Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89689 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emmeline Bianca Pujiaji
"Di Indonesia, hubungan antargenerasi antara orang tua dan anak-anak mereka adalah pengaturan kehidupan yang umum karena penting bagi anak-anak untuk mengabdi kepada orang tua. Meski begitu, tidak ada gambaran yang jelas untuk menunjukkan hubungan antara kesejahteraan psikologis orang tua dan kualitas hubungan orangtua-anak dalam konteks kesopanan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji korelasi antara kesejahteraan psikologis dan kualitas hubungan melalui perspektif konflik-solidaritas pada orang tua yang tinggal bersama anak-anak mereka. Kuesioner diberikan kepada sampel 61 pasang tua-tua dan anak-anak mereka yang tinggal bersama. Timbangan yang digunakan meliputi versi pendek dari Ryff (1989) Psychological Well-Being Scale (PWBS) yang berisi 18 item, dan Skala Solidaritas-Konflik Silverstein, Gans, Lowenstein, Giarusso, dan Bengtson (2010) yang mengukur dua dimensi: solidaritas dan konflik yang mempengaruhi. Dimensi solidaritas lain diukur dengan pertanyaan laporan diri tentang interaksi mingguan, dukungan keuangan, perjanjian nilai, dan persepsi tanggung jawab.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan solidaritas afektif lansia (r = 0,246, p <0,05); dan korelasi negatif yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan konflik lanjut usia (r = -0,300, p <0,01). Penatua akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik ketika mereka lebih dekat dengan anak-anak mereka. Jika tidak, kesejahteraan psikologis akan lebih buruk jika ada lebih banyak konflik dalam hubungan mereka. Konflik memiliki peran yang lebih besar untuk menentukan kualitas kesejahteraan psikologis daripada solidaritas. Oleh karena itu, konflik dalam hubungan orang tua-anak harus diminimalkan sehingga hubungan cinta akan lebih bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis lansia.

In Indonesia, intergenerational relationships between parents and their children are a common life arrangement because it is important for children to serve their parents. However, there is no clear picture to show the relationship between psychological well-being of parents and the quality of parent-child relationships in the context of politeness. This study aims to examine the correlation between psychological well-being and relationship quality through the perspective of conflict-solidarity in parents who live with their children. The questionnaire was given to a sample of 61 pairs of elders and their children who lived together. Scales used include a short version of Ryff (1989) Psychological Well-Being Scale (PWBS) that contains 18 items, and the Solidarity-Conflict Scale of Silverstein, Gans, Lowenstein, Giarusso, and Bengtson (2010) which measure two dimensions: solidarity and conflict which influence. Another dimension of solidarity is measured by self-report questions about weekly interactions, financial support, value agreements, and perceptions of responsibility.
The results showed that there was a significant positive correlation between psychological well-being and affective solidarity of the elderly (r = 0.246, p <0.05); and a significant negative correlation between psychological well-being and elderly conflict (r = -0,300, p <0.01). Elders will have better psychological well-being when they are closer to their children. If not, psychological well-being will be worse if there is more conflict in their relationship. Conflict has a greater role to determine the quality of psychological well-being than solidarity. Therefore, conflicts in parent-child relationships must be minimized so that love relationships will be more beneficial in improving the psychological well-being of the elderly.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annies Sekar Firdausi
"Data statistik menunjukkan sebagian besar lansia di Indonesia masih berperan sebagai kepala rumah tangga, dimana tanggung jawab yang berat sebagai kepala keluarga dapat menurunkan psychological well-being. Literatur-literatur sebelumnya menemukan dampak positif maupun negatif dari tinggal bersama coresidence anak dengan psychological well-being lansia, namun literatur yang meneliti mengenai faktor dalam hubungan lansia dan anak yang tinggal bersama masih terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan persepsi kedekatan dan tingkat psychological well-being pada lansia yang tinggal bersama anak. Alat ukur Relationship Closeness Inventory RCI dan Ryff's Scale of Psychological Well-Being RSPWB diadministrasikan pada 102 orang partisipan lansia yang tinggal bersama anak.
Ditemukan bahwa semakin tinggi persepsi kedekatan dengan anak akan menurunkan psychological well-being lansia yang tinggal bersama r = -.114, p > .05. Selain itu, juga ditemukan bahwa tipe living arrangements akan memengaruhi persepsi kedekatan dan psychological well-being lansia.

