Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 223512 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firma Novita
"Penelitian ini mengkaji kompleksitas pengalaman perempuan Batak Toba terkait penerapan falsafah hidup Hagabeon dan otonomi atas tubuhnya pada perkawinan yang belum memiliki anak laki-laki. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe studi kasus. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap 6 (enam) subjek utama. Penelitian ini menggunakan teori Pierre Bourdieu tentang habitus dan doxa, teori Kate Millet tentang Sexual Politics serta teori Eksistensialis Simone De Beauvoir. Hasil analisis menunjukkan pengetahuan terkait dengan falsafah hidup subjek penelitian tidak menunjukkan perbedaan berarti, namun pemaknaan pada masing-masing subjek membuat kondisi tersebut menjadi berbeda. Terkait pengalaman subjek penelitian tentang kontrol atas fungsi reproduksi, subjek penelitian menjelaskan bahwa sudah tidak lagi terobsesi memiliki anak yang banyak. Faktor hidup merantau, kesehatan dan ekonomi menjadi latar belakangnya. Namun, keinginan untuk memiliki anak laki-laki tetap menjadi tujuan mereka. Temuan memperlihatkan subjek penelitian berada pada kondisi paradoks. Mereka menjadi perempuan yang memiliki kesadaran tentang otonomi tubuhnya, dengan bernegosiasi terkait jumlah anak yang jauh lebih sedikit dibanding dengan konsep awal Hagabeon. Di sisi lain mereka tetap menginginkan anak laki-laki sebagai gambaran idealisasi mereka untuk mewujudkan status sebagai perempuan sempurna (Gabe) dalam perspektif budaya Batak Toba, yang dapat dicapai perempuan Batak Toba dengan memiliki banyak anak dan memiliki anak laki-laki sebagai penerus marga.

This study examines the complexity of the experience Batak Toba women that related to the application of Hagabeon`s life philosophy and autonomy over his body in Batak Toba marriages that do not yet have sons. This study used a qualitative approach with case study where data was obtained through in-depth interviews and observations of 6 (six) main subjects. The author used Pierre Bourdieu's of habitus and doxa, Kate Millet`s of Sexual Politics and the Existentialist of Simone De Beauvoir theories. All of these theories basically complement each other and can further explain the problems experienced by the subject of research. The results of the analysis show that the knowledge which is held in relation to the life of philosophy by the research subjects did not show significant differences but the meaning of each subject made the condition different. Regarding to the experience of the subjects about control over reproductive functions, the subjects explained that they were no longer obsessed with having children in large numbers. Life, health and economic factors are the background. Nevertheless, the desire to have sons remains their goal. The findings of this research show that the subject of the study is a paradoxical condition. On the other hand, they become women who have an awareness of their bodies autonomy with negotiate the number of the children far less than the ideal number in the initial concept of Hagabeon. However, on the other hand they still want son who are a picture of idealization for them to realize their status as perfect women (Gabe) in the perspective of Batak Toba culture which can be achieved by Batak Toba women in having many children and having son as successor to the clan."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Tua Maratur
"Skripsi ini membahas mengenai kekerasan yang dialami oleh perempuan Batak Toba, sebagai istri, yang tidak memiliki anak laki-laki. Skripsi ini menggunakan metode studi kasus dengan meneliti kekerasan yang dialami Crosby dan Fanny. Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Interseksionalitas dalam kajian kriminologi feminis dan konsep viktimisasi struktural.
Skripsi ini mencoba melihat mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga dialami oleh Crosby dan Fanny yang merupakan perempuan Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki. Dalam hal ini Crosby dan Fanny menjalani berbagai hal yang semakin memperburuk kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan feminis untuk dapat melihat permasalahan yang dialami perempuan dari sudut pandang dan dunia perempuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam, dan penelusuran data-data sekunder lainnya sebagai teknik pengumpulan data.

This Thesis discusses violence against Batak Toba Woman, as a wife, who does not have any son. This Thesis is a case study that analyzes Crosby?s and Fanny?s case. The theory and concept used in this thesis are intersectionality theory from feminist criminology and structural victimization concept.
