Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185154 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ridho Rachman
"Tesis ini menganalisis fenomena oposisi parlemen Indonesia yang dilakukan oleh Partai
Gerindra (2014-2019) sebagai partai yang berada di luar pemerintah dan menjalankan fungsi oposisi. Bagaimana pelaksanaannya, dan strategi seperti apa yang dijalankan Gerindra untuk memengaruhi pembuatan keputusan di parlemen? Untuk menjawabnya, studi ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data lewat kajian literatur, penelusuran data, dan wawancara mendalam. Perspektif teori yang
melatarbelakangi penelitian ini adalah argumentasi Katrin Steinack (2011) tentang
strategi oposisi yang menyatakan bahwa perilaku partai oposisi di dalam parlemen merupakan akumulasi dampak struktural institusional, sosio-demografi, serta aspek kepartaian; serta asumsi Tuswoyo (2016) tentang konsep pelembagaan oposisi sebagai proses dan tata kerja yang berkembang secara bertahap sampai pada nilai baku dan melembaga yang disepakati bersama (konsensus) oleh aktor-aktor yang berkepentingan terhadap pelembagaan tersebut.
Studi ini menemukan bahwa: (1) sebagai partai oposisi, Gerindra cenderung menggunakan strategi konten dengan menggunakan area pembuatan kebijakan publik sebagai medium interaksi kekuatan politik seperti di tingkat komisi atau satuan kerja lainnya. (2) Selain aspek internal, kerja sama di antara parpol oposisi memberikan pengaruh besar terhadap usaha oposisi untuk memengaruhi keputusan parlemen. (3) Namun, jumlah legislator juga merupakan faktor penting saat keputusan parlemen diambil lewat pemungutan suara (voting). Implikasi teori menunjukkan bahwa: (1) karakteristik relasi eksekutif-legislatif Indonesia menunjukkan bahwa medium Paripurna cenderung menampilkan kontestasi politik
antarparpol di parlemen, alih-alih pertentangan eksekutif-legislatif. (2) Kontestasi politik
yang terjadi dalam fungsi anggaran di parlemen menunjukkan adanya strategi oposisional
yang dilakukan oleh partai oposisi, artinya tidak hanya terbatas pada fungsi legislasi saja. (3) Strategi oposisi bisa dilakukan sekaligus karena terjadi persilangan (split over) dari dua kategori strategi oposisi. (4) Sikap abstain terhadap hasil keputusan parlemen
merupakan bagian dari strategi oposisi akibat hilangnya peluang untuk memengaruhi pengambilan keputusan.

This thesis analyzes parliament opposition in Indonesia by Gerindra Party 2014-2019 as a party whose consistently outside the government and functioning as an opposition
party. How is it implemented, and what kind of strategy Gerindra did to influence parliamentary decision making process To answer this, the study uses qualitative methods by collecting data through literature review, data tracking, and indepth interviews. The theoretical perspective in this research is Katrin Steinack's 2011 argument about the opposition strategy which states that the behavior of opposition party in parliament is the accumulation of the impact of the structural and institutional factors, socio-demographic, and and partys informal rules of engagement; and Tuswoyo assumption 2016 about the concept of institutionalization of parliamentary opposition as a process and working procedure that develops gradually up to the standard and institutionalized values (consensus) found by the actors who interested to. This study found that: 1 as opposition party, Gerindra focuses on content-oriented
strategies using the area of public policy making as a medium of political interplay such
as at the commission level or other work units. 2 In addition to internal aspects, the cooperation between opposition political parties has a major influence on the oppositions efforts to influence parliamentary decisions. 3 However, the number of legislators is also an important factor when voting mechanism implemented. Theoretical implications show that: 1 The characteristics of Indonesias executivelegislative relation shows that the Plenary tends to display political contestation between political parties in parliament, rather than executive-legislative confrontation. 2 The
political contestation that occurs in the budgeting parliamentary process shows there are
oppositional strategies by opposition party, it means not only limited to the parliaments
