Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Kurniawan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengharmonisasian rancangan peraturan menteri, analisis Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Berlakunya Permenkumham No. 23 Tahun 2018 ini kemudian memunculkan permasalahan terkait dengan kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri dan akibat hukum yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak memiliki kewenangan mengeluarkan peraturan menteri dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri karena tidak ada pendelegasian wewenang dari peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,kemudian dalam hal mekanisme proses pengharmonisasian peraturan menteri bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundangan. Permasalahan baru yang timbul yaitu masih kurangnya kualitas dan kuantitas perancang peraturan perundang-undangan yang bertugas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan pengharmonisasian seluruh rancangan peraturan menteri.

ABSTRACT
This research discusses harmonizing the draft ministerial regulation, analysis of Law and Human Right MinistryRegulation No. 23/2018 about Harmonizing The Draft Ministerial Regulation, Draft Regulation of Non-Ministerial Governmen Institutions, or Draft Regulations From Non- Structural Institutions by Legislative Drafter. The validity of Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 23/2018 brings some problems up which related to authority of Ministry of Justice and Human Right on harmonizing the draft ministerial regulation. This study is normative which used statute, historical, and conceptual approach. The result showed Ministry of Law and Human Rights did not has any authority harmonizing the draft ministerial regulation because there is no delegation of authority from a higher regulation, that is The Law No.12/2011 Concerning The Establishment Of Legislation, then in the case of the mechanism of the harmonization of ministerial regulations contrary to the principles of the establishment of legislation. A new problem that arises is that there is still a lack of quality and quantity of the legislative drafter in charge of The Ministry Of Law and Human Right to harmonize the entire draft ministerial regulation."
Lengkap +
2019
T54426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhaktiarsa Bagus Syaifullah
"ABSTRACT
Penelitian ini ditulis untuk menjawab beberapa masalah, seperti kewenangan membuat UU dan Peraturan Menteri Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi The Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Pemerintah Non-Menteri
Institusi, dan Rancangan Peraturan dari Lembaga Non-struktural oleh Legislasi Drafter berdasarkan prinsip dasar regulasi. Tesis ini didasarkan pada normatif studi hukum dengan menerapkan sinkronisasi hukum dengan penelitian metode kepustakaan. Tesis ini menyimpulkan bahwa ditetapkannya Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia Menteri Peraturan Nomor 23 Tahun 2018 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan Manusia Hak untuk Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Non-Pemerintah Instansi Pemerintah Kementerian, dan Rancangan Peraturan dari Non-struktural Lembaga tidak didasarkan pada prinsip dasar regulasi, seperti prinsip formal dan prinsip-prinsip material. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Rancangan Peraturan dari Lembaga Non-struktural oleh Perencana Legislasi harus dihapus.

ABSTRACT
This research was written to answer several problems, such as the authority to make laws and Regulation of the Minister of Human Rights No. 23 of 2018 concerning The Harmonization Draft Ministerial Regulation, Draft Non-Ministerial Government Regulation
Institutions, and Draft Regulations of Non-structural Institutions by Legislation Drafter is based on the basic principles of regulation. This thesis is based on normative legal studies by applying law synchronization with library research methods. This thesis concludes that the enactment of the Minister's Law and Human Rights Regulation Number 23 of 2018 which gives authority to the Minister of Law and Human Affairs The Right to Harmonize the Draft Ministerial Regulation, Draft Non-Governmental Regulation Ministry of Government Agencies, and Draft Regulations from Non-structural
Institutions are not based on basic principles of regulation, such as formal principles and material principles. Therefore, the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 23 of 2018 concerning Harmonization of Ministerial Draft Regulation, Draft
Non-Departmental Government Institution Regulations, and Draft Regulations from Non-structural institutions by Legislation Planners must be removed."
Lengkap +
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Adhitama Sukma
"Munculnya Peraturan Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan menimbulkan berbagai polemik. Kementerian Dalam Negeri mengajukan surat permohonan pencabutan atas peraturan menteri tersebut karena dianggap telah melampaui kewenangan dalam proses pengharmonisasian peraturan daerah kabupaten. Mengingat sejauh ini Kementerian Dalam Negeri yang banyak berperan dalam pembentukan peraturan daerah. Adanya surat permohonan ini justru diselesaikan melalui rapat koordinasi penyelesaian yang berakhir dengan kesepakatan. Bukan justru dengan melakukan pendekatan secara teori. Dampaknya adalah di Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi merasa bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan tidak dapat diterapkan. Pemerintah Daerah tersebut melihat bahwa peran Kementerian Dalam Negeri dapat fokus terhadap pengembangan kompetensi perancang.

