Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51077 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Wiyanti Eddyono
"Tulisan ini menganalisis sejauh mana RUU KUHP berorientasi terhadap kepentingan dan perlindungan hak-hak korban, khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis atau normative, yang secara langsung menganalisis pasal-pasal yang ada di RUU KUHP. Kerangka analisis yang digunakan adalah pendekatan hokum berpersentatif feminis yang meletakan hokum sebagai produk politik dan seringkali abai terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan yang beragam. Tulisan ini menemukan bahwa orientasi utama RUU KUHP adalah kepentingan pelaku dan masyarakat, namun tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban. Diasumsikan bahwa dengan mengacu kepada kepentingan masyarakat maka telah berorientasi kepada korban. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan. Tanggung jawab pelaku juga diarahkan untuk memenuhi kepentingan rasa keadilan masyarakat, bukan korban. Selain itu, beberapa pasal pengaturan tentang perbuatan pidana masih mengandung masalah karena RUU KUHP lebih mengoplikasi beberapa UU di luar KUHP namun tidak meevisi pasal-pasal yang berdasarkan pengalaman korban sulit untuk diimplementasikan, sepeti pengaturan PKDRT. Lebih jauh, masih ditemukan pasal-pasal yang memviktimasi korban dengan mengkriminalisasi mereka sesungguhnya adalah korban kekerasan berbasis gender."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2018
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wiyanti Eddyono
"Tulisan ini menganalisis sejauh mana RUU KUHP berorientasi terhadap kepentingan dan perlindungan hak-hak korban, khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis atau normative, yang secara langsung menganalisis pasal-pasal yang ada di RUU KUHP. Kerangka analisis yang digunakan adalah pendekatan hokum berpersentatif feminis yang meletakan hokum sebagai produk politik dan seringkali abai terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan yang beragam. Tulisan ini menemukan bahwa orientasi utama RUU KUHP adalah kepentingan pelaku dan masyarakat, namun tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban. Diasumsikan bahwa dengan mengacu kepada kepentingan masyarakat maka telah berorientasi kepada korban. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan. Tanggung jawab pelaku juga diarahkan untuk memenuhi kepentingan rasa keadilan masyarakat, bukan korban. Selain itu, beberapa pasal pengaturan tentang perbuatan pidana masih mengandung masalah karena RUU KUHP lebih mengoplikasi beberapa UU di luar KUHP namun tidak meevisi pasal-pasal yang berdasarkan pengalaman korban sulit untuk diimplementasikan, sepeti pengaturan PKDRT. Lebih jauh, masih ditemukan pasal-pasal yang memviktimasi korban dengan mengkriminalisasi mereka sesungguhnya adalah korban kekerasan berbasis gender."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2008
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina Inge Nurtjahyo
"RUU KUHP telah menimbulkan perdebatan, khususnya terkait dengan pasal-pasal yang berada di bawah lingkup kesusilaan. Rumusan pasal 488 sangat potensial untuk menimbulkan masalah baru bagi perempuan. Terutama perempuan memiliki kendala dalam mengakses identitas hokum. Pasal ini merupakan refleksi dari gagalnya para ahli hokum yang merumuskan undang-undang dalam memahami pengalaman perempuan terkait dengan aksesnya atas hak untuk memperoleh identitas hokum, terutama dalam konteks relasi dengan pasangan. Hokum pidana bukanlah jawaban atas semua masalah. Tulisan ini disusun dengan menggunakan data baik yang diperoleh dari suatu penelitian lapangan terkait dengan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan hokum adat, yang dilaksanakan oleh penulis beserta tim dari Bidang Studi Hukum dan Masyarakay pada 2015, 2016, dan 2017 di wilayah Indonesia Timur; maupun data hasil analisis teks hokum dan nonhukum. Keseluruhan metode dan analisis atas temuan penelitian menggunakan feminist legal studies feminist legal theoris."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2018
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arif Ramiza
"Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar.

Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A court has a central role in reaching the aim of criminal justice system. The long term aim of criminal justice system is to realize the social welfare. The aim may only be reached by integrating the interest of public community and criminal actors in court decision either condemnation, free from legal prosecution, or discharge from all legal punishment."
343 JPIH 21 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Maxwell Abbott
"ABSTRAK
This article will examine the right of early access to criminal legal aid in Indonesia, both in theory and in practice. In theory, the right of early access to criminal legal aid (the Right) is clear and firmly established in Indonesian law and International law which applies to Indonesia: individuals under arrest or in detention are entitled to receive legal aid at all stages of the criminal justice process. Therefore, law enforcement may not deny or delay a suspect's access to a lawyer during the initial procedural stages of arrest, investigation and detention. This article will argue that the Right meets certain criteria of a clear legal rule, as distinguished from a vaguer legal standard, and we would therefore expect a high degree of compliance with the Right. However, in practice, we find frequent violations of the Right in Indonesia. After reviewing evidence of the violations, the article will conclude by briefly addressing several explanations while maintaining that the Right is a clear legal rule."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2018
340 UI-ILR 8:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Josua
"This article attempts to scrutinize the role of expert under KUHAP and examine how Indonesian courts have interpreted and applied relevant rules and principles of the expert in selected cybercrime cases. It finds that the main role of expert in such cases is providing the courts with opinions on the legal and technical meanings of the legal provisions at stake and their contextualization in the cases. This raises a question whether law enforcement agencies comprehend the execution of the provisions. It also shows that law enforcement agencies are not always interested in getting digital forensic examination from which electronic evidence may be produced. It emphasizes that role of expert under KUHAP is equivocal and views the need to improve the role and principles. In order to improve the role of experts under Indonesian criminal law, the article describes and explains the salient features of expert evidence under Dutch law. The article concludes by making a series of recommendations."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2018
340 UI-ILR 8:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arianda Lastiur Paulina
"Skripsi ini membahas mengenai sextortion atau pemerasan yang dilakukan dengan memanfaatkan konten intim milik korban. Konten intim tersebut didapatkan oleh pelaku dengan berbagai cara, baik itu melalui hubungan konsensual, catfishing, hacking, dan/atau ditemukan konten intim tersebut oleh pelaku. Perbuatan pemerasan sudah diatur dalam peraturan pidana di Indonesia, yaitu KUHP ataupun ketika pemerasan dilakukan dengan menggunakan media elektronik maka diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2008. Namun ketentuan tersebut dinilai masih kurang efisien untuk menangani kasus sextortion yang tentunya berbeda dengan pemerasan dalam ranah umum, karena esensi dari sextortion adalah digunakannya konten intim milik korban untuk menjadi bahan pemerasan dan sextortion termasuk dalam ranah kekerasan seksual. Berdasarkan penelitian yang bersifat deskriptif ini, menyarankan bahwa perlu dikriminalisasikan perbuatan sextortion di Indonesia. Meskipun pada akhirnya sextortion sudah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022 melalui Pasal 14 ayat (2) huruf a jo. Pasal 14 ayat (1), namun tetap saja perlu dirumuskan kembali.

