Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192480 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Immanuel Parulian Setiadi
"Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan mengenai aspek hak cipta terkait Undang-Undang Hak Cipta yang terdapat dalam karya lagu yang diciptakan dengan menggunakan metode digital song sampling. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif normatif. Aspek hak cipta yang diteliti adalah mengenai bentuk ciptaan, orisinalitas serta kepemilikan dari hak cipta itu sendiri. Metode digital song sampling merupakan sebuah metode yang beberapa waktu kebelakang umum digunakan para produser lagu dalam menciptakan lagu, pada dasarnya dalam metode ini diambil sebagian hal dari lagu yang sudah ada dan terhadap bagian tersebut dilakukan pengolahan untuk kemudian diletakan ke dalam lagu yang baru. Dalam hal karya lagu yang diciptakan melalui metode digital song sampling diketahui bahwa bentuk yang dimiliki merupakan bentuk ciptaan turunan atau karya derivatif, hal ini dikarenakan lagu tersebut memenuhi unsur dari bentuk karya derivatif yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Karya ini bersifat orisinal namun hal orisinalitas tersebut terbatas pada elemen baru yang ditambahkan dalam karya tersebut sehingga tidak meliputi elemen lagu lain yang digunakan dalam karya tersebut meskipun terhadap elemen tersebut telah dilakukan modifikasi sedemikian rupa terhadapnya. Sementara itu mengenai kepemilikan hak cipta karya ini khususnya pada hak ekonomi dimiliki Pencipta sesuai dengan kesepakatan dari pemilik hak ekonomi dari lagu yang dilakukan sampling.

This writing is the result of research on the aspects of copyright related to the Copyright Law found in a song created using the digital song sampling method. The study employs a descriptive normative method, focusing on the form of creation, originality, and ownership of the copyright itself. Digital song sampling is a method commonly used by music producers to create songs by taking portions from existing songs and processing them into a new composition. In the case of songs created through digital song sampling, it is known that the form it takes is a derivative creation, meeting the criteria outlined in the Copyright Law for derivative works. While the work is original, this originality is limited to the new elements added, excluding elements from other songs used in the work, even though modifications have been made to those elements. Regarding copyright ownership, particularly economic rights, the Creator holds them according to the agreement with the owner of the economic rights of the sampled song."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Afifuddin
"Beijing Treaty on Audio-Visual Performances merupakan salah satu perjanjian internasional terbarukan yang mengatur mengenai hak-hak pemeran film. Sementara itu, Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Beijing Treaty on Audiovisual Performances, telah meratifikasi perjanjian internasional termaktub. Kendatipun demikian, pasca ratifikasi, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tampaknya belum mengalami perubahan sedikit pun. Tentunya, hal tersebut menimbulkan suatu pertanyaan terkait kesesuaian norma di antara kedua sumber hukum. Di sisi lain, pengaturan terkait hak-hak pemeran, khususnya pemeran film, yang diatur baik oleh Beijing Treaty maupun UU Hak Cipta tampak begitu besar. Hal tersebut telah memantik adanya pandangan bahwa terdapat embrio dari ciptaan baru yang mampu berdiri sendiri, yang nantinya mungkin saja dapat dilindungi sebagai karya cipta. Faktor-faktor lain, seperti realitas terhadap lingkup kerja dan tanggung jawab besar yang dibebankan kepada pemeran rupanya turut memperkuat pantikan tersebut. Kembali kepada eksistensi dari kedua sumber hukum yang melindungi hak-hak pemeran, yaitu Beijing Treaty dan UU Hak Cipta. Penelitian ini merasakan bahwa UU Hak Cipta, sebagai peraturan perundang-undangan nasional perlu untuk diperbaharui. Mengingat, akan ratifikasi Indonesia terhadap Beijing Treaty yang mengandung sejumlah kebaruan norma

The Beijing Treaty on Audio-Visual Performances is one of the latest international agreements regulating the rights of film performers. Indonesia has ratified this treaty through Presidensial Regulation No. 2 of 2020 on the Ratification of the Beijing Treaty on Audiovisual Performances. However, following the ratification, Law No. 28 of 2014 on Authors Right appears to have undergone no amendments. This raises questions regarding the alignment of norms between the two legal sources. On the other hand, the provisions regarding performers' rights, particularly film performers, as stipulated in both the Beijing Treaty and the Authors Right Law, are significant. This has sparked the view that there is an embryonic concept of a new creation capable of standing independently, which may eventually be protected as intellectual property. Other factors, such as the reality of the scope of work and the significant responsibilities assigned to performers, further strengthen this notion. Returning to the existence of these two legal sources—namely, the Beijing Treaty and the Authors Right Law—that protect performers' rights, this research finds that the Authors Right Law, as a national regulation, needs to be updated. Considering Indonesia's ratification of the Beijing Treaty, the treaty introduces several new legal norms.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ziggy Zeaoryzabrizkie
