Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136480 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monica Resinta
"Terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga harus ditangani dengan cara yang luar biasa juga. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 memberikan peran bagi Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia. Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana dari pasal tentang pelibatan TNI tersebut masih dalam tahap penyusunan. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji peraturan tentang tindak pidana terorisme, TNI, Polri dan BNPT. Pemisahan peran dan wewenang antara TNI, Polri dan BNPT dalam penanganan tindak pidana terorisme harus jelas, begitu juga batasan tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh TNI dalam menangani terorisme dan bentuk tindak pidana terorisme yang memerlukan keterlibatan TNI. Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia akan menggunakan konsep pencegahan, penindakan dan pemulihan. Adapun peran TNI sealama ini dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan tugas perbantuan kepada Polri, apabila situasi diluar kapabilitas Polri maka TNI dapat bertindak. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merupakan leading sector dalam koordinasi antar lembaga penanggulangan terorisme di Indonesia.

Terrorism is an extraordinary crime, so it must be handled in an extraordinary way too. Law Number 5 Year 2018 provides a role for TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia. The Presidential Regulation as the implementing regulation of the article on TNI involvement is still in the drafting stage. The method used is normative legal research by reviewing the regulation on criminal acts of terrorism, TNI, Polri, and BNPT. Separation of roles and authority between TNI, Polri and BNPT in handling terrorism must be clear, as well as restrictions on actions that can be taken by TNI in handling criminal acts of terrorism and forms of criminal acts of terrorism that require TNI  involvement. The involvement of TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia will use the concepts of prevention, repression and recovery. As for the role of the TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia at this time, it’s a duty of assistance to Polri, if the situation is beyond the capability of the Polri, TNI will act. The National Counter Terrorism Agency (BNPT) is the leading sector in coordination between counter-terrorism institutions in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52401
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidajaya Barus
"Pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme merupakan sebuah bahasan yang sangat jarang untuk dibicarakan khalayak umum. Pembahasan mengenai pengelolaan aset ini patut menjadi perhatian oleh pemerintah, karena Indonesia secara keseluruhan masih menjadi sarang atau tempat berkumpulnya organisasi teroris dan operasi terorisme. Pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme ini dapat menjadi sumber daya yang berharga bagi negara untuk melawan tindak pidana terorisme dengan melakukan penelusuran mengenai mekanisme aset tersebut memiliki keterkaitan dengan tindak pidana terorisme. Pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme ini secara tersirat juga menjadi alat bagi negara untuk membantu memulihkan keadaan yang sudah dirusak oleh tindak pidana terorisme. Dalam melaksanakan pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme. Terdapat beberapa hal yang wajib diketahui sebelum melakukan pengelolaan aset rampasan. Hal yang wajib diketahui adalah bagaimana cara mengetahui aset rampasan tersebut terkait dengan tindak pidana terorisme. Urgensi untuk mengetahui bahwa aset rampasan tersebut terkait dengan tindak pidana terorisme adalah untuk mengetahui langkah apa yang akan dilakukan pemerintah dalam hal mengelola aset yang sudah dirampas tersebut. Selanjutnya, akan dijelaskan mengenai peraturan yang terdapat Indonesia dan juga pada dunia Internasional mengenai pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme. Beberapa peraturan yang akan dituliskan ini akan dijelaskan secara jelas dan rinci, karena sering terjadi kesalahan penerapan peraturan dan kewenangan antar lembaga dan institusi negara. Terakhir, pembahasan yang akan dibawa adalah tentang peran PPATK dalam pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme.  Peran PPATK akan menjadi vital dalam pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Penelitian ini juga akan membahas mengenai bentuk kolaboratif dan tingkat efektivitas yang dipunyai oleh PPATK dalam melaksakan pengelolaan aset rampasan tindak pidana terorisme di Indonesia.