legislative function. 3 both opposition strategies used at once because there is a split over between the two categories. 4 Abstention from the results of parliamentary decision process is a part of the opposition strategy due to losing opportunities to influence decision making process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdur Rizky Akbar
"Penelitian ini mendeskripsikan model komunikasi politik yang dilakukan oleh humas politik pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dalam pertarungan politik Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Model komunikasi politik sebagai satu panduan utama dalam setiap langkah komunikasi politik pasangan calon, melahirkan turunan bagan sebagai strategi komunikasi politik maupun penyusunan komunikasi strategis. Penelitian dengan pendekatan kualitatif serta desain deskriptif ini, memberikan sebuah hasil penelitian yang menunjukan proses perumusan sebuah model komunikasi politik yang melahirkan strategi komunikasi politik yang dilakukan oleh tim pemenangan Anies-Sandi dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Meski terjadi simplifikasi dalam kajian strategi komunikasi politik yang hanya berfokus pada optimalisasi dan evaluasi penggunaan media sebagai pintu informasi dengan muatan komunikasi politik, dalam pelaksanaannya tim pemenangan melalui Media Center Anies-Sandi memberikan pandangan bahwa landasan strategi komunikasi politik berangkat dari sebuah rancangan dalam merumuskan sebuah Grand Design atau paradigma sebagai penentu alur komunikasi politik yang efektif, efisien dan tepat sasaran serta melahirkan tujuan komunikasi yang sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Penelitian hanya berfokus pada pemaparan mengenai perumusan model komunikasi politik dan strategi komunikasi politik pada masa pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

This study describes the political communication model wich conducted by the political public relations of  Anies Baswedan-Sandiaga Uno in the 2017 DKI Jakarta Regional Election. Political communication model as a main guide in each step of political communication of the candidate, defining the strategy of politics and strategic communication. This research with a qualitative approach and descriptive design give the result that shows the process of formulating a political communication model  bring forth political communication strategy conducted by Anies-Sandis political PR in the 2017 DKI Jakarta regional election and contestation. Despite has a simplification in the study of political communication strategies which only focuses on optimizing and evaluating the use of media as an information with political communication content, in the implementing the winning team through Media Center Anies-Sandi gives the view that the foundation of political communication strategy departs from a design in formulating a Grand Design or paradigm as a determinant of political communication effective, efficient and right on target made up the goals that are in accordance with what has been previously designed. The research only focuses on the presentation of the formulation of the political communication model and political communication strategy in the 2017 DKI Jakarta regional election.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sholehah
"Sebagai negara demokrasi, Indonesia sudah seharusnya menerima keberadaan koalisi dan oposisi sebagai bentuk penegakkan kedaulatan rakyat. Namun, pada pemerintahan Joko Widodo periode kedua, keberadaan koalisi sangat gemuk bahkan menjadi koalisi paling gemuk yang pernah ada setelah pemilu langsung dilakukan. Kendati demikian, PKS hadir dan bahkan dengan lantang menyatakan sebagai oposisi. Hal ini terlihat dari bagaimana PKS bersikap pada RUU Haluan Ideologi Pancasila dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kebijakan kontroversial. Dalam mewujudkan hal tersebut, PKS berupaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Konsep Oposisi dalam Presidensial dan Teori Dua Pola Oposisi akan digunakan untuk menjelaskan strategi yang dilakukan oleh PKS dalam pengambilan keputusan di parlemen. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan data yang berasal dari wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa PKS menggunakan dua strategi secara bersamaan dalam mewujudkan kepentingannya. PKS menggunakan strategi kerjasama dan strategi konfrontasi bersamaan karena jumlah oposisi di Indonesia yang sangat timpang. PKS berhasil menggagalkan RUU HIP sementara itu dalam RUU TPKS PKS berhasil mengubah substansi RUU.