National statistics showed majority of older people in Indonesia still took the role as a head of family, which was burdening and could give detrimental effects for older people's psychological well being. Although previous studies had found both beneficial and detrimental effects of coresidence with adult children for older parents psychological well being, there were still limited findings on factors that could affect relationship between parents and their adult children in coresidence living.
Purpose of this study was to seek whether perceived closeness with their adult children would be correlated with older parents psychological well being. Relationship Closeness Inventory RCI and Ryff's Scale of Psychological Well Being RSPWB were administered to 102 older parents who had coresidence living with their adult children.
Findings of this study was the increasing of perceived closeness with adult children was followed by the decreasing of older parents'psychological well being, but not significant r .114, p .05 . Furthermore, types of living arrangements were found as a factor which contributed to older people's perceived closeness and psychological well being.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67146
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Kamaril Larasati
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perceived social support sebagai mediator hubungan antara bersyukur dan psychological well-being pada emerging adults. Mengingat masa emerging adulthood merupakan masa transisi, maka psychological well-being sangat penting dimiliki oleh emerging adults. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi dengan 806 emerging adults Indonesia yang berusia 18-25 tahun. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa terdapat indirect effect ( = .05,.00 < .01) dan direct effect ( = .78,. 00 < .01) yang signifikan, yang mengindikasikan bahwa perceived social support memediasi secara parsial hubungan antara bersyukur dan psychological well-being. Dengan kata lain, bersyukur dapat melewati perceived social support terlebih dahulu untuk memengaruhi psychological well-being, namun juga dapat memengaruhi psychological well-being secara langsung.

The purpose of this study was to find out whether perceived social support mediates the relationship between gratitude and psychological well-being in emerging adults. Given maintaining psychological well-being is very important for emerging adults to face transition period. This study used a regression analysis technique with 806 developing Indonesian adults aged 18-25 years. The results of the mediation analysis has shown a significant indirect ( = .05, .00 <.01) and direct effect ( = .78, .00 <.01), which indicates that perceived social support partially mediates the relationship between gratitude and psychological well-being. In other words, gratitude can pass through perceived social support first to influence psychological well-being, but it can also affect psychological well-being directly."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Litha Almira Hediati
"Hubungan yang terjalin antara lansia dan anaknya yang tinggal bersama akan lebih kuat dan terlihat interaksinya sehingga dapat berdampak pada psychological well-being-nya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kualitas hubungan lansia dan anaknya yang tinggal bersama dengan psychological well-being pwb lansia. Kualitas hubungan terdiri dari kualitas hubungan positif dan negatif. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah convenience sampling dengan sampel sebanyak 102 orang lansia. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan lansia dan anaknya adalah Positive and Negative Social Exchanges PANSE dan Ryff's Scale of Psychological Well-Being RSPWB untuk mengukur pwb pada lansia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara kualitas hubungan positif dengan pwb lansia. Kemudian, terdapat korelasi yang negatif dan signifikan antara kualitas hubungan negatif dengan pwb lansia r = -0,335, N = 102, p < 0,01, one-tailed . Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar perilaku tidak simpatik, sikap ikut campur, kegagalan untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan, serta pengabaian/penolakan yang diperoleh dari anak, maka semakin rendah psychological well-being lansia, dan begitu pula sebaliknya.