This thesis sees why domestic violence can happen to Crosby and Fanny, as Batak Toba women that do not have any son. Crosby and Fanny have experienced many things that make the violence against them worse.
This study uses feminist approach to see the problem that happen to women from their points of view and from the women?s world. The method used in this thesis is a qualitative method with in-depth interviews, and secondary data gathering.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S60139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Princella
"ABSTRACT
Setiap suku di Indonesia memiliki nilai dasar yang dijadikan pedoman dalam hidup. Pada masyarakat Batak, Dalihan Na Tolu merupakan budaya dalam bentuk sistem kekerabatan yang dijunjung tinggi pada masyarakat Batak untuk mendapatkan tiga berkat hidup, yakni hamoraon kekayaan, hagabeon keturunan, dan hasangapon kehormatan. Studi-studi sebelumnya menjelaskan perubahan Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak perkotaan namun tidak membahas bagaimana upaya mempertahankan nilai Dalihan Na Tolu tersebut dalam lingkup keluarga. Penelitian ini ingin membahas bagaimana sosialisasi yang dilakukan pada keluarga etnis Batak Toba dalam menghadapi perubahan sosial di perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dalihan Na Tolu dan 3 tiga berkat hidup orang Batak masih dipertahankan di masyarakat Batak perkotaan. Pola sosialisasi yang efektif digunakan keluarga khususnya orang tua dalam menurunkan nilai Dalihan Na Tolu dan 3 tiga berkat hidup adalah dengan pola sosialisasi demokratis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam pada keluarga Batak Toba yang masing-masing keluarga terdiri dari satu ayah, satu ibu, dan dua anak yang berjemaat di HKBP di DKI Jakarta.

ABSTRACT
Each ethnics in Indonesia has a basic value that is used as a guide in life. In Batak community, Dalihan Na Tolu is a culture in the form of a kinship system that is upheld in the Batak community to get three blessings of life, namely hamoraon wealth, hagabeon generation, and hasangapon honor. Previous studies have explained Dalihan Na Tolu 39 s change to the Batak community in urban context but did not discuss how to maintain the value of Dalihan Na Tolu itself in the family sphere. This research would like to discuss how socialization conducted on Toba families in facing social changes in urban areas. The results show that Dalihan Na Tolu and three blessings of life are still maintained in Batak community in urban context. The effective socialization patterns used by families, especially parents in teaching Dalihan Na Tolu and three blessings of life is the democratic socialization. This research used qualitative method with in depth interview to Toba family which each family consist of one father, one mother, and two children who are members of HKBP in DKI Jakarta. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Debby Sonita F.
"ABSTRAK
Adat Batak Toba yang didasarkan pada sistem kekerabatan patrilineal mempengaruhi perlakuan orangtua dan masyarakat terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Perlakuan tersebut memiliki kaitan dengan konsep diri yang terbentuk pada diri mereka^ terutama pada perempuan yang menjadi tokoh inferior dalam adat Batak Toba. Dengan alasan tersebut. penelitian ini berusaha menggali bagaimana gambaran konsep diri yang terbentuk pada perempuan Batak Toba dewasa muda yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Pendekatan dalam penelitian ini adalah melalui kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner dan wawancara. Dari hasil pemerolehan data dengan menggunakan kuesioner, ditemukan bahwa subyek dengan konsep diri positif cenderung memiliki kemantapan dan keyakinan dalam memandang dan menilai diri sendiri, memiliki konsep diri yang terintegrasi dengan baik, namun cenderung untuk tidak terbuka sehingga melakukan kecurangan tfaking). sedangkan subyek dengan konsep diri negatif cenderung memiliki keraguan dalam memandang dan menilai diri sendiri, memiliki konsep diri yang juga terintegrasi dengan baik, dan cenderung terbuka. Dari hasil pemerolehan data melalui wawancara, ditemukan bahwa semua subyek (2 orang) mengakui bahwa adat Batak Toba memberi pengaruh paling besar pada subdimensi kepuasan (internal) dan subdimensi keluarga (eksternal) konsep diri mereka. Seluruh subyek juga mengaku bangga dan bersyukur telah dilahirkan sebagai perempuan Batak Toba. 'l Selama ini, penelitian mengenai pengaruh adat Batak Toba terhadap konsep diri lebih terfokus pada laki-laki yang menjadi tokoh superior dan esensial dalam masyarakat Batak Toba. Padahal, pada kenyataannya adat Batak Toba juga berpengaruh terhadap konsep diri perempuan."