As a democratic country, Indonesia should accept the existence of coalitions and oppositions as a form of upholding people's sovereignty. However, during the second period of Joko Widodo's government, the existence of a very fat coalition even became the fattest coalition ever after direct elections were held. Nevertheless, PKS was present and even loudly stated that it was in opposition. This can be seen from how PKS takes its attitude towards the Pancasila Ideology Direction Draft Bill and the Sexual Violence Crime Bill, which are controversial policies. In realizing this, PKS seeks to maintain democracy by influencing decision-making in parliament. The concept of Opposition in the Presidency and Theory of Two Patterns of Opposition will be used to explain the strategy adopted by PKS in decision-making in parliament. This study will use qualitative methods with data derived from in-depth interviews and literature studies. The results of the study show that PKS uses two strategies simultaneously in realizing its interests. PKS uses a strategy of cooperation and a strategy of confrontation at the same time because the number of oppositions in Indonesia is not very unequal. PKS succeeded in thwarting the HIP Bill, meanwhile in the TPKS Bill PKS managed to change the substance of the bill."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Ashari
"Ditetapkannya PKPU No.20 Tahun 2018 yang mengatur mantan narapidana korupsi, mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tidak dapat menjadi caleg pada Pemilu 2019 menuai pro dan kontra. KPU telah meminta kepada partai politik untuk mengganti nama bakal caleg yang merupakan mantan narapidana korupsi, namun masih saja ada parpol yang mencalonkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg di tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bawaslu, Komisi II DPR dan Kemendagri bersepakat mengembalikan persyaratan caleg ke Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Partai Gerindra sebagai parpol yang kerap menyuarakan anti korupsi, merekrut 22 bakal caleg mantan narapidana korupsi pada Pemilu 2019. Proses rekrutmen oleh Partai Gerindra berlangsung tertutup dan tidak terdapat penelusuran rekam jejak dalam mekanisme rekrutmen caleg tersebut. Terbitnya Putusan Mahkamah Agung kemudian memperbolehkan caleg mantan narapidana korupsi ikut serta pada Pemilu 2019. Penelitian metode kualitatif dengan desain studi kasus ini menggunakan teori rekrutmen partai politik Barbara Geddes (1994), Almond & Powell (1966), Almond & Coleman (1961), dan teori modal Kimberly L Casey, Pierre Bourdieu, Robert D. Putnam. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Partai Gerindra yang ingin memperoleh banyak suara dan kursi pada Pemilu 2019, cenderung pragmatis dalam merekrut caleg mantan narapidana korupsi yang memiliki modal politik, sosial dan finansial serta populer. Caleg mantan narapidana korupsi memanfaatkan celah hukum, yaitu PKPU No.20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan UU Pemilu No.7 Tahun 2017. Partai Gerindra tidak melakukan penelusuran rekam jejak bakal calon anggota legislatif  serta tetap melakukan rekrutmen terhadap mantan narapidana korupsi. Partai Gerindra sudah seharusnya melaksanakan proses demokratisasi sendiri di dalam tubuh mereka sehingga fungsi-fungsi ideal partai politik bisa dijalankan.

With the enactment of PKPU No.20 of 2018 which regulates ex-convicts of corruption, drug trafficking inmates and sexual crimes against children can not be candidates in the 2019 elections reaping pros and cons. KPU has asked political parties to change the names of prospective candidates who are former convicts of corruption, but there are still political parties that nominate ex-convicts of corruption to be candidates at the Provincial and Regency/City DPRD levels. Bawaslu, Commission II of House of Representatives and the Ministry of Home Affairs agreed to return the candidates requirements to Article 240 Paragraph 1 letter g of Law No.7 of 2017 concerning Elections. Gerindra Party as a political party that often voiced anti-corruption, recruiting 22 candidates for former corruption convicts in the 2019 election. The recruitment process by the Gerindra Party was closed and there was no track record in the recruitment mechanism of the candidates. The issuance of the Supreme Courts Decision then allowed candidates for ex-convicts of corruption to take part in the 2019 elections, This qualitative research method with case study design uses the theory of recruitment of political parties Barbara Geddes (1994), Almond & Powell (1966), Almond & Coleman (1961 and the modality theory of Kimberly L. Casey, Pierre Bourdieu, Francis Fukuyama. The findings of this study indicate that the Gerindra Party, which wants to get a lot of votes and seats in the 2019 Election, tend to be pragmatic in recruiting candidates for ex-convicts of corruption who have political, social and financial capital and are popular. Where candidates for ex-convicts of corruption use legal loopholes, namely PKPU No. 20 of 2018 contradicts with the Election Law No. 7 of 2017. The Gerindra Party did not search any track record of prospective legislative candidates and continued to recruit former corruption convicts. The Gerindra Party should have carried out their own democratization processes so that the ideal functions of political parties can be carried out."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Kelana Dewantara
"Kompleksitas regulasi pemilu yang ada menghasilkan permasalahan serius diantaranya adanya tumpang tindih regulasi; pengulangan pengaturan; standar beda atas isu yang sama; dan tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Masalah-masalah tersebut menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi yang bernama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mempunyai agenda menyatupadukan/kodifikasi regulasi pemilu demi menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Reynolds (1997) penyusunan kerangka hukum pemilu merupakan salah satu aspek standar pemilu demokratis.
