group underwent complete decomposition as predicted. This result indicates that sodium bisulfite has not been able to neutralize formalin
mice tissue and enhance the decomposition process of preserved mice with formalin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liovicinie Andarini
"Formalin pada kadaver dapat menimbulkan masalah bagi sekitarnya, salah satunya memperlambat proses dekomposisi saat kadaver dikuburkan, sehingga perlu dilakukan penetralan. Salah satu senyawa yang dapat digunakan adalah ammonium klorida. Oleh karena itu, penelitian ini akan membandingkan kemampuan penetralan berbagai persentase larutan ammonium klorida terhadap formalin 4%. Penelitian ini menggunakan 18 ekor mencit (Mus musculus), dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu mencit yang diawetkan dengan formalin 4%, mencit yang diawetkan dan diberikan penetral ammonium klorida 20%, dan mencit yang diawetkan dan diberikan penetral ammonium klorida 40%. Mencit kemudian dikebumikan selama 5 minggu dan dinilai tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi kelompok formalin 4% lebih cepat dibandingkan kelompok ammonium klorida 20% dan 40%. Tidak adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok ammonium klorida 20% dan 40%. Peneliti menduga karena adanya pembentukan resin urea-formalin, serta pH tanah yang rendah juga menghambat perkembangan bakteri. Setelah itu, tidak dilakukan pengukuran kadar formalin di dalam jaringan sehingga masih ada kemungkinan terdapat formalin yang belum dinetralkan pada kelompok ammonium klorida 20% dan 40%, membuat tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut. Proses dekomposisi tungkai mencit yang diawetkan dengan formalin 4% lebih cepat dibandingkan yang dinetralkan dengan ammonium klorida. Tidak ada perbedaan antara proses dekomposisi antara tungkai mencit yang dinetralkan dengan ammonium klorida 20% dan 40%.

Formaldehyde in cadavers can cause many problems to the environment, one of them is by decreasing the decomposition rate when cadavers were buried, hence needed to be neutralized. One of the ways is by using ammonium chloride. This study aims to compare between different neutralizing ammonium chloride concentrations on the decomposition of preserved hindlimb of mice. This study uses 18 mice (Mus musculus) divided into three study groups, which is mice that is preserved with 4% formaldehyde, mice that is preserved and neutralized by 20% ammonium chloride, and mice that is preserved and neutralized by 40% ammonium chloride. Afterwards, the mice will be buried for 5 weeks and evaluated by the decomposition. The decomposition of 4% formaldehyde group is faster than 20% and 40% ammonium chloride group. There is no significant difference between 20% and 40% ammonium chloride group. Researcher suspects that this is due to the formation of urea-formaldehyde resin, and low soil pH that inhibits bacterial growth. Other than that, formaldehyde levels in the tissue of the mice are not measured, so there is still a possibility that the formaldehyde has not been neutralized, causing no difference between the two groups. Decomposition process of hindlimb that is preserved by 4% formaldehyde is faster than hindlimb that is preserved and neutralized by ammonium chloride. There is no significant difference between decomposition process of preserved hindlimb that is neutralized by 20% and 40% ammonium chloride."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Rosalind Ismantara
"Penggunaan kadaver sebagai media pembelajaran dalam pendidikan kedokteran telah berlangsung lama. Salah satu zat kimia yang banyak digunakan dalam pengawetan kadaver adalah formalin karena mampu memfiksasi jaringan dengan baik. Namun, penggunaan formalin juga memiliki dampak negatif karena kadaver yang diawetkan dengan formalin tidak mudah mengalami dekomposisi sehingga dapat mencemari tanah ketika kadaver dikebumikan. Sebagai upaya pencegahan, perlu dilakukan proses netralisasi formalin pada kadaver sebelum penguburan. Natrium karbonat dapat menetralkan formalin dalam bentuk asam format. Namun, belum pernah ada penelitian yang membuktikan apakah natrium karbonat mampu menetralkan formalin dalam jaringan. Maka dari itu, untuk mengetahui apakah natrium karbonat mampu menetralkan formalin jaringan, dilakukan studi eksperimental menggunakan hewan coba mencit (Mus musculus) sebanyak 18 ekor yang dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu tanpa pengawetan (kelompok kontrol, n=6), dengan pengawetan formalin tanpa netralisasi (kelompok formalin, n=6), dan dengan pengawetan formalin serta netralisasi dengan 30% natrium karbonat (kelompok natrium karbonat, n=6). Mencit dikuburkan dan diamati setiap minggu selama enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna pada persentase penurunan massa, bahwa persentase penurunan massa kelompok formalin lebih tinggi dari kelompok natrium karbonat. Kemudian, kecepatan tahapan dekomposisi mencit kelompok formalin lebih tinggi dari kelompok natrium karbonat. Disimpulkan bahwa 30% natrium karbonat belum mampu menetralkan jaringan tungkai mencit yang sudah diawetkan dengan formalin.