The emergence of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 22 Year 2018 concerning Harmonization of Draft Laws Formed in Regions by Drafting of Laws and Regulations raises various polemics. The Ministry of Home Affairs submitted a letter of application for revocation of the ministerial regulation because it was considered to have exceeded the authority in the process of harmonizing the district regulations. Considering so far the Ministry of Home Affairs has a lot to play in forming local regulations. The existence of this request letter was actually completed through a coordination coordination meeting which ended with an agreement. Not precisely with a theoretical approach. The impact is that the Sukabumi District Government feels that the Minister of Law and Human Rights Regulation No. 22 of 2018 concerning the Harmonization of Draft Laws Formed in the Regions by the Designers of Legislation and Regulations cannot be applied. The Regional Government sees that the role of the Ministry of the Interior can focus on developing the competency of the designer."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Susandi
"Pembentukan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak dapat dilepaskan dari konteks negara kesatuan republik Indonesia, sehingga peran pemerintah pusat dalam mengontrol dan mengendalikan kebijakan daerah sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tertuang dalam peraturan daerah. Tesis ini membahas mengenai urgensi dan kewenangan sinkronisasi rancangan peraturan daerah oleh pemerintah pusat sekaligus merumuskan mekanisme sinkronisasi yang lebih efektif dan sesuai dengan konteks negara kesatuan yang menerapkan otonomi daerah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat urgensi yang tinggi dalam pelaksanaan sinkronisasi rancangan peraturan daerah sehingga perlu adanya penyesuaian atau perubahan atas peraturan perundang-undangan yang ada sebagai payung hukum dilakukannya sinkronisasi tersebut. Di samping itu, dari sisi instansi yang tepat dalam melakukan sinkronisasi, menurut penulis adalah instansi Kementerian Hukum dan HAM karena beberapa alasan yaitu, tugas fungsi Kementerian Hukum dan HAM adalah di bidang hukum peraturan perundang-undangan dan pembinaan hukum secara nasional, memiliki sumber daya manusia yang mencukupi baik dari sisi kuantitas dan kualitas, memiliki lembaga/instansi vertikal di semua daerah di Indonesia, pimpinan instansi vertikal di daerah diangkat dari hasil open bidding bukan dari proses politik sehingga lebih profesional.

The formation of local regulations by the local government can not be separated from the context of the united republic of Indonesia, so the role of the central government in controlling the regional policy is very necessary in the implementation of local government as stated in local regulations. This thesis discusses the urgency and authority to synchronize regional regulation drafts by the central government and formulating a more effective synchronization mechanism and in accordance with the context of a unitary state that implements regional autonomy. The research method used in this research is normative research method.
The results of this study indicate that there is a high urgency in the implementation of the synchronization of the draft local regulations so that there needs to be adjustments or changes to existing legislation as a legal norm of the synchronization. In addition, in terms of the appropriate agencies in synchronizing, according to the author is the Ministry of Justice and Human Rights for several reasons namely the duties of the functions of the Ministry of Justice and Human Rights is in the field of law legislation and national law development, has a source sufficient human power in terms of quantity and quality, have vertical institutions in all regions in Indonesia, the head of vertical institutions appointed from the open bidding results not from the political process so more professional.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50324
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zashkia
"Kewenangan harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan diberikan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan untuk rancangan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan Kantor Wilayah untuk rancangan peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Kendati demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku masih belum megatur instrumen harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan yang konkrit. Padahal instrumen harmonisasi menjadi sangat penting untuk mengatasi disharmoni hukum yang terjadi di Indonesia akibat obesitas regulasi. Sejak dahulu, pemerintah telah mengeluhkan masalah obesitas hukum khususnya peraturan perundang-undangan di tingkat lembaga dan peraturan tingkat daerah yang semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini menjadi faktor penghambat pembangunan ekonomi dan perwujudan kepastian hukum. Instrumen harmonisasi yang ideal harus berbasis pada elemen validitas, harmonisasi, dan elemen interpretasi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan doktrinal, tulisan ini akan menganalisis mengenai kondisi harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini dan bagaimana elemen validitas, harmonisasi, dan elemen interpretasi digunakan untuk menciptakan instrumen harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan yang konkrit yang meliputi harmonisasi vertikal, harmonisasi horizontal, harmonisasi diagonal, serta analisis koherensi, konsistensi, dan konsekuensi. Pengolahan dan analisis data dalam tulisan ini menggunakan metode analisis kualitatif, dengan disertai pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan terjadi kekosongan instrumen harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hasil penelitian juga menghasilkan rekomendasi instrumen harmonisasi yang berbasis pada elemen validitas, harmonisasi, dan elemen interpretasi yang dapat digunakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyatakan suatu rancangan peraturan perundang-undangan lolos harmonisasi atau tidak lolos harmonisasi sebagai bentuk upaya mengatasi masalah dishamoni hukum di Indonesia.

