Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197985 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusnan Hadi Mochtar
"Perempuan ulama dapat disebut sebagai aktor non negara dalam kajian Hubungan Internasional. Secara lebih spesifik, mereka termasuk dalam kaum feminis Islam karena adanya prinsip keadilan gender yang dijunjung dalam mengadvokasi hak perempuan. Tesis ini menganalisis dua hal yakni mekanisme advokasi oleh perempuan ulama progresif dan tantangan yang dihadapi mereka untuk konteks Indonesia. Dalam menganalisis mekanisme advokasi yang dilakukannya, peneliti menggunakan kerangka konseptual jaringan feminis transnasional berupa politik informasi, simbolik politik, leverage politic, dan akuntabilitas politik. Pada konteks politik informasi, peneliti menemukan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi seperti internet sebagai alat dalam mengedukasi nilai-nilai hak perempuan. Pada level simbolik politik, tokoh perempuan Muslim salah satunya seperti Aisyah digunakan oleh perempuan ulama Indonesia untuk mengadvokasi nilai kesetaraan perempuan dalam dunia politik. Selain politik informasi dan simbolik politik, para aktivis juga menggunakan strategi leverage dan akuntabilitas politik sebagai bentuk penggalangan dukungan dari organisasi internasional maupun forum dunia dalam upaya advokasi hak perempuan. Meskipun dukungan hadir dari berbagai pihak, tantangan tetap dihadapi oleh perempuan ulama. Peneliti menemukan tiga tantangan yakni adanya peningkatan kekuatan kelompok Muslim konservatif yang cenderung menolak prinsip keadilan gender, ketidakmampuan pemerintah dalam membuat kebijakan pro perempuan, serta adanya stereotipe buruk dari sebagian kalangan mengenai nilai kesetaraan perempuan. Sebagai aktor non negara, perempuan ulama progresif menjadi menarik untuk diteliti. Adapun beberapa alasannya adalah sebagai kritik terhadap kajian HI yang cenderung state centric dan abai terhadap perempuan dan isu moralitas, serta untuk mengisi kekosongan literatur pada isu jaringan advokasi transnasional yang cenderung sekular.

Women ulama is one of non-state actor in International Relations. For more specific, women ulama could be categorized as Islamic feminist because upholds gender equality value within Islam as a strategy to advocate womens rights. This research analyses two things. First, on how they advocate womens rights in Indonesia through transnational advocacy networks perspective. Information politics, symbolic politics, leverage politics, and accountability politics are used by them to pursue their goal. In term of information politics, the role of technology such as internet is significant to disseminate gender equality value. Symbolic politics refers to how women ulama use some women figures in politics to narrate that they have equal capability in leadership and public sphere. Meanwhile leverage and accountability politics refers to transnational networking between women ulama Indonesia some international organizations and world forum to gain more power and support. Even though they gain support, we could not negate the challenges. First, the emerging of conservative Islamic populism in any part of the world that affects Indonesia. It does not only threaten democracy but also the value of gender equality. Second, the lack of political will coming from Indonesian government to promotes womens rights. Third, the presence of bad stereotype about gender equality becomes another issues for women Ulama. As one of non-state actors, women ulama is significant to discuss. Their presence has three critical points for International Relations subject. First, the significant of women Ulama as non-state actors in global politics. Second, the matter of morality that tends to be neglected by IR. Three, the matter of religious dimension in transnational advocacy networks
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Genta Maulana Mansyur
"Meminjam kerangka analisis feminis, kajian Lingkungan Global dalam khazanah ilmu Hubungan Internasional muncul karena relung akademis yang belum membahas aspek lingkungan pada konstelasi politik global. Akan tetapi, seiring perkembangannya, kajian lingkungan global masih menggunakan pendekatan tradisional dengan hanya menitikberatkan peran aktor elit atau struktural dalam pembahasannya, yakni: sistem pasar internasional, negara, dan institusi lingkungan global. Skripsi ini akan melihat bagaimana pemikiran Feminis dalam HI menganalisis suatu potret alternatif pada peran agensi perempuan sebagai aktor dalam isu lingkungan global. Pendekatan pluralis dalam lingkungan global digunakan dalam menganalisis peran agensi perempuan karena memiliki dimensi yang luas dan bersifat inklusif terhadap peran perempuan sebagai agensi lingkungan berkaitan erat dengan pembangunan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data sekunder melalui studi litertur dan analisis sumber sekunder lainnya seperti dokumen konvensi internasional, hasil wawancara, dan berita. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa agensi-agensi perempuan sebagai aktivis lingkungan di berbagai level memengaruhi tatanan lingkungan global dengan adanya pengarusutamaan gender dan inklusi dimensi gender yang mengakui dan mendorong partisipasi peran perempuan. Skripsi ini mengisi relung akademis pendekatan pluralis pada kajian lingkungan global dalam ilmu HI dengan membahas peran aktor non-struktural yaitu agensi perempuan, juga menyediakan representasi alternatif perempuan dalam isu lingkungan sebagai aktor aktif bukan sebatas sebagai korban.