2005
S3488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahala, Sumijati
"Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat Batak. Sejak tahun 1961. MA mengeluarkan putusan yaitu Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).
Permasalahan utama yang dihadapi adalah apakah warga masyarakat adat Batak masih berpegang pada hak waris dalam hukum adat Batak sehingga menjadi kendala bagi penerapan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam mengamati kehidupan warga masyarakat Batak Toba di Jakarta, digunakan teori jender, antropologi hukum dikaitkan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Jender manurut Saparinah Sadli merupakan sejumlah karakteristik psikologis ditentukan secara sosial dengan adanya seks lain, dasar hubungan jender itulah diasumsikan dengan adanya perbedaan analisis. Dalam menganalisis peran laki-laki. dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam kenyataannya bekerja, yang rumusan hukum tidak hanya hukum yang tertulis saja tetapi juga aturan yang tidak tertulis, Menurut rumusan von Benda Beckmann hukum merupakan konsepsi kognitif dan normatif termasuk didalamnya prinsip, adat dan norma-norms lainnya.
Bekerjanya hukum dalam kehidupan warga masyarakat Batak juga. dapat dilihat apakah hukum adat itu masih hidup dan diterapkan. Moore dalam penelitiannya terhadap orang Chagga di Tanzania, Afrika. rnengemukakan bahwa betapa pentingnya hukum untuk mengadakan perubahan sosial (Sally Folk Moore ; 1993: 1-18). Hukum yang dimaksud adalah hukum tanah yang merupakan undang-undang dan dapat diterapkan untuk menggantikan pedoman-pedoman yang berlaku tentang kepemilikan tanah, menjadi diawasi melalui sistem kepemilikan yang diambil alih seluruhnya oleh negara. Penelitian Moore ini mirip dengan penelitian tentang hukum waris pada suku bangsa Batak. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dan bersifat kualitatif Kami menggabungkan beberapa teknik penelitian, yaitu dalam mengumpulkan informasi diterapkan metode telaah kepustakaan dan beberapa dokumen yang berbentuk keputusan dan tulisan. Untuk melengkapi data tersebut kami juga mengikuti kegiatan adat dalam kehidupan sehari-hari antara warga masyarakat Batak di Jakarta dengan pengamatan terlibat (participation-observation), disamping data yang didapat dari lima orang ketua adat sebagai informan. Data juga didapat dari kuesioner yang disebarkan kepada 40 orang wanita dari marga Simandjuntak dan Pasaribu dan untuk lebih memahami serta menghayati pengalaman wanita dalam masalah warisan, diadakan wawancara secara mendalam (depth-interview) terhadap sepuluh orang ibu yang diambil secara snow-ball.
Hasil penelitian dapat disimpulkan sbb ; walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di Jakarta sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan. Satu hal yang ditemui dalam penelitian ini adalah bahwa pengertian perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan pada warga masyarakat Batak Toba di Jakarta tidak pada hal yang negatif saja, lebih jauh perbedaan peran tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keamanan (emotional security) bagi anak perempuan mereka, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Nurseli Debora V.
"Sinamot yang dimaknai oleh orang Batak Toba selama ini sebagai tuhor ni boru membawa ketidakadilan bagi perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan distereotipe sebagai "yang dibeli" menimbulkan posisi subordinat terhadap perempuan. Tesis ini membahas realitas praktik sinamor dan pemaknaan perempuan atas sinamot dan tuhor ni boru dalam perkawinan adat Batak Toba di Jakarta untuk memperlihatkan apakah sinamot yang arti harfiahnya harta sama dengan tuhor ni boru yang arti harfiahnya uang pembeli perempuan. Sinamot dibagikan kepada keluarga dan kerabat kedua belah pihak. Dengan menggunakan penelitian kualitatif dan perspektif feminis, realitasnya di Jakarta sinamot menjadi sumbangan wajib orang tua mempelai lelaki ketika orang tua mempelai perempuan sebagai penyelenggara pesta perkawinan adat Batak Toba.