The authority to harmonize draft laws and regulations is given to the Ministry of Law and Human Rights through the Directorate General of Laws and Regulations for draft laws at the central level and Regional Offices for draft laws and regulations at the regional level. Nevertheless, the prevailing laws and regulations still have not arranged a concrete and clear harmonization instrument for draft laws and regulations. In fact, harmonization instruments are very important to overcome legal disharmony that occurs in Indonesia due to regulatory obesity. Since a long time ago, the government has complained about the problem of legal obesity, especially laws at the institutional level and local level regulations that are increasing every year. This is an inhibiting factor for economic development and the realization of legal certainty. The ideal harmonization instrument should be based on elements of validity, harmonization, and elements of interpretation. Using normative and doctrinal juridical research methods, this paper will analyze the current state of harmonization of draft laws and regulations in Indonesia and how elements of validity, harmonization, and elements of interpretation are used to create concrete harmonized instruments of draft laws and regulations which include vertical harmonization, horizontal harmonization, diagonal harmonization, as well as analysis of coherence, consistency, and consequences. Data processing and analysis in this paper uses qualitative analysis methods, accompanied by statutory approaches and conceptual approaches. The results showed that there was a vacuum in the instrument of harmonization of draft laws and regulations in Indonesia. The results of the study also produced recommendations for harmonization instruments based on elements of validity, harmonization, and elements of interpretation that can be used by the Directorate General of Laws and Regulations and Regional Offices of the Ministry of Law and Human Rights to declare a draft law that passes harmonization or does not pass harmonization as an effort to overcome the problem of legal dishamony in Indonesia."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damanik, Gabriel Stevent
"ABSTRACT
Penelitian dilakukan untuk dapat menjawab mengenai kewenangan pembentukan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No. 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Melalui Jalur Nonlitigasi berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan non-litigasi berdasarkan konsep pengujian peraturan perundang-undangan maupun penilaian penerapan peraturan perundang-undangan, serta kekuatan hukum mengikat hasil penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan non-litigasi. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka. Permenkumham No. 32 Tahun 2017 yang memberikan kewenangan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk memeriksa dan menyelenggarakan penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan non-litigasi dibentuk dengan tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, karena tidak dibentuk berdasarkan kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, tidak memenuhi asas subsidiaritas, proporsionalitas, efektivitas, dan efisiensi peraturan. Penyelesaian sengketa non-litigasi hanya dilakukan dalam ranah penilaian penerapan peraturan perundang-undangan, dan hasilnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

ABSTRACT
This research is done to answer some problems, such as the Minister of Law and Human Rights Authority to make Law and Human Right Ministerial Regulation Number 32 of 2017 about Non-Litigation Regulation Dispute Resolution Mechanism based on the basic principle of good regulation, analysis of non-litigation regulation dispute resolution based on regulation-review and the assessment of law-enactment concepts, and about the binding force of the output of non-litigation regulation dispute resolution. This thesis is based on a normative legal study with bibliography method research. This thesis concludes that the enactment of Law and Human Right Ministerial Regulation Number 32 of 2017 that give the authority to General Director of Regulation to inspect and organize the non-litigation regulation dispute resolution is not based on the basic principles of good regulation, such as regulation-making authority principle, the principle of suitability of type and hierarchy, subsidiarity, proportionality, effective and efficient regulation principle. Non-litigation dispute resolution is obtained in regulation-review concept, not in the assessment of law-enactment concept, and the output of non-litigation dispute resolution has no binding force."
Lengkap +
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini.
The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of "Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini
.The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of ​​"Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denden Imadudin Soleh
"ABSTRAK
Tesis ini membahas Eksistensi dan Kekuatan Mengikat dari Peraturan
Bersama Menteri Hukum Dan HAM Nomor 14 Tahun 2015 Dan
Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 16 Tahun 2015 yang menurut
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM
dalam Surat Nomor: PPE.PP.03.01-603 Peraturan Bersama ini tidak diundangkan
dalam Lembaran Negara atau Berita Negara karena tidak termasuk jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Dan 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan desain preskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Peraturan Bersama Menteri
Hukum Dan HAM Nomor 14 Tahun 2015 Dan Menteri Komunikasi Dan
Informatika Nomor 16 Tahun 2015 diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 28
tahun 2014 tentang Hak Cipta sehingga eksistensinya harus diakui sebagai
peraturan perundang-undangan dan diundangkan dalam Berita Negara sehingga
mempunyai kekuatan hukum mengikat karena sesuai dengan Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Peraturan yang ditetapkan oleh Menteri diakui
sebagai peraturan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam penelitian ini menyarankan
Pendelegasian Peraturan perundang-undangan sebaiknya konsisten, jika
pembentuk undang-undang tidak mengakui keberadaan peraturan bersama, maka
sebaiknya pembentuk undang-undang tidak mendelegasikan pengaturan lebih
lanjut kepada peraturan bersama dan jika ingin menyatakan peraturan bersama tidak
masuk dalam Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan seharusnya tidak
ditetapkan dalam Surat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan HAM Nomor PPE.PP.03.01-603, tetapi ditetapkan dalam
Undang-Undang dengan tegas sehingga tidak lagi multitafsir.