Cadaver have been used as learning media in medical education for a long time. One of the chemicals that is used in preserving cadaver is formalin because it can fix tissue well. However, this also has negative impact because the cadaver that is preserved with formalin is not easy to decompose so it can pollute the soil when the cadaver is buried. As preventive measure, it is necessary to carry out a formalin neutralization
process on cadaver before burial. Sodium carbonate can neutralize formaldehyde in the form of formic acid. However, there has never been a study that proves whether sodium carbonate is able to neutralize formalin in tissues. Therefore, to find out whether sodium carbonate is able to neutralize tissue formalin, an experimental study was conducted using
18 mice (Mus musculus) which were divided into three groups, namely without
preservation (control group, n=6), with formalin preservation without neutralization (formalin group, n=6), and with formalin preservation and neutralization with sodium carbonate (sodium carbonate group, n=6). The mice were buried and observed every week for six weeks. The results showed a significant difference in the percentage reduction in mass, that the percentage reduction in mass in the formalin group was higher than in the
sodium carbonate group. Then, the rate of decomposition of the formalin group of mice was higher than that of the sodium carbonate group. It was concluded that 30% sodium carbonate had not been able to neutralize the muscle tissue of mice that had been preserved with formalin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
[Depok, Depok]: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
T39972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Muliawati Putri
"ABSTRAK
Mahasiswa kedokteran sering terpapar formalin akibat penggunaannya sebagai bahan pengawet utama sediaan praktikum anatomi. Kegiatan pembelajaran di laboratorium anatomi juga diketahui mempengaruhi kondisi psikologis mahasiswa, seperti menimbulkan rasa takut, ansietas, tidak tega, dan stress/tertekan. Penelitian Kawamata dan Kodera (2004) menunjukkan bahwa kadar formalin di udara dan pada kadaver dapat dikurangi dengan menggunakan amonium karbonat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kondisi psikologis mahasiswa selama mengikuti praktikum anatomi dengan menggunakan ammonium karbonat 10% dan 20%. Segera setelah perlakuan kondisi psikologis positif dan negatif mahasiswa dinilai melalui modifikasi kuesioner Positive and Negative Affect Schedule (PANAS), dengan hasil output berupa perhitungan skor. Pada perlakuan pertama, sediaan praktikum anatomi disemprot dengan ammonium karbonat 10%, sedangkan pada perlakuan kedua sediaan praktikum anatomi disemprot dengan ammonium karbonat 20%. Sebanyak 62 mahasiswa laki-laki dan 119 mahasiswa perempuan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dilibatkan dalam studi kuasi eksperimental ini. Responden rata-rata berusia 18,6±0,7 tahun. Berdasarkan uji Wilcoxon tidak ditemukan perbedaan rerata bermakna antara skor kondisi psikologis positif mahasiswa selama mengikuti praktikum anatomi dengan menggunakan ammonium karbonat 10% maupun 20% (p>0,05). Sementara skor kondisi psikologis negatif mahasiswa menunjukkan perbedaan rerata yang bermakna (p=0,003). Skor kondisi psikologis mahasiswa ini tidak berhubungan dengan jenis kelamin dan usia (p>0,005).

