Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134598 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reda Manthovani
"

ABSTRAK Disertasi ini merupakan penelitian juridis normatif yang dilakukan dengan menggunakan privacy rights theory, prinsip-prinsip internasional tentang penerapan hak asasi manusia dalam communication surveillance dan teori sistem peradilan pidana. Fokus penelitian ini adalah mengkaji bagaimana hukum di Indonesia mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi dari intersepsi baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan serta perbandingannya dengan negara Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris dan Prancis. Hasil penelitian ini mendapati bahwa intersepsi merupakan tindakan yang melanggar zona privasi, tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilarang. Tindakan intersepsi memiliki karakter yang khusus dan berbeda dengan upaya paksa lainnya, oleh karena intersepsi dilakukan dengan cara rahasia, tidak terlihat dan tidak terasa. Penelitian ini menegaskan bahwa intersepsi selain berfungsi sebagai upaya paksa khusus namun terkadang dapat disalahgunakan dan melanggar hak asasi manusia. Intersepsi dipandang sebagai tindakan yang mengurangi hak privasi, namun intersepsi tetap dipergunakan oleh aparat penegak hukum dimanapun didunia ini sebagai salah satu instrumen upaya paksa dengan pertimbangan adanya kebutuhan untuk penegakan hukum. Hal tersebut dimungkinkan karena hak privasi masih termasuk derogable rights sehingga hak privasi masih dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang. Penelitian ini menemukan bahwa intersepsi yang diatur di Indonesia baru sebatas pemberian wewenang (legality) kepada aparat untuk penegakan hukum (legitimate aim) dan belum menerapkan prinsip proportionality dan necessity. Selain itu prinsip admisibility dan due process of law belum sepenuhnya diadopsi dalam hukum acara pidana Indonesia sehingga hakim belum banyak berperan dalam menentukan keabsahan alat bukti yang diperoleh dari intersepsi. Sehingga alat bukti yang diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia pun masih dapat diakui sebagai alat bukti yang sah dan digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya. Hal tersebut berbeda dinegara Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris dan Prancis yang menerapkan menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Penelitian ini menemukan RUU KUHAP saat ini berupaya membangun hukum acara pidana Indonesia yang compatible dengan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia di atas. Oleh karena itu saran dari hasil penelitian ini berupa : Pertama, diperlukan unifikasi bentuk upaya paksa dalam satu peraturan perundang-undangan yang menerapkan prinsip legitimate aim, necessity dan proportionality sehingga intersepsi dipandang sebagai upaya terakhir setelah jalan lain sudah ditempuh sebelumnya. Kedua, memberlakukan hukum acara pidana yang menerapkan prinsip admisibility dan due process of law sehingga hakim lebih berperan dalam menentukan keabsahan alat bukti dan membatalkan alat bukti yang diperoleh dengan melanggar hak asasi. Ketiga merobah klasifikasi alat bukti tertutup yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP menjadi klasifikasi alat bukti terbuka dengan menambahkan klausula pengamatan hakim dalam persidangan sehingga alat bukti apapun dapat diterima di pengadilan (admissible) sepanjang diperoleh secara sah. Keempat, agar RUU KUHAP saat ini diteruskan pembahasannya dan untuk melengkapinya diperlukan suatu RPP yang mengatur secara detail teknis dari tatacara intersepsi, misalnya monitoring pasca dilakukannya intersepsi melalui post audit oleh lembaga eksternal diluar lembaga penegak hukum yang melakukan intersepsi.