Utilizing feminist frame of analysis, Global Environment studies in International Relations emerged from the absence of environmental aspect on the discussion of global political phenomenon and dynamics. However, along the academic development, global environment studies still adopts traditional International Relations analysis through the highlight over the roles of mostly elite global actors, such as: the global market system, states, or global environmental institutions. This study will discuss how feminist in IRs analyzes an alternative portrait on the role of womens agency within the global environmet issues. Plural approach in global environment studies through Women, Environment, and Development theory (WED) is applied in analyzing the roles of women as environment agency which is heavily linked towards sustainable development.
This study uses qualitative research method through literature study and collects sources from secondary data, such as: international convention documents, literatures, interview script and news. The study finds that womens experiences as environment agency within several level of analyses affects the global environmental order with the incorporation of of gender mainstreaming approach and gender dimension inclusion which highlight the role of women on global initiatives and institutions. This study fills in the academic gap of plural approach on global environment studies by discussing the role of women agency as non-structural actor, as well as providing alternative representation of women in the issue of global environment issues as active actors not only victims.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fatimahtuzzahro
"Keberadaan Ulama perempuan di Pesantren Buntet adalah bukti konkrit atas kemampuan dalam memimpin dan dalam melakukan kerja sosial untuk mewujudkan harapan dan keinginan masyarakat agar terbentuk kemanusiaan yang adil beradab dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat, seperti permasalahan praktik pernikahan anak. Dalam pandangan keilmuanya, masyarakat bertumpu dalam mengambil keputusan. Tujuan dari penelitian ini yaitu: Menganalisis pelibatan kepemimpianan ulama perempuan dalam permasalahan pernikahan anak di Pondok Pesantren Buntet Cirebon, serta mengetahui sinergitas ulama perempuan dalam permasalahan pernikahan anak di Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengolah dan menghasilkan data yang berbentuk penguraian deskritif. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data berupa : observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisa yang digunakan peneliti adalah analisa induktif, yaitu berupa kata-kata, gambar. Dalam wawancara ini penulis telah mewawancarai tujuh Nyai sentral di Pesantren Buntet sebagai informan utama dan para santri putri berjumlah 4 orang. Teori ketahanan berjenjang yang ditulis oleh Berry Buzan dalam buku yang berjudul people states and fear memberikan ruang gerakan untuk memberikan perlindungan pada perempuan dan anak. Gagasan Berry Buzan ini mengambil dari Kenneth N Walzt kemudian dikembangkan kembali oleh Berry Buzan yang membahas masalah keamanan melalui pendekatan ketahanan berjenjang. Dari teori ketahanan berjenjang, dipadukan dengan teori kepemimpinan. Menurut Zaccaro, Kemp & Badder (2004) mengatakan bahwa potensi kepemimpinan terdiri dari Trait yang majemuk. Dimana Trait terdiri dari : kepribadian, motivasi, nilai, kemampuan kognitif, ketrampilan social dan pemecahan masalah, keahlian. Legitimasi kedudukan peran Ulama perempuan pesantren Buntet Cirebon semakin mengakar pada masyarakat dan pemangku Kebijakan Negara, untuk mencegah pernikahan anak. Hal ini dilakukan dalam kegiatan majelis ta`lim, penguatan kurikulum gender, pembuatan regulasi daerah dan negara.