Penelitian ini melihat bagaimana strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang merupakan proses pencarian dan pengungkapan, dilakukan dengan metode wawancara dengan aktor masyarakat sipil dan penentu kebijakan, mempelajari risalah-risalah pertemuan dan dokumen lainnya. Dalam mengadvokasi RUU Pemilu, pilihan strategi advokasi yang digunakan oleh koalisi masyarakat sipil berupa networking, lobbying dan media.
Kesimpulan dari penelitian ini melihat kelompok masyarakat sipil bukanlah kelompok yang homogen, sehingga kelompok masyarakat sipil merupakan kekuatan yang terpecah/fragmentasi, sebagian kelompok tergabung dalam koalisi sekber, sebagian lainnya tergabung dalam tim perumus kebijakan yang mendorong perubahan dari dalam.

The complexity of the existing electoral regulations produces serious problems including overlapping regulations; repeat settings; different standards on the same issue; and incoherent in regulating the legislative and executive election systems. These problems cause uncertainty and unfairness of election law. To overcome these problems, civil society groups formed a coalition called the Joint Secretariat of the Election Law Codification, which had an agenda to integrate/codify election regulations in order to create legal certainty and justice. As Reynolds (1997) explained, the electoral legal framework is one aspect of standard democratic elections.
This research looks at how the advocacy strategy carried out by the coalition in the formation of Law No. 7 of 2017 concerning Elections. The research approach used is a qualitative approach, this approach is used to obtain a comprehensive picture of the aspects studied. The data collection technique, which is a process of searching and disclosing, is carried out by means of interviews with civil society actors and policy makers, studying the minutes of meetings and other documents. In advocating for the Election Bill, the choice of advocacy strategies used by the civil society coalition in the form of networking, lobbying and the media.
The conclusion of this study is that civil society groups are not homogeneous groups, so civil society groups are fragmented, some groups are part of the Joint Secretariat coalition, others are part of a policy-making team that encourages change from within.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeremia Michael Basauli
"Skripsi ini membahas mengenai strategi marketing politik studi tentang promosi dalam peningkatan suara anggota legislatif (DPR-RI) Partai Gerindra di Jawa Barat pada pemilu legislatif 2014. Kasus ini di analisis menggunakan teori marketing politik. Pada teori ini, penulis menekankan terhadap komponen promosi. Promosi yang dilakukan oleh Partai Gerindra dapat dilihat dalam 6 kelompok saluran komunikasi politik, yaitu saluran komunikasi politik lini atas, saluran komunikasi politik lini bawah, saluran komunikasi dengan special event, saluran komunikasi politik dengan media baru, saluran komunikasi politik dengan komunikasi antar pribadi, dan saluran komunikasi politik dengan media tradisional. Studi ini menemukan bahwa Partai Gerindra memaksimalkan berbagai media yang tersedia dan struktur jaringan partai yang ada dalam mempromosikan partai. Strategi promosi yang dilakukan oleh Partai Gerindra memberikan hasil perolehan suara sebesar 2.378.762 dan 10 kursi dalam pemilihan legislatif 2014 di Jawa Barat.