ABSTRACT This dissertation is a normative juridical research which has been conducted by using privacy rights theory, international principles about implementing of human rights in communication surveillance and theory of the criminal justice system. The focus of this research is to study how the law in Indonesia accommodates the principles of the protection to the human rights of interception whether in the constitution, legislation, verdicts, and its comparison with the United States, Australia, Netherland, UK, and France. The result of this research found that interception is an intrusion to privacy zone, and it is a forbidden act. Interception, however, has special characteristics and differ with other coercion, therefore interception is done by secret, is not visible and is not noticeably. This research affirm that interception beside has its functions as a special coercion but sometimes can be misused and violate the human rights. Interception is deemed as an action which decrease the privacy right, but however it is used as a tools of state by the law enforcement officer in the world with the law enforcement consideration. It is still possible to be done because the privacy right is classified as derogable rights therefore it is could be limited by the regulations. This research found that the interception regulated in Indonesia is merely granting authority (legality) to the law enforcement agencies (legitimate aim) and yet implemented proportionality and necessity principles. Moreover, the principle of admissibility and due process of law are not entirely adopted yet in Indonesian criminal procedure so that the judge does not get his perfect role in determining the validity of evidence obtained from the interception. It is so that the evidence obtained by violating human rights can still be admitted as a valid evidence and it can be used as a Judge consideration in its verdict. The situation above is different in the law system of USA, Australia, Netherland, UK, and France which have applied such principles. This research found that the Draft of Criminal Procedure Code nowadays tries to build Indonesian criminal procedural law that is compatible with the principles of respecting the human rights, as above. Because of that, the suggestions from this research are, as follow : One, it is required the unification in coercion within one regulations which implement the principles of legitimate aim, necessity and proportionality, therefore interception can be regarded as the last resort after other coercion had previously been through. Two, imposing criminal procedural law which implement the principle of admissibility and due process of law therefore the judge is able to play it’s role in determining the validity of the evidence and exclude the evidence which was obtained by violating human rights. Three, to amend the classification of limited evidence-which is regulated in Chapter 184 Criminal Procedure Code (KUHAP) – to be the classification of unlimited evidence by ammending the clause of judge observation in the trial so that any evidence can be accepted in the court (admissible), as long as it is obtained lawfully. Four, Continuing the discussion of the Draft of Criminal Procedure Code in House Representative, and in order to complement it, it needs a RPP (Draft of Governmental Regulations) which regulates in detail, the technical order of interception, for example : monitoring the things after implementing the interception through post audit by external body outside the law enforcement agencies which implements the interception.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D2581
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Malden: Blackwell, 2008
320.011 GLO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Bagus Trisardono Risandyo
"Tindakan upaya paksa yang dilakukan ketika tahap pemeriksaan perkara seringkali disertai dengan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Saat ini upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah melalui lembaga Praperadilan yang dinilai tidak berjalan secara optimal. RKUHAP mengatur ketentuan terkait lembaga yang berwenang mengawasi jalannya acara pemeriksaan yang diserahkan kepada Hakim Komisaris. Luasnya wewenang yang dimiliki Hakim Komisaris dirasa akan lebih menjamin perlindungan HAM pada tersangka/terdakwa. Namun penggantian lembaga Praperadilan dengan Hakim Komisaris tidak semata akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bermaksud menelaah tiga hal; pertama, pengaturan Hakim Komisaris pada RKUHAP; kedua, peran Hakim Komisaris pada RKUHAP khususnya terkait HAM tersangka/terdakwa; dan ketiga, kendala-kendala yang dapat terjadi dari penerapan Hakim Komisaris. Jenis penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder yang didukung dengan data primer berupa wawancara yang diolah serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, Pengaturan Hakim Komisaris sudah ada dan diatur sejak sebelum Indonesia Merdeka dan kemudian dimasukan kembali pada RKUHAP 1974 hingga 2012; kedua, peran lembaga Hakim Komisaris khususnya terkait perlidungan HAM tersangka/terdakwa dianggap lebih ideal ketimbang Praperadilan karena Hakim Komisaris bersifat aktif dan memiliki wewenang yang lebih luas dan lengkap dalam tahap pra-ajudikasi sehingga berbeda dengan Praperadilan yang hanya bersifat pasif dan represif; dan ketiga, penerapan Hakim Komisaris akan mengalami beberapa kendala berupa kendala normatif (aturan-aturan), kendala kepentingan antar lembaga sistem peradilan pidana, serta kendala geografis yang dimiliki Indonesia.