ABSTRACT
Medical students are often exposed to formaldehyde due to its use as the primary preservative solution for anatomy preparation. Learning activities in the anatomy lab is also known to affect the psychological
condition of students, such as fear, anxiety, guilty, and stress. A study by Kawamata and Kodera (2004) showed that the level of formaldehyde in the air and on cadavers can be reduced by using ammonium carbonate. This study aimed to determine the differences in the psychological condition of the students during practical anatomy using 10% and 20% ammonium carbonate. Immediately after intervention, students positive and negative psychological condition were assessed with a modified Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) questionnaire, with total score as the output. In the first intervention, anatomy preparations were sprayed with 10% ammonium carbonate, while in the second intervention the anatomy preparations were sprayed with 20% ammonium carbonate. A total of 62 male students and 119 female students of the Faculty of Medicine Universitas Indonesia (FMUI) were involved in this quasi-experimental study. Respondents had age average of 18.6 ± 0.7 years. Based on the Wilcoxon test, there was no significant mean difference between the scores of students’ positive psychological condition during the practical anatomy using 10% and 20% ammonium carbonate (p> 0.05). While the negative psychological condition score of students showed a significant mean difference (p = 0.003). This scores is not related to gender and age (p> 0.005)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Permata Sari
"Pencemaran makanan oleh zat aditif seperti formalin dan melamin merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pengembangan metode yang mudah, cepat, dan sensitif untuk mendeteksi formalin dan melamin sangat penting, salah satunya dengan nanopartikel Au (AuNP). Dalam sintesis AuNP seringkali digunakan bahan yang mencemari lingkungan. Pada penelitian ini berhasil dikembangkan green synthesis AuNP dengan ekstrak kulit manggis (EKM) (Garcinia Mangostana L.) yang berpotensi sebagai pendeteksi formalin dan melamin.
Hasil partisi, kromatografi kolom, KLT, dan karakterisasi dengan spektrofotometer FTIR dan LC-MS menunjukkan bahwa senyawa aktif yang terkandung dalam EKM yang diusulkan adalah senyawa aktif turunan flavonoid. Pada kondisi optimum sintesis AuNP@EKM diperoleh λmaks 531 nm (22 nm). AuNP@EKM stabil selama 17 hari dengan λmaks 530-532 nm. Hasil karakterisasi spektrofotometer UV-Vis dan PSA menunjukkan AuNP@EKM berpotensi mendeteksi formalin dan melamin ditandai dengan pergeseran λmaks dan perubahan warna koloid AuNP@EKM akibat adanya interaksi hidrogen.

Contamination of food additives such as formaldehyde and melamine is familiar in this recent cases. Developments of easy, rapid, and sensitive methode to detect formaldehyde and melamine are precisely very important and one of the methodes is detection with gold nanoparticles (AuNP). In synthesis of AuNP, often used materials that pollute the environment. This research has successfully developed green synthesis AuNP with mangosteen peel extract (MPE) (Garcinia Mangostana Contamination of food additives such as formaldehyde and melamine is familiar in this recent cases. Developments of easy, rapid, and sensitive methode to detect formaldehyde and melamine are precisely very important and one of the methodes is detection with gold nanoparticles (AuNP). In synthesis of AuNP, often used materials that pollute the environment. This research has successfully developed green synthesis AuNP with mangosteen peel extract (MPE) (Garcinia Mangostana L.) that had potentiality as detector for formaldehyde and melamine.