Kecenderungan di Jakarta orang tua mempelai perempuan sebagai penyelenggara pesta perkawinan adat, berbeda dengan di Toba. Akibatnya, orang tua mempelai perempuan dan mempelai perempuan "rela berkorban" mengeluarkan dana yang belipat ganda dari jumlah sinamot yang diserahkan orang tua mempelai lelaki.
Peran produksi, reproduksi, dan komunitas perempuan menjadi alasan bahwa perempuan "tidak dibeli". Hasil penelitian ini menyarankan supaya perundingan sinamot membicarakan berapa seluruh biaya pesta, lalu biaya dibagi dua oleh kedua belah pihak sebagai pola dasar pembagian tanggung jawab biaya yang lebih adil bagi pihak perempuan, dan perlu dilakukan sosialisasi kepada berbagai komponen dalam masyarakat, lembaga agama, dan lembaga pendidikan.

Sinamot as purported by the Toba Bataks all this time to mean tuhor ni boru does not bring justice to women. In everyday life women are stereotyped as "bought" and thus is created their position as the subordinate one. This thesis examines the reality of the sinamot practice and women?s purport of sinamot and tuhor ni boru in Toba Batak traditional marriages in Jakarta to reveal whether sinamot which literally means "riches" is synonymous with tuhor ni born which literally means "woman-buying money". Sinamot is shared between the head of family and relatives of both parties. Researched with qualitative methods and feminist perspectives, in reality, in Jakarta sinamot is a compulsory donation made by the groom's parents while the bride?s parents host the traditional Batak wedding.
The tendency in Jakarta is for the bride?s parents to host the traditional wedding ceremony, different to the custom in Toba. Consequently, the bride's parents and the bride are willing to make a ?sacrifice? and spend an amount of money many time over the amount of the sinamot given by the groom?s parents. The productive, reproductive, and community role of women be reasons that women are not "bought".
The results of this research suggests that the sinamot's deliberation should discuss the points of the wedding ceremony?s total cost, and those costs should be divided in two between both parties as a pattern for the allotment of cost responsibilities that is more just towards women. Various components within the people, religious and educational institutions should also be illuminated."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33355
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irin Oktafiani
"ABSTRAK
Skripsi ini menjelaskan mengenai pola pengasuhan dua anak laki-laki bergejalaautis dalam keluarga Batak. Perasaan sayang yang dirasakan oleh orangtua kemudian terbentuk menjadi perilaku dalam pengasuhan anak mereka. Walaupun lahir dengan keadaan berbeda, anak laki-laki bergejala autis tetap diasuh seperti anak normal lainnya dalam rangka mempertahankan nilai budaya dalam masyarakat Batak. Pengumpulan data dilakukan dengan cara in-depth interview dan pengamatan untuk mendapatkan data yang menjelaskan keterkaitan pengasuhan dua keluarga dengan anak laki-laki bergejala autis, terhadap nilai budaya masyarakat Batak, yaitu hamoraon, hagabeon, dan hasangapon.