"Seiring berkembangnya industri penerbitan buku, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual berupa Hak Cipta, baik bagi penulis, maupun penerbit, harus segera disesuaikan dengan kebutuhan perlindungannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa keefektifan penerapan regulasi-regulasi terkait dalam melindungi Hak Cipta yang melibatkan penerbit dan penulisnya, terutama menganalisa perlindungan hak integritas yang merupakan bagian dari hak moral seorang pencipta dalam proses penyuntingan buku.
Jenis penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dengan menjalankan dua tahap penelitian, yaitu penelitian kepustakaan dan didampingi dengan penelitian lapangan. Data primer didapatkan melalui pengumpulan bahan dari beberapa narasumber, yaitu para penulis dan penyunting beberapa perusahaan penerbitan di Indonesia. Data-data ini kemudian diolah dan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu metode yang menganalisis data-data yang diperoleh secara kualitatif untuk menemukan kejelasan atas pokok permasalahan.
Pada kesimpulannya, penelitian ini menemukan bahwa ternyata regulasi yang dibuat untuk melindungi Hak Cipta terhadap ciptaan yang dihasilkan dalam proses penerbitan, yaitu Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, belum efektif untuk melindungi hakhak penulis, terutama hak moral, dalam proses penerbitan, serta belum memberikan kepastian hukum kepada penerbit selaku pemegang hak cipta. Selain itu, ditemukan pula banyak ketidaksesuaian antar beberapa ketentuan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan hukum dalam penegakan perlindungan Hak Cipta.

As the development of the book publishing industry grows even more massive each day, the protection of intellectual property rights such as Copyright, both for authors and publishers, must be tailored to the needs of the current protection problems. The purpose of this study was to analyze the effectiveness of the implementation of regulations related to Copyright protection that involves both the publisher and the author during a publishing contract, especially analyzing the protection of the integrity rights that are part of the moral rights of an author in the process of editing a book.
The type of this research is normative juridical, where a legal research is done by examining library materials or mere secondary data by running the two stages of the research, the research literature and assisted with field research. The primary data is obtained through the collection of material from several sources, namely by interviewing the authors and editors of several publishing companies in Indonesia. These data are then processed and analyzed using qualitatively normative method that analyzes the data obtained qualitatively to find clarity over the issue.
In conclusion, this study found that the regulations designed to protect against the creation Copyright generated in the process of publishing , namely Law No. 19 of 2002 on Copyright, has not yet been an effective way to protect the rights of authors, especially moral rights, in the publishing process, and has not yet provided legal certainty to the publisher as copyright holder. In addition, there are also a lot of discrepancies between some of the terms that lead to ambiguities in the law enforcement of Copyright protection.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Isrilitha Pratami Puteri
"ABSTRAK
Tesis ini memfokuskan pada Perlindungan Hak Cipta Terkait Dengan Distribusi
Karya Sinematografi (Studi Kasus: Peluncuran Film X-Men Origins: Wolverine Dan
Ayat-Ayat Cinta). Seiring dengan perkembangan teknologi, pada saat ini distribusi
karya sinematografi banyak yang menyimpang. Dimana terdapat banyak karya
sinematografi yang didistribusikan dengan tidak memenuhi hukum yang berlaku,
dikarenakan tidak adanya pengaturan hukum yang tegas mengenai hal tersebut. Dari
penelitian ini, para produser sebagai pemegang hak cipta atas karya sinematografi
dapat mengetahui pentingnya perjanjian lisensi dalam hal distriusi karyanya dan juga
hak terkait sehubungan dengan para pelaku yang ikut berpartisipasi dalam karya
tersebut.