The management of confiscated assets in terrorism criminal acts in Indonesia is a topic that is rarely discussed by the general public. The discussion on the management of these assets deserves the attention of the government, as Indonesia continues to be a breeding ground or gathering place for terrorist organizations and operations. The management of confiscated assets in terrorism criminal acts can be a valuable resource for the country to combat terrorism by tracing the mechanisms through which these assets are linked to terrorism criminal acts. Implicitly, the management of confiscated assets in terrorism criminal acts also serves as a tool for the state to help restore the damage caused by terrorist activities. In carrying out the management of confiscated assets in terrorism criminal acts, there are several important factors that need to be known before proceeding with asset management. One crucial aspect to be aware of is how to determine the connection between the confiscated assets and terrorism criminal acts. Understanding whether the confiscated assets are related to terrorist activities is essential to determine the government's course of action in managing the seized assets. Furthermore, the regulations in Indonesia and the international community regarding the management of confiscated assets in terrorism criminal acts will be explained. These regulations will be discussed in a clear and detailed manner, as there are often errors in the implementation of regulations and the delineation of authority between government agencies and institutions. Lastly, the role of the Financial Transaction Reports and Analysis Centre (PPATK) in the management of confiscated assets in terrorism criminal acts will be addressed. The role of PPATK is vital in managing the confiscated assets in accordance with its functions and authorities. This research will also explore the collaborative efforts and effectiveness levels demonstrated by PPATK in implementing the management of confiscated assets in terrorism criminal acts in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Panji Sahid
"Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Hukum, Institusi
persiapannya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, melalui analisis yang penulis lakukan dengan metode studi pustaka beberapa putusan di tingkat Pengadilan Negeri, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.1270 / Pid.Sus / 2013 / PN.JKT.TIM; Keputusan Pengadilan Distrik Jakarta Utara No.311 / Pid.Sus / 2015 / PN.Jkt.Utr; dan Keputusan Pengadilan Distrik Jakarta Barat Nomor 178 / Pid.Sus / 2018 / PN.Jkt.Brt; serta wawancara bersama sumber dari Kejaksaan Republik Indonesia diketahui bahwa hukuman untuk serangkaian tindakan yang termasuk dalam kategori tindakan persiapan sudah dilakukan. Keberadaan implementasi lembaga ini bisa dilihat dalam bentuk tafsir ekstensif maupun implementasi nyata dari institusi lembaga konspirasi dan / atau pengadilan dalam menegakkan kasus selesai. Untuk alasan ini, pelaksanaan kursus dan ketentuan tambahan untuk dibutuhkan aparat penegak hukum terkait lembaga ini.

Prior to the promulgation of Law Number 5 of 2018 concerning Amendments to Law Number 15 of 2003 concerning Stipulation Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2002 concerning the Eradication of Criminal Acts of Terrorism, Becoming Law, Institution the preparations have not been regulated in the laws and regulations in Indonesia. However, through the analysis by the author using the literature study method, several decisions at the District Court level, namely the East Jakarta District Court Decision No.1270 / Pid.Sus / 2013 / PN.JKT.TIM; North Jakarta District Court Decree No.311 / Pid.Sus / 2015 / PN.Jkt.Utr; and West Jakarta District Court Decree Number 178 / Pid.Sus / 2018 / PN.Jkt.Brt; as well as an interview with a source from the Republic of Indonesia Prosecutor's Office, it is known that the sentences for a series of actions that fall under the category of preparatory action have been taken. The existence of the implementation of this institution can be seen in the form of extensive interpretations as well as actual implementations of institutions conspiracy agencies and / or courts in enforcing cases done. For this reason, the implementation of additional courses and provisions is required by law enforcement officials related to this institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M.S. Urip Widodo
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan teror bom buku yang terjadi di Jakarta merupakan modus baru para teroris dalam melakukan aksinya, karena yang menjadi targetnya adalah individu sehingga apabila tidak dilakukan penanganan, maka akan berdampak pada psikologi masyarakat yaitu tingginya rasa kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Teror bom buku, apabila melihat jumlah korban dan kualitas ledakan, tidak sebanding dengan bom yang ditempatkan di gedung-gedung tertentu seperti pada kasus-kasus teror bom sebelumnya. Akan tetapi dampaknya hampir sama, bahkan teror bom buku sudah menyentuh aspek psikologi masyarakat awam. Ketakutan dan kepanikan yang melanda sampai ditingkat rumah tangga adalah bentuk keberhasilan aksi bom buku ini menjadi sebuah teror.