The relationship that exists between older parent and their child in co residence living will have a salient and stronger interaction so that it may affect their psychological well being. This research was conducted to find the correlation of older parent their child relationship quality in co residence living and their psychological well being pwb. Relationship quality consists of positive and negative quality. The sampling technique used in this research was convenience sampling and sample counted were 102 participants. Older parent their child relationship was measured by using Positive and Negative Social Exchanges PANSE Measurement and psychological well being was measured by using Ryff's Scale of Psychological Well Being RSPWB.
The main result indicated positive and not significant correlation between positive quality and pwb. Then, negative and significant correlation between negative quality and pwb r 0,335, N 102, p 0,01, one tailed . The result showed that the greater the unsympathetic behavior, intrusion, failure to provide needed help, and rejection reglect from the child, then the lower the psychological well being of older parent, and vice versa.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S70059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madinatul Munawaroh
"Karakteristik khusus dari anak dengan autistic spectrum disorder (ASD) umumnya membuat para orang tua khususnya ibu sebagai caregiver utama dari anak-anak ASD memiliki well-being yang rendah. Belum lagi kebutuhan akan pendidikan untuk anak yang mulai memasuki usia sekolah membuat beban dan stres ibu semakin bertambah. Perceived social support diasumsikan mampu menjadi penahan dalam menghadapi situasi yang menekan (stressful). Perceived social support yang dimaksud berasal dari tiga jenis sumber, yaitu keluarga, teman, dan significant other. Penelitian ini melibatkan 32 responden yaitu para ibu dari anak dengan ASD di sekolah inklusif di kota Jakarta Timur dan Depok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara ketiga jenis sumber dari perceived social support dan psychological well-being (r= .446). Jenis sumber keluarga dan significant other berkorelasi positif dan signifikan dengan psychological well-being (r= .360 dan r=.575). Tidak ada perbedaan signifikan antara usia ibu, jenis pekerjaan ibu, status pernikahan ibu, tingkat pendidikan, jumlah anak, pengeluaran per bulan, jenis kelamin anak, jenis ASD anak, dan urutan kelahiran anak dengan ASD.

In general, unique characteristic from chidren with autistic spectrum disorder (ASD) bring negative results for parent’s mental health, especially for mothers who are role as a primary caregiver from children with ASD. Moreover, education need for their school-aged children increase high-level on negative symptoms. Perceived social support assumed as a buffer against stressful events by reducing stress level. Perceived social support which are included from family, friends, and significant other. This research involved 32 mothers of children with ASD.
The results showed that there is a significant and positive relationship between perceived social support and psychological well-being (r= .446). In addition, subtes family and significant other significantly correlated with psychological well-being (r= .360 and r=.575).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Soraya
"Masa lanjut usia (lansia) merupakan tahap terakhir dari tahapan perkembangan manusia yang sering diidentikan dengan masa penurunan dan ketidakberdayaan. Seiring menurunnya kemampuan fisik, lansia membutuhkan bantuan dalam kehidupannya sehari-hari. Living arrangements pengaturan mengenai dimana dan dengan siapa seseorang tinggal ? adalah salah satu perubahan yang dialami lansia berkaitan dengan aspek psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Penelitian Silverstein, Cong, dan Li (2006) mengindikasikan adanya pengaruh antara living arrangements dan psychological well-being. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being lansia yang tinggal bersama keluarga di rumah sendiri, lansia yang tinggal di rumah anak, dan lansia yang tinggal di panti werdha. Selanjutnya ingin diketahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan diantara ketiganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara psychological well-being ketiga kelompok lansia.