Coercive measures taken during the case examination stage are often accompanied by arbitrariness which results in human rights violations. Currently, legal remedies that can be submitted by the aggrieved party are through pretrial institutions which are considered not running optimally. RKUHAP stipulates provisions related to the institution authorized to oversee the proceedings of the examination which is submitted to the Judge Commissioner. It is felt that the breadth of authority possessed by the Commissioner Judge will ensure the protection of human rights for the suspect/defendant. However, the replacement of the Pretrial Institution with the Commissioner Judge will not only run as expected. This research intends to examine three things; first, the setting of the Commissioner Judge in the RKUHAP; second, the role of the Commissioner Judge in the RKUHAP, especially regarding the human rights of the suspect/defendant; and third, the obstacles that can occur from the application of the Commissioner Judge. This type of research is a normative juridical research with a conceptual approach and legislation. The type of data used is secondary data which is supported by primary data in the form of interviews which are processed and analyzed descriptively-qualitatively. The results showed that; first, the arrangement of the Judge Commissioner has existed and was regulated since before Indonesia's independence and was then re-introduced in the 1974 to 2012 RKUHAP; secondly, the role of the Judicial Commissioner, especially regarding the protection of the human rights of suspects/defendants, is considered more ideal than pretrial because the commissioner judge is active and has broader and complete authority in the pre-adjudication stage so that it is different from pretrial which is only passive and repressive; and third, the application of the Judge Commissioner will experience several obstacles in the form of normative constraints (rules), inter-institutional interests of the criminal justice system, as well as geographical constraints that Indonesia has."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jesss Ballesteros
"This book analyzes, first part describes the soft threats to human rights, derived from the devaluation of the politics and the productive economy with regard to the finance. It entails the concealment of the reality in the shape of exploitation as the tax havens and in the shape of marginalization of the persons with different abilities. The second part include a study of hard threats to human rights and examines two cases of failed states, Afghanistan and Somalia, in which the violence has supplanted the politics and the economy. In view of these situations it is necessary to rethink the force of classic ius gentium and the humanitarian right. The third part presents the European Union as a legal and political space in which conditions of a worthy life are better defended by means of the primacy of practical reason and social state of law, and by the requirement of peace as the main rule of international relations.
"
Dordrecht, Netherlands: Springer, 2012
e20400090
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Reksodiputro
Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1997
323.402 MAR h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arif Setiawan
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang "Proses Peradilan Pidana di Indonesia dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Secara khusus tesis, ini lebih menitikberatkan kajian terhadap masalah perlindungan HAM bagi tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan. Penelitian ini .bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: (I) Sejauhmana KUHAP telah memberikan dasar-dasar normatif terhadap jaminan perlindungan HAM bagi tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan, (2) Apakah secara normatif KUHAP telah memenuhi syarat sebagai dasar penyelenggaraan proses peradilan pidana yang adil (due process of law) khususnya dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan.; (3) Sejauhmana para petugas penegak hukum pidana di tingkat pemeriksaan pendahuluan telah melaksanakan proses peradilan pidana yang menghargai dan melindungi HAM khususnya bagi para tersangka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek pemeriksaan di tingkat pendahuluan yang dilakukan oleh para petugas penegak hukum masih dijumpai adanya pelanggaran HAM yang merendahkan harkat dan martabat tersangka, masih terjadi pemeriksaan dengan cara kekerasandan ancaman kekerasan baik yang bersifat fisik maupun nonfisik,dan juga diabaikannya pemberian hak-hak yuridis yang dimiliki oleh tersangka seperti hak memperoleh penasehat hukum, hak mendapat kunjungan sewaktu-waktu oleh penasehat hukum tersangka untuk kepentingan pembelaan dan lain sebagainya. Namun demikian dari segi yuridis normatif KUHAP sebenarnya telah memberikan jaminan perlindungan HAM bagi tersangka, dan telah pula memenuhi persyaratan sebagai dasar hukum penyelenggaraan peradilan pidana yang adil (due process of law). Namun ironisnya ternyata KUHAP justru tidak mengatur akibat atau konsekuensi yuridis berupa pembatalan, penyidikan, dakwaan, atau penolakan bahan pembuktian apabila .terjadi pelanggaran hak-hak yuridis tersangka. Disediakannya lembaga Pra Peradilan ternyata tidak cukup menjamin perlindungan HAM tersangka seperti yang dimaksud oleh asas ubi jus ihi rerrudium dan asas ubi rerrtidium ibi jus, yang bermakna jika ada hak yang diberikan hukum maka harus ada keinungkinan untuk menuntut dan memperoleh hak tersebut, dan hanya apabila ada proses hukum untuk menuntutnya dapat dikatakan adanya hak tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Prestianto Rizki Yudha Putra
"Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi telah diterapkan dalam beberapa kasus pidana yang melibatkan korporasi di Indonesia. Namun ditemukan banyak kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam melaksanakan proses hukum terhadap korporasi. Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi untuk melengkapi Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi untuk mempermudah proses hukum terhadap korporasi. Akan tetapi apakah korporasi selaku subyek hukum pidana telah memperoleh perlindungan yang memadai selayaknya subyek hukum manusia? Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Perlu diingat bahwa konsepsi subyek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini masih berfokus pada subyek hukum manusia sehingga penelitian ini akan membandingkan korporasi dengan manusia sebagai subyek hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan dukungan pendekatan wawancara terhadap narasumber yang diharapkan dapat mengkonfirmasi adanya hak dari subyek hukum pidana dan bagaimana kondisi korporasi saat berhadapan dengan hukum pidana ditinjau dari aspek hak asasi manusia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korporasi juga merupakan subyek yang memiliki hak dan kewajiban selayaknya subyek hukum manusia namun terdapat perbedaan mendasar diantara kedua subyek hukum pidana dimaksud yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian penerapan hukum. Ketidaksesuaian penerapan hukum tersebut menimbulkan kerugian bagi korporasi karena korporasi tidak mempunyai perlindungan sebagaimana terdapat dalam konsep hak asasi manusia. Atas dasar tersebut, konsepsi subyek hukum pidana korporasi perlu diadopsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana sehingga hak-hak korporasi sebagai subyek hukum pidana dapat terlindungi.