Mengacu pada hukum formal yang berlaku di Indonesia, maka aksi dan pelaku bom buku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Mencermati perkembangan terorisme dengan organisasi dan jaringan global yang dimilikinya, dimana kelompokkelompok terorisme internasional mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama, baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung.
Berkaca pada kondisi tersebut, aparat kepolisian Republik Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri merupakan ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat dengan memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, seperti menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Polri adalah dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror yang berada pada garis terdepan dalam memberantas aksi terorisme tersebut.
Dapat dipastikan, peranan Polri untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari 3 (tiga) fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana Polri harus melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Dalam hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasarinya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia.

The research aims at explaining the terror of book bomb occuring in Jakarta Suchterror is a new modus operandi of terrorists in doing their actions because their targets are individuals If the police do not handle the case immediately such terror will psychologically affect communities in the forms of high anxiety and worriness Book bombings in the context of their victims and the quality of their explosions can not be compared with the previous bombings happening in certain buildings However both of bombing types have similar effects Moreover book bombings have nearly touched the psychological aspects of common people The fearness and panic attacking families are the forms of the terrorists success of committing book bombings leading to a terrorizing act
In accordance with formal law prevailing in Indonesia the act and perpetrator of book bombings can be categorized as a terrorism act Terrorists have currently cooperated with other groups and networks that posses good relationship and working mechanism either in the context of infra structural operation or supporting infrastructures.
By looking at such situation and condition the Indonesian National Police as stated in Law No 2 2002regarding Indonesian National Police is the front liner in providing protection and security to people in combating terrorism in Indonesia The Indonesian National Police does the responsibilities by arresting the perpetrators preventing investigating interrogating and even shooting death the perpetrators One of the Indonesian National Police efforts is the establishment of an special detachment 88Antiterror Special Detachment
It can be concluded that the role of the Indonesian National Police can not be separated from the three functions protector shelter and servant of public The Indonesian National Police must protect people from acts threatening their lives The Indonesian National Police through 88 Antiterror Special Detachment in conducting such duties and responsibilities must be guided by Law No 2 2002 regarding the Indonesian National Police
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yullya Andina
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan peran penyidik polisi yang ditinjau sebelum dan sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013, sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan (1) Bagaimana perbedaan peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh Notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012?; (2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012? (3) Bagaimana konsep tentang peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh notaris yang dapat memberikan perlindungan terhadap notaris dalam menjalankan tugasnya?. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus notaris X (Notaris Jakarta Timur) yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 ayat 1 KUHP).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan peran penyidik Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam penanganan tindak pidana oleh notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, yaitu meliputi pertama, pemanggilan terhadap notaris yang diduga melakukan tindak pidana, tidak perlu lagi mendapatkan ijin dan MPD melainkan ijin dari MKN. Kedua, tidak berlakunya lagi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT. 0310.TH 2007 yang mengatur tentang pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris. Ketiga, Hak Istimewa Notaris yaitu hak ingkar tetap dapat digunakan notaris dalam penyidikan atau dalam memberikan keterangan kepada polisi. Notaris dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus bersifat profesional. Untuk memberikan perlindungan terhadap notaris pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN. Diharapkan adanya kerjasama yang baik antara penyidik Subdit Harda dengan notaris agar proses penyidikan dapat berjalan dengan cepat, efektif dan efisien.