This undergraduate-thesis analyzes about political marketing strategy study about promotion in increasing the votes member of parliaments (House of Representative of Indonesia Republic) Gerindras Party in West Java in legislative election 2014. This case using the political marketing theory. On this theory, writer focus on component of promotion. Promotion carried out by the Gerindras Party can be seen from 6 groups of political communication channels, consisting of political communication channel above the line, political communication channel below the line, political communication channel with special events, political communication channel with new media, political communication channel with interpersonal communication, political communication channel with traditional media. The study finds that Gerindras Party maximize the various available media and the network structure of the parties that are in promoting the party. Promotion strategy carried out by Gerindras Party give the result of the vote amounting 2.378.762 and 10 seats in legislative election 2015 in West Java."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Khairi Amrillah
"Skripsi ini membahas mengenai praktik kampanye politik yang dilakukan oleh Partai Gerindra pada pemilu legislatif tahun 2014. Kasus ini di analisis menggunakan teori kampanye politik modern. Pada kampanye politik yang dilakukan oleh Partai Gerindra terlihat bahwa media memainkan peran sentral, terutama televisi dan media berbasis internet. Studi ini menemukan bahwa kampanye politik Partai Gerindra sangat profesional. Partai Gerindra mempekerjakan tenaga ahli diluar kader partai untuk merancang kampanye politiknya. Kampanye politik yang dilakukan Partai Gerindra fokus terhadap satu figur politik untuk menarik dan mempengaruhi pemilih.

This undergraduate-thesis analyzes about Gerindra’s political campaign in legislative election 2014 using the modern political campaign theory. Media played a central role in Gerindra’s political campaign, mainly used television and internet. The study finds that Gerindra’s political campaign was highly professional. The party employed a marketing expert outside of their party members to design Gerindra’s political campaign. The campaign is focused or personalized to one political figure to attract and influenced voters."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Izzati
"Partai Gerindra merupakan bagian dari 18 partai politik baru yang ikut pemilu 2009, dan mengusung figur kontroversial Prabowo Subianto sebagai capresnya. Kondisi tersebut menempatkan Partai Gerindra pada posisi ke tiga sebagai partai besar di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah fenomena bahwa kekuatan partai baru dengan mengusung tokoh yang kontroversial namun partai tersebut bisa tetap yakin dan konsisten membawa partai Gerindra melangkah sebagai partai terdepan dengan menggalang massa yang setiap tahunnya terus bertambah. Kekalahan partai Gerindra dalam mengusung nama calon presiden Prabowo menjadi cambuk yang besar bagi massa pendukung Prabowo Subianto karena gagal membawa kemenangan. Hal ini membutuhkan evaluasi dari berbagai elemen dalam tubuh partai untuk kedepannya Partai Gerindra mampu membawa nama Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa Indonesia.
Dalam Tesis ini penulis merumuskan masalah sebagai acuan penulis, adapun rumusan masalahnya adalah strategi apa yang dilakukan Partai Gerindra dalam membangun politik pencitraan Partai Gerindra melalui sosok Prabowo Subianto pada pilpres 2014. Perumusan masalah itu dijabarkan dengan menggunakan metode penelitian.