The existence of female clerics in Buntet Islamic Boarding School Cirebon was concrete evidence of the ability to lead and carrying out social work, to actualize the hopes and desires of the people to form a civilized community resolving various problems that arise in the community, such as the practice of child marriage. In scientific view, community rely on decision-making. The objectives of this study are; to analyze the involvement of female clerics in the issue of child marriage and to find out the synergy of female clerics in the matter of child marriage at Buntet Islamic Boarding School. This research is qualitative research that processes and produces data in the form of descriptive elaboration. The methods use in data collection are: observation, interviews, and documentation studies. The analysis technique is inductive analysis, in the form of words, images, and events. For the interviews, the author interviewed seven central Nyai in Buntet Islamic Boarding School as the main informants and four female students. The tiered resilience theory written by Berry Buzan in his book People States and Fear, provides a space for movement to provide protection for women and children. The idea was taken from Kenneth N Walzt and later redeveloped by Berry Buzan, which discussed security issues through a tiered endurance approach. This research would combine the theory of tiered resilience with leadership theory. According to Zaccaro, Kemp & Badder (2004) leadership potential consists of multiple traits, such as personality, motivation, values, cognitive abilities, social skills, and expertise in problem solving. The legitimacy of cleric role in Cirebon`s Buntet Islamic boarding school was increasingly rooted in the community and stakeholders in state policy to prevent child marriage. This was done in activities of the majelis ta`lim, strengthening the gender curriculum, making regulations on regions and state.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
297.61 ULA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
R 920.725 98 ULA
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Rouledge, 1995
323.34 WOM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Hasna Shofiyya
"Tesis ini membahas tentang bentuk negosiasi identitas perempuan Muslim antara dirinya dan keluarga atau lingkungan sekitarnya terkait ideologinya yang menganut agnostisisme. Penelitian akan dilakukkan dengan melakukan analisis terhadap tiga artikel yang dipublikasikan di sebuah majalah-web yang bernama Magdalene.co. Analisis teks akan dilakukkan dengan menggunakan teknik analisis feminist stylistics yang dikemukakan oleh Sara Mills. Penelitian ini membuktikan bahwa merahasiakan identitas diri merupakan strategi negosiasi identitas diri sebagai seorang penganut agnostisisme yang dilakukan di dalam lingkup keluarganya yang masih konservatif. Meskipun demikian, konfrontasi juga perlu dilakukan untuk mencapai integrasi antara penulis dengan keluarganya. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa, berdasarkan artikel yang dipublikasikan, penulis belum mencapai hasil akhir dari negosiasi identitas yang dilakukan. Penulis belum mencapai hasil akhir berupa penerimaan dan pengakuan atas identitas penulis oleh keluarganya. Penelitian ini juga membuktikan bahwa Magdalene.co sebagai sebuah media yang mengusung nilai feminisme, mampu menjadi ruang aman bagi audiensnya untuk beropini. Seperti dalam kolom komentar, di mana para pembaca dapat dengan bebas mengungkapkan pandangannya mengenai artikel yang dipublikasikan. Oleh karena itu, pada kolom inilah pertarungan ideologi dapat terjadi antar-pembaca atau terkadang dengan penulis artikel itu sendiri.

This thesis will be analyzing the process of negotiating a Muslim woman's identity who is also an agnostic in front of her family or relatives. This research will analyze three articles published in a feminist web magazine called Magdalene.co. Sara Mills'theory of feminist stylistics will be used as a device to analyze the articles. According to this research, keeping their agnostic identity as a secret is the common way of negotiating their identity towards their conservative family. However, to some extent the writers need to confront their family as a way to find integration between them. This research also shows that the writers have not reach the desired results from their identity negotiation. The final outcomes of identity negotiation are approval and acknowledgement of their identiti from their family or environment in general. This research also shows Magdalene.co's role as a feminist media to provide safe space for their audience, especially women, to elicit their opinon. The comment section is where the reader can speak up their mind about the articles published in Magdalene.co. Hence the ideological contention in the comment section between readers and sometimes the writers themselves.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51563
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rochmiatun
"Hingga pertengahan abad XX terdapat perbedaan kategori ulama (ulama birokrat/ulama penghulu dan ulama non-penghulu/ulama bebas) di Palembang. Hal ini bermula dari proses birokratisasi agama, ketika sistem kekuasaan merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan keagamaan atau ketika kekuasaan melihat agama harus dikendalikan. Sementara itu, sejak dekade kedua abad XX banyak terjadi konflik antara ulama-ulama bebas maupun ulama birokrat Palembang yakni antara ulama bebas yang berorientasi Islam tradisionalis dan ulama bebas yang berorientasi Islam modernis. Di sisi lain, bersamaan dengan bangkitnya gerakan Islam modernis di Palembang, pada awal abad XX, berdatangan juga para ulama tradisionais lainnya yang bermukim di Mekkah. Ulama-ulama yang berfaham Islam tradisionalis ini diantaranya mulai melakukan upaya gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yakni dengan mendirikan lembaga berupa "Madrasah". Upaya pendirian lembaga pendidikan dengan sistem madrasah ini menunjukkan bahwa adanya unsur "pembaharuan" yang kemudian menegaskan perbedaannya dengan sistem pendidikan Islam tradisional.