Old age is the last phase of human development which often seen as a period of degradation. Since the physical abilities are getting weak, elderly require aid in their everyday life. Living arrangements ? the arrangements of where and with whom someone liveis one of change experienced by elderly related to psychosocial aspect ( Papalia, Olds & Feldman, 2004). Research by Silverstein, Cong, and Li (2006) indicated existence of influence between living arrangements and psychological well-being. By this research, the researchers are willing to find descriptions of psychological well-being of elderly who live in institution, adult children?s house, and own house. Besides, the researchers want to know whether there are difference which significant among the third groups. Result of the research found that there are significant differences among psychological well-being of the third groups of elderly."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Rachmawati Sugianto
"Pada umumnya, semua orang setelah dewasa akan menikah. Namun ada orang-orang yang belum menikah meskipun telah berusia lebih dari usia yang dianggap lazim untuk menikah, yang disebut orang lajang. Dengan mempertimbangkan definisi orang lajang dari Cargan dan Melko, teori perkembangan dari Havighurst dan usia rata-rata pernikahan di Indonesia, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan orang lajang adalah orang-orang berusia 30 tahun atau lebih yang belum pemah menikah.
Kehidupan sebagai orang Iajang seperti memiliki dua sisi. Di satu pihak orang lajang memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesendiriannya, tetapi di lain pihak ia juga harus menghadapi berbagai masalah dan stereotipe dari masyarakat yang sebagian besar bersifat negatif.
Dalam dua dekade terakhir ini jumlah orang lajang terus bertambah, termasuk di wilayah DKI Jakarta. Para ahli manca negara pun mcrasa tertarik untuk meneliti orang lajang, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being. Hasilnya ternyata kontroversial. Ada para ahli yang menemukan bahwa status Iajang berhubungan dengan psychological well-being dan ada pula yang tidak menemukan hubungan antara keduanya.
Selain hasil yang kontroversial, peneiitian-penelitian tersebut juga dilakukan di luar Indonesia dan pada tahun 80-an. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di Indonesia dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Di samping itu, kehidupan orang lajang dengan segala keunntungan dan masalah yang diperoleh dari kesendiriannya menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah psychological well-being mereka. Apakah ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being.
Selanjutnya karena adanya perbedaan kondisi antara pria lajang dengan wanita lajang, maka akan diteliti juga apakah ada perbedaan nilai rata-rata psychological well-being antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah, antara pria lajang dengan wanita lajang dan antara pria menikah dengan wanita menikah. Mengingat psychological well-being juga berkaitan dengan tingkat pendidikan diri tingkat penghasilan, maka juga diteliti apakah ada perbedaan psychological well-being pada subyek dengan tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang berbeda.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psychological well-being dari Ryff serta berbagai teori yang menggambarkan kehidupan orang lajang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan karakteristik pria atau wanita, belum pernah menikah atau yang sudah menikah, berusia 30-40 tahun, bekerja, tamat SLTA dan berdomisili di Jakarta Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan persentase, korelasi point-biserial dan ANOVA. Uji validitas dilakul-can dengan menggunakan teknik korelasi Pearson dan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being. Juga tidak ditemukan adanya perbedaan nilai rata-rata psychological well-being yang signifikan antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah; antara pria menikah dengan wanita menikah; antara pria lajang dengan wanita lajang; antara subyek dengan tingkat pendidikan berbeda dan antara subyek dengan tingkat penghasilan berbeda.
Hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena alat yang tidak mengukur, presentase subyek yang kurang berimbang atau karena sebenarnya hubungan antara status Iajang dengan psychological well-being Iebih terkait dengan kualitas hidup melajang itu sendiri.
Saran yang disampaikan penulis bagi penelitian selanjutnya adalah penyempurnaan alat ukur, menggali lebih dalam mengenai kualitas hidup subyek serta melengkapi pengukuran kuantitatif dengan wawancara mendalam. Sedangkan saran-saran praktisnya adalah agar orang-orang lajang tidak perlu merasa rendah diri, dan kepada masyarakat agar dapat lebih menerima orang lajang sebagai bagian dari mereka, serta yang terakhir kiranya para konselor yang terkait dengan permasalahan orang lajang dapat menggunakan hasil ini untuk membantu orang lajang lebih memahami dirinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandam Kuntaswari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya. Pengukuran perfeksionisme menggunakan alat ukur Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 63 seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionisme dan psychological well-being (r = -0.584; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi perfeksionisme yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah psychological well-being yang ia miliki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dimensi perfeksionisme yang memberikan sumbangan paling banyak terhadap psychological well-being adalah socially prescribed perfectionism. Berdasarkan hasil tersebut, perlu dilakukan intervensi lebih dini terhadap perfeksionisme, terutama pada socially prescribed perfectionism.