ABSTRACT
This thesis explains about upbringing patterns of two male child with autism symptoms in Batak’s family. The love felt by the parents then, becomes into behaviors to raise their children. Although born in different being like others, but these male child with autism symptoms still treated like normal children to keep the Bataknese cultural values. Datas collected by in-depth interview and observation way to explain about the connection between the upbringings of two families of boys with autism symptoms towards Bataknese cultural values of hamoraon, hagabeon, and hasangapon."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57534
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana E.M. Pambudy
"Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana strategi perempuan pengusaha dalam menyeimbangkan antara karier sebagai pengusaha dengan relasi gender di dalam rumah tangga dan bagaimana perempuan membangun otonomi di dalam relasi-relasi tersebut. Subjek penelitian adalah enam perempuan pengusaha di Jakarta dan strategi penelitian menggunakan metode riwayat hidup disertai triangulasi dengan mewawancarai mendalam para suami dan anak laki-laki mereka. Penelitian menggunakan teori-teori feminis menyangkut relasi kekuasaan dan pembagian kerja secara seksual serta teori-teori kewiraswastaan menyangkut pembentukan kewiraswastaan dan relasi antara tipe usaha dan penerimaan atas peran gender konvensional. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perempuan sama aktifnya dengan laki-laki dalam menjadi wiraswata dan sumbangan ekonomi mereka terhadap pendapatan keluarga pada beberapa kasus lebih besar dibandingkan dengan para suami. Sumbangan nyata ekonomi perempuan tersebut mendorong terjadinya relasi gender yang lebih setara di dalam rumah tangga, memudarnya nilai-nilai patriarkhi, dan meningkatkan otonomi perempuan. Relasi yang bersifat interdependensi ini memungkinkan perempuan pengusaha meyeimbangkan antara karier dan rumah tangganya.

This thesis is focused on the strategies of women entrepreneurs in balancing their career and gender relations in their households. The research uses life histories method, and six women entrepreneurs in Jakarta stand as research subjects. To triangulate findings, apart from the subjects, depth interview had also been conducted to husbands and eldest son as a substitute to the passed away husband. Feminist theories about power relations and labor divisions as well about entrepreneurship are employed to analyze factors shaping women entrepreneurship and it is affected by traditional gender values. Findings show that women entrepreneurs are as dynamic as men in making venture and give significant share, even larger for some cases, in household income. As a result, more equal gender relations within the household are established and patriarchal values are diminishing. In addition to these, women's autonomy in relations with other members of household and their kinship group is more encouraged. Research concludes that interdependent relations resulting from above factors allow women entrepreneurs to balance their career with their household duties."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T14593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Larasati
"Skripsi ini membahas mengenai alasan perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris dalam masyarakat adat Batak Toba serta hak perempuan terhadap harta kekayaan ayahnya. Pembahasan dilakukan melalui studi literatur, pengamatan di lapangan, serta wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif, meliputi penelitian terhadap pengertian dan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, serta pendekatan empiris untuk memperoleh fakta mengenai perilaku subyek hukum terkait dengan permasalahan yang dibahas. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris karena pada dasarnya, kehidupan perempuan merupakan tanggung jawab dari laki-laki baik ayah maupun saudara laki-lakinya , perempuan juga sudah tidak akan menjadi anggota kerabat dari klan ayahnya ketika ia menikah sehingga tidak ada hubungan hukum, dan masyarakat adat Batak Toba menghindari adanya tindakan pengalihan harta apabila terjadi pemberian warisan kepada perempuan. Perempuan juga memiliki hak untuk menikmati kekayaan ayahnya, yang dapat diperoleh dengan melalui pemberian dari pewaris ataupun pemberian dari saudara laki-lakinya. Walaupun Negara, melalui putusan Mahkamah Agung tahun 1961, telah memutuskan bahwa perempuan adalah ahli waris yang sama kedudukannya dengan laki-laki, tidak semua masyarakat Batak Toba mengakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris, terutama bagi keluarga Batak Toba yang masih bertempat tinggal di Desa Sibuntuon, dan tidak ada keseragaman pemahaman akan hak perempuan terhadap harta kekayaan orangtuanya yang diakibatkan tidak tertulisnya hukum waris adat Batak Toba. Dalam hal ini para tokoh Adat yang menekuni hukum adat Batak Toba dapat turut andil dalam memberikan pengertian terkait dengan proses waris-mewaris dalam masyarakat Batak Toba.

