Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207936 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kayato Hardani
"Penempatan prasasti merupakan suatu cara, proses dan perbuatan secara sadar maupun nirsadar dari sang penulis prasasti yang dapat berupa aktifitas meletakkan teks prasasti dalam suatu ruang (posisi dan lokasi) tertentu yang dilatarbelakangi oleh logika, ide, gagasan dan konsep tertentu. Peran penulis prasasti di dalam menulis/memahatkan prasasti di dalam batur candi perwara dan stupa perwara menjadikan informasi yang ia sampaikan menjadi suatu bekuan peristiwa di masa lampau. Ia mempunyai kewajiban menyampaikan ide gagasan kepada pembaca atau masyarakat pendukung budaya candi melalui media yang memuat tanda (aksara dan bahasa) yang bisa dipahami bersama-sama oleh suatu komunitas atau masyarakat pada abad ke-9 Masehi. Sang penulis prasasti yang diasumsikan adalah para bhiksu memiliki ciri personal sebagai cerminan kebahasaan masyarakat pada masanya, segala proses penulisan prasasti yang dibuat oleh bhiksu tersebut tidak mungkin menggambarkan realita masa itu secara keseluruhan, oleh karena itu pemahaman terhadap prasasti tidak hanya dibatas pada kata saja melainkan kata dalam konteks. Konteks tersebut adalah penempatan prasasti tersebut di dalam satu konteks keruangan yakni relasi-relasi yang terbentuk pada satu halaman kompleks percandian Buddha. Relasi-relasi tersebut dapat diungkapkan kembali maknanya menjadi narasi sejarah yang logis dengan menggunakan pendekatan strukturalisme yang terbingkai dalam perspektif agama Buddha Mahayana abad ke-9 Masehi. Pendekatan strukturalisme Levi-Strauss adalah untuk menemukan struktur dan memberi makna dengan tafsir di luar stuktur atas suatu fenomena budaya. Prasasti pendek yang ditempatkan di candi perwara dan stupa perwara dapat dipahami sebagai fenomena budaya yang mengandung logika, ide dan gagasan dari sang penulis prasasti ketika memulai memahatkan tulisan di batu andesit komponen candi sebagai media penyampaian informasi. Melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss terlihat bahwa penempatan di dalam posisi yang sejajar dan seimbang memberi asumsi bahwa kesemua prasasti berada di dalam relasi sintagmatik untuk makna yang sama meskipun tidak dalam bentuk sinonim. Kedekatan jarak penempatan prasasti dapat dimaknai sebagai kedekatan di dalam struktur birokrasi maupun kekerabatan. Simpul penting formula dharmma di dalam satu baris candi perwara terlihat dengan pola yang berulang yakni kehadiran Çri Mahàràja yang senantiasa diapit oleh pejabat kerajaan dan pejabat daerah watak.

Inscription placement is a way, process and action consciously and unconsciously from the author of the inscription which can be in the form of activities putting the inscription text in a certain space (position and location) against the background of a certain logic, ideas, ideas, and concepts. The role of the writer of the inscription in writing / carving inscriptions in the batur (base) of perwara temples and ancillary stupas makes the information he presents becomes a record of events in the past. He should convey ideas to readers or the people who support the culture of the temple through media that contain signs (characters and languages) that can be understood together by a community or society in the 9th century AD. The writer of the inscription which is assumed is that monks have personal characteristics as a reflection of the language of society at the time, all the process of writing inscriptions made by the monk is not possible to describe the reality of the period as a whole, therefore understanding inscriptions is not limited to words but words in context. The context is the placement of these inscriptions in a spatial context, namely the relationships formed on a complex page of Buddhist temples. These relations can be re-revealed to be a logical historical narrative by using a structuralism approach framed in the perspective of 9th century Mahayana Buddhism. Levi-Strauss's structuralism approach is to find structure and give meaning to interpretations outside the structure of a cultural phenomenon. Short inscriptions placed in perwara temples and ancillary stupas can be understood as cultural phenomena that contain logic, ideas and ideas from the writers of inscriptions when they began sculpting writing on andesite stone components of the temple as a medium for delivering information. Through Levi- Strauss's structuralism approach, it is seen that placement in equal and balanced positions assumes that all inscriptions are in syntagmatic relations for the same meaning even though they are not synonymous. The proximity of the placement of the inscription can be interpreted as closeness in the bureaucratic structure and kinship. The important knot of the dharmma formula in a row of perwara temples is seen with a repetitive pattern, namely the presence of Çri Maharaja, which is always flanked by royal officials and regional officials."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
"Era antroposen menandakan dominasi yang dilakukan oleh manusia terhadap alam. Dalam prosesnya, manusia ikut menguasai hewan untuk dieksploitasi demi kepentingannya sendiri. Problem spesiesisme menjadi titik berangkat manusia dalam berasumsi bahwa hewan merupakan objek yang dapat dimanfaatkan dengan sewenang-wenang tanpa adanya pertimbangan etis. Manusia telah mengubah fisiologis serta mengatur kehidupan hewan melalui fenomena domestikasi. Kegagalan serta kecacatan yang dilimpahkan kepada hewan membuat setiap hewan domestik hidup dengan penuh penderitaan. Artikel ini berusaha menjawab permasalahan etis mengenai relasi hewan dengan manusia dalam fenomena domestikasi hewan melalui kacamata Buddhisme Mahayana. Melalui Metta-Karuna, hewan dapat dipahami sebagai tujuan untuk dirinya sendiri. Artikel ini mengolah permasalahan melalui hermeneutika serta semiotika yang didasarkan pada ekofenomenologi sehingga sumber seperti relief dan naskah kuno Buddhisme Mahayana dapat ditarik relevansinya pada permasalahan etis domestikasi hewan. Dengan demikian, Metta-Karuna dapat menjadi landasan moral dalam relasi hewan-manusia agar hubungan tersebut dibentuk dari cinta kasih yang bersih, bijak, dan tanpa syarat.