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah menggunakan jenis penelitiaan kualitatif. Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik wawancara individu intensif (mendalam). Wawancara mendalam didasarkan pada sebuah panduan wawancara, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan penyelidikan informal untuk memfasilitasi diskusi tentang isu-isu dengan cara yang setengah terstruktur atau tidak terstruktur. Pertanyaan terbuka digunakan untuk memungkinkan terwawancara berbicara panjang lebar mengenai sesuatu topik. Selain data dari wawancara mendalam, penelian ini menggunakan data-data dari buku beserta artikel yang berhubungan dengan AD/ART partai Gerindra, catatan pemerintah, media massa, internet, dan sumber lain yang relevan dengan penelitian
Pada saat musim kampanye politik 2014 Partai Gerindra berperan dalam melakukan politik pencitraan Prabowo Subianto. Langkah politik pencitraan yang dilakukan Partai Gerindra terhadap Prabowo diantaranya adalah Partai Gerindra melakukan kampanye politik yang cukup intens di berbagai media publik, baik internal maupun lokal. Kemudian Gerindra konsisten menarik perhatian anak muda untuk ikut terjun ke politik dengan tujuan untuk menjadi bangsa yang kuat dan bisaberdiri dibawah kaki sendiri. Dengan membuat sistem pengkaderisasi yang belum dimiliki partai lainnya membuat partai gerindra mencetak anak-anak muda yang berkualitas untuk membangun negara. Selain menggunakan jasa media, Partai Gerindra juga melakukan komunikasi politik secara dialogis keberbagai segmentasi masyarakat misalnya kaum buruh, mahasiswa, petani, nelayan dan guru. Langkah-langkah strategi politik pencitraan tersebut menghasilkan tanggapan yang beragam. Sebagian tetap menilai Prabowo dengan citra kontroversialnya dan sebagian besar.

Gerindra is part of 18 new political parties that is running in the election of 2009, and carries a controversial figure Prabowo as president candidat. The conditions put Gerindra in the third position as a major party in Indonesia. This is a phenomenon that the strength of a new party by bringing a controversial figure, but the party can remain confident and consistently bring Gerindra party stepped down as the party leading up to raise mass each year continues to grow. Gerindra party's defeat in nominating presidential candidates Prabowo a whip which was great for the supporters of Prabowo for failing to bring victory. This requires an evaluation of the various elements within the party for the future Gerindra capable of carrying the name Prabowo as leader of the nation of Indonesia.
In this thesis, the formulation of the problem is what kind of strategy, that Gerindra party do in build imegary political of Gerindra party through the figure Prabowo of the election in 2014. Formulation of the problem was described by using research methods.
The method that used in this thesis is using the qualitative research. This qualitative study is using the technique of intensive individual interviews (in-depth). In-depth interviews based on an interview guide, open-ended questions, and informal investigations to facilitate the discussion of issues in a way that half-structured or unstructured. Open-ended questions are used to allow the interviewees to speak at length on a topic. In addition to the data from in-depth interviews, this study presented by using data from the book as well as articles related to AD / ART Gerindra party, government records, mass media, internet, and other sources that are relevant to the research.
By the time of the political campaign season in 2014 Gerindra political role in doing imaging Prabowo. Political steps undertaken imaging Gerindra against Prabowo include Gerindra do fairly intense political campaign in various public media, both internally and locally. However, Gerindra as consistenly may to attract young people follow in politic with purpose to become strong nation. By creating a group system which is there is no other party using this system, it makes Gerindra party create young people that has quality to build the country and Gerindra Party do some politic communication dialogical to various society, for example the workers, students, farmers, fishermen and teachers. There are a lot of argument about this strategy, most of them still have opinion about the controversial imager of Prabowo.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Miqdar
"Tesis ini mengkaji mengenai Pertarungan Kekuasaan Antara Partai Besar vs Partai Kecil dalam Perumusan Ambang Batas Presiden ('Presidential Threshold') Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dalam proses pembahasan tersebut masing-masing fraksi saling beradu argumentasi mengenai isu ambang batas presiden ('presidential threshold'). Terdapat 2 (dua) pendapat yang mengemuka yang saling berlawanan (kontradiktif) antara satu dengan yang lainnya. P'ertama', pendapat yang menginginkan agar besaran ambang batas presiden tetap pada angka 20% kursi dan 25% suara sah nasional. 'Kedua', pendapat yang menginginkan agar aturan mengenai ambang batas presiden ('presidential threshold') dihapuskan menjadi 0%. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori kekuasaan, teori persaingan dan teori konflik. Penelitian ini merupakan penelitian  kualitatif dengan menggunakan teknik analisa deskriptif-analitis dan wawancara mendalam dengan beberapa anggota fraksi yang terlibat langsung dalam proses politik tersebut.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa partarungan kekuasaan antara partai besar vs partai kecil pada perumusan ambang batas presiden ('presidential threshold') lebih dimotivasi oleh orientasi dan kepentingan politik pragmatis masing-masing fraksi yang sifatnya kolutif dalam rangka untuk kepentingan Pilpres dan Pemilu tahun 2019. Implikasi teoritis menunjukkan bahwa teori kekuasaan, teori persaingan dan teori konflik berimplikasi positif terhadap penelitian ini.