The concept of corporate criminal liability has been applied in several criminal cases. However, there are challenges faced by law enforcement officers in the criminal justice system against corporation. To address such issues, the Supreme Court has issued Regulation No. 13/2016 on the Procedures to settle Criminal Cases involving corporation, in addition to the Regulation of Attorney General No. PER 028/A/JA/19/2014 on the Guideline to Handle Criminal Procedure for Corporation. These are regulations to address the hurdles of applying corporate criminal liability within the criminal justice system. The question is whether corporation is viewed as subject of Indonesian criminal law. This research attempts to answer such question considering that in Indonesia, the focus is only on individual or human person as a subject of criminal law. Hence, to answer such question, this research will apply normative analysis relying on documentation as well as interview to get confirmation on the presence of rights and obligation of legal entity namely corporation which is quite similar with the rights and obligation of legal person. Nevertheless, there are some differences between them leading to unfortunate situation faced by corporation as corporation lacks of protection under human rights regime. Therefore, the concept of corporation as subject of criminal law needs to be adopted so the rights of corporations can be protected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deborah, Victoria Christine
"Salah satu permasalahan penting yang membahayakan komitmen Indonesia terhadap keadilan dan hak asasi manusia adalah korupsi dalam sistem hukum. Tesis ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana korupsi berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan akses hukum dalam penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan kerangka teori konsepsi keadilan Aristoteles dan John Rawls serta Fraud Triangle Theory karya Donald Cressey, penelitian ini menunjukkan bagaimana perilaku korup aparat penegak hukum seperti pemerasan dan penyuapan berujung pada prasangka dan ketidakadilan dalam sistem peradilan.
Temuan utama penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi menyebabkan pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar masyarakat, khususnya hak untuk diperlakukan secara adil dan setara di pengadilan. Komunitas miskin dan rentan menderita karena ketidakmampuan sistem hukum untuk menegakkan keadilan secara adil, sehingga memperburuk kesenjangan sosial. Lebih lanjut, penelitian ini menekankan perlunya reformasi sistem peradilan secara menyeluruh untuk meningkatkan akuntabilitas, keterbukaan, dan penerapan undang-undang antikorupsi yang lebih kuat.
Kesimpulannya, korupsi dalam sistem hukum menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia meluas dan merugikan integritas penegakan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah pemberantasan korupsi harus diutamakan untuk mencapai keadilan sejati dan menjaga hak asasi manusia di Indonesia.

One critical issue that jeopardizes Indonesia's commitment to justice and human rights is corruption in the legal system. This thesis aims to examine how corruption affects human rights abuses and legal access in Indonesian law enforcement. Based on the theoretical frameworks of Aristotle's and John Rawls' conception of justice and Donald Cressey's Fraud Triangle Theory, this study shows how law enforcement personnel's corrupt behaviors like extortion and bribery lead to prejudice and injustice in the judicial system.
The research's primary conclusions demonstrate that corruption leads to grave abuses of people's fundamental rights, particularly the right to be treated fairly and equally in court. Poor and vulnerable communities suffer from an unjust legal system's incapacity to administer justice fairly, which exacerbates social inequality. Furthermore, this study emphasizes the need for thorough justice system reform to improve accountability, openness, and the application of stronger anti-corruption laws.
In conclusion, corruption in the legal system causes widespread human rights violations and harms the integrity of law enforcement. Therefore, measures to combat corruption must be given high importance in order to achieve true justice and safeguard human rights in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This volume examines human rights in the context of globalization. It discusses the challenges faced by the international human rights framework from contemporary developments such as climate change, global terrorism, and advances in technology. "
Oxford : Oxford University press, 2012
341.48 GLO;341.48 GLO (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>