This thesis discusses sextortion or extortion carried out by utilizing intimate content that belonging to the victim. The intimate content is obtained by the perpetrator in various ways, it can be by through consensual relationships, catfishing, hacking, and/or finding the intimate content by the perpetrator. The act of extortion has been regulated in criminal regulations in Indonesia, by the Criminal Code or when extortion is carried out using electronic media, it is regulated in Law number 19 of 2016 jo. Law number 11 of 2008. However, this provision is still considered inefficient to handle cases of sextortion, which is certainly different from extortion in the public domain, because the essence of sextortion is the use of intimate content belonging to the victim to be used as material for extortion and sextortion is included in the realm of sexual violence. Based on this descriptive study, it is suggested that it is necessary to criminalize the act of sextortion in Indonesia. Although sextortion has been regulated in the Act on the Law Number 12 of 2022 through Article 14 paragraph (2) letter a jo. Article 14 paragraph (1), however, still needs to be reformulated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareta Dewi Lusiana
"Melalui penyusunan penelitian kemasyakatan (Litmas) sebagai salah core businessnya, Bapas membawa Pemasyarakatan hadir dan bertugas mulai dari tahapan pra ajudikasi hingga purna ajudikasi. Hadirnya RUU KUHP yang di dalamnya memuat pedoman pemidanaan dan pidana alternatif membuka kemungkinan semakin bertambahnya ruang lingkup Litmas terutama sebagai pre-sentenced report bagi tersangka dewasa. Guna mempersiapkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terkait pengaturan Litmas dalam peraturan perundang-undangan, pandangan aparat penegak hukum terhadap Litmas serta konsep terbaik yang dapat direkomendasikan agar pelaksanaan Litmas dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan pemidanaan. Penulisan tesis ini akan menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini memiliki tiga kesimpulan. Pertama, sejak pertama kali dipraktikan Litmas telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan meskipu mayoritas bersifat internal Pemasyarakatan. Eksistensi Litmas tidak terlepas dari falsafah pemidanaan Indonesia yang dipengaruhi prinsip utilitarian. Kedua, pembuatan dan pelaksanaan Litmas memperoleh respon yang positif dari aparat penegak hukum lain. Untuk mengantisipasi bertambahnya ruang lingkup Litmas ketika RUU KUHP diberlakukan maka perlu adanya dasar hukum yang mengikat aparat penegak hukum di lain dan penguatan sumber daya manusia pembimbing kemasyarakatan. Ketiga, pembaruan hukum pidana Indonesia melalui penyusunan RUU KUHP membuat sejumlah kebaruan. Untuk itu perlu dipersiapkan konsep pelaksanaan Litmas yang mengakomodir perubahan-perubahan yang akan terjadi ketika RUU KUHP diberlakukan seperti pembuatan Litmas yang dimulai sejak pelaku kejahatan masih berstatus tersangka dan juga optimalisasi perlibatan masyarakat serta institusi privat dalam pelaksanaan tugas Pemasyarakatan seperti halnya
yang diterapkan dalam praktek probation service di Belanda.

Correctional Institution works in a system through several agencies in it, one of which is the Correctional Center. Through the probation officer’s report as one of its core businesses, the Correctional Center will carry out its duties from the pre-adjudication to post-adjudication stages. The presence of the Draft Criminal Code which contains guidelines for punishment and criminal alternatives may increase the scope of probation officer’s report, especially as a pre-sentence report for adult suspects. In order to prepare for this, it is necessary to conduct research related to probation officer’s report arrangement in laws and regulations, find out the views of law enforcement officers towards probation officer’s report and the best concept that can be recommended to support the implementation of probation officer’s report. This thesis will use research methods with an empirical juridical approach. This study has three conclusions. First, since it was first put into practice, probation officer’s report have been regulated in various laws and regulations. The existence of probation officer’s report in the criminal justice system in Indonesia is inseparable from the Indonesian philosophy of punishment which is influenced by utilitarian principles. Second, the implementation of probation officer’s report received a positive response from other law enforcement officials. However, to anticipate the increasing scope of probation officer’s report when the Draft Criminal Code is enacted, it is necessary to have a clear legal basis and strengthen human resources for probation officer.Third, the reform of Indonesian criminal law through the drafting of the Criminal Code Bill has created a number of novelties, including formulating of the puspose of the punishment and also the presence concept of criminal individualization. For this reason, it is necessary to prepare a concept for the implementation of probation officer’s report which accommodates the changes that will occur when the Draft Criminal Code is enacted, such as the creation of probation officer’s report which begins when the perpetrators are still suspects and also the involvement of private institutions in carrying out correctional tasks as is applied in the practice of probation service in the Netherlands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>