This research was based on the back ground that there were differences about the role of police investigator between UUJN 2004, UUJN 2014 and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012. The researcher focused on how the best of the concept about notary protection by police investigator who faced the law especially in criminal act viewed by Constitutional Court No. 49/PUU-X/2012 and UUJN 2004. Some problem that proposed in this research are (1) How differences of the police investigator role in criminal act by notary in dispute resolution after Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012?; (2) What the impact of the police investigator role changing in handling of criminal act by notary against notary protection?; (3) How the concept about the role in handling the criminal act by notary which able to give a protection on notary in conducting the duty? Socio-legal approach was used in this research. So, there were two aspect in this research those are doctrinal aspect, i.e. UUJN and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012 and the practice of investigating in criminal act by notary.
This research was conducted in Metro Jaya Police District. The role of the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police in the handling of criminal acts by the notary after the Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012, which includes the first, calling to the notary who allegedly committed the crime, do not need to get permission from the MPD. Secondly, are no longer effective in the provision of Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Justice and Human Rights No. M.03HT.0310.TH 2007 regarding the same thing. Third, the abolition of privilege Notaries in providing information to the police, who feared future public as well as other law enforcement officer can easily "calling out" notary for cases that are not material and do not need to involve a notary as a witness. Cooperation between the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police with INI and PPAT in order to increase as an preventive action to protect a notary by police in handling criminal act by notary. This procedure must be accorded with Article 66 (1) UUJN 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Anggun
"Penelitian ini menganalisis tipologi pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dilakukan melalui penyelenggara kegiatan penukaran valuta asing bukan bank (KUPVA BB) di Indonesia, menganalisis mitigasi risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendaaan terorisme (TPPT) pada KUPVA BB yang dilakukan oleh Bank Indonesia serta upaya optimalisasi yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia selaku Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam rangka pencegahan TPPU dan TPPT pada penyelenggara KUPVA BB di Indonesia. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal yang menggabungkan data-data hasil analisis penelitian doktrinal dengan data empiris yang berasal dari hasil penelitian lapangan. Penulis mendapatkan data primer yang bersumber dari wawancara dengan Pengawas KUPVA BB dan Penyusun Kebijakan KUPVA BB dari Bank Indonesia serta FGD antara Bank Indonesia dengan Kementrian/Lembaga terkait serta Bank Indonesia dengan Asosiasi KUPVA BB dan Perwakilan 10 Besar KUPVA BB yang memiliki market share terbesar secara nasional. TPPU dan TPPT menjadi ancaman bagi negara Indonesia baik ancaman terhadap stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, ancaman terhadap kredibilitas Indonesia di mata internasional, ancaman terhadap risiko investasi dan TPPT menjadi ancaman bagi kedaulatan NKRI. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memberikan legal mandat kepada Bank Indonesia selaku Lembaga Pengawas dan Pengatur bagi Penyelenggara KUPVA BB. Penyelenggara KUPVA BB rentan dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melakukan TPPU dan TPPT sehingga Bank Indonesia perlu melakukan upaya mitigasi risiko TPPU dan TPPT pada Penyelenggara KUPVA BB. Tingginya risiko TPPU dan TPPT pada KUPVA BB, perkembangan teknologi, implementasi UU P2SK, kondisi geografis negara Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara lain serta status keanggotaan negara Indonesia sebagai Full Member FATF perlu ditindaklanjuti dengan upaya optimalisasi pencegahan TPPU dan TPPT pada penyelenggara KUPVA BB oleh Bank Indonesia baik dari sisi pengaturan, perizinan dan pengawasan, maupun kerjasama dengan Kementrian/Lembaga lain