The results of the partition, column chromatography, TLC, and characterization by FTIR spectrophotometer and LC-MS showed that the active compound contained in MPE is flavonoid derivative active compound. The optimum condition of AuNP@MPE synthesis was obtained at λmaks 531 nm (22 nm). AuNP@MPE stable for 17 days with λmaks 530-532 nm. The results of characterization of UV-Vis spectrophotometer and PSA showed that AuNP@MPE has potentiality to detect formaldehyde and melamine. It characterized by shifting of λmaks and discoloration of the colloidal AuNP@MPE due to the interaction of hydrogen.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S60807
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Rudita
"Maraknya penyalahgunaan bahan kimia formalin sebagai pengawet makanan dewasa ini bukanlah merupakan hal yang baru lagi. Penggunaan formalin (dalam bahasa kimianya disebut juga formaldehide) tersebut terbukti berdampak buruk bagi kesehatan konsumen, mulai dari iritasi ringan sampai dengan gangguan kesehatan yang mengakibatkan kematian. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, melihat telah menyebar dan maraknya penyalahgunaan bahan kimia tersebut ditanah air. Untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian dalam hal ini.
Penulisan ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu suatu penelitian terhadap norma atau hukum, antara lain peraturan perundang-undang yang terkait maupun putusan-putusan pengadilan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini mencakup; Peraturan perundangundangan terkait, Putusan-putusan pengadilan, serta pendapat para ahli hukum.
Cara pengumpulan data yaitu-dengan menggunakan metode studi pustaka, dan menggunakan metode analisis data secara Kualitatif Larangan terhadap penggunaan formalin sebagai pengawet makanan sebenarnya sudah lama diterapkan, yaitu dalam Permenkes No. 722 1 MENKES 1 PER I IX l 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Permenkes No. 1168 / MENKES 1 PER 1 X I 1999, namun penyalahgunaan bahan kimia tersebut dewasa ini masih banyak ditemukan.
Hal ini membuktikan bahwa tidak efektifnya peraturan perundang-undangan tersebut, dan penegakan hukumnya pun masih dipertanyakan. Pelaku usaha yang memasarkan makanan dengan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanannya tentunya melanggar ketentuan UUPK, UU Pangan, dan UU Kesehatan, untuk itu kepada pelaku usaha dapat dikenakan sanksi yang seberat-beratnya.
Selain mengeluarkan regulasi baru dan mengenakan sanksi yang berat kepada pelaku usaha yang rela meracuni konsumen untuk memperoleh keuntungan semata, kondisi ini tentunya harus juga diantisipasi dengan pembinaan dan pengawasan yang ketat, serta memberikan alternatif lain pengganti formalin yang lebih baik bagi pelaku usaha dalam mengawetkan makanannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriyan Nizfa Saputra
"Pada penelitian ini dilakukan pengujian kapasitas adsorpsi gas Formaldehida karbon aktif dari bambu. Dengan melakukan aktivasi secara kimia dengan larutan KOH dengan perbandingan KOH padat dan karbon sebanyak 3:1, serta diaktivasi pada suhu 800oC dapat menambah luas permukaan karbon yang semula hanya 0,1 m2/g menjadi karbon aktif dengan luas permukaan 386,3m2/g. Impregnasi logam Cu sebanyak 4% berat karbon mampu menambah luas permukaan menjadi 471,9m2/g dan meningkatkan kemampuan adsorpsi karbon aktif dari bambu. Pada konsentrasi kesetimbangan gas Formaldehida 14 ppm, karbon aktif dari bambu yang diimpregnasi dengan logam Cu mampu mengadsorpsi gas Formaldehida sebesar 0,00023 g/g karbon aktif. Sementara itu karbon aktif dari bambu tanpa impregnasi hanya mampu mengadsorpsi sebesar 0,00004 g/g karbon aktif dan karbon aktif komersial dari tempurung kelapa bahkan hanya mempunyai kemampuan adsorpsi sebesar 0,00002 g/g karbon aktif. Dari hasil penelitian juga didapat bahwa karbon aktif dari bambu dengan impregnasi logam Cu mampu mengadsorpsi hingga 97% gas Formaldehida yang diinjeksikan ke dalam sampling silinder.