This thesis examines the Power Struggle between the Big Parties vs Small Parties in the Formulation of the Presidential Threshold in Law Number 7 of 2017 concerning General Elections that occurs in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR RI). In the discussion process each faction clashed with each other regarding the presidential threshold. There are 2 (two) opinions that are contradictory between one another. First, opinions that want the presidential threshold to remain at 20% of seats and 25% of legitimate national votes. Second, opinions that want the presidential threshold to be abolished to 0%. The theories used in this study are power theory, competition theory and conflict theory. This research is a qualitative research using analytical-descriptive analysis techniques and in-depth interviews with several faction members who are directly involved in the political process.
The findings in this study indicate that the participation of power between big parties vs small parties in the formulation of the presidential threshold is more motivated by the orientation and pragmatic political interests of each faction that is colutive in the interests of the 2019 Presidential Election and Election. Theoretical implications shows that the theory of power, competition theory and conflict theory have positive implications for this research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dzaky Izzuddin
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas faktor yang melatarbelakangi perubahan sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap isu presidential threshold selama pembahasan RUU Pemilu Tahun 2017. PKS pada awalnya mendukung adanya presidential threshold sebesar 20%, kemudian ditengah pembahasan PKS merubah sikapnya dengan mendukung tidak adanya threshold dalam Pemilu 2019 mendatang. Penelitian ini ingin mengetahui alasan perubahan sikap tersebut dengan menggunakan teori pilihan rasional dengan pendekatan orientasi partai politik office seeking dari Kaare Strom. Penelitian ini menunjukkan 0% presidential threshold merupakan pilihan yang paling menguntungkan bagi PKS sebagai partai politik. Dengan 0% presidential threshold, PKS dapat mencalonkan kader dari internal sebagai calon presiden. Kondisi tersebut didukung oleh soliditas struktur dan disiplin organisasi yang dimiliki oleh PKS. Dengan mencalonkan kader dari internal, struktur PKS dipastikan akan bekerja secara all out. Kepentingan elektoral menjadi faktor lain bagi perubahan sikap PKS. Dalam Pemilu 2019, PKS memiliki target untuk meraih 12% suara. Hal tersebut membuat PKS mencoba memanfaatkan potensi coattail effect untuk menambah perolehan suara. Teori yang dipergunakan relevan dengan studi kasus ini. Dalam teori pilihan rasional, terdapat perilaku partai politik dengan orientasi office seeking. Partai politik dengan orientasi seperti ini akan berusaha untuk memaksimalkan kontrol mereka atas jabatan politik. Dengan menguasai jabatan politik, partai politik akan berusaha mendapatkan jabatan strategis di dalam pemerintahan.

ABSTRACT
This study discusses the underlying factors of the change of PKS attitude towards presidential threshold issue during 2017 election bill discussion. PKS initially supported the 20% of the presidential threshold, but then changed its attitude by supporting disclosure of thresholds for the upcoming 2019 elections. This study aims to find out the reason of the attitude change by analyzing data obtained using rational choice theory and office-seeking concept from Kaare Strom. The result shows that 0% of the presidential threshold is the most favorable choice for PKS as a political party. With presidential threshold by 0%, PKS can nominate its cadre as presidential candidate. Supported by the solidity of the structure and discipline of the organization, nominating cadres of PKS surely make its structure to work optimally. Other factor for changes in PKS attitude is its electoral interests. In the 2019 election, PKS has set a target of 12% of the vote. This triggers PKS to try to utilize the potential coattail effect to increase vote approval. Theory used in this research is relevant to this case study, such as theory of seeking, policy-seeking, vote seeking. Political parties with agreements like this will try to regulate their control of political office. By occupying political office, political parties will find it difficult to obtain strategic positions within the government."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>