This research analyzes the typology of money laundering and terrorism financing conducted through non-bank foreign exchange providers (KUPVA BB) in Indonesia. It also examines the mitigation of money laundering (TPPU) and terrorism financing (TPPT) risks in KUPVA BB carried out by Bank Indonesia, as well as optimization efforts that can be undertaken by Bank Indonesia as the Supervisory and Regulatory Institution in preventing TPPU and TPPT among KUPVA BB providers in Indonesia. The study is structured using a doctrinal research method, combining data from the doctrinal analysis with empirical data obtained from field research. The primary data is sourced from interviews with supervisors of KUPVA BB and policy makers from Bank Indonesia, as well as Focus Group Discussions (FGD) between Bank Indonesia, relevant Ministries/Agencies, and the Association of KUPVA BB along with the Top 10 Representatives of KUPVA BB with the largest national market share. TPPU and TPPT pose threats to Indonesia, impacting economic stability, the integrity of the financial system, the country's credibility internationally, and investment risks, with TPPT further endangering the sovereignty of the Republic of Indonesia. The Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector (UU P2SK) legally mandates Bank Indonesia as the Supervisory and Regulatory Institution for KUPVA BB providers. KUPVA BB providers are vulnerable to exploitation by criminals engaging in money laundering (TPPU) and terrorism financing (TPPT). Therefore, Bank Indonesia needs to make efforts to mitigate TPPU and TPPT risks among KUPVA BB providers. The high risks of TPPU and TPPT in KUPVA BB, technological advancements, the implementation of UU P2SK, Indonesia's geographical conditions bordering other countries, and Indonesia's status as a Full Member of FATF require follow-up actions to optimize the prevention of TPPU and TPPT among KUPVA BB providers by Bank Indonesia. This optimization includes regulatory measures, licensing and supervision, as well as collaboration with other Ministries/Agencies.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parembang, Yaved Duma
"Thesis ini tentang Penyidikan yang Dilakukan Dengan Cara Sains Dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Perhatian utama thesis ini adalah penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Sat Gas Bom Polri.
Fokus penelitiannya adalah tentang unit analisa (analytical unit) yang dipergunakan dalam rangka upaya memahami fenomena sehubungan tindakan penyidik dalam penyidikan tindak pidana terorisme, aktlvitas atau dapat pula disebutkan dengan kinerja dari unit kerja dalam Polri yang melakukan kegiatan penyidikan. Unit kerja itu kemudian dikenal pula sebagai Sat Gas Bom Polri.
Dengan demikian, unit analisa penelitian ini bukanlah kegiatan individu masing-masing personil Polri, melainkan kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh unit tersebut dan tingkatan-tlngkatan legitimasl kerja yang dilakukannya. Dalam hal ini, keglatan yang dilakukan oleh Sat Gas Bom Polri sebagai suatu kerja tim (team work).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualititaif dengan tehnik pengumpulan data melalui pengamatan, pengamatan terlibat, wawancara, dan wawancara dengan pedoman, untuk mengungkapkan kegiatan penyidikan tersebut.
Dalam hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kegiatan penanganan terhadap tindak pidana terorisme dilakukan dengan melakukan kegiatan penyidikan yang didukung penggunaan teknologi canggih. Bentuk teknologi canggih yang digunakan adalah dengan memanfaatkan direction finder, GA 900, analysis note book, ion scane, dan gas chromatography mass spectrometer. Penggunaan teknologi canggih ini mulai dilakukan pada saat pengungkapan kasus Bom Bali.
Dalam pengungkapan kasus Born Bali, bantuan juga didapat dari agency atau institusi polisi negara-negara sahabat. Ini merupakan apresiasi yang sangat besar dalam penanganan kasus bom di Indonesia.