Kajian ini mengungkap kontinuitas tradisi keilmuan dalam bentuk penulisan karya-karya keagamaan serta pengajaran agama yang dilakukan oleh ulama bebas dan ulama birokrat setelah Kesultanan Palembang dihapus, serta peran ulama bebas dan ulama birokrat di Karesidenan Palembang di tengah wacana adanya gerakan pembaharuan Islam dan gerakan nasionalisme. Dalam perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Palembang, ulama bebas dapat dikatakan sebagai agent of change yakni tokoh yang mampu membawa perubahan sosial sebab terbukti mempunyai kemampuan yang enabling bagi lingkungannya. Sedangkan ulama birokrat dipandang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat atau tidak berperan sebagai agent of change, hal ini disebabkan ulama birokrat dibatasi oleh salah satu perannya yakni sebagai pejabat pemerintah kolonial yang harus loyal terhadap aturan-aturan.

Until the mid-twentieth century, the categories of ulama were differentiated into two types: bureaucratic ulama/ulama penghulu (headman ulama) and independent ulama in Palembang. These differences have resulted from the process of bureaucraticization of religion, when the power system feels obliged to provide religious services or when the power considers that religion must be strongly controlled. On the one hand, since the second decade of the twentieth century, the conflicts between independent Muslim ulama with their orientation on traditionalist perspectives and those with modernist perspectives took place. On the other hand, along with the rise of the Modernist movement in Palembang, in the early twentieth century, the other traditionalist scholars who lived in Mecca also took part in these movements. Scholars with traditionalist Islam perspectives partly initiated their efforts of renewal movement in the field of Islamic education by establishing the institution in the form of 'Madrasah'. This effort of establishment of educational institutions with the madrasah system demonstrates the element 'renewal' which then confirms the difference with the traditional Islamic educational system.
This study reveals the continuity of the tradition of knowledge in the form of writing works of religious matters as well as religious instructions conducted by independent scholars and bureaucratic ulama after the Palembang Sultanate had been removed, and the role of independent ulamas and bureaucraticic ulamas at the residency of Palembang in the middle of the discourse of Islamic reform movements and the nationalist movements. In the changes that occur in people of Palembang, the independent scholars can be regarded as the agent of change who is capable of bringing about social changes because it has proved to have the enabling capabilities for the environment. Meanwhile, the bureaucratic clerics are considered not to have the ability to make changes in the society, or they do not act as agent of change due to the fact that bureaucratic ulama are constrained by one of their role as the colonial government officials who should be loyal to the rules.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Alawiyah Surandi
"Penelitian ini bermaksud mengkaji terakomodir tidaknya hak-hak perempuan dalam politik identitas berbasis Islam. Salah satu wujud politik identitas Islam tersebut adalah proses penerapan Syariat Islam seperti terjadi di Serang Banten.
Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah bahwa dalam politik identitas, baik yang berbasis pada agama, ras, etnis, bangsa dan sebagainya, perempuan seringkali dijadikan simbol untuk menandai identitas tersebut. Apakah dalam politik identitas Islam seperti dalam kasus proses penerapan Syariat Islam perempuan juga dijadikan simbol dan penanda identitas sehingga hak-haknya seperti hak sipil dan politik terabaikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam proses penerapan Syariat Islam di Serang Banten dijadikan simbol dan instrumen terciptanya masyarakat Islami. Hai ini dilandai dengan himbauan pemakaian jilbab bagi perempuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda dan seluruh dinas Kabupaten Serang dan para siswi SD sampai SLTA Negeri se-Kabupaten Serang. Dengan adanya himbauan berjilbab menunjukkan bahwa perempuan lebih digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan gerakan penegakan Syariat Islam. Perempuan menjadi terabaikan hak-haknya karena mereka tidak dilibatkan secara aktif dalam pengambilan kebijakan seperti dalam himbauan jilbab tersebut, dan dalam berbagai proses politik yang terjadi di Serang. Dalam Panitia Penerapan Syariat Islam Banten, misalnya, tidak ada satu pun perempuan yang masuk dalam susunan kepanitiaan tersebut sementara penerapan Syariat Islam sendiri realitasnya banyak yang ditujukan untuk perempuan.
Untuk mewujudkan masyarakat Islam seperti yang diperjuangkan para penegak Syariat Islam, jilbab merupakan tahap awal karena akan banyak hukum-hukum Islam yang tidak berpihak pada perempuan sehingga hak-hak perempuan sebagai manusia terabaikan. Karena itu, penelitian ini berupaya menggambarkan kondisi perempuan ketika Islam dijadikan satu-satunya identitas yang diperjuangkan untuk menjadi sumber nilai bagi tatanan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

This study intends to observe whether or not women's rights are accommodated by the politics of identity of Islam. The process of the implementation of the Islamic sharia in Serang Banten is one of the answers or that question.