This thesis talks about the reasons why Batak women are not regarded as a legal heir in Batak Toba's custom and also their rights on their father's properties. The discussion is held through thorough literature study, field observatory and interviews. The research in this discussion is done through a normative approach, including research through legal understanding and provisions, whether it is written or not, as well as an empirical approach to obtaining facts about the behavior of legal subjects related to the issues discussed. The research has come to a conclusion that woman in Batak Toba's custom is not considered as a legal heir because they are considered as a responsibility of men whether it is their father or their relatives and women in Batak Toba's customs are no longer considered as a true relatives of their father's family clan as soon as they are married, which leave them with no legal relationship with their father. Although they are not considered as a legal heir, Batak Toba women also have the rights to enjoy their father's riches, which they can gained from the heir or gifts from their brothers. Although Indonesia's Law through the Supreme Court's decision of 1961 has ruled out that women are in the same position of heirs to men, not all Batak Toba community especially those in Sibuntuon Village consider women as heirs. There is also no uniform understanding of women's rights to their parents' property due to the unwritten law of the inheritance of Batak Toba. In this case, those who are considered as indigenous leaders in the community who pursue the customary law of Batak Toba can contribute in providing understanding about the inheritance process of Batak Toba community.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wabilia Husnah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interseksionalitas latar belakang dan otonomi relasional perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi pengantin pesanan dari Indonesia ke Tiongkok. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang menggunakan kerangka analisis interseksionalitas dan otonomi relasional. Studi ini melakukan penelusuran riwayat hidup dua perempuan penyintas asal DKI Jakarta dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban pengantin pesanan adalah perempuan dengan latar belakang dan pengalaman hidup yang beragam. Terdapat interseksi latar belakang dan pengalaman teropresi perempuan di domain struktural, disiplin, hegemoni dan interpersonal yang memengaruhi pemaknaan konsep pernikahan dalam diri perempuan, serta menyebabkan perempuan tertentu rentan menjadi korban pengantin pesanan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebab utama yang melatari perempuan menjadi korban dalam industri pengantin pesanan ke Tiongkok adalah faktor interseksional, yang meliputi faktor ekonomi, sosial-budaya, hubungan interpersonal serta pengalaman hidup. Semua faktor saling berkelindan satu dengan lainnya, sehingga tidak ada satupun faktor dominan yang menjadi latar belakang perempuan menjadi korban pengantin pesanan. Proses pengambilan keputusan, mulai dari pembentukan keinginan, pembentukan kompetensi untuk menjadi otonom, hingga pengambilan tindakan secara otonom perempuan, dipengaruhi oleh interseksi latar belakang, pengalaman teropresi, nilai-nilai sosial, praktik budaya, karya sastra, serta hubungan sosial perempuan dengan sindikat pengantin pesanan, orang tua, anak, dan significant others. Mereka memiliki otonomi relasional karena memutuskan sendiri untuk menikah dengan laki-laki Tionghoa, berdasarkan pertimbangan interseksionalitas berbagai determinan sosial yang kompleks tersebut.

This research aims to examine the intersectional background and women's relational autonomy in making decision to become mail-order bride from Indonesia to China. This is qualitative research with a case study approach, which uses intersectionality and relational autonomy analysis framework. This study traces the life history of two women survivors from Jakarta and in-depth interviews. The results show mail-order bride victims are women with diverse backgrounds and life experiences. Therefore, there is no single dominant factor that leads the women to become victims. There is an intersection of the background and oppressive experience of women in the structural, disciplinary, hegemonic, and interpersonal domains that influence their meaning of the concept of marriage and cause certain women are vulnerable to becoming victims. This research concludes that the main factor that causes women to become victims in the mail-order bride industry is intersectional factors, which include economic, socio-cultural, interpersonal relationships, and life experiences. All factors are intertwined with one another, therefore there is no single dominant factor that causes them to become victims of mail-order bride. In the decision-making process, women are not passive victims. The decision-making process, from the formation of desires, the formation of competencies to be autonomous, to the autonomous action of women, is influenced by the intersection of backgrounds, oppressive experiences, social values, cultural practices, literature work, and women's social relations with the mail-order bride syndicate, parents, children, and significant others. They have relational autonomy because they decided on their own to marry Chinese men, based on considerations of the intersection of various complex social determinants."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>