ABSTRACT
This thesis discusses the existence and force of binding of the Joint
Regulation of Law and Human Rights Minister No. 14 of 2015 and the Minister of
Communication and Information Technology Number 16 Year 2015 by the Director
General of Legislation Ministry of Justice and Human Rights in a letter Number
PPE.PP.03.01-603 this Regulation shall not be promulgated in the State Gazette or
the Official Gazette for not including the types and hierarchy of legislation as
provided for in Article 7 and 8 of the Act No. 12 of 2011 this study is a qualitative
research design analytical prescriptive.
The result showed that the Joint Regulation of the Minister of Law and
Human Rights No. 14 of 2015 and the Minister of Communication and Information
Technology Number 16 Year 2015 was ordered by Law No. 28 of 2014 on
Copyrights so that its existence must be recognized as legislation and promulgated
in the State Gazette so as to have binding legal force because according to Article
8 of Law No. 12 Year 2011 Regulation stipulated by the Ministry recognized as
legislation and have binding legal force throughout ordered by legislation that is
higher or established by the authority. In this study suggest Delegation of
legislation should be consistent, if the legislators do not recognize the existence of
joint regulation, then you should legislators do not delegate further adjustment to
the joint regulation and if you want to declare the Joint regulation are not included
in type and hierarchy rules legislation should not set out in the Letter of the Director
General of legislation Ministry of Law and human rights No. PPE.PP.03.01-603,
but defined in the Act expressly so it is no longer open to multiple interpretations"
Lengkap +
2016
T45998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aniza Fithriani
"ABSTRAK
Penelitian ini mengenai kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan pada suatu kementerian kemudian dari kewenangan tersebut dicoba dikaji mengenai pembentukan peraturan pelaksana terhadap peraturan menteri dalam kajian perundang-undangan menggunakan studi kasus Keputusan Sekretaris Direktorat Jenderal yang merupakan peraturan pelaksana atas peraturan menteri nomor P.55 tahun 2016 yang merupakan peraturan pengganti atas PErmen LHK Nomor P.28 tahun 2015. Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan menekankan pada penggunaan data sekunder atau studi kepustakaan bersifat eksplanatoris dengan dan menggunakan metode analisis data analisis kualitatis dengan simpulan berupa presiden memberikan sebagian kewenangannya kepada menteri yang telah ditunjuknya dan didalamnya terdapat kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan terjadi dalam praktek kewenangan yang telah didelegasikan kemudian didelegasikan kembali kepada lembaga yang lebih rendah yang disebut sub delegation legislative power. Berdasarkan hal tersebut dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memperhatikan hierarki dan kewenangan yang berlaku dan tidak mengatur hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggikata kunci : Pembentukan peraturan pelaksana, kewenangan dan hierarki.

ABSTRACT
This research concerning about the competency of ministry to make ministrial regulation. Further more from those ministrial regulation, it create implementation legislation as an example case study of Secretary Decree of Directorat General with use as an implementation regulation on Regulation of Minister Of Environment and Forestry No. P.55 years of 2016 which is replacing the regulation number P.28 years of 2015. This research uses literatures research by juridicial normative. and by emphasis on the use of secondary data or literature study with type of explanatory and using qualitative analysis data. The conclusion are President give some of his power to the minister he has appointed and in there is the authority of the formulation of legislation in accordance with the hierarchy of legislation which is applicable to facilitate the execution of government and the occurence in the exercise of delegated authority and then delegated back to another lower of legislation to concern about the hierarchy and authority in force and does not regulate things that have been regulated in the higher legislation"
Lengkap +
Depok: 2017
T49294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>