ABSTRACT
This thesis focuses on the Protection of Copyright Related to the Distribution of Work
Cinematography (Case Study: Launching Movie X-Men Origins: Wolverine And
Ayat-Ayat Cinta). Along with the development of technology, the current distribution
of cinematographic works much distorted. Where there are a lot of cinematographic
works are distributed to not meet the applicable law, because there is no strict legal
regulation on the matter. From this research, the producers as the holder of the
copyright in a cinematographic work to determine the importance of the license
agreement in terms of the distribution of his work and related rights in connection
with the actors who participated in the work."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Novria
"Keberadaan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah mengatur tentang kepemilikan Hak Cipta atas suatu Ciptaan yang dibuat dalam suatu hubungan kerja atau berdasarkan pesanan dalam lingkup lembaga swasta. Akan tetapi, dalam Pasal ini hanya dinyatakan bahwa kepemilikan Hak Cipta atas Ciptaan yang dibuat di dalam suatu hubungan kerja, orang yang membuat Ciptaan tersebut dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua belah pihak. Pada pasal tersebut tidak dijelaskan apa yang menjadi hak pihak yang mempekerjakan Pencipta atau pihak yang memesan Ciptaan tersebut kepada Pencipta bila tidak terdapat suatu perjanjian pengalihan Hak Cipta.
Dengan menggunakan metodologi hukum normatif, maka dapat dijabarkan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak yang mempekerjakan Pencipta dan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak yang memesan Ciptaan kepada Pencipta. Dalam hal tidak adanya perjanjian pengalihan Hak Cipta di dalam hubungan kerja, maka hak yang dimiliki oleh pihak yang mempekerjakan Pencipta (Perusahaan) adalah tetap dapat memiliki hak ekonomi atas Ciptaan tersebut. Sedangkan hak yang dimiliki oleh pihak yang memesan karya cipta kepada Pencipta adalah hak milik atas benda tersebut/kepemilikan terhadap fisik karya cipta.

The existence of article 8 subsection (3) from Copyright Law No. 19 year 2002 has set about ownership right over a creation that is created on an employment relation or based on an order within the scope of private organizations. However, in this article just stated that the copyright ownership over Creations made in employment relationhip, a person who makes the Creation is considered to be the Creator and Copyright holder, unless another exchanged between the two parties. In article was not explained what is rightfully parties that employs creator or parties who ordered the creation of to the creator if there is no a copyright transfer agreement.
By using normative law methodology, it can be elaborated all the rights that owned by the party who employ the Creator and all the rights that owned by a party who orders Creation. In the absence of copyright transfer agreement in employment relation, the party who employs the Creator still has the economic rights of the creations. Whereas the rights owned by the party who orders Creation is title to property.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43058
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riyo Hanggoro Prasetyo
"Sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) maka Indonesia juga harus tunduk pada seluruh ketentuan WTO termasuk Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods. Untuk itu Indonesia terus berusaha menciptakan pengaturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, yang salah satunya adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (UUDI). Sejak UUDI diberlakukan banyak aspek hukum yang berkembang, khususnya pada perkara desain industri. Untuk itu dibutuhkan analisis terhadap perkara tersebut dan membandingkannya dengan perkara yang terjadi di negara lain, yang dalam hal ini dipilih Inggris sebagai negara pelopor pengaturan desain industri di dunia.
Metode yang digunakan adalah Metode Penelitian Kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan pengolahan data secara kualitatif, dengan hasil diagnostik analitis dan evaluatif analitis.