The Anthropocene era marks the domination of nature by humans. In the process, humans also control animals to be exploited for their own interests. The problem of speciesism is the starting point for humans in assuming that animals are objects that can be utilized arbitrarily without any ethical considerations. Humans have physiologically altered and regulated the lives of animals through the phenomenon of domestication. The failures and disabilities inflicted on animals make every domestic animal live a life of suffering. This article attempts to address the ethical issues regarding the relationship between animals and humans in the phenomenon of animal domestication through the lens of Mahayana Buddhism. Through Metta-Karuna, animals can be understood as an end in themselves. This article treats the problem through hermeneutics and semiotics based on ecophenomenology so that sources such as reliefs and ancient texts of Mahayana Buddhism can be drawn relevant to the ethical problem of animal domestication. Thus, Metta-Karuna can become the moral foundation of animal-human relations so that the relationship is formed from clean, wise and unconditional love."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Suzuki, Beatrice Lane
Ontario: Macmillan, 1969
294.3 SUZ m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhuhuri Al Alif Megantara
"ABSTRAK
Skripsi ini meneliti mengenai tinjauan arkeologis dan perbandingan arsitektur candi perwara yang terdapat di Percandian Hindu Prambanan dan Percandian Buddha Plaosan Lor. Candi perwara merupakan salah satu bangunan di dalam kompleks candi selain pethirtan dan/atau mandapa. Candi perwara di kedua kompleks candi tersebut terdapat di dalam kompleks candi yang berbeda aliran keagamaan tetapi memiliki persamaan bentuk arsitektur caitya-grha, arah hadap, serta tata letak candi perwara yang sama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk arsitektur, perbandingan arsitektur, serta tinjauan arkeologis candi perwara di Percandian Hindu Prambanan dan Percandian Buddha Plaosan Lor sebagai wujud materi kebudayaan masa Hindu-Buddha di Indonesia, terutama di daerah Jawa. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan bangunan Candi Perwara Prambanan dan Candi Perwara Plaosan Lor. Hasil analisis adalah tinjauan perbandingan arsitektural yang berisi persamaan dan perbedaan kedua gugusan candi perwara. Informasi di dalam tinjauan perbandingan arsitektural digunakan sebagai penafsiran tinjauan arkeologis kedua gugusan candi perwara. Tinjauan arkeologis diperkirakan bahwa gugusan Candi Perwara Prambanan berumur lebih muda pada abad ke - 9 Masehi yang dibuktikan dengan penambahan ragam hias arsitektural yang tidak terdapat pada gugusan Candi Perwara Plaosan Lor.

ABSTRACT
This research examines the archaeological review and the comparison of the Perwara Temple (candi perwara)s architecture which are located in both of the enshrinement named Prambanan Hindu Temple Complex and Plaosan Lor Buddha Temple Complex. Perwara Temple is one of the buildings inside an enshrinement beside the pethirtan or mandapa. Perwara Temple in both of enshrinement are different by religious side but have the same architectural form as temple (candi)s architecture in general or known as caitya-grha. Main purpose of this research is gain the general information of architectural form, architectural comparison and the review from archaeological side in both of the enshrinement, hence as one of the archaeological evidences of Hindu- Buddhist period in Indonesia, especially in Java. Analysis is done by comparing the Perwara Prambanan Temple and Perwara Plaosan Lor Temple. Result of the analysis are archaeological review and architectural comparison, first depicted by the architectural differences both of the perwara temples. Hence, the information of the architectural differences use for elucidate about the Perwara Prambanan Temple which is estimated to be slightly younger in the 9th century AD compared to Perwara Plaosan Lor Temple from the field of architectural decoration.