Sat Gas Bom Polri melakukan kegiatannya dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia melalui metode yang didapat dari kegiatan penyidikan dan proses selama kegiatan itu berlangsung. Tehnik-tehnik dan cara-cara lama seperti penggunaan informan, mulai ditinggalkan dan diganti dengan penggunaan teknologi canggih. Hal ini tidak langsung mengubah teknik penyidikan yang sudah ada, akan tetapi, dengan bentuk kegiatan penyidikan yang didukung scientifc Investigation, sangat berperan dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T14910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Imam Santoso
"Aksi terorisme dalam peradaban modern saat ini semakin luas dan bervariasi, sehingga diharapkan niat serius pemerintah dengan melakukan sistem penegakan hukum untuk terus menanggulangi kejahatan tindak pidana terorisme secara tepat dan sesuai dengan proses hukum yang berlaku serta tidak melakukan pelanggaran/mengorbankan Hak Asasi Manusia. Dalam proses sistem penegakan hukum juga tidak terlepas dari instrumen penggeraknya yaitu kepolisian sebagai salah satu institusi penegak hukum, dimana implementasinya sering dituduh hanya melelakukan mekanisme kerja dalam satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Penelitian ini membahas tentang pelaksana tindak pidana terorisme penyidik / kepolisian dan gaya kerja Crime Control Model dalam rangka penegakan tindak pidana terorisme. Perhatian utama penelitian ini adalah pelaksana tindak pidana terorisme yaitu penyidik/kepolisian. Yang menjadi perhatian penulis dalam beberapa kasus tindak pidana terorisme adalah penyidikan terhadap tindak pidana terorisme Bom Bali 1 tahun 2002 dan Bom Kedutaan Besar Australia tahun 2004. Adapun pertanyaan penelitian yang berfokus kepada benarkah kepolisian dalam melakukan tindak pidana terorisme menggunakan gaya bekerja Crime Control Model ?.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepolisian dan gaya kerja Crime Control Model dalam rangka penegakan tindak pidana terorisme. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan data dan dilakukan secara wawancara terhadap bagian dari peradilan pidana tindak pidana terorisme yaitu penyidik (kepolisian) dan praktisi hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu studi kepustakaan dan wawancara atau kuesioner. Dalam hasil penelitian menunjukan bahwa bahwa tidak benar kepolisian dalam melakukan tindak pidana terorisme hanya menggunakan gaya bekerja Crime Control Model. Yang mana dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai gaya bekerja : Crime Control Model (CCM) dan Due process model (DPM).

Acts of terrorism in modern civilization are now more extensive and varied, so it is hoped that the serious intention of the government by implementing a law enforcement system to continue to tackle criminal acts of terrorism appropriately and in accordance with the applicable legal process and not to violate / sacrifice human rights. In the process of the law enforcement system, it is also inseparable from the driving instrument, namely the police as one of the law enforcement institutions, where its implementation is often accused of only carrying out a working mechanism in one system, namely the Criminal Justice System.
This study discusses the perpetrators of criminal acts of terrorism investigators / police and the working style of the Crime Control Model in the context of enforcement of terrorism crimes. The main concern of this research is the perpetrators of criminal acts of terrorism, namely investigators / police. What concerns the author in several cases of terrorism is the investigation of the Bali Bombing 1 2002 and the Australian Embassy Bombing in 2004. The research question focuses on whether the police in committing terrorist crimes use the Crime Control Model working style?
This study aims to determine the police force and the working style of the Crime Control Model in the context of enforcing criminal acts of terrorism. The analysis in this study was carried out with data and carried out by interviewing part of the criminal justice court for terrorism, namely investigators (police) and legal practitioners related to research problems. The research method used is a qualitative method, namely literature study and interviews or questionnaires. The results of the study show that it is not true that the police in committing terrorist crimes only use the Crime Control Model working style. Which in the Criminal Justice System has a working style: Crime Control Model (CCM) and Due process model (DPM).
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Narvitasari
"This thesis focuses on Indonesian Criminal Law in facing maritime terrorism cases that may happen in the future. The aims of this thesis are to get to know about the differences between piracy and maritime terrorism, Indonesian Regulation in maritime terrorism, and legal problems in maritime terrorism regulation in Indonesia. Indonesia has national and international law instrument as basic regulations for terrorism offences, but it has not covered the provisions of maritime terrorism offences. Although there has never been any case of maritime terrorism in Indonesia, yet Indonesia has great potential in being the target of this offence.

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan pidana Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus terorisme maritim yang mungkin terjadi di masa depan. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang perbedaan antara tindak pidana pembajakan di laut dan tindak pidana terorisme maritim, pengaturan tindak pidana terorisme maritim di Indonesia, dan permasalahan hukum dalam pengaturan mengenai tindak pidana terorisme maritim. Indonesia memiliki instrumen hukum nasional dan internasional yang menjadi ketentuan umum mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia. Hanya saja di dalamnya belum diatur secara khusus mengenai tindak pidana terorisme maritim. Walaupun dalam kenyataannya beum pernah terjadi terorisme maritim di Indonesia, namun Indonesia berpotensi besar menjadi target tindak pidana ini."