Hasil dari analisis penulis menyimpulkan bahwa sistem desain industri Inggris berbeda dengan sistem desain industri Indonesia karena sistem desain di Inggris dibedakan menjadi dua, yaitu registered design untuk desain terdaftar dan design right untuk desain yang tidak terdaftar. Namun dari beberapa perkara desain industri di Indonesia dan perkara registered design di inggris yang dianalisis oleh penulis, ternyata tidak ditemukan banyak perbedaan, mayoritas perkara tersebut menjadikan unsur kebaruan menjadi hal utama. Perbedaan hanya terdapat pada cara menilai unsur kebaruan, di Indonesia unsur kebaruan dinilai secara luas, di Inggris unsur kebaruan dinilai secara terbatas."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Drias Rachmatirtani
"Skripsi ini membahas mengenai doktrin fiksasi, khususnya terkait dengan interpretasinya dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. UUHC Doktrin fiksasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebuah karya agar dapat memperoleh perlindungan hak cipta, hal tersebut dinyatakan pertama kali dalam The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works The Berne Convention sebagai konvensi internasional pertama terkait dengan hak cipta. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan The Berne Convention turut menerapkan syarat tersebut. UUHC dalam Pasal 1 ayat 13 memberikan definisi mengenai fiksasi sebagai "Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun";. Namun definisi fiksasi dalam UUHC diterjemahkan dari WIPO Performance and Phonograms Treaty yaitu perjanjian internasional yang hanya mencangkup pertunjukan dan fonogram. Dengan seluruh jenis karya yang dilindungi sebagaimana yang dicantumkan Pasal 40 ayat 1 UUHC, penerapan definisi fiksasi tersebut tidak tepat. Walaupun hal tersebut tidak menimbulkan permasalahan hukum yang serius, tetapi hasil penelitian menyarankan bahwa suatu revisi terhadap Pasal 1 ayat 13 UUHC perlu dilakukan.

This thesis emphasize on the fixation doctrine, especially with regards to its interpretation under the Law No. 28 of 2014 on Copyright Copyright Law . Fixation doctrine is one of the requirements in which necessary to be satisfied in order to obtain the protection by copyrights, such action was initiated since the enactment of The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works The Berne Convention as the first international convention on copyrights. Indonesia as one of the member states The Berne Convention too apply the requirement in its law. In Article 1 point 13 of the Copyright Law, fixation is defined as "Fixation is an audible sound recording, recording images or both, the which can be seen, heard, Reproduced, or otherwise communicated through any device". However, the definition of fixation as set forth in the Copyright Law was translated from Article 2 point c of WIPO Performance and Phonograms Treaty, namely an international treaty in which only covers performance and phonograms. With all of the protected works set forth in Article 40 point 1 of the Copyright Law, the interpretation of the aforementioned definition of fixation seemed to be incorrect. Although it does not create serious legal consequences, the research resulted to a recommendation that a revision on Article 1 point 13 of the Copyright Law is necessary.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S67223
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Refiana
"Di Indonesia, pasar untuk komputer personal atau personal computer (PC) mengalami pertumbuhan yang cepat. Pada awal tahun 1990-an, pasar komputer lebih terbatas untuk perkantoran, yang digunakan untuk memproses data dan mengolah sistem informasi, akuntansi, dan teknik. Saat ini, berkenaan dengan pertumbuhannya yang cepat tersebut, dunia bisnis mengharuskan komputer untuk tujuan-tujuan automatic data processing (ADP). Sementara itu, jumlah rumah tangga yang menggunakan PC juga bertambah. Komputer personal yang ada di rumah-rumah sebagian besar digunakan sebagai instrurnen rekreasional seperti bermain game, internet, serta sebagai pengolah kata Komputer personal yang digunakan oleh rumah tangga lebih dikenal dengan sebutan sebagai home PC. Saat ini terdapat kecenderungan diantara produsen untuk meningkatkan penetrasi mereka ke segmen pasar home PC dengan cara menambah fasilitas untuk produk-produknya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T20576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>