Women are often used as an important symbolic instrument for making a certain political identity. This "universal custom" is practiced by religions, races, ethnics, and so forth. One of the results of this practice is the abandonment of women's rights, such as civil right and political right. This study intends to know whether or not women are used as a symbolic identity in the process of the implementation of the Islamic Sharia in Serang Banten. This is the framework of this study.
Based on a field research, this study want to show that the mentioned "universal custom" is not absent in the process of the implementation of the Islamic Shari'a in Serang Banten. Women are regarded as an important symbol of the emergence of the Islamic society. To achieve an Islamic society, for example, the District Government (Periieriniah Daerah, abbr. Pemda) encourages the female government employee (Pegawai Negeri Sipil) to wear jilbab (veil) in the office of Pemda and other government offices in Serang. This rule is also encouraged to the female students of the state schools (sekolah negeri) from elementary until senior high school in Serang. This phenomenon is an evidence of the assumption that women are merely used as an instrument of the implementation of Islamic shari'a in Serang. The fact that women are not invited to participate actively in this project is another evidence of the abandonment of women's rights. The Committee of the implementation of Islamic shari'a in Banten, for instance, does not involve women, even one person, in the list. This phenomenon is clearly in contrast to the fact that women are the most important target of the project.
Jilbab is the first obvious example of the result of the process of the implementation of Islamic shari'a in Serang. After jilbab, the sequence policies of the implementation of Islamic shari'a such as Islamic law will be implemented. The Islamic laws which prevail in Indonesian community now were often regarded in the opposite side with women. Hence, the implementation of Islamic laws is feared to threaten women's rights. This thesis intends to portray women's fate in a society where Islam is considered as the only identity and value source for the social order of society and government.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalar Gramsia Budiman
"Pengalaman kekerasan terhadap perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas belum banyak didokumentasikan dalam penelitian sosial. Alih-alih mendapatkan dukungan karena sudah mendampingi korban/penyintas kekerasan seksual, para perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual ini justru mengalami kekerasan, yang salah satunya dilakukan oleh institusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor, pengalaman, dan dampak dari kekerasan yang dialami perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di lingkungan universitas dengan menggunakan teori feminis radikal. Penelitian ini merupakan penelitian feminis naratif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap enam perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual di Universitas Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa nilai-nilai patriarki dan neoliberal di universitas menciptakan kondisi yang menindas perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual. Ancaman, intimidasi, rumor, hingga kekerasan fisik yang dialami oleh partisipan penelitian ini merupakan upaya kontrol yang dilakukan oleh laki-laki yang merasa terancam oleh perlawanan perempuan pendamping. Selain itu, universitas yang memprioritaskan reputasi demi keuntungan finansial juga melakukan kekerasan sebagai upaya kontrol untuk menghindari risiko publikasi negatif yang akan memengaruhi keuntungan finansial. Penelitian ini melihat bahwa pada dasarnya kekerasan yang dialami oleh perempuan pendamping korban/penyintas kekerasan seksual merupakan bentuk kontrol yang dilakukan oleh laki-laki, baik secara individu maupun secara institusi. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan yang dialami perempuan pendamping perempuan korban/penyintas kekerasan seksual menimbulkan dampak berupa perlukaan, seperti rasa takut, khawatir, dan ingin menyerah. Meski begitu, kekerasan yang mereka alami juga menumbuhkan amarah dan resistensi yang semakin menguatkan perlawanan mereka.

The experiences of violence faced by women supporting victims/survivors of sexual violence in university settings have not been extensively documented in social research. Rather than receiving support for advocating victims/survivors, these women often become targets of violence themselves, some of which is perpetrated by the institution itself. This study examines the factors, experiences, and impacts of violence encountered by women advocates for sexual violence victims/survivors in universities, using radical feminist theory as its framework. The research adopts a feminist narrative approach, conducting in-depth interviews with six women advocating victims/survivors of sexual violence at Universitas Indonesia. The findings reveal that patriarchal and neoliberal values within universities create oppressive conditions for these women. Threats, intimidation, rumors, and even physical violence experienced by participants are strategies of control employed by men who feel threatened by the resistance of these women. Furthermore, universities, driven by a desire to protect their reputation for financial gain, also engage in violence as a form of control to avoid the risk of negative publicity that could affect their profitability. The study highlights that the violence experienced by women advocates of victims/survivors of sexual violence is fundamentally a form of control exercised by men, both individually and institutionally. This violence results in harm, including feelings of fear, anxiety, and the desire to give up. However, it also fuels anger and resistance, ultimately strengthening their determination to continue their fight against injustice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>