In this research, Formaldehyde gas adsorption capacity of activated carbon from bamboo is evaluated. By doing a chemical activation with KOH solution with solid KOH and carbon ratio about 3:1, and activated at a temperature of 800oC can increase the surface area of ​​the carbon that was originally only 0.1 m2/g to activated carbon with a surface area of ​​386.3 m2/g. Cu metal impregnating as many as 4% by weight of carbon could increase the surface area to be 471.9 m2/g and increased activated carbon from bamboo's adsorption capacity. At Formaldehyde gas's equilibrium concentration 14 ppm, activated carbon from bamboo impregnated with Cu metal can adsorb Formaldehyde gas at 0.00023 g/g activated carbon. Meanwhile activated carbon from bamboo without impregnation only able to adsorb 0.00004 g/g activated carbon and commercial activated carbon from coconut shell even only have adsorption capacity at 0,00002 g/g activated carbon. From the result, also found that the activated carbon from bamboo impegnated Cu metal able to adsorb up to 97% Formaldehyde gas injected to sampling cylinder."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kentari Septiasih
"Formaldehyde adalah zat kimia yang berbentuk gas atau cair. Di dalam perdagangan berbentuk larutan dikenal dengan nama Formalin yang bersifat sangat volatile. Disamping itu Formaldehyde sangat iritatif dan dikategorikan sebagai bahan kimia kategori A2 ( carcinogen) yaitu tergolong bahan yang dapat menyebabkan kanker Sehingga dengan demikian akan merugikan para pekerja dan dapat menyebabkan timbulnya masalah ketenaga kerjaan. Untuk itu kandungan Formaldehyde di udara lingkungan kerja diatur sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Transkop No.SE. 02 / MEN / 1978, bahwa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Formaldehyde adalah tidak boleh melampaui 2 ppm.
Disain penelitian yang digunakan bersifat deskriptif yang menggambarkan konsentrasi Formaldehyde pada industri sweater yang memakai bahan baku benang cotton 100% dan pada industri sweater yang memakai bahan baku benang bukan cotton ( acrylic 100% ).
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan konsentrasi Formaldehyde pada dua industri sweater yang memakai benang cotton dengan industri sweater yang memakai benang bukan cotton . Sistem ventilasi pada industri tersebut adalah sistem natural ventilation dan tidak menggunakan exhaust fan . Sehingga konsentrasi rata-ratanya meskipun masih dibawah NAB akan tetapi konsentrasi tersebut telah melebihi baik TLV untuk TWA maupun Ceiling. Dengan didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan baik diluar maupun dari dalam negeri, bahwa pada konsentrasi dibawah NAB telah dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan, maka disarankan untuk meninjau kembali NAB yang telah ditetapkan.

The Formaldehyde is a chemicals which has the form of gas or liquid . It is certificate available in commercial in the form of a solution known as Formalin which is very volatile. Besides , the Formaldehyde is very irritative and categorized as A2 chemicals ( carcinogen ) that is classified as material which may cause cancer. Thus, it will be harmfull for workers and may cause labor problems. Therefore , the Formaldehyde content in the environment of the work are should be regulated with the Circular Letter of the Minister of Labor and Cooperatives No. SE.02/MEN/1978 , that the Threshold Value ( NAB) of the Formaldehyde may not exceeds 2 ppm.
The research design is a descriptive one which describe the Formaldehyde concentration in the sweater industry which uses the raw material of 100 % cotton thread and in the sweater industry which uses the ram material of non cotton ( 100% acrylic ).
The results of the research indicates the difference of Formaldehyde concentration on both industries which used the cotton thread and the sweater industry which use the non cotton thread. The ventilation system in the industry is a natural ventilation and exhaust fan is not used. As a results, the average concentration, however, it is still below the Threshold Value ( NAB), however, the concentration have exceeded the TLV for TWA and Ceiling. I suggest to review again the fixed NAB, with the support of the research results which have been done domestically and abroad, that at the concentration is below the NAB has already cause a health disturbance.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T7266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>