"
2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desfira Ramadhania Rousthesa
"Candi di Jawa Tengah sebagian besar dibuat dengan bahan batu andesit. Batu andesit tersebut dibentuk menjadi balok berbagai ukuran dan disusun lapis demi lapis. Telaah ini membahas mengenai bentuk dan ukuran pada balok batu penyusun di Candi Perwara Sewu Deret I no.26 dan Candi Perwara Plaosan Lor Deret II no.29. Lebih tepatnya penempatan dan penggunaan balok batu pada kedua candi perwara tersebut. Tujuan dalam kajian ini adalah mengetahui hubungan dalam penggunaan balok batu terhadap konstruksi candi perwara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pengumpulan data, pengolahan data, dan interpretasi. Data primer pada penelitian ini adalah balok batu andesit yang digunakan untuk menyusun konstruksi candi perwara. Melalui kajian ini dapat diketahui balok batu di bagian kaki memiliki ukuran yang paling besar, sedangkan ukuran bagian tubuh serupa dengan balok batu di bagian kaki. Bagian atap memiliki ukuran balok batu paling kecil. Akibat tidak ditemukannya batu kuncian di kedua candi, maka balok batu di bagian bawah dibentuk lebih besar supaya dapat menahan beban lebih banyak. Balok batu di bagian atas pun dibentuk lebih kecil agar memberikan beban lebih kecil dan mempermudah dalam proses penyusunannya. Hubungan antara balok batu dengan konstruksi candi perwara pada akhirnya dapat diketahui dari bentuk, ukuran, dan bahan dasar balok batu penyusun di setiap bagiannya.

Most of the temples in Central Java are made of andesite stone. The andesite stone is formed into blocks of various sizes and arranged layer by layer. This study discusses the shape and size of the constituent stone blocks at the Perwara Sewu Temple Series I no.26 and the Perwara Temple Plaosan Lor Series II no.29. More precisely the placement and use of stone blocks in the two perwara temples. The purpose of this study is to determine the relationship in the use of stone blocks to the construction of ancillary temples. The method used in this study consisted of data collection, data processing, and interpretation. The primary data in this study were andesite stone blocks which were used to construct the perwara temples. Through this study, it can be seen that the stone blocks in the legs have the largest size, while the size of the body parts is similar to the stone blocks in the legs. The roof has the smallest stone block size. As a result of not finding a lockstone in the two temples, the stone blocks at the bottom were shaped bigger so that they could withstand more weight. The stone blocks at the top are also made smaller in order to provide a smaller load and make it easier in the preparation process. The relationship between stone blocks and the construction of ancillary temples can ultimately be known from the shape, size, and basic materials of the stone blocks that make up each part."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alexander Arifa
"Pada isi prasasti sima dari masa Jawa Kuna terdapat sapatha atau baris kutukan, yakni sebuah wacana yang berisikan seruan sumpah kepada dewa-dewa atau roh-roh agar memberikan perlindungan terhadap tanah sima yang ditetapkan oleh raja, beserta mantra kutukan bagi orang-orang yang berniat jahat terhadap tanah tersebut. Penelitian ini meneliti mengenai beberapa hewan yang disebutkan dalam sapatha prasasti sima sebagai ancaman bagi siapa yang melanggar, khususnya pada prasasti-prasasti sima yang berasal dari Kerajaan Mataram Kuno pada awal abad X Masehi. Penyebutan hewan dalam sapatha merupakan fenomena yang tidak biasa, jarang ditemui, namun ada di beberapa prasasti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi ragam hewan yang disebutkan dalam bagian sapatha prasasti sima awal abad X Masehi, mengetahui alasan dipilihnya hewan-hewan tersebut, dan mengetahui kemungkinan adanya keterkaitan antara kuasa raja dengan penghukuman melalui fauna dalam sapatha prasasti sima. Metode yang digunakan dalam penelitian: tahap pengumpulan data yang merupakan tahap pengumpulan semua sumber data yang dibutuhkan, tahap pemrosesan data yang merupakan tahap pemrosesan dan penganalisisan semua data, dan tahap interpretasi data yang merupakan tahap pengaitan semua data yang sudah diproses dengan konsep pengetahuan yang diusulkan, yakni teori kekuasaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa hewan dalam sapatha merupakan hewan buas serta dianggap suci. Tujuannya sebagai pemberat bahwa sapatha adalah alat kontrol sosial beserta cerminan kuasa raja yang dilakukan raja dengan menggunakan pendekatan ketakutan berbasiskan pengendalian pikiran atas lingkungan sekitar ditambah dengan pengetahuan beberapa binatang yang telah dikenal dalam konsep religi Hinduisme serta kebudayaan lokal yang dipakai agar tidak ada pihak yang berbuat diluar perintah raja.