Universitas Indonesia, 2015
S60288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronal Balderima
"ABSTRAK
Pembentukan dan Muatan materi peraturan perundang-undangan di bidang terorisme telah coba diatur dalam bentuk Perpu maupun dalam Undang-Undang. Pembentukan Perpu dilakukan karena hal ihwal kegentingan yang memaksa dimana belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait terorisme kemudian Perpu harus ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui proses pengesahan di DPR. Pembentukan Perpu terorisme telah melanggar prinsip negara hukum, melanggar hierarki norma hukum, tata urutan peraturan perundang-undangan sehingga mengabaikan pertimbangan hak atas rasa aman dalam pembentukannya. Pembentukan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 telah memenuhi prinsip negara hukum, hierarki norma hukum, tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat itu meski tidak semua prosedur dapat terpenuhi dengan baik. Pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 telah memenuhi prinsip negara hukum, serta telah memenuhi semua prosedur pembentukan Undang-Undang sebagaimana pengaturan yang berlaku. Materi muatan peraturan Perpu dan Undang-Undang pemberantasan terorisme belum memenuhi syarat-syarat muatan undang-undang yang baik dengan tidak terpenuhinya pengaturan hak atas rasa aman dalam hal yang menjadi sorotan adalah terkait defenisi dari terorisme yang multi tafsir, jangka waktu penahanan yang tidak memenuhi konvensi internasional terkait hak-hak sipil dan politik serta menyimpangi aturan KUHAP Indonesia, serta pelibatan kembali TNI dalam penindakan terorisme adalah tanda nyata bahwa pemenuhan hak atas rasa aman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28G ayat 1 akan dapat terwujud. Politik hukum peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan terorisme di Indonesia yang dilaksanakan dari tahun 1998-2018 dalam hal pembentukannya dan materi muatan
telah mengabaiakan prinsip negara hukum, tidak tertib tata aturan perundang-undangan, serta dengan tidak mengindahkan hak atas rasa aman. Politik hukum peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana di bidang terorisme menunjukkan ketidaksuaian dengan Pasal 28G ayat 1 UUD Tahun 1945.

ABSTRACT
The formation and content of legislative material in the field of terrorism has been tried in the form of a Government Regulation in Lieu of Law or Law. The Government Regulation in Lieu of Law was formed because of a matter of urgency where there were no laws and regulations governing terrorism, then the Government Regulation in Lieu of Law had to be stipulated into a Law through the ratification process in the DPR. The establishment of Government Regulation in Lieu of Law on terrorism has violated the principles of the rule of law, violated the hierarchy of legal norms, the ordering of laws and regulations, thus ignoring the consideration of the right to a sense of security in its formation. The formation of Law No. 13 of 2003 has fulfilled the rule of law, the hierarchy of legal norms, the order of the laws and regulations that were in force at the time although not all procedures were fulfilled properly. Formation of Law Number 5 Year 2018 has met the principles of the rule of law, and has fulfilled all procedures for the formation of the Law as applicable regulations. The contents of Government Regulation in Lieu of Law and the Law on eradication terrorism have not fulfilled the requirements for a good law content with the non-fulfillment of the regulation of the right to security in the matter of concern is related to the definition of terrorism which has multiple interpretations, the period of detention that does not meet the convention international relations with civil and political rights and deviating from the Indonesian Criminal Procedure Code, and the reengagement of the TNI in the fight against terrorism is a clear sign that the fulfillment of the right to security as regulated in Article 28G paragraph 1 will not be realized. The legal policy of legislation in the field of eradication terrorism in Indonesia carried out from 1998-2018 in terms of its formation and material content has ignored the rule of law, disorganized rules and regulations, and with no regard
for the right to security. The legal policy of the laws and regulations eradicating criminal acts in the field of terrorism shows dissonance with Article 28G paragraph 1 of the 1945 Constitution."
Jakara: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>