This research was conducted to find the correlation between perfectionism and psychological well-being in artists in their young and middle adulthood. Perfectionism was measured by using Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989), and psychological well-being was measured by using Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). The participants of this research were 63 artists currently in their young and middle adulthood.
The main result of this research showed that perfectionism is negatively significant correlated with PWB (r = -0.584; p = 0.000, significant in L.o.S 0.01). This meant that the higher the level of one's perfectionism, the lower the level of PWB in oneself. Other result of this research was that the dimension of perfectionism that contributed the most to PWB was socially prescribed perfectionism. Based on such results, there needs to be an early intervention about perfectionism, especially about the socially prescribed perfectionism.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Ramdhanu
"Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada mahasiswa Universitas Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa program Sarjana Strata Satu dan Diploma Tiga Universitas Indonesia sebanyak 66 orang. Penggunaan Internet diukur dengan alat ukur Internet Attitude Scale yang dibuat oleh Eric B. Weiser pada tahun 2001.
Psychological well-being diukur dengan PWB Scale yang dikembangkan oleh Carol D. Ryff pada tahun 1995, dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh kelompok payung penelitian psychological well-being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2011 (Larasati, 2012). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi Pearson Product Moment, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.362 dengan nilai signifikansi sebesar 0.003 (p<0.01). Ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada Mahasiswa Universitas Indonesia.

The objective of this study was to see the correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia students. Participants of this research were 66 students among undergraduate and vocational program of Universitas Indonesia. Internet use was measured using Internet Attitude Scale, constructed by Eric B. Weiser in 2001.
Psychological well-being was measured using PWB Scale constructed by Carol D. Ryff in 1995, and had been adapted by psychological well-being research group of Fakultas Psikologi Universitas Indonesia in 2011 (Larasati, 2012). The coefficient of Pearson Product Moment reported was 0.362, with 0.003 significance value (p<0.01). Those numbers indicated that there was significant correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia Students.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45839
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezti Wandanuri Putri
"Setiap tahun, ada peningkatan jumlah orang yang didiagnosis dengan autisme, termasuk orang tua mereka. Membesarkan anak dengan autisme adalah tantangan seumur hidup bagi orang tua, dan itu bisa berdampak pada kesejahteraan orang tua. Untuk menjaga kesejahteraan orang tua, mereka dapat memanfaatkan dyadic coping (DC) dengan pasangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi suatu korelasi antara kesejahteraan dan faktor mengatasi diad. Ada 121 orang tua yang berpartisipasi penelitian ini. Kesejahteraan diukur dengan Skala Berkembang dan Skala Positif dan Pengaruh Negatif (Diener et al., 2010), sementara koping diad diukur oleh Diadik Coping Inventory (Bodenmann, 2005). Hasilnya menunjukkan, ada yang positif signifikan hubungan antara faktor kesejahteraan dan DC umum yang berfokus pada emosi, berfokus pada masalah DC umum, juga DC yang mendukung emosi. Ada yang signifikan positif hubungan antara yang berfokus pada masalah mendukung dan mendelegasikan DC dengan psikologis maju.

Every year, there is an increase in the number of people diagnosed with autism, including their parents. Raising children with autism is a lifelong challenge for parents, and it can have an impact on the well-being of parents. To maintain the welfare of parents, they can take advantage of dyadic coping (DC) with their partners. This study aims to evaluate a correlation between well-being and coping factors for dyads. There were 121 parents who participated in this study. Welfare is measured by the Developmental Scale and Positive Scale and Negative Influence (Diener et al., 2010), while dyadic coping is measured by Diadik Coping Inventory (Bodenmann, 2005). The results show, there is a significant positive relationship between welfare factors and general DC that focuses on emotions, focuses on common DC problems, also DCs that support emotions. There is a significant positive relationship between focusing on the problem of supporting and delegating DC with psychologically advanced."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>