On sima inscriptions from Ancient Javanese era, there is sapatha or cursing passage which is a small paragraph that consists of oaths to gods and deities to protect the land of sima that had been established by the king, along with spells or curse that was addressed to wrongdoers. This research discusses about some animals that were mentioned in sapatha of the sima inscriptions, especially incriptions that dated from Ancient Mataram Kingdom on early 10th Century AD. This was quite rare and uncommon phenomenon but were available in some inscriptions. Aims of this research are to identify the variety of animals that is mentioned on Sapatha of Sima Inscriptions from Ancient Mataram Kingdom on early 10th Century AD, to discover the reasons behind the chosen animals, and to know the possibility if there was a connection between the power of king and the chosen animals. Research method that is used: first, data-gathering step which collects all the data needed, data-processing step which analyzes all data that has been collected, data-interpreting step which all the data that has been analyzed be interpreted under the power-relation concept. The result of this research shows that animals are categorized as wild and sacred animals. The aim mentioning these animals is to emphasize that sapatha is a tool for controlling society and showing king’s power by using fear-based on mind-control over the environment approach added with the knowledge of the animals on Hinduisme and local belief concept so that no one will disobey the king"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ha'erbin Shi: Heilongjiang ren min chu ban she, 1998
R SIN 294.3 FOJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ha'erbin Shi: Heilongjiang ren min chu ban she, 1998
R SIN 294.3 FOJ
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Haryanto Sapto Nugroho
"Karya tulis ini mengkaji bentuk arsitektur candi-candi perwara yang merupakan bagian dari arsitektur kompleks candi-candi Buddha di Jawa Tengah yang didirikan pada abad VIII - IX Masehi. Adapun data yang digunakan adalah candi perwara Candi Lumbung, Sewu dan Plaosan Lor. Penelitian ini dilakukan guna mengoreksi hasil penelitian dari para peneliti sebelumnya. Dalam penelitian ini dilakukan pendeskripsian bentuk arsitektur candi-candi perwara di Candi Lumbung, Sewu dan Plaosan. Setelah dilakukan pendeskripsian diungkapkanlah perbedaan dan persamaan bentuk arsitektur pada keempat candi Buddha tersebut. Dari perbedaan dan persamaan bentuk tersebut tampaklah keragaman bentuk dari candi-candi perwara candi Buddha di Jawa Tengah. Pada tahap pengolahan data digunakan serangkaian metode arkeologi berupa pengumpulan data baik literatur, gambar, peta maupun foto, dilanjutkan dengan pengumpulan data kembali ke lapangan. Pada pengumpulan data di lapangan dilakukanlah pengamatan secara detail terhadap data utama. Agar didapatkan hasil perbandingan yang akurat, masing-masing obyek yang diteliti, terlebih dahulu dibagi ke dalam komponen-komponen unit observasi. Setelah data lapangan terkumpul, langkah berikutnya adalah pengolahan data berupa analisa data dengan memperbandingkan tiap komponen unit observasi. Sebagai langkah akhir dilakukanlah penginterpretasian semua hasil analisa terhadap data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing candi perwara memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya sekalipun itu berada dalam satu kompleks yang sama. Namun dari beberapa atribut yang dimiliki oleh semua candi perwara tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya berdenah bujur sangkar dengan arah hadap menyesuaikan dengan susunan deretnya. Hal menarik yang terdapat pads hasil akhir dan penelitian ini adalah di candi perwara Plaosan Lor ada bentuk kepala kala di dinding luar tubuh memiliki dagu (rahang bawah) dan bercakar, seperti halnya bentuk kala gaya Jawa Timur. Hal menarik lainnya adalah ditemukannya bentuk lapik arca di candi perwara Sewu deret l no. 20, diduga bentuk arca yang pemah mendiami bilik candi tersebut terbuat dari bahan perunggu (Kusen dick 1993: 51-2). Jadi candi perwara pun tenyata berhak untuk ditempati oleh arca berbahan perunggu. Secara keseluruhan penelitian ini menyumbangkan sedikit inforrnasi yang bersifat mengoreksi terhadap hasil penelitian-penelitian sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S11572
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhiksu Dutavira
Jakarta: Pustaka Suci Mahayana, 1985